HUKUM MEMPERBAHARUI AKAD NIKAH TANPA ADANYA WALI NASAB

Hukum Memperbarui Akad Nikah Tanpa Adanya Wali Nasab

Deskripsi Masalah
Sepasang suami istri ingin memperbarui akad nikah (tajdid nikah), namun wali nasab (ayah atau kakek dari pihak perempuan) telah meninggal dunia. Sepupu laki-laki, sebagai wali nasab terdekat, sulit dihubungi karena berada jauh.

Jawaban

1. Hukum Memperbarui Akad Nikah

Jika pasangan yakin hubungan pernikahan tidak batal atau tidak jatuh talak, maka memperbarui akad nikah tidak wajib, hanya sebagai penguat saja  dan tidak membatalkan akad yang  pertama. Dan yang lebih utama adalah   meninggal tajdid nikah.

Jika pasangan yakin pernikahannya telah terputus (misalnya karena jatuh talak), memperbarui akad nikah menjadi wajib, dengan memenuhi seluruh syarat dan rukun nikah, termasuk kehadiran wali.

 

2. Kedudukan Wali dalam Pernikahan
a. Wali Nasab

Jika wali nasab (sepupu laki-laki) berada jauh hingga mencapai masafatul qashr (jarak yang memperbolehkan shalat qashar) dan sulit dihubungi, maka hak menikahkan berpindah kepada wali hakim.

b. Wali Muhakkam

Tidak diperbolehkan menjadikan ustaz/kiai sebagai wali muhakkam selama wali hakim masih ada dan dapat dihubungi.

Jika wali hakim ada tetapi meminta bayaran , maka diperbolehkan mengangkat ustaz/kiai sebagai wali muhakkam.

 

3. Status Ustaz/Kiai Jika Menikahkan

Sebagai Wali Muhakkam:
Ustaz/kiai dapat menjadi wali muhakkam jika wali hakim tidak ada atau wali hakim ada tetapi meminta bayaran.

Jika wali hakim ada dan dapat dihubungi, tetapi pasangan tetap menggunakan ustaz/kiai sebagai wali muhakkam, maka pernikahan tidak sah.

4. Solusi Jika Tidak Bisa Menghubungi Wali Nasab

Jika wali nasab tidak dapat dihubungi dan memenuhi syarat masafatul qashr, maka pasangan harus meminta wali hakim untuk menikahkan.

Jika wali hakim tidak ada atau ada tetapi meminta bayaran , maka pasangan dapat menyerahkan kewaliannya kepada ustaz/kiai sebagai wali muhakkam.

Jika wali nasab masih ada (misalnya sepupu), tetapi sulit hadir, wali nasab tersebut dapat memberikan kuasa kepada orang lain (ustaz/kiai) untuk menikahkan, bukan sebagai wali muhakkam, melainkan sebagai wakil wali.

Kesimpulan /Catatan Penting

Ustaz/kiai tidak boleh menjadi wali muhakkam jika wali hakim masih ada dan dapat dihubungi.

Jika wali nasab masih ada, wali hakim tidak boleh digunakan kecuali wali nasab tidak dapat dihubungi atau tidak memenuhi syarat.

Wali muhakkam (ustaz/kiai) hanya diperbolehkan dalam keadaan darurat, seperti wali hakim tidak ada ( tidak bisa dihubungi)  atau ada namun meminta bayaran.

Referensi

قرة العين بفتاوى الشيخ اسماعيل الزين، ص ١٦٧
`(تجديد عقد النكاح لا يوجب مهرا جديدا)`
سؤال :
ما قولكم في من جدد نكاحه، فهل يجب عليه او يسن أن يعطيها الصداق مرة ثانية لذكره في العقد الجديد او لا، سواء طلقها الزوج بعد ذلك او لا؟
`الجواب : لا يجب عليه أن يجدد صداقا، وتجديد صيغة عقد النكاح فانما هي للتأكيد، والاولى تركه،` .

حاشية الجمل على شرح المنهج، ج ٤ ص ٢٤٥
وعبارته: لأن الثاني `لايقال له عقد حقيقة بل هو صورة عقد` خلافا لظاهر ما في الأنوار ومما يستدل به على مسئلتنا هذه ما في فتح الباري في قول البخاري — إلي أن قال — قال ابن المنير يستفاد من هذا الحديث ان إعادة لفظ العقد في النكاح وغيره ليس فسخا للعقد الأول خلافا لمن زعم ذلك من الشافعية `قلت الصحيح عندهم انه لايكون فسخا كما قاله الجمهور إهـ`

حاوى الكبير .ص ــ١٢٢٦

[فَصْلٌ غَابَ وَلِيُّ النِّكَاح مَسَافَةَ الْقَصْرِ لَا دُونَهَا]
(فَصْلٌ وَإِنْ غَابَ الْوَلِيُّ مَسَافَةَ الْقَصْرِ لَا دُونَهَا زَوَّجَهَا قَاضِي بَلَدِهَا) لَا الْأَبْعَدُ وَلَا قَاضِي غَيْرُ بَلَدِهَا أَمَّا دُونَ مَسَافَةِ الْقَصْرِ فَلَا يُزَوِّجُ حَتَّى يُرَاجِعَ الْوَلِيَّ فَيَحْضُرَ أَوْ يُوَكِّلَ كَمَا لَوْ كَانَ مُقِيمًا، نَعَمْ لَوْ تَعَذَّرَ الْوُصُولُ إلَيْهِ لِفِتْنَةٍ أَوْ خَوْفٍ فَفِي الْجَبَلِيِّ عَنْ الْحِلْيَةِ أَنَّ لَهُ أَنْ يُزَوِّجَ بِلَا مُرَاجَعَةٍ وَعَضَّدَهُ فِي الْكِفَايَةِ بِقَوْلِ الْأَصْحَابِ إنَّ تَعَذُّرَ الْوُصُولِ إلَى مَالِكِ الْوَدِيعَةِ بِمِثْلِ ذَلِكَ عِنْدَ إرَادَةِ الْمُودِعِ السَّفَرَ بِمَنْزِلَةِ مَا إذَا كَانَ الْمَالِكُ مُسَافِرًا نَقَلَ ذَلِكَ الزَّرْكَشِيُّ وَنَقَلَ الْأَذْرَعِيُّ كَلَامَ الْجَبَلِيِّ ثُمَّ قَالَ: فَإِنْ صَحَّ وَجَبَ تَقْيِيدُ إطْلَاقِ الرَّافِعِيِّ وَغَيْرِهِ بِهِ قَالَ وَالظَّاهِرُ أَنَّهُ لَوْ كَانَ فِي الْبَلَدِ فِي سِجْنِ السُّلْطَانِ وَتَعَذَّرَ الْوُصُولُ إلَيْهِ أَنَّ الْقَاضِيَ يُزَوِّجُ (وَكَذَا الْمَفْقُودُ) الَّذِي لَا يُعْرَفُ مَكَانُهُ وَلَا مَوْتُهُ وَلَا حَيَاتُهُ يُزَوِّجُ عَنْهُ الْقَاضِي لِتَعَذُّرِ نِكَاحِهَا مِنْ جِهَتِهِ فَأَشْبَهَ مَا إذَا عَضَلَ (مَا لَمْ يُحْكَمْ بِمَوْتِهِ) وَإِلَّا زَوَّجَهَا الْأَبْعَدُ (وَلَوْ لَمْ تَثْبُتْ) أَيْ تَقُمْ بَيِّنَةٌ (بِغَيْبَةِ الْوَلِيِّ وَبِالْخُرُوجِ عَنْ النِّكَاحِ وَالْعِدَّةِ) فَإِنَّ الْقَاضِيَ يُزَوِّجُهَا (لَكِنْ يُسْتَحَبُّ ذَلِكَ) أَيْ إقَامَةُ الْبَيِّنَةِ بِذَلِكَ وَلَا يُقْبَلُ فِيهِ إلَّا شَهَادَةُ مُطَّلِعٍ عَلَى بَاطِنِ

Qurratul ‘Ain bi Fatawa Asy-Syaikh Ismail Az-Zain, halaman 167
(Memperbarui akad nikah tidak mengharuskan adanya mahar baru)

Pertanyaan:
Apa pendapatmu tentang seseorang yang memperbarui akad nikahnya? Apakah dia wajib atau disunnahkan untuk memberikan mahar kembali dan mencantumkannya dalam akad baru, baik suami menceraikan istrinya setelah itu atau tidak?

Jawaban:
Dia tidak diwajibkan untuk memberikan mahar baru. Memperbarui akad nikah hanya bertujuan untuk penegasan, dan yang lebih utama adalah meninggalkannya.

Hasyiyah Al-Jamal ‘Ala Syarh Al-Minhaj, jilid 4, halaman 245
Teksnya menyebutkan: “Karena akad kedua tidak disebut sebagai akad secara hakikat, tetapi hanya sebagai bentuk akad.” Ini bertentangan dengan yang tampak dalam kitab Al-Anwar. Hal yang mendukung pendapat ini terdapat dalam kitab Fathul Bari pada ucapan Al-Bukhari, hingga disebutkan: Ibnu Munir berkata bahwa dari hadis ini dapat diambil pelajaran bahwa mengulangi lafaz akad dalam pernikahan atau selainnya bukanlah pembatalan akad yang pertama. Ini berbeda dengan pendapat sebagian Syafi’iyah yang menyatakan sebaliknya. Saya katakan, pendapat yang benar menurut mereka (para ulama Syafi’iyah) adalah bahwa hal itu tidak membatalkan akad, sebagaimana yang diungkapkan oleh mayoritas ulama.

Al-Hawi Al-Kabir, halaman 1226

Bab: Jika wali nikah berada di tempat yang jauh seukuran perjalanan qashar, bukan jarak yang lebih pendek dari itu.

Pasal: Jika wali berada di tempat yang jauh seukuran perjalanan qashar, bukan jarak yang lebih pendek, maka hakim di daerahnya yang menikahkannya, bukan hakim di tempat lain atau hakim di luar daerahnya. Namun, jika jaraknya lebih pendek dari perjalanan qashar, maka hakim tidak boleh menikahkan kecuali setelah meminta izin kepada wali agar dia hadir atau memberikan kuasa, sebagaimana jika wali itu berada di tempat. Namun, jika mustahil untuk menghubunginya karena fitnah atau ketakutan, maka dalam pendapat Imam Al-Jabili yang dinukil dari kitab Al-Hilyah, diperbolehkan bagi hakim untuk menikahkan tanpa meminta izin. Pendapat ini dikuatkan dalam kitab Al-Kifayah dengan ucapan para ulama yang menyatakan bahwa jika mustahil menghubungi pemilik barang titipan dalam kondisi yang sama, maka statusnya seperti ketika pemilik barang tersebut sedang bepergian. Pendapat ini dinukil oleh Az-Zarkasyi, dan Azra’i menukil pendapat Imam Al-Jabili, kemudian beliau berkata: Jika pendapat ini benar, maka harus membatasi pernyataan Imam Ar-Rafi’i dan lainnya dengan pendapat ini.

Beliau melanjutkan: Yang tampak adalah jika wali berada dalam penjara penguasa di daerah tersebut dan mustahil untuk dihubungi, maka hakim boleh menikahkannya. Hal yang sama berlaku bagi wali yang hilang jejaknya, baik tempatnya tidak diketahui maupun tidak diketahui apakah dia masih hidup atau sudah meninggal. Dalam kondisi ini, hakim boleh menikahkan karena mustahilnya menikah dari pihak wali tersebut, seperti halnya dalam kasus wali yang melakukan pemboikotan (‘adhal), selama belum diputuskan kematian wali tersebut. Jika sudah diputuskan kematiannya, maka hak menikahkan berpindah kepada wali yang lebih jauh. Jika tidak ada bukti berupa kesaksian tentang ketidakhadiran wali dan keadaan yang mengharuskan keluarnya perempuan dari akad nikah dan masa iddah, maka hakim boleh menikahkan. Namun, lebih utama untuk menetapkan bukti itu dengan kesaksian langsung.

تحفة المحتاج في شرح المنهاج – (ج ٣٠ / ص ٢٦)
( وَلَوْ غَابَ الْأَقْرَبُ إلَى مَرْحَلَتَيْنِ )

أَوْ أَكْثَرَ وَلَمْ يُحْكَمْ بِمَوْتِهِ وَلَا وَكَّلَ مَنْ يُزَوِّجُ مُوَلِّيَتَهُ إنْ خُطِبَتْ فِي غَيْبَتِهِ ( زَوَّجَ السُّلْطَانُ ) لَا الْأَبْعَدُ وَإِنْ طَالَتْ غَيْبَتُهُ وَجُهِلَ مَحَلُّهُ وَحَيَاتُهُ لِبَقَاءِ أَهْلِيَّةِ الْغَائِبِ وَالْأَصْلُ إبْقَاؤُهَا وَالْأَوْلَى أَنْ يَأْذَنَ لِلْأَبْعَدِ أَوْ يَسْتَأْذِنَه ليخرج من الخلاف

Apabila wali mempelai perempuan yang terdekat sedang pergi pada radius dua marhalah (85 Km) atau lebih, sedang ia belum meninggal dunia atau tidak menyerahkan pernikahan puterinya yang telah dilamar kepada orang lain, maka hakim boleh menikahkannya. Sedangkan wali yang jauh (ab’ad) itu tidak diperbolehkan mengawinkannya, meskipun wali aqrob (yang terdekat) berada di tempat yang sangat jauh dan tidak diketahui tempat tinggalnya dan apakah ia masih hidup atau tidak. Demikian, karena yang berhak menikahkan adalah hakim (Kepala KUA) dan hak bagi wali aqrob masih belum hilang. Namun demikian, yang lebih utama hendaklah hakim meminta izin (konfirmasi) kepada wali ab’ad sebagai solusi dari khilaf ulama’ yang mewajibkan pensyaratan meminta izin.

حاوى الكبير ص.١٢١٨

(وَإِذَا عُدِمَ الْوَلِيُّ وَالْحَاكِمُ) أَيْ عُدِمَا مَعًا كَمَا صَرَّحَ بِهِ فِي الرَّوْضَةِ (فَوَلَّتْ) مَعَ خَاطِبِهَا (أَمْرَهَا) رَجُلًا (مُجْتَهِدًا) لِيُزَوِّجَهَا مِنْهُ (جَازَ) ؛ لِأَنَّهُ مُحَكَّمٌ وَالْمُحَكَّمُ كَالْحَاكِمِ.
(وَكَذَا) لَوْ وَلَّتْ مَعَهُ (عَدْلًا) جَازَ (عَلَى الْمُخْتَارِ) وَإِنْ لَمْ يَكُنْ مُجْتَهِدًا لِشِدَّةِ الْحَاجَةِ إلَى ذَلِكَ وَاشْتِرَاطُهُ كَالرَّوْضَةِ فِي ذَلِكَ عَدَمَ الْحَاكِمِ مَمْنُوعٌ فِي الْأُولَى فَسَيَأْتِي فِي الْقَضَاءِ جَوَازُ التَّحْكِيمِ فِي النِّكَاحِ مَعَ وُجُودِ الْحَاكِمِ وَهُوَ الْمُعْتَمَدُ وَمِنْ ثَمَّ قَالَ الْإِسْنَوِيُّ الصَّحِيحُ جَوَازُهُ سَفْرًا
وَحَضَرًا مَعَ وُجُودِ الْحَاكِمِ وَدُونَهُ. اهـ

.وإن غاب الولي إلى مسافة تقصر فيها الصلاة زوجها السلطان ولم يكن لمن بعده من الأولياء أن يزوج لأن ولاية الغائب باقية ولهذا لو زوجها في مكانه صح العقد وإنما تعذر من جهته فقام السلطان مقامه كما لو حضر وامتنع من تزويجها

Artinya, “Jika wali tidak ada karena jauh sejauh jarak yang membolehkan mengkosor shalat, maka si perempuan boleh dinikahkan oleh (wali hakim). Dan wali yang ada di bawahnya tidak berhak menikahkan. Sebab, hak kewalian masih melekat pada wali yang jauh tadi. Karena itu, seandainya wali jauh tersebut menikahkan di tempatnya, maka akadnya sah. Pasalnya, kesulitan dari dari pihaknya, sehingga digantikan posisinya oleh wali hakim, sebagaimana pula jika ia hadir tetapi tercegah untuk menikahkannya.” (Lihat: Syekh Abu Ishaq asy-Syairazi, al-Muhadzab, [Surabaya: al-Hidayah], juz II/429

Wali Muhakkam

Secara etemologi (bahasa), wali muhakkam merupakan kata majemuk yang terdiri dari dua kata, yaitu wali dan muhakkam. Dalam Lisan al-Arab (juz 15, hal. 405), kata wali satu akar dengan kata wilayah yang menurut Ibnu Atsir berarti mengatur dan menguasai.
Menurut Sibawaih, wilayah juga berarti memerintah (imarah) dan mempersatukan (niqabah). Sedangkan menurut Ibnu as-Sakiit, kata wilayah berarti kekuasaan. Kata wali juga seakar dengan kata walayah, yang menurut Ibnu as-Sakiit berarti menolong (nushrah).
Kata muhakkam merupakan kata benda pasif (isim maf’ul) yang berasal dari kata hakkama-yuhakkimu-tahkiman, yang berarti mengangkat seseorang menjadi hakim dan menyerahkan persoalan hukum kepadanya. Kata muhakkam berarti seseorang yang diangkat sebagai hakim. (Al-Mau’su’at al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, juz 10, hal. 233).
Dalam hal pernikahan, wali muhakkam adalah orang biasa, bukan pejabat hakim resmi, yang ditunjuk oleh seorang perempuan untuk menjadi wali dan menikahkan dirinya dengan seorang lelaki yang telah melamarnya. (Al-Hawi al-Kabir, juz 16, hal. 648).
Pada prinsipnya, diperbolehkan menunjuk seseorang sebagai hakim (tahkim) guna menengahi dua orang atau lebih yang bertikai. Al-Qur’an sendiri menyuruh kita mendamaikan jika terjadi pertikaian di antara sesama mukmin (QS. al-Hujurat: 9-10). Al-Qur’an juga menganjurkan mengangkat penengah (hakam) dari kedua belah pihak, suami dan istri yang sedang bertikai (QS. an-Nisa: 35).
Regulasi Perkawinan
Dalam Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, sama sekali tidak dibahas secara detail tentang siapa dan bagaimana wali nikah. Namun, yang dibahas adalah masalah perwalian dalam konteks pengasuhan anak. Sedangkan, dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), dibahas tentang wali pernikahan.
Menurut Pasal 20 ayat 2 KHI, hanya dikenal dua jenis wali pernikahan, yaitu wali nasab dan wali hakim. Sementara, menurut Pasal 1 poin b, wali hakim jelas adalah petugas resmi yang memang ditunjuk oleh Menteri Agama atau orang yang ditunjuk olehnya.
Begitu pula berdasarkan Peraturan Menteri Agama Nomor 2 Tahun 1987 tentang Wali Hakim, dalam Pasal 1 poin b, disebutkan bahwa wali hakim adalah adalah pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Agama atau pejabat yang ditunjuk olehnya untuk bertindak sebagai wali nikah bagi calon mempelai wanita yang tidak mempunyai wali.
Dalam Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007 pasal 18 ayat 4, lebih spesifik disebutkan bahwa Kepala KUA kecamatan adalah wali hakim apabila calon istri tidak mempunyai wali nasab, wali nasabnya tidak memenuhi syarat, berhalangan atau adhal.
Pembahasan tentang wali muhakkam hanya terdapat dalam buku Pedoman Pegawai Pencatat Nikah (1997: 30). Sekilas dijelaskan bahwa wali muhakkam ialah seorang yang diangkat oleh kedua calon suami istri untuk bertindak sebagai wali dalam akad nikah. Apabila pernikahan yang harus dilaksanakan dengan wali hakim, padahal tidak ada wali hakimnya, maka pernikahan dilangsungkan dengan wali muhakkam.
Jadi Yang dimaksud wali muhakam adalah orang yang diangkat oleh kedua calon mempelai untuk bertindak sebagai wali dalam akad nikah mereka. Apabila suatu pernikahan yang seharusnya dilaksanakan dengan wali hakim, padahal di tempat itu tidak ada wali hakim, atau ada namun masih meminta bayaran, maka pernikahan dilangsungkan dengan cara kedua calon suami Istri mengangkat wali muhakam. Akan tetapi jika masih ada Wali aqrob maupun Wali Ab’ad atau wali Hakim maka tidak boleh mengangkat wali Muhakkam. Alasannya ialah karena didalam Kewalian nikah ada urutannya, atau masih ada Wali hakim tapi dia minta/ mengabil bayaran untuk menikahkan kepada yang bersangkutan maka dalam hal ini boleh kedua mempelai/ Calon pengantin mengangkat Wali Muhakkam dengan Syarat Wali muhakkam yang diangkatnya adalah orang yang merdeka serta adil ,

Referensi :

(تنوير القلوب, ٣١٤ ).
فَإِنْ فُقِدَ الحَاكِمُ أَوْ كَانَ بِأَخْذِ دَرَاهِمَ لَهَا وَقَعَ بِالنِّسْبَةِ لَحَالِ الزَّوْجَيْنِ جَازَ وَلِيَّهُمَا اَنْ يُحَكِّمَا حُرًّا عَدْلاً لِيَعْقِدَلَهُمَا إهـ

Artinya :” Maka apabila di tempat tersebut tidak ada Qadi ( wali hakim, Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan ) yang sah kekuasaannya, atau ada wali hakim , akan tetapi masih meminta uang kepadanya, maka hukumnya boleh keduanya mengangkat orang yang merdeka serta adil untuk mengakad menjadi wali muhakkam .
Referensi:

الباجورى على ابن قاسم .الجزء الثانى .ص. ١٠٦

( قوله ثم الحاكم )
عاما كان أو خاصا كالقاضى والمتولى لعقود الأنكحة أو لهذا العقد بخصوصه فإن فقد الحاكم أو كان يأخذ الدراهيم لها وقع جار للزوجين أن يحكما حرا عدلا ليعقد لهما وإن لم يكن مجتهدا ولو مع وجود المجتهد على ماهو ظاهر إطلاقهم بخلافه مع وجود الحاكم ولو حاكم ضرورة ولم يأخذ الدراهم المذكورة فإنه لايجوز أن يحكما إلا مجتهدا وصيغة التحكيم أن يقولا حكمناك لتعقد لنا النكاح ورضينا بحكمك

التحكيم والتولية

(مسألة: ب ش):
الحال في مسألة التحكيم أن تحكيم المجتهد في غير نحو عقوبة لله تعالى جائز مطلقاً، أي ولو مع وجود القاضي المجتهد، كتحكيم الفقيه غير المجتهد مع فقد القاضي المجتهد، وتحكيم العدل مع قد القاضي أصلاً أو طلبه مالاً وإن قل، لا مع وجوده ولو غير أهل بمسافة العدوى، وكذا فوقها إن شملت ولايته بلد المرأة، بناء على وجوب إحضار الخصم من ذلك الذي رجح الإمام الغزالي والمنهاج وأصله عدمه، ولا بد من لفظ من المحكمين كالزوجين في التحكيم كقول كل: حكمتك لتعقد لي أو في تزويجي، أو أذنت لك فيه، أو زوجني من فلانة أو فلان، وكذا وكلتك على الأصح في نظيره من الإذن للولي، بل يكفي سكوت البكر بعد قوله لها: حكميني أو حكمت فلاناً في تزويجك، ويشترط رضا الخصمين بالمحكم إلى صاحب الحكم لا فقد الولي الخاص، بل يجوز مع غيبته على المعتمد كما اختاره الأذرعي، ولا كون المحكم من أهل بلد المرأة، فلو حكمت امرأة باليمن رجلاً بمكة فزوّجها هناك من خاطبها صح وإن لم تنتقل إليه، نعم هو أولى لأن ولايته عليها ليست مقيدة بمحل، وبه فارق القاضي فإنه لا يزوج إلا من محل ولايته فقط، بل لو قالت: حكَّمتك تزوجني من فلان بمحل كذا لم يتعين إلا إن قالت: ولا تزوِّج في غيره

:(مسألة: ي)
غاب وليها مرحلتين ولم يكن ثم قاض صحيح الولاية بأن يكون عدلاً فقيهاً، أو ولاه ذو شوكة مع علمه بحاله بمسافة القصر حكَّمت هي والزوج عدلاً يقول كل منهما: حكمتك تزوجني من فلانة أو فلان، ولا بد من قبول المحكم على المعتمد ثم تأذن له في تزويجها، ويجوز تحكيم الفقيه العدل ولو مع وجود القاضي كغير الفقيه مع عدمه بمحل المرأة ولو مع وجود فقيه
بغية المسترشدين ص ٢٠٧ – ٢٠٨

 Referensi:

كفاية الأخيار في حل غاية الاختصار — تقي الدين الحصني، صفحة ٣٥٩
`(فرع)

هَذَا التَّرْتِيب الَّذِي ذَكرْنَاهُ فِي الْأَوْلِيَاء مُعْتَبر فِي صِحَة النِّكَاح فَلَا يُزَوّج أحد وَهُنَاكَ من هُوَ أقرب مِنْهُ` لِأَنَّهُ حق مُسْتَحقّ بِالتَّعْصِيبِ فَأشبه الْإِرْث `فَلَو زوج أحد مِنْهُم على خلاف التَّرْتِيب الْمَذْكُور لم يَصح النِّكَاح` وَالله أعلم.

Kifayatul Akhyar karya Taqiyuddin Al-Hishni, halaman 359:

Cabang Pembahasan:
Urutan yang telah kami sebutkan terkait wali nikah dianggap sebagai syarat sahnya pernikahan. Maka, tidak boleh seseorang menikahkan (seorang perempuan) jika di sana ada wali yang lebih dekat daripadanya. Hal ini karena hak wali dalam pernikahan didasarkan pada hubungan kekerabatan yang bersifat ta’shib (garis keturunan laki-laki), sehingga menyerupai hak dalam warisan.

Dengan dapat difahami bahwa jika seseorang menikahkan (seorang perempuan) dengan melanggar urutan wali yang telah disebutkan, maka pernikahannya tidak sah.
Dan Allah Maha Mengetahui.

____________________
الفتوى الشرعية.ص ١٨٣
عقد الزواج اذا ستوفى أركانه وشروطه تحل به المعاشرة بين الزوجين ، وليس من شرائطه الشرعية اثباته كتابة فى وثيقة رسمية ولاغير رسمية، وإنما التوثيق لدى المأذون أو الموظف المختص نظام اجابته اللواح والقوانين الخاصة بالمحاكم الشرعية خشية الجحود وحفظا للحقوق وحذرت من مخالفته لما له من النتائج الخطيرة عند الجحود. والله أعلم بالصواب

Penjelasan tentang Hakim dalam Akad Nikah
(Al-Bajuri, Jilid 2, hlm. 106)
(Kalimat: “Kemudian hakim”)
Hakim dapat berupa hakim umum atau khusus, seperti qadhi (hakim pengadilan), petugas yang bertugas melangsungkan akad nikah secara umum, atau secara khusus untuk akad tertentu.
Apabila hakim tidak ada, atau ada tetapi meminta bayaran untuk melangsungkan akad, maka dibolehkan bagi kedua mempelai untuk menunjuk seorang laki-laki merdeka yang adil untuk menjadi wakil mereka dalam akad nikah, meskipun wali tersebut bukan seorang mujtahid. Hal ini tetap berlaku meskipun terdapat mujtahid di tempat tersebut, sebagaimana yang tampak dalam pernyataan umum para ulama. Namun, berbeda halnya apabila hakim ada, meskipun hanya hakim darurat yang tidak meminta bayaran, maka tidak diperbolehkan menunjuk wali kecuali ia seorang mujtahid.
Adapun bentuk pelimpahan (tahkim) dari kedua mempelai adalah dengan mengucapkan:
“Kami menunjukmu untuk melangsungkan akad nikah bagi kami, dan kami meridhai keputusanmu.”
Tahkim dan Pelimpahan Wewenang
(Masalah, Bughyah al-Mustarsyidin, hlm. 207–208)
Dalam kasus tahkim (penunjukan wali), menunjuk seorang mujtahid untuk menangani masalah selain hudud (hukuman syariat Allah) adalah diperbolehkan secara mutlak, meskipun ada qadhi yang juga mujtahid. Hal ini juga berlaku untuk menunjuk seorang ahli fiqih non-mujtahid ketika qadhi mujtahid tidak ada, atau menunjuk seseorang yang adil ketika qadhi tidak ada sama sekali atau meminta bayaran, meskipun sedikit.
Namun, pelimpahan tersebut tidak berlaku jika qadhi hadir, meskipun ia tidak memenuhi syarat, dalam jarak yang memungkinkan pengaduan sampai kepadanya.

Demikian pula jika jaraknya jauh tetapi masih dalam wilayah yang berada di bawah kewenangan qadhi tersebut. Sebab, menurut Imam al-Ghazali dalam al-Minhaj, menghadirkan pihak yang bersengketa ke hadapan qadhi adalah wajib apabila memungkinkan.
Pelimpahan ini harus disampaikan dengan lafaz yang jelas oleh kedua belah pihak (mempelai), seperti:
“Kami menunjukmu untuk menikahkan saya,”
atau “Kami izinkan kamu untuk menikahkan saya,” atau lafaz serupa. Bahkan cukup dengan diamnya seorang perempuan perawan setelah ia diberitahu:
“Kami menunjukmu.”
Dalam tahkim, yang menjadi syarat adalah kerelaan kedua belah pihak atas penunjukan tersebut. Pelimpahan ini tidak harus dilakukan karena ketiadaan wali khusus, tetapi boleh juga dilakukan jika wali tersebut tidak hadir. Hal ini sesuai dengan pendapat yang dipilih oleh Imam al-Adzra’i.
Selain itu, wakil tidak harus berasal dari tempat perempuan tersebut. Misalnya, seorang perempuan yang berada di Yaman dapat menunjuk seseorang di Makkah untuk menikahkannya di sana. Jika wakil menikahkan perempuan tersebut dengan calon suami di tempat lain, akad tetap sah meskipun perempuan tersebut tidak berpindah ke lokasi tersebut. Namun, lebih baik jika perempuan tersebut hadir langsung untuk mempermudah pelaksanaan akad.
Berbeda dengan hakim, kewenangan seorang hakim hanya berlaku di wilayah tempat ia ditugaskan. Misalnya, jika perempuan berkata, “Kami menunjukmu untuk menikahkanku di tempat tertentu,” maka pelaksanaan akad hanya boleh dilakukan di tempat tersebut, kecuali perempuan memberikan izin untuk dilaksanakan di tempat lain.
(Masalah dari Bughyah al-Mustarsyidin)
Apabila wali perempuan berada pada jarak dua marhalah (kurang lebih 88 km), dan tidak ada qadhi yang memiliki kewenangan sah (adil dan ahli fiqih), atau qadhi tersebut diangkat oleh pihak berkuasa dengan mengetahui kondisi qadhi tersebut, maka perempuan dan calon suaminya boleh menunjuk wali yang adil.
Dalam hal ini, masing-masing pihak harus mengatakan:
“Kami menunjukmu untuk menikahkanku dengan fulan atau fulanah.” Penunjukan ini harus diterima oleh wali tersebut. Setelah itu, wali diberi izin untuk melangsungkan akad nikah.
Menunjuk seorang ahli fiqih yang adil juga diperbolehkan, meskipun ada qadhi di tempat tersebut. Hal ini berlaku di tempat keberadaan perempuan, meskipun di sana ada ahli fiqih lainnya.
Hukum Pencatatan Akad Nikah
(Al-Fatawa al-Syar’iyyah, hlm. 183)
Akad nikah yang telah memenuhi rukun dan syarat-syaratnya secara syar’i menjadikan hubungan suami istri halal. Pencatatan akad nikah dalam dokumen resmi atau tidak resmi bukan merupakan syarat sahnya akad nikah secara syar’i.
Namun, pelaksanaan pencatatan pada pejabat resmi, seperti penghulu atau petugas yang ditunjuk, adalah bagian dari aturan administratif yang diatur oleh peraturan dan undang-undang peradilan syariat. Aturan ini bertujuan untuk menghindari pengingkaran (gugatan) atas akad tersebut dan menjaga hak-hak pihak yang terlibat. Pelanggaran terhadap aturan ini dapat menimbulkan akibat yang serius, terutama jika terjadi pengingkaran.

Kesimpulan:
Dalam Islam, keberadaan wali nasab merupakan syarat sah dalam pernikahan. Wali nasab memiliki peran penting dalam memberikan izin dan mewakili pihak perempuan dalam akad nikah. Namun, dalam kondisi tertentu, seperti tidak adanya wali nasab atau kesulitan untuk menghubunginya, maka dapat diwakilkan kepada wali hakim.
Wali Hakim adalah seorang pejabat yang ditunjuk oleh negara untuk menikahkan seseorang yang tidak memiliki wali nasab atau wali nasabnya tidak dapat ditemukan.
Penting untuk diperhatikan:
Syarat-syarat menjadi wali hakim: Umumnya, wali hakim harus memenuhi syarat-syarat tertentu, seperti beragama Islam, adil, dan memiliki pengetahuan tentang hukum pernikahan.
Prosedur permohonan wali hakim: Proses permohonan wali hakim biasanya melibatkan pengadilan agama. Pasangan yang bersangkutan perlu mengajukan permohonan dan melengkapi persyaratan yang ditentukan.
Saran:
Sebaiknya pasangan tersebut berkonsultasi dengan seorang ulama atau lembaga keagamaan yang terpercaya untuk mendapatkan penjelasan yang lebih detail dan solusi yang sesuai dengan kondisi mereka.
Semoga penjelasan ini bermanfaat.Wallahu A’lam bisshowab

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Slot demo https://mooc.unesa.ac.id/usutoto-4d/ slot online slot online akurat77 Demo Slot Pg Toto 4D https://wiki.clovia.com/ Slot Gacor Gampang Maxwin Slot77 Daun77 Daun77 slot thailand Daun77 slot77 4d Usutoto situs slot gacor Usutoto Usutoto slot toto slot Daun77 Daun77 Daun77 Akurat77 Akurat77 Akurat77 Akurat77 MBAK4D MBAK4D DWV99 DWV138 DWVGAMING METTA4D MBAK4D MBAK4D MBAK4D METTA4D DWV99 DWV99 MBAK4D MBAK4D MBAK4D SLOT RAFFI AHMAD METTA4D https://aekbilah.tapselkab.go.id/toto4d/ https://aekbilah.tapselkab.go.id/spaceman/ METTA4D METTA4D METTA4D demo slot MBAK4D METTA4D MINI1221 https://www.concept2.cz/ https://berlindonerkebab.ca/ togel malaysia sabung ayam online tototogel slot88 MBAK4D MBAK4D DWV138 METTA4D