Hukum Membatalkan Shalat karena Was-was setelah Membaca Al-Fatihah sebagai Imam
Assalamualaikum
Latar Belakang
Shalat adalah ibadah utama dalam Islam yang menjadi pilar kedua dari rukun Islam. Sebagai seorang imam, tanggung jawab yang diemban sangat besar, karena ia tidak hanya mengatur shalatnya sendiri, tetapi juga memimpin jamaah. Salah satu gangguan yang sering dialami seseorang ketika melaksanakan shalat, baik sebagai makmum maupun imam, adalah rasa was-was. Was-was ini bisa muncul karena berbagai sebab, seperti kekhawatiran akan kesempurnaan bacaan, keraguan terhadap niat, atau bahkan hal-hal kecil yang memengaruhi konsentrasi.
Ketika seorang imam mengalami was-was hingga membatalkan shalat setelah membaca Al-Fatihah, hal ini memunculkan pertanyaan hukum. Apakah tindakan ini dibenarkan dalam syariat, mengingat seorang imam memegang tanggung jawab atas jamaah yang dipimpinnya? Hal ini perlu ditinjau berdasarkan dalil-dalil syar’i dan kaidah fikih.
Mohon jawaban
Waalaikum salam
Jawaban/ perjelasan
Dalam konteks seorang imam yang membatalkan shalat setelah membaca Al-Fatihah karena was-was, hukumnya memerlukan perincian berdasarkan sebab dan kondisi yang melatarinya.
1. Jika was-was tanpa adanya bukti misalkan ragu-raju antara keluar angin sedangkan dia tidak menemukan bukti maka dalam hal ini tidak diperbolehkan memutuskan sholat atau berpaling dari sholat bahkan bisa jadi haram, karena dianggap main-main selain itu waswas yang tanpa adanya bukti termasuk bagian dari sempurnanya iman
2 Jika was-was bersifat berat dan tidak dapat dikendalikan: Dalam arti was-was yang dialami imam tersebut adalah dalam bentuk gangguan pikiran yang berat sehingga benar-benar menghalangi konsentrasi dalam shalat (misalnya, merasa ragu terus-menerus mengenai keabsahan wudhu atau niat), sedangkan menemukan bukti misalkan adanya suara kentut ataupun bau, maka membatalkan shalat hukumnya wajib.
Dalam hal ini:
Imam dianjurkan segera memberi tanda kepada makmum untuk menggantikan posisinya (misalnya, dengan mundur atau mengisyaratkan kepada makmum di belakangnya).
3. Konsekuensi membatalkan shalat bagi imam:
Jika imam membatalkan shalat, maka makmum hendaknya menunjuk salah satu di antara mereka untuk menggantikan imam. Hal ini sesuai dengan riwayat bahwa ketika Umar bin Khattab terluka dalam shalat, beliau menunjuk Abdurrahman bin Auf untuk menggantikannya sebagai imam.
Namun, jika tidak ada penggantian imam, maka makmum tetap melanjutkan shalatnya dengan cara niat mufaroqoh atau shalat sendiri-sendiri sesuai kemampuan.
Referensi
Hadits Rasulullah Shallallau alaihi wasallam yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi, Abu Dawud dan lainnya: Beliu bersabda:
مِفْتَاحُ الصَّلاَةِ الطُّهُورُ، وَتَحْرِيمُهَا التَّكْبِيرُ، وَتَحْلِيلُهَا التَّسْلِيمُ
Artinya: “Kuncinya shalat adalah suci, tahrimnya (yang mengharamkan
melakukan apa pun) adalah takbir, dan tahlilnya (yang menghalalkan melakukan apa pun) adalah salam.”
Maksud dari makna takbiratul ihram adalah Mengharamkan Aktivitas di Luar Shalat: Ketika seseorang mengucapkan takbiratul ihram, ia masuk ke dalam status shalat, sehingga berbagai aktivitas seperti makan, minum, berbicara, atau hal-hal yang membatalkan shalat menjadi haram dilakukan.
عن عبد الله بن مسعود رضي الله عنه قال:
سُئِل النبي صلى الله عليه وسلم عن الوسوسة فقال:
“تلك محض الإيمان”
١٣٣ صحيح مسلم
Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata:
Nabi ﷺ pernah ditanya tentang was-was (bisikan hati yang buruk). Beliau bersabda:
“Itu adalah tanda keimanan yang murni.”
(HR. Muslim, No. 133)
التلخيص الحبير” (١/١٢٨)
عَنِ عبد الله اِبْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا; أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: (يَأْتِي أَحَدَكُمُ الشَّيْطَانُ فِي صَلَاتِهِ, فَيَنْفُخُ فِي مَقْعَدَتِهِ فَيُخَيَّلُ إِلَيْهِ أَنَّهُ أَحْدَثَ, وَلَمْ يُحْدِثْ, فَإِذَا وَجَدَ ذَلِكَ فَلَا يَنْصَرِفُ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيحًا) أَخْرَجَهُ اَلْبَزَّار.
فتح الباري شرح البخارى ص ٢٨٦
٢٣٧ حدثنا علي قال حدثنا سفيان الزهري عن سعيد بن المسيب ح وعن عباد بن تميم عن عمه أنَّهُ شَكَا إلى رَسولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ الرَّجُلُ الذي يُخَيَّلُ إلَيْهِ أنَّه يَجِدُ الشَّيْءَ في الصَّلَاةِ؟ فَقالَ: لا يَنْفَتِلْ – أوْ لا يَنْصَرِفْ – حتَّى يَسْمع صَوْتًا أوْ يَجِدَ رِيحًا. رواه البخاري
Hadits dalam kitab At-Talkhish Al-Habir (1/128):
Diriwayatkan dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
“Setan mendatangi salah seorang dari kalian dalam shalatnya, lalu meniup di bagian duburnya sehingga ia mengira telah keluar sesuatu (hadats), padahal ia tidak mengalaminya. Jika ia merasakan hal itu, maka janganlah ia berpaling (keluar dari shalat) hingga ia mendengar suara atau mencium bau.”
(Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bazzar).
Hadits dalam kitab Fathul Bari (hal. 286):
Hadits nomor 237:
Ali berkata: Telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Az-Zuhri, dari Sa’id bin Al-Musayyib, dan dari ‘Ubad bin Tamim, dari pamannya, bahwa ia mengadu kepada Rasulullah ﷺ tentang seseorang yang merasa seolah-olah ada sesuatu yang keluar darinya ketika shalat. Maka Rasulullah ﷺ bersabda:
“Janganlah ia berpaling (keluar dari shalat) hingga ia mendengar suara atau mencium bau.”
(Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bukhari).
Penjelasan
Hadits ini menjadi dasar bagi salah satu kaidah fiqih yang besar, yaitu: “Keyakinan tidak hilang hanya karena keraguan.” Dalam hal ini, Abdullah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu mengadu kepada Nabi ﷺ mengenai seseorang yang merasa seolah-olah ada sesuatu (seperti angin) yang keluar darinya ketika shalat. Nabi ﷺ menjawab bahwa orang tersebut tidak boleh meninggalkan shalatnya hingga ia benar-benar yakin adanya hadats, yaitu jika mendengar suara atau mencium bau.
Hal ini menunjukkan bahwa seseorang yang yakin dalam keadaan suci tidak boleh meninggalkan keyakinannya tersebut hanya karena keraguan. Sebutan mendengar suara atau mencium bau dalam hadits ini adalah contoh kebiasaan umum yang terjadi ketika ada hadats dalam shalat. Adapun hadats lain, seperti kencing, buang air besar, atau bersentuhan, jarang terjadi saat shalat sehingga tidak disebutkan secara eksplisit.
Sebagian ulama juga memahami bahwa maksud mendengar suara atau mencium bau adalah tanda-tanda umum yang bisa dirasakan oleh kebanyakan orang. Jika ada orang yang tidak mendengar suara atau mencium bau akibat gangguan pendengaran atau penciuman, maka standar yang digunakan adalah keyakinan atas terjadinya hadats. Jika seseorang benar-benar yakin telah terjadi hadats, maka wudhunya dianggap batal.
Beberapa Poin Penting dalam Hadits Ini:
1. Prinsip “Yakīn Lā Yazūlu Bi-Sh-Shakk”: Ini adalah prinsip yang sangat penting dalam fiqih, yang berarti bahwa seseorang harus berpegang pada apa yang ia yakini, dan keraguan tidak bisa mengubah keyakinan tersebut. Dalam hal ini, meskipun ada keraguan bahwa seseorang mungkin telah kentut, ia harus melanjutkan shalatnya sampai ia yakin dengan tanda yang jelas (suara atau bau).
2. Wudhu dari Kentut: Hadits ini juga menjadi dasar bahwa seseorang yang kentut dalam shalat perlu berwudhu kembali. Jika seseorang merasa ada keraguan, ia tetap harus melanjutkan shalatnya sampai ada tanda yang jelas bahwa wudhunya batal (baik dengan suara atau bau).
3. Prinsip Dasar dalam Fiqih: Sebagaimana dalam penjelasan hadits ini mengajarkan prinsip dasar dalam fiqih bahwa keraguan tidak menghilangkan keyakinan. Kita harus tetap berpegang pada keyakinan awal kita (misalnya, bahwa shalat masih sah) sampai ada bukti yang jelas yang membatalkannya.
Dengan demikian jika seseorang membatalkan shalat dengan sebab was-was dalam shalat tanpa ada bukti nyata adanya sesuatu yang membatalkan shalat maka hukumnya haram. Karena shalat merupakan aktivitas mulia yang menjadi tujuan penciptaan manusia di dunia. Pembatalan shalat dan ibadah lainnya di tengah jalan tanpa sebab tertentu yang dibenarkan secara syariat merupakan bentuk sikap yang mencederai kehormatan terhadap ibadah itu sendiri sebagaimana keterangan Al-Mausuatul Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah berikut ini:
قَطْعُ الْعِبَادَةِ الْوَاجِبَةِ بَعْدَ الشُّرُوعِ فِيهَا بِلاَ مُسَوِّغٍ شَرْعِيٍّ غَيْرُ جَائِزٍ بِاتِّفَاقِ الْفُقَهَاءِ، لأنَّ قَطْعَهَا بِلاَ مُسَوِّغٍ شَرْعِيٍّ عَبَثٌ يَتَنَافَى مَعَ حُرْمَةِ الْعِبَادَةِ، وَوَرَدَ النَّهْيُ عَنْ إِفْسَادِ الْعِبَادَةِ، قَال تعَالَى: وَلاَ تُبْطِلُوا أَعْمَالَكُمْ، أَمَّا قَطْعُهَا بِمُسَوِّغٍ شَرْعِيٍّ فَمَشْرُوعٌ، فَتُقْطَعُ الصَّلاَةُ لِقَتْل حَيَّةٍ وَنَحْوِهَا لِلأَمْرِ بِقَتْلِهَا، وَخَوْفِ ضَيَاعِ مَالٍ لَهُ قِيمَةٌ لَهُ أَوْ لِغَيْرِهِ، وَلإِغَاثَةِ مَلْهُوفٍ، وَتَنْبِيهِ غَافِلٍ أَوْ نَائِمٍ قَصَدَتْ إِلَيْهِ نَحْوَ حَيَّةٍ، وَلاَ يُمْكِنُ تَنْبِيهُهُ بِتَسْبِيحٍ
Artinya, “Penghentian atau pembatalan ibadah wajib di tengah keberlangsungannya tanpa alasan yang membolehkannya menurut syariat tidak diperkenankan berdasarkan kesepakatan ulama. Penghentian ibadah tanpa alasan yang syari adalah sebentuk main-main yang menafikan kehormatan ibadah. Larangan terkait merusak ibadah disebut dalam Surat Muhammad ayat 33, ‘Jangan kalian membatalkan amal kalian.’ Sedangkan penghentian atau pembatalan ibadah dengan alasan yang membolehkannya secara syar’i diatur memang disyariatkan. Shalat boleh dibatalkan karena ingin membunuh ular atau sejenisnya yang diperintahkan dalam syariat untuk dibunuh, karena khawatir kehilangan harta benda berharga dan harta lainnya, karena menyelamatkan orang yang minta tolong, memperingatkan orang lalai atau orang tidur yang sedang didekati oleh ular dan sejenisnya di mana tidak mungkin mengingatkannya hanya dengan kalimat tasbih,” (Lihat Wizaratul Awqaf was Syu`unul Islamiyyah, Al-Mausu’atul Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, [Kuwait, Darus Safwah: 1997 M/1417 H], cetakan pertama, juz XXXIV, halaman 51). Namun demikian, pada situasi genting atau situasi darurat tertentu shalat atau ibadah lainnya boleh bahkan wajib dibatalkan atau dihentikan seperti situasi di mana seseorang berteriak meminta pertolongan atau mengetahui seseorang tengah mengalami kecelakaan tenggelam di air, dan situasi darurat lainnya.
الفقه الإسلامي وأدلته للزحيلي ج. ص ١٠٥٣-١٠٥٤
مَا تُقْطَعُ الصَّلَاةُ لِأَجْلِهِ: قَدْ يَجِبُ قَطْعُ الصَّلَاةِ لِضَّرُوْرَةِ، وَقَدْ يُبَاحُ لِعُذْرٍ. أَمَّا مَا يَجِبُ قَطْعُ الصَّلَاةِ لَهُ لِضَرُوْرَةٍ فَهُوَ مَا يَأْتِيْ: تُقْطَعُ الصَّلَاةُ وَلَوْ فَرْضًا بِاسْتِغَاثَةِ شَخْصٍ مَلْهُوْفٍ، وَلَوْ لَمْ يَسْتَغِثْ بِالْمُصَلِّيْ بِعَيْنِهِ، كَمَا لَوْ شَاهَدَ إِنْسَاناً وَقَعَ فِي الْماَءِ، أَوْ صَالَ عَلَيْهِ حَيَوَانٌ، أَو اِعْتَدَى عَلَيْهِ ظَالِمٌ، وَهُوَ قَادِرٌ عَلَى إِغَاثَتِهِ. وَلَا يَجِبُ عِنْدَ الْحَنَفِيَّةِ قَطْعُ الصَّلَاةِ بِنِدَاءِ أَحَدِ اْلأَبْوَيْنِ مِنْ غَيْرِ اِسْتِغَاثَةٍ؛ لِأَنَّ قَطْعَ الصَّلَاةِ لَا يَجُوْزُ إِلَّا لِضَرُوْرَةٍ. وَتُقْطَعُ الصّلَاةِ أَيْضاً إِذَا غَلَبَ عَلَى ظَنِّ الْمُصَلِّي خَوْفُ تَرَدِّيِ أَعْمىَ، أَوْ صَغِيْرٍ أَوْ غَيْرِهِمَا فِي بِئْرٍ وَنَحْوِهِ. كَمَا تُقْطَعُ الصَّلَاةُ خَوْفَ انْدِلَاعِ النَّارِ وَاحْتِرَاقِ الْمَتَاعِ وَمُهَاجَمَةِ الذَّئِبِ الْغَنَمِ؛ لَمَّا فِي ذَلِكَ مِنْ إِحْيَاءِ النَّفْسِ أَوِالْمَالِ، وَإمْكَانِ تُدَارِكُ الصَّلَاةُ بَعْدَ قَطْعِهَا، لِأَنَّ أَدَاءَ حَقِّ اللهِ تَعَالَى مَبْنِيٌّ عَلَى الْمُسَامَحَةِ
Fikih Islam dan Dalil-Dalilnya oleh al-Zuhayli, Jilid 5, halaman 1053-1054
Apa yang Membatalkan Shalat Karena Keadaan Darurat:
Shalat bisa dibatalkan karena keadaan darurat, dan bisa juga dibolehkan karena ada alasan tertentu. Adapun yang membatalkan shalat karena darurat adalah sebagai berikut: Shalat harus dihentikan, meskipun itu shalat wajib, apabila ada orang yang meminta pertolongan dalam keadaan darurat, bahkan jika orang tersebut tidak meminta bantuan langsung kepada orang yang sedang shalat. Seperti halnya apabila seseorang melihat orang lain jatuh ke dalam air, atau diserang oleh hewan, atau dizalimi, sementara orang tersebut mampu untuk memberikan pertolongan. Namun, menurut mazhab Hanafi, shalat tidak perlu dibatalkan karena panggilan orang tua tanpa adanya permintaan pertolongan, karena membatalkan shalat hanya dibolehkan karena keadaan darurat.
Shalat juga harus dihentikan jika seorang yang sedang shalat menduga adanya bahaya besar, seperti seorang buta, anak kecil, atau orang lain yang terjatuh ke dalam sumur atau sejenisnya. Selain itu, shalat harus dihentikan karena adanya kekhawatiran akan kebakaran atau kerusakan barang-barang, atau jika serangan serigala terhadap ternak. Hal ini karena menjaga jiwa atau harta lebih penting, dan shalat masih dapat dilanjutkan setelah penghentian apabila keadaan sudah aman, karena kewajiban terhadap hak Allah Ta’ala dilakukan dengan penuh kelonggaran.
Referensi
المغني لابن قدامة الحنبلي:ص.
أن الإمام إذا صلى بالجماعة محدثا, أو جنبا, غير عالم بحدثه , فلم يعلم هو ولا المأمومون , حتى فرغوا من الصلاة , فصلاتهم صحيحة , وصلاة الإمام باطلة. روي ذلك عن عمر , وعثمان , وعلي , وابن عمر رضي الله عنهم , وبه قال الحسن , وسعيد بن جبير , ومالك , والأوزاعي , والشافعي , وسليمان بن حرب , وأبو ثور.
وعن علي أنه يعيد ويعيدون . وبه قال ابن سيرين والشعبي وأبو حنيفة , وأصحابه ; لأنه صلى بهم محدثا , أشبه ما لو علم.
ولنا , إجماع الصحابة رضي الله عنهم , روي أن عمر رضي الله عنه صلى بالناس الصبح , ثم خرج إلى الجرف , فأهرق الماء , فوجد في ثوبه احتلاما , فأعاد ولم يعيدوا وعن محمد بن عمرو بن المصطلق الخزاعي , أن عثمان صلى بالناس صلاة الفجر , فلما أصبح وارتفع النهار فإذا هو بأثر الجنابة . فقال : كبرت والله , كبرت والله , فأعاد الصلاة , ولم يأمرهم أن يعيدوا .
وعن علي , أنه قال : إذا صلى الجنب بالقوم فأتم بهم الصلاة آمره أن يغتسل ويعيد , ولا آمرهم أن يعيدوا . وعن ابن عمر , أنه صلى بهم الغداة , ثم ذكر أنه صلى بغير وضوء , فأعاد ولم يعيدوا . رواه كله الأثرم . وهذا في محل الشهرة , ولم ينقل خلافه , فكان إجماعا.
ولم يثبت ما نقل عن علي في خلافه , وعن البراء بن عازب أن النبي صلى الله عليه وسلم قال : { إذا صلى الجنب بالقوم , أعاد صلاته , وتمت للقوم صلاتهم } . أخرجه أبو سليمان محمد بن الحسن الحراني , في ” جزء ” . ولأن الحدث مما يخفى , ولا سبيل للمأموم إلى معرفته من الإمام , فكان معذورا في الاقتداء به , ويفارق ما إذا كان على الإمام حدث نفسه ; لأنه يكون مستهزئا بالصلاة فاعلا لما لا يحل . وكذلك إن علم المأموم , فإنه لا عذر له في الاقتداء
Referensi: Shalatnya makmum sah jika tidak mengetahui terhadap sebab batalnya shalat imamnya
[المجموع شرح المهذب ٢٥٦/٤]
وَلَا تَجُوزُ الصَّلَاةُ خَلْفَ الْمُحْدِثِ لِأَنَّهُ لَيْسَ مِنْ أَهْلِ الصَّلَاةِ فَإِنْ صَلَّى خَلْفَهُ غَيْرَ الْجُمُعَةِ وَلَمْ يَعْلَمْ ثُمَّ عَلِمَ فَإِنْ كَانَ ذَلِكَ فِي أَثْنَاءِ الصَّلَاةِ نَوَى مُفَارَقَتَهُ وَأَتَمَّ وَإِنْ كَانَ بَعْدَ الْفَرَاغِ لَمْ تَلْزَمْهُ الْإِعَادَةُ لِأَنَّهُ لَيْسَ عَلَى حَدَثِهِ أَمَارَةٌ فَعُذِرَ فِي صَلَاتِهِ خَلْفَهُ
الموسوعة الفقهية – ٣٦٨٤/٣١٩٤٩
ح – السَّلاَمَةُ مِنْ فَقْدِ شَرْطٍ مِنْ شُرُوطِ الصَّلاَةِ:
١٢ – يُشْتَرَطُ فِي الإِْمَامِ السَّلاَمَةُ مِنْ فَقْدِ شَرْطٍ مِنْ شُرُوطِ صِحَّةِ الصَّلاَةِ كَالطَّهَارَةِ مِنْ حَدَثٍ أَوْ خَبَثٍ، فَلاَ تَصِحُّ إِمَامَةُ مُحْدِثٍ وَلاَ مُتَنَجِّسٍ إِذَا كَانَ يَعْلَمُ ذَلِكَ، لأَِنَّهُ أَخَل بِشَرْطٍ مِنْ شُرُوطِ الصَّلاَةِ مَعَ الْقُدْرَةِ عَلَى الإِْتْيَانِ بِهِ، وَلاَ فَرْقَ بَيْنَ الْحَدَثِ الأَْكْبَرِ وَالأَْصْغَرِ، وَلاَ بَيْنَ نَجَاسَةِ الثَّوْبِ وَالْبَدَنِ وَالْمَكَانِ.
وَصَرَّحَ الْمَالِكِيَّةُ وَالشَّافِعِيَّةُ أَنَّ عِلْمَ الْمُقْتَدِي بِحَدَثِ الإِْمَامِ بَعْدَ الصَّلاَةِ مُغْتَفَرٌ، وَقَال الْحَنَفِيَّةُ: مَنِ اقْتَدَى بِإِمَامٍ ثُمَّ عَلِمَ أَنَّ إِمَامَهُ مُحْدِثٌ أَعَادَ لِقَوْل النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ أَمَّ قَوْمًا ثُمَّ ظَهَرَ أَنَّهُ كَانَ مُحْدِثًا أَوْ جُنُبًا أَعَادَ صَلاَتَهُ. (١)
وَفَصَّل الْحَنَابِلَةُ فَقَالُوا: لَوْ جَهِلَهُ الْمَأْمُومُ وَحْدَهُ وَعَلِمَهُ الإِْمَامُ يُعِيدُونَ كُلُّهُمْ، أَمَّا إِذَا جَهِلَهُ الإِْمَامُ وَالْمَأْمُومُونَ كُلُّهُمْ حَتَّى قَضَوُا الصَّلاَةَ صَحَّتْ صَلاَةُ الْمَأْمُومِ وَحْدَهُ (٢) ، لِقَوْلِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِذَا صَلَّى الْجُنُبُ
بِالْقَوْمِ أَعَادَ صَلاَتَهُ وَتَمَّتْ لِلْقَوْمِ صَلاَتُهُمْ. (١) وَتَفْصِيلُهُ فِي مُصْطَلَحِ: (طَهَارَة)
Pendapat dalam Kitab Al-Mughni oleh Ibnu Qudamah (Mazhab Hanbali):
Bahwa apabila imam shalat bersama jamaah dalam keadaan berhadas atau junub tanpa menyadarinya, baik imam maupun makmum tidak mengetahui hingga selesai shalat, maka shalat mereka tetap sah, sedangkan shalat imamnya batal. Pendapat ini diriwayatkan dari Umar, Utsman, Ali, dan Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhum. Juga merupakan pendapat al-Hasan, Sa’id bin Jubair, Malik, al-Awza’i, asy-Syafi’i, Sulaiman bin Harb, dan Abu Tsaur.
Namun, ada pendapat dari Ali bahwa imam harus mengulang shalatnya dan makmum juga harus mengulang. Pendapat ini dipegang oleh Ibnu Sirin, asy-Sya’bi, Abu Hanifah, dan para pengikutnya, dengan alasan bahwa imam yang berhadas shalat seperti halnya orang yang mengetahui keadaannya.
Dalil yang menguatkan pendapat pertama adalah ijma’ para sahabat. Disebutkan bahwa Umar radhiyallahu ‘anhu pernah shalat subuh bersama orang-orang, lalu pergi ke tempat bernama al-Jurf. Ia mendapati ada bekas mimpi basah di pakaiannya, sehingga ia mengulang shalatnya, tetapi tidak memerintahkan makmum untuk mengulang.
Begitu juga kisah Utsman radhiyallahu ‘anhu, yang shalat subuh bersama jamaah, lalu setelah siang hari menemukan bekas junub. Ia berkata: “Aku telah khilaf, aku telah khilaf,” lalu mengulang shalatnya, tetapi tidak memerintahkan jamaah untuk mengulang.
Ali juga berkata: “Apabila seseorang yang junub shalat bersama jamaah, ia harus mandi dan mengulang shalatnya, tetapi aku tidak memerintahkan makmum untuk mengulang.” Ibnu Umar juga pernah shalat subuh bersama jamaah dan kemudian mengingat bahwa ia shalat tanpa wudhu. Ia mengulang shalatnya tetapi tidak memerintahkan jamaah untuk mengulang.
Hadis lain dari al-Barra’ bin Azib menyebutkan bahwa Nabi Muhammad ﷺ bersabda: “Apabila seseorang yang junub shalat bersama jamaah, ia mengulang shalatnya, tetapi jamaah tetap sah shalatnya.” Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Sulaiman Muhammad bin al-Hasan al-Harrani.
Alasan lain adalah bahwa hadas adalah sesuatu yang tersembunyi, dan makmum tidak memiliki cara untuk mengetahuinya pada imam. Oleh karena itu, mereka diberi uzur. Berbeda halnya apabila imam mengetahui keadaannya tetapi tetap shalat, karena itu menunjukkan sikap mempermainkan shalat. Begitu juga jika makmum mengetahui keadaan imam, maka ia tidak memiliki alasan untuk tetap mengikuti imam.
—
Pendapat dari Kitab Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab (Syafi’i):
Tidak sah shalat di belakang imam yang berhadas, karena ia bukan orang yang layak untuk memimpin shalat. Jika shalat di belakangnya selain shalat Jumat, lalu diketahui setelah selesai shalat, maka:
1. Jika diketahui saat masih dalam shalat, makmum berniat memisahkan diri dari imam dan melanjutkan shalatnya.
2. Jika diketahui setelah selesai shalat, maka makmum tidak wajib mengulang shalatnya, karena ia tidak mengetahui tanda-tanda hadas imam dan diberi uzur.
—
Pendapat dari Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah:
1. Disyaratkan bagi imam untuk memenuhi seluruh syarat sah shalat, seperti suci dari hadas dan najis. Apabila imam berhadas atau terkena najis, shalatnya tidak sah.
2. Mazhab Maliki dan Syafi’i menyatakan bahwa jika makmum mengetahui imam berhadas setelah selesai shalat, maka hal ini dimaafkan.
3. Mazhab Hanafi berpendapat bahwa apabila makmum mengetahui imamnya berhadas setelah shalat, maka ia harus mengulang shalatnya, berdasarkan hadis: “Barang siapa memimpin shalat suatu kaum, kemudian diketahui bahwa ia berhadas atau junub, maka ia harus mengulang shalatnya.”
4. Mazhab Hanbali memberikan rincian:
Jika imam mengetahui hadasnya tetapi makmum tidak, maka seluruh jamaah harus mengulang.
Jika baik imam maupun makmum tidak mengetahui hingga selesai shalat, maka shalat makmum tetap sah berdasarkan hadis: “Apabila seseorang yang junub memimpin shalat, ia mengulang shalatnya, tetapi jamaah tetap sah shalatnya.”
Kesimpulan
Dari ibarat keterangan diatas, kita dapat menyimpulkan bahwa pembatalan atau penghentian ibadah tanpa alasan syariat tidak dibenarkan ( haram). Tetapi pada kondisi genting atau situasi darurat tertentu, seseorang dibenarkan bahkan diharuskan menghentikan atau membatalkan shalat atau ibadah lainnya untuk melakukan upaya-upaya penyelamatan termasuk penyelamatan diri sendiri karena Islam sangat menghormati nyawa makhluk hidup, terlebih lagi jiwa manusia.
Sementara imam yang was-was ternyata misalkan ragu-raju tentang wudhu’ nya semisal keluar angin dan terbukti ada bau maka ia wajib membatalkan shalat dan ia wajib memberitahu makmum baik dengan isyarat ataupun lainnya dan boleh makmum mengganti imam atau mufaroqoh.
Wallahu A’lam Bisshawabh