Hukum Pernikahan dan Operasi Steril bagi Pengidap HIV dalam Perspektif Islam
Assalamualaikum
Deskripsi masalah;
Di suatu kota besar, ada seorang laki-laki yang mengidap penyakit HIV karena sering gonta-ganti pasangan, namun laki-laki tersebut telah bertaubat dengan sebenar-benarnya taubat dan dia memperdalam ilmu agama dengan mondok di salah satu pondok pesantren di Jawa. Di saat proses mondoknya, ia bertemu dan mengenal seorang santriwati yang cantik dan baik, hingga tanpa disadari mereka saling jatuh cinta, namun karena laki-laki tersebut sadar kalau dirinya mengidap HIV, laki-laki tersebut menjauhi santriwati yang dicintainya, dan pada akhirnya laki-laki tersebut mengatakan dengan tegas kepada santriwati yang dicintainya, *”Kita tidak mungkin bersama, karena saya mengidap penyakit terkutuk yaitu HIV”*. Si santriwati tersebut terkejut, namun lebih mengejutkan lagi santriwati tersebut mau menerima laki-laki itu apa adanya, hingga akhirnya mereka akan melangsungkan pernikahan dan berkomitmen si santriwati akan melakukan tindakan memutus jalan rahim dengan proses operasi steril dengan tujuan tidak ingin menularkan penyakit tersebut kepada anak cucunya.
`Pertanyaan:`
1. Bagaimana hukum pernikahan tersebut?
2. Bagaimana hukum operasi steril dengan tujuan sebagaimana deskripsi diatas?
3. Bagaimana pandangan ulama tentang orang pengidap penyakit HIV dalam lingkup bersosial?
SĀ’IL: Hamba Allah
Mohon jawaban beserta referensinya
Waalaikum salam
Jawaban:
1. Hukum Pernikahan dengan Orang yang Mengidap HIV
Pernikahan dengan seseorang yang mengidap HIV dalam Islam diperbolehkan, namun ada beberapa ketentuan syariat yang harus diperhatikan. Pada prinsipnya, agama tidak melarang orang yang memiliki penyakit kronis untuk menikah, termasuk pengidap HIV, selama ada kejujuran antara kedua belah pihak mengenai kondisi kesehatan masing-masing dan saling menerima dengan kesadaran penuh. Dalam kasus ini, pengidap HIV telah memberitahu santriwati mengenai kondisinya, dan santriwati tersebut menerima dengan ikhlas. Hal ini sejalan dengan prinsip bahwa rukun dan syarat sahnya nikah dalam Islam tetap dapat terpenuhi, seperti adanya ijab qabul dan ridha antara kedua belah pihak.
Para ulama menyarankan agar pasangan yang terlibat dalam kasus seperti ini berkonsultasi dengan ahli medis terkait risiko penularan dan cara-cara untuk meminimalkan penularan. Di samping itu, keduanya juga disarankan untuk memiliki tekad kuat dalam menjaga kesehatan diri masing-masing dan mematuhi anjuran medis untuk melindungi satu sama lain dari potensi penularan. [1]
2. Hukum Operasi Steril untuk Mencegah Penularan Penyakit
Dalam hukum Islam, tindakan operasi steril yang bertujuan untuk mencegah penularan penyakit bisa jadi diperbolehkan dengan syarat tertentu. Salah satu syaratnya adalah jika terdapat risiko besar bahwa penyakit tersebut akan diwariskan kepada keturunan, dan tidak ada metode pencegahan lain yang lebih aman dan efektif. Beberapa ulama berpendapat bahwa operasi steril dapat diperbolehkan dalam situasi darurat atau dalam rangka mencegah dampak yang lebih buruk (mafsadah) bagi keturunan.
Namun, tindakan ini harus dilakukan dengan izin dari ahli medis yang terpercaya serta niat untuk menghindari mudarat yang lebih besar. Di samping itu, pihak yang bersangkutan hendaknya memperhatikan bahwa dalam Islam, segala tindakan yang mengubah fungsi tubuh harus didasarkan pada prinsip pencegahan kerusakan yang lebih besar, bukan untuk tujuan-tujuan yang tidak syar’i. [2]
3. Pandangan Ulama tentang Orang Pengidap HIV dalam Lingkup Sosial
Orang yang mengidap HIV tidak boleh dikucilkan atau diperlakukan secara diskriminatif dalam Islam. Banyak ulama menekankan pentingnya berperilaku baik kepada sesama manusia dan tidak menstigma mereka karena penyakit yang diderita. Penyakit HIV dapat ditularkan melalui beberapa cara tertentu, sehingga orang yang terinfeksi tetap dapat bersosialisasi dengan orang lain selama mereka menjaga diri dengan baik dan mengikuti pedoman medis.
Selain itu, taubat laki-laki tersebut dan komitmennya untuk mendalami agama merupakan hal yang sangat dihargai dalam Islam. Islam sangat menekankan penerimaan atas taubat dan perubahan sikap seseorang, serta memberikan kesempatan bagi yang bersangkutan untuk berusaha menjadi pribadi yang lebih baik. Sikap masyarakat hendaknya lebih bersifat suportif dan membantu pengidap HIV untuk tetap bisa menjalani kehidupan dengan penuh makna dan pengembangan spiritual.
Dalam konteks bersosial, pengidap HIV dapat berinteraksi dengan normal, namun dengan tetap mematuhi anjuran kesehatan untuk meminimalkan risiko penularan. Ini sejalan dengan prinsip Islam untuk saling menjaga dan memberikan hak sesama manusia, termasuk hak atas kesehatan dan hak untuk hidup bermasyarakat. [3]
Referensi:
1. As-Syarbini, Mughni al-Muhtaj, Juz 3, hlm. 136.
“ولا يمنع من نكاحه، إذا رضي به الطرف الآخر وعلم حاله، إذ الغرض من النكاح قد يحصل، فيجوز الزواج منه ما دام لا ضرر كبير متوقع.”
Artinya: Tidak ada larangan menikahi seseorang apabila pihak lain rela dan mengetahui keadaannya, sebab tujuan dari pernikahan mungkin tercapai, dan pernikahan boleh dilakukan selama tidak ada bahaya besar yang diantisipasi.
المجموع شرح المهذب المكتبة الشاملة
ص٣٥٧٢/١٦٥٣
(فرع)
قال في الاملاء: إذا علم بالعيب حال العقد فلا خيار له لانه عيب رضى به فلم يكن له الفسخ لاجله، كما لو اشترى شيئا معيبا مع العلم بعيبه.
فإن أصاب أحد الزوجين بالآخر عيبا فرضى به سقط حقه من الفسخ لاجله، فإن وجد عيبا غيره بعد ذلك ثبت له الفسخ لاجله لانه لم يرض به، وإن زاد العيب الذى رآه ورضى به نظرت، فإن حدث في موضع آخر بأن رأى البرص والجذام في موضع من البدن فرضى به، ثم حدث البرص في موضع آخر من البدن كان له الخيار في الفسخ، لان هذا غير الذى رضى به، وإن اتسع ذلك الموضع الذى رضى به لم يثبت له الخيار لاجله، لان رضاه به رضاه بما تولد منه
(Cabang)
Dikatakan dalam al-Imlā’ (Penulisan): Jika seseorang mengetahui adanya cacat pada saat akad, ( akad nikah ) maka ia tidak memiliki hak untuk membatalkan akad (fasakh nikah ) karena cacat tersebut telah disetujui olehnya, seperti halnya jika seseorang membeli barang yang cacat dengan mengetahui cacatnya.
Jika salah satu pasangan mengetahui cacat pada pasangan lainnya dan menyetujuinya, maka hak untuk membatalkan akad karena cacat tersebut hilang. Namun, jika kemudian ditemukan cacat lain yang belum disetujui, maka pasangan tersebut berhak untuk membatalkan akad karena cacat baru ini, karena ia belum menyetujuinya.
Jika cacat yang sudah disetujui oleh salah satu pasangan bertambah, maka harus dilihat. Jika cacat tersebut muncul di bagian tubuh lain, misalnya seseorang melihat adanya penyakit kulit seperti kurap atau kusta pada bagian tubuh tertentu dan menyetujuinya, tetapi kemudian muncul penyakit yang sama di bagian tubuh lain, maka pasangan tersebut memiliki hak untuk membatalkan akad, karena ini adalah cacat yang berbeda dari yang sebelumnya disetujui. Namun, jika cacat yang sudah ada meluas pada bagian tubuh yang sama yang telah disetujui, maka tidak ada hak untuk membatalkan akad, karena persetujuan tersebut mencakup perkembangan atau perluasan cacat tersebut.
2. Al-Bahuti, Kasysyaf al-Qina’, Juz 5, hlm. 214.
“يجوز إجراء عملية التعقيم عند الضرورة كحالة مرض معدٍ ينتقل إلى الذرية، وذلك لدرء مفسدة أكبر، بشرط ألا يوجد طريق آخر أخف منه ضررا.”
Artinya: Diperbolehkan melakukan operasi steril dalam keadaan darurat, seperti pada kasus penyakit menular yang bisa diturunkan kepada keturunan, untuk mencegah kerusakan yang lebih besar, dengan syarat tidak ada cara lain yang risikonya lebih ringan.
3. Fatwa Lajnah Daimah (Arab Saudi), No. 23416
“ينبغي على المسلم أن لا يعزل المصابين بالأمراض المعدية، وأن يتعامل معهم بالحسنى، مع اتخاذ التدابير اللازمة للوقاية من العدوى.”
Artinya: Seorang Muslim seharusnya tidak mengucilkan orang-orang yang terkena penyakit menular dan harus bersikap baik kepada mereka, dengan tetap mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mencegah penularan.
من خلال الشرح السابق حول
الزواج في حالة معرفة الزوجة المستقبلية بوجود عيب في الزوج المستقبلي، خاصة فيما يتعلق بمرض الإيدز:
بشكل عام، في الإسلام، يكون الزواج الذي يقوم على الرضا المتبادل بين الطرفين صحيحًا. إذا كانت الزوجة المستقبلية تعرف بالعيب الجسدي أو المرض الذي يعاني منه الزوج المستقبلي، لكنها لا تزال موافقة على الزواج منه، فإن الزواج يمكن أن يستمر. هذا يُظهر الرضا والتقبل من طرف الزوجة لحالة الزوج.
ومع ذلك، هناك بعض الأمور الهامة التي يجب أخذها في الاعتبار في هذه الحالة:
الأمراض المنقولة جنسياً (مثل الإيدز):
واجب الإفصاح: يجب على الزوج المستقبلي أن يُعلم حالته الصحية، بما في ذلك إذا كان مصابًا بالإيدز، للزوجة المستقبلية قبل الزواج. هذا الإفصاح مهم لكي تتمكن الزوجة من اتخاذ القرار الصائب.
خطر انتقال العدوى: على الرغم من أن الزواج قد يستمر، يجب أن تفهم الزوجة المستقبلية خطر انتقال الإيدز وتتخذ التدابير الوقائية المناسبة.
صحة المجتمع: في سياق الصحة العامة، من المهم إجراء فحص الإيدز قبل الزواج لتجنب انتشار المرض.
الجوانب القانونية:
القانون الإسلامي: يُؤكد القانون الإسلامي على أهمية الصدق والشفافية في الزواج. الإفصاح عن الحالة الصحية يعد جزءًا من هذه الشفافية.
القانون الوضعي: في العديد من الدول، بما في ذلك إندونيسيا، هناك قوانين تنظم الزواج بما في ذلك شروط الصحة. من الأفضل استشارة الجهات المختصة لمعرفة القوانين المطبقة في منطقتك.
الخلاصة: إذا كانت الزوجة المستقبلية على علم بحالة الإيدز لدى الزوج المستقبلي وكانت موافقة على الزواج، فإن الزواج يمكن أن يستمر من حيث المبدأ. ومع ذلك، من المهم أن يفهم الطرفان عواقب هذا الزواج من النواحي الصحية والقانونية.
النصائح:
استشارة المختصين: يجب على كل من الزوجين المستقبليين وأسرهم استشارة علماء الدين، الأطباء، والخبراء القانونيين للحصول على نصيحة شاملة.
التحضير النفسي: يجب على كلا الطرفين التحضير نفسيًا لمواجهة التحديات التي قد تنشأ نتيجة لهذه الحالة.
الوقاية: من المهم اتخاذ التدابير الوقائية لمنع انتقال الإيدز سواء قبل أو بعد الزواج.
من المهم أن نتذكر أن كل حالة لها سياق مختلف. لذلك، يُنصح بشدة بالبحث عن الحلول الأفضل للطرفين مع مراعاة الجوانب الدينية والقانونية والصحية.والله أعلم بالصواب
Dari penjelasan diatas mengenai pernikahan dalam kondisi calon istri mengetahui cacat calon suami, khususnya terkait penyakit HIV.
Secara umum, dalam Islam, pernikahan yang didasari atas kerelaan kedua belah pihak adalah sah. Jika seorang calon istri mengetahui cacat fisik atau penyakit yang diderita calon suaminya, namun tetap bersedia menikahinya, maka pernikahan tersebut dapat dilanjutkan. Hal ini menunjukkan adanya kerelaan dan penerimaan dari pihak istri terhadap kondisi suaminya.
Namun, ada beberapa hal penting yang perlu diperhatikan dalam kasus ini:
✅ Penyakit Menular Seksual (PMS) seperti HIV:
☑️ Kewajiban Pengungkapan: Calon suami memiliki kewajiban untuk memberitahukan kondisi kesehatannya, termasuk jika ia mengidap HIV, kepada calon istrinya sebelum pernikahan. Pengungkapan ini penting agar calon istri dapat membuat keputusan yang tepat.
✅Risiko Penularan: Meskipun pernikahan dapat dilanjutkan, calon istri perlu memahami risiko penularan HIV dan mengambil langkah-langkah pencegahan yang sesuai.
✅ Kesehatan Masyarakat: Dalam konteks kesehatan masyarakat, penting untuk melakukan tes HIV sebelum menikah agar dapat mencegah penyebaran penyakit lebih lanjut.
- Aspek Hukum:
✅ Hukum Islam: Hukum Islam menekankan pentingnya kejujuran dan keterbukaan dalam pernikahan. Pengungkapan kondisi kesehatan merupakan bagian dari kejujuran tersebut.
✅ Hukum Positif: Di berbagai negara, termasuk Indonesia, terdapat peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pernikahan, termasuk persyaratan kesehatan. Ada baiknya untuk berkonsultasi dengan pihak berwenang untuk mengetahui peraturan yang berlaku di wilayah Anda.
Kesimpulan
Jika calon istri telah mengetahui kondisi HIV calon suaminya dan tetap bersedia menikahinya, maka secara prinsip pernikahan tersebut dapat dilanjutkan. Namun, penting bagi kedua belah pihak untuk memahami konsekuensi dari pernikahan tersebut, baik dari segi kesehatan maupun aspek hukum.
Saran:
✅ Konsultasi dengan Ahli: Baik calon pengantin maupun keluarga sebaiknya berkonsultasi dengan ahli agama, dokter, dan ahli hukum untuk mendapatkan nasihat yang komprehensif.
✅Persiapan Mental: Kedua belah pihak perlu mempersiapkan diri secara mental untuk menghadapi tantangan yang mungkin timbul akibat kondisi ini.
✅Pencegahan: Pengambilan tindakan pencegahan untuk mencegah penularan HIV sangat penting, baik sebelum maupun setelah pernikahan.
Penting untuk diingat: Setiap kasus memiliki konteks yang berbeda. Oleh karena itu, sangat disarankan untuk mencari solusi yang terbaik bagi kedua belah pihak dengan mempertimbangkan aspek agama, hukum, dan kesehatan.Wallahu A’lam bisshowab