HUKUM MENERIMA DANA HIBAH DARI GEREJA UNTUK PENELITIAN KEISLAMAN

Hukum Menerima Dana Hibah dari Gereja untuk Penelitian Keislaman

 

Deskripsi Masalah

 

Persepuluhan adalah praktik yang umum dilakukan oleh umat Kristiani, di mana 10% dari penghasilan mereka disumbangkan kepada gereja sebagai ungkapan syukur kepada Tuhan. Dana yang terkumpul dari persepuluhan ini dikelola oleh gereja untuk berbagai kepentingan, termasuk kegiatan keagamaan, sosial, dan akademik. Dalam konteks keagamaan, dana ini digunakan untuk mendukung pekerjaan keimaman, sementara dalam kegiatan sosial, dana tersebut digunakan untuk membantu masyarakat yang membutuhkan. Sedangkan dalam bidang akademik, dana gereja sering dialokasikan untuk mendukung program pendidikan dan penelitian, yang tidak terbatas hanya pada umat Kristiani, tetapi juga terbuka untuk masyarakat umum.

 

Topik penelitian yang dibiayai oleh dana gereja ini cukup beragam, meliputi isu-isu seperti perdamaian, lingkungan, sains, dan bahkan tema-tema keislaman. Hal ini membuat berbagai kalangan, termasuk dosen dan mahasiswa dari berbagai agama, tertarik untuk mengakses dana ini sebagai bagian dari pelaksanaan Tri Dharma perguruan tinggi.

 

Pertanyaan

 

1. Bagaimana pandangan Islam mengenai seorang muslim yang menerima dana hibah penelitian dari gereja?

2. Secara khusus, bagaimana hukum menerima hibah tersebut apabila topik penelitian yang diusulkan adalah tentang kajian keislaman?

Waalaikum salam.

Jawaban kami satukan

Pandangan Islam mengenai seorang muslim yang menerima dana hibah penelitian dari gereja:

Dalam Islam, menerima dana dari non-muslim termasuk gereja dibolehkan selama dana tersebut berasal dari sumber halal, tidak disertai syarat yang bertentangan dengan ajaran Islam, dan tidak mengancam aqidah penerimanya. Hal ini diperbolehkan jika tujuannya untuk kemaslahatan umum dan tidak ada unsur yang dapat merusak iman atau akhlak​​ sebagai bentuk penghormatan kepada mereka non muslim karena Nabi Muhammad SAW pernah menerima pemberian dari non Muslim.

Untuk lebih jelasnya maka penting kami jelaskan tentang definisi hadiyah atau hibah dan hukumnya menurut Imam madzhab yang empat sebagaimana berikut:

الموسوعة الفقهية الكويتية.ص ٢٧٩٢٣-٢٧٩٢٩

هَدِيَّةٌ

التَّعْرِيفُ:

أ – الْهَدِيَّةُ فِي اللُّغَةِ: هِيَ الْمَال الَّذِي أُتْحِفَ وَأُهْدِيَ لأَِحَدٍ إِكْرَامًا لَهُ، يُقَال: أَهْدَيْتُ لِلرَّجُل كَذَا: بَعَثْتُ بِهِ إِلَيْهِ إِكْرَامًا، فَالْمَال هَدِيَّةٌ

وَاصْطِلاَحًا عَرَّفَهَا الْحَنَفِيَّةُ بِأَنَّهَا: تَمْلِيكُ عَيْنٍ مَجَّانًا.

وَعَرَّفَهَا الْمَالِكِيَّةُ بِأَنَّهَا: تَمْلِيكُ مَنْ لَهُ التَّبَرُّعُ ذَاتًا تُنْقَل شَرْعًا بِلاَ عِوَضٍ لأَِهْلٍ أَوْ مَا يَدُل عَلَى التَّمْلِيكِ.

وَعَرَّفَهَا الشَّافِعِيَّةُ بِأَنَّهَا: تَمْلِيكُ عَيْنٍ بِلاَ عِوَضٍ مَعَ النَّقْل إِلَى مَكَانِ الْمَوْهُوبِ لَهُ إِكْرَامًا.

وَعَرَّفَهَا الْحَنَابِلَةُ بِأَنَّهَا: تَمْلِيكٌ فِي الْحَيَاةِ بِغَيْرِ عِوَضٍ

 

Hadiah

Definisi:

A. Hadiah dalam bahasa: Harta yang diberikan sebagai penghormatan kepada seseorang, dikatakan: “Aku memberikan hadiah kepada seseorang,” artinya mengirimkan sesuatu kepadanya sebagai bentuk penghormatan. Maka, harta tersebut disebut hadiah.

Dalam istilah:

Hanafiyah mendefinisikannya sebagai: “Pemilikan suatu benda secara cuma-cuma.”

Malikiyah mendefinisikannya sebagai: “Pemilikan oleh seseorang yang memiliki wewenang untuk memberi secara sukarela, berupa sesuatu yang dapat dipindahkan secara syar’i tanpa adanya pengganti (imbalan) kepada keluarga atau sesuatu yang menunjukkan kepemilikan.”

Syafi’iyah mendefinisikannya sebagai: “Pemilikan suatu benda tanpa pengganti dengan memindahkannya ke tempat penerima sebagai bentuk penghormatan.”

Hanabilah mendefinisikannya sebagai: “Pemilikan dalam kehidupan tanpa pengganti.”

 ألْفَاظُ ذَاتُ الصِّلَةِ

الْهِبَةُ

ب – الْهِبَةُ فِي اللُّغَةِ: مِنَ الْفِعْل وَهَبَ، يُقَال: وَهَبْتُ لِزَيْدٍ مَالاً أَهَبُهُ لَهُ هِبَةً: أَعْطَيْتُهُ بِلاَ عِوَضٍ

وَهِيَ فِي الاِصْطِلاَحِ: تَمْلِيكُ عَيْنٍ بِلاَ عِوَضٍ .

فَالْهِبَةُ وَالْهَدِيَّةُ وَالصَّدَقَةُ أَنْوَاعٌ مِنَ الْبِرِّ يَجْمَعُهَا تَمْلِيكُ الْعَيْنِ بِلاَ عِوَضٍ، فَإِنْ مَلَّكَ مُحْتَاجًا لِطَلَبِ ثَوَابِ الآْخِرَةِ فَهِيَ صَدَقَةٌ، وَإِنْ نَقَلَهَا إِلَى مَكَانِ الْمَوْهُوبِ لَهُ إِكْرَامًا لَهُ فَهَدِيَّةٌ، وَإِنْ مَلَّكَهُ بِدُونِ طَلَبِ الثَّوَابِ وَلَمْ يَنْقُل إِلَى مَكَانِ الْمَوْهُوبِ لَهُ فَهِبَةٌ مَحْضَةٌ.

وَالصِّلَةُ أَنَّ الْهِبَةَ أَعَمُّ مِنَ الْهَدِيَّةِ وَالصَّدَقَةِ، فَكُلٌّ مِنَ الْهَدِيَّةِ وَالصَّدَقَةِ هِبَةٌ وَلاَ عَكْسَ

Lafaz yang Berkaitan:

Hibah:

B. Hibah dalam bahasa: berasal dari kata kerja “wahaba”, dikatakan: “Aku memberi Zaid harta sebagai hibah,” yang berarti memberikannya tanpa pengganti (imbalan).

Dalam istilah: hibah adalah “Pemilikan suatu benda tanpa imbalan.”

Maka, hibah, hadiah, dan sedekah adalah jenis-jenis kebaikan yang kesemuanya mengandung pemilikan suatu benda tanpa pengganti. Jika diberikan kepada orang yang membutuhkan dengan tujuan memperoleh pahala akhirat, maka disebut sedekah. Jika dipindahkan ke tempat penerima sebagai penghormatan, maka disebut hadiah. Jika diberikan tanpa mengharapkan pahala dan tidak dipindahkan ke tempat penerima, maka disebut hibah murni.

Hubungannya adalah bahwa hibah lebih umum daripada hadiah dan sedekah. Jadi, setiap hadiah dan sedekah adalah hibah, tetapi tidak sebaliknya.

مَشْرُوعِيَّةُ الْهَدِيَّةِ:

– لاَ خِلاَفَ بَيْنِ الْفُقَهَاءِ فِي مَشْرُوعِيَّةِ الْهَدِيَّةِ، بَل وَلاَ خِلاَفَ فِي اسْتِحْبَابِهَا فِي الأَْصْل إِلاَّ لِعَارِضٍ، وَدَلِيل مَشْرُوعِيَّتِهَا الْكِتَابُ وَالسُّنَّةُ الْمُطَهَّرَةُ وَإِجْمَاعُ الْمُسْلِمِينَ.

فَمِنَ الْكِتَابِ قَوْلُهُ تَعَالَى: {فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا (١) } ، وَقَوْلُهُ عَزَّ مِنْ قَائِلٍ: {وَآتَى الْمَال عَلَى حُبِّهِ ذَوِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى (٢) } الآْيَةَ. وَمِنَ السُّنَّةِ الْقَوْلِيَّةِ قَوْلُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: يَا نِسَاءَ الْمُسْلِمَاتِ، لاَ تَحْقِرَنَّ جَارَةٌ لِجَارَتِهَا وَلَوْ فِرْسِنَ شَاةٍ ، وَقَوْلُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَوْ دُعِيتُ إِلَى ذِرَاعٍ أَوْ كُرَاعٍ لأََجَبْتُ، وَلَوْ أُهْدِيَ إِلَيَّ ذِرَاعٌ أَوْ كُرَاعٌ لَقَبِلْتُ ، وَخَبَرُ: كَانَ رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْبَل الْهَدِيَّةَ وَيُثِيبُ عَلَيْهَا وَقَال عَلَيْهِ الصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ: تَهَادُوا تَحَابُّوا .

Disyariatkannya Hadiah

Tidak ada perbedaan pendapat di antara para ulama mengenai disyariatkannya memberikan hadiah. Bahkan, tidak ada perbedaan dalam menganjurkannya secara umum kecuali jika ada alasan tertentu. Dalil disyariatkannya hadiah terdapat dalam Al-Qur’an, Sunnah yang suci, dan ijma’ (kesepakatan) kaum muslimin.

Dalil dari Al-Qur’an: Firman Allah Ta’ala, “Jika mereka rela memberikan sebagian dari mahar itu kepadamu, maka terimalah dengan senang hati dan penuh kebahagiaan” . Dan firman-Nya yang mulia, “Dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat dan anak-anak yatim” .

Dalil dari Sunnah Qauliyah (sabda Nabi): Nabi Muhammad SAW bersabda, “Wahai para wanita muslimah, janganlah seorang tetangga meremehkan pemberian kepada tetangganya walaupun hanya sepotong kaki kambing” . Beliau juga bersabda, “Jika aku diundang untuk makan daging atau kaki kambing, niscaya aku akan memenuhi undangan tersebut. Dan jika aku diberi hadiah daging atau kaki kambing, niscaya aku akan menerimanya” . Dan diriwayatkan pula bahwa Rasulullah SAW menerima hadiah dan membalasnya . Beliau juga bersabda, “Berilah hadiah, maka kalian akan saling mencintai” .

Dalil dari Sunnah Amaliyah (perbuatan Nabi): Rasulullah SAW menerima hadiah.

وَمِنَ السُّنَّةِ الْعَمَلِيَّةِ: قَبُولُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَدِيَّةَ

لْمُقَوْقِسِ الْكَافِرِ ، وَقَبُولُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَدِيَّةَ النَّجَاشِيِّ الْمُسْلِمِ وَتَصَرُّفُهُ فِيهَا وَمُهَادَاتُهُ

وَأَجْمَعَتِ الأُْمَّةُ عَلَى مَشْرُوعِيَّتِهَا وَاسْتِحْبَابِهَا. وَصَرْفُهَا إِلَى الْجِيرَانِ وَالأَْقَارِبِ أَفْضَل مِنْهُ إِلَى غَيْرِهِمْ.

وَلاَ يَحْتَقِرُ الْمُهْدِي وَالْمُهْدَى إِلَيْهِ الْقَلِيل، فَيَمْتَنِعُ الأَْوَّل مِنْ إِهْدَائِهِ، وَالثَّانِي مِنْ قَبُولِهِ؟ لِلْخَبَرِ الْمُتَقَدِّمِ .

Dalil dari Sunnah Amaliyah (Perbuatan Nabi)

Rasulullah SAW menerima hadiah dari Muqawqis yang merupakan seorang kafir dan juga menerima hadiah dari Najasyi, seorang muslim, serta mempergunakannya dan saling bertukar hadiah dengannya .

Ijma’ (kesepakatan) umat juga menunjukkan bahwa hadiah disyariatkan dan dianjurkan. Memberikan hadiah kepada tetangga dan kerabat lebih utama daripada kepada orang lain.

Tidak sepantasnya pemberi dan penerima hadiah meremehkan hadiah yang sedikit, sehingga pemberi menahan diri dari memberi dan penerima enggan menerimanya, sebagaimana disebutkan dalam hadis sebelumnya .

عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: كَانَتْ قِبْطِيَّةٌ تُهْدِي لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنَ الشَّامِ، يَكُونُ لَهَا أَطْيَبُ شَيْءٍ، فَيُحِبُّهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَكَانَ يَقُولُ لِلنَّاسِ: “مَنْ أَكَلَ مِنْهُ فَلَا يُبْدِلُهُ عَلَى غَيْرِهِ”.

Hadits ini diriwayatkan dalam Sahih al-Bukhari.

Nabi Muhammad SAW menerima hadiah dari non-Muslim.

Dalam riwayat Abu Hurairah RA:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: «أَهْدَى مُقَوْقِسُ مَلِكُ مِصْرَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَارِيَةً تُدْعَى مَارِيَةَ وَأَخَاهَا، وَبَغْلَةً تُدْعَى دُلْدُلًا، وَحُلَّةً».

“Al-Muqawqis, Raja Mesir, mengirimkan hadiah kepada Rasulullah SAW berupa seorang budak wanita bernama Mariyah dan saudara lelakinya, seekor baghal bernama Duldul, dan sebuah pakaian.” (HR. Muslim)

. Riwayat tentang Nabi SAW menerima hadiah dari Raja Heraclius:

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: «كَانَ كِسْرَى وَقَيْصَرُ يُهْدِيَانِ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَيَقْبَلُهَا».

“Kisra dan Kaisar biasa memberi hadiah kepada Nabi SAW, dan beliau menerimanya.” (HR. Al-Bukhari)

Riwayat-riwayat ini menunjukkan bahwa Nabi SAW menerima hadiah dari penguasa non-Muslim, sebagai bagian dari hubungan baik tanpa memandang perbedaan agama.

فتح الباري ٤/٤١٠ :

قوله : ( باب الشراء والبيع مع المشركين وأهل الحرب ) قال ابن بطال : معاملة الكفار جائزة ، [ ص: 479 ] إلا بيع ما يستعين به أهل الحرب على المسلمين . واختلف العلماء في مبايعة من غالب ماله الحرام ، وحجة من رخص فيه قوله – صلى الله عليه وسلم – للمشرك : ” أبيعا أم هبة ” ؟

*وفيه جواز بيع الكافر وإثبات ملكه على ما في يده ، وجواز قبول الهدية منه*

Ibnu Batthol berkata : ” Melakukan muamalah dengan orang kafir hukum nya boleh kecuali menjual perkara yang digunakan oleh kaum musyrik untuk memerangi kaum muslim. Dan ulama berbeda pendapat tentang hukum jual beli dengan orang yang hartanya secara umum dari penghasilan haram, Adapun dalil orang yang memperbolehkan nya ( karena ada ruhshoh dalam hal tersebut) adalah sabda Rosulullah yang bertanya kepada orang musyrik : ” Ini jual beli atau pemberian?.” Dalam hadits tersebut mengandung hukum kebolehan melakukan jual beli dengan orang kafir, dan tetap nya kepemilikan kafir atas harta yang ada ditangan nya, serta hukum kebolehan menerima hadiah dari orang kafir

Kesimpulan

Berdasarkan pemaparan di atas, Islam memperbolehkan seorang Muslim menerima hibah atau hadiah dari non-Muslim, termasuk dana penelitian dari gereja, selama dana tersebut bersumber dari sesuatu yang halal, tidak disertai syarat yang melanggar ajaran Islam, dan tidak membahayakan aqidah. Penggunaan dana tersebut diperbolehkan jika bertujuan untuk kebaikan bersama dan tidak ada unsur yang merusak iman atau akhlak. Dalam hal ini, hibah, hadiah, dan sedekah pada dasarnya adalah bentuk kebaikan yang sah untuk diterima dan digunakan.

Nabi Muhammad SAW pun tercatat pernah menerima hadiah dari non-Muslim seperti Muqawqis. Bahkan dalam syariat, hadiah dianjurkan dan diyakini dapat mempererat hubungan sosial, seperti yang disabdakan Nabi, “Berilah hadiah, maka kalian akan saling mencintai.” Hal ini menunjukkan bahwa penerimaan hibah bukanlah tindakan tercela jika dimanfaatkan untuk hal-hal yang baik dan tidak menimbulkan konflik dengan prinsip-prinsip Islam.

Secara khusus, jika topik penelitian yang dibiayai dana tersebut adalah tentang kajian keislaman, hukumnya tetap diperbolehkan selama tidak ada unsur yang bertentangan dengan ajaran Islam dalam pelaksanaannya. Bimbingan yang ketat dari pihak penerima dana diperlukan untuk memastikan penelitian tersebut membawa manfaat tanpa mengorbankan prinsip aqidah dan akhlak Islam. Wallahu a’lam bishawab

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *