KOREKSI PENGUCAPAN HURUF DĀD DALAM SURAT FATIHAH IMPLIKASI MAKNA,HUKUM TAJWID DAN KEABSAHAN SHALAT

Koreksi Pengucapan Huruf ‘Ḍād’ dalam Surat Al-Fatihah: Implikasi Makna, Hukum Tajwid, dan Keabsahan Shalat

Deskripsi Masalah:
Dalam pelaksanaan shalat, surat Al-Fatihah memiliki kedudukan penting sebagai salah satu rukun yang harus dibaca. Namun, seringkali terjadi kesalahan pengucapan dalam lafadz المغضوب, khususnya pada huruf ض (Ḍād). Hal itu terjadi ketika shalat dilaksanakan secara berjamaah yang mana seorang Imam membaca huruf ض tersebut dibaca dengan  pendek. Dalam kondisi bacaan salah (Dhodl dibaca pendek ) didengar oleh makmum ketika shalat  isya’ sampai dua kali sehingga menimbulkan pertanyaan terkait pengaruhnya terhadap makna, hukum tajwid, dan keabsahan shalat.

Pertanyaan:

1. Apakah pengucapan huruf ض yang pendek merubah makna lafadz المغضوب?

2. Bagaimana hukum kesalahan pengucapan ini menurut ilmu tajwid?

3. Apakah kesalahan dalam pengucapan tersebut mempengaruhi sah atau tidaknya shalat?

Waalaikum salam

Jawaban. No.1

Pengucapan huruf ض Dalam surat al-Fatihah yang semestinya dibaca panjang  lalu dibaca pendek  maka dalam hal ini Iya sedikit merubah pada  makna lafadz  المغضوب karena Kata المغضب (al-maghḍab) berasal dari akar kata غضب yang berarti marah. المغضب secara harfiah berarti “orang yang dimarahi” atau “orang yang dikenakan kemarahan.”

Namun, perlu dicatat bahwa dalam Al-Qur’an, yang digunakan adalah lafaz المغضوب (al-maghḍūb) yang artinya “orang yang dimurkai” atau “mereka yang mendapatkan murka,” khususnya dalam ayat غير المغضوب عليهم dalam Surah Al-Fatihah.

Adapun perbedaan antara المغضب dan المغضوب adalah pada bentuk pasif dari kata tersebut:

المغضب berarti “orang yang dibuat marah” atau “orang yang dimarahi.”

المغضوب berarti “orang yang dimurkai” dalam konteks kemarahan dari Allah SWT.

Jawaban. No 2. 

Kesalahan dalam pengucapan tersebut diatas Hukumnya adalah dosa. Sebagaimana Syaikh Al-Jazary   berkata melalui baik syair  dalam Buku Pedoman Bimbingan Tilawatil Kur’an oleh Alimunir yang dikutip dalam Sekripsi Abd.Ggani , dengan Judul Pengaruh metode At-Tanzil terhadap kelancaran membaca Al-Qur’an h. 26.


والأخذ بالتجويد ختم لازم #
من يجود القرآن فهو آثم
لأنه به الإله أنزل # وهكذا منه إلينا وصلا

“Dan mengambil ( mengaplikasikan / mempraktikkan )  tajwid itu adalah kewajiban yang harus dipenuhi  # Siapa yang membaca Al-Qur’an tanpa tajwid, maka ia berdosa . Karena Al-Qur’an diturunkan dengan tajwid dari Allah  # Dan demikianlah ia sampai kepada kita (melalui periwayatan).”

Tajwid adalah aturan yang harus diikuti dalam membaca Al-Qur’an, karena merupakan cara yang tepat dalam menyampaikan bacaan sebagaimana diturunkan dari Allah kepada Nabi Muhammad ﷺ dan diteruskan kepada umat.
Rasulullah SAW bersabda

سمّى قارئ القرآن بغير تجويد فاسقا

Orang yang membaca Al-Qur’an tanpa dengan memakai tajwid maka hukumnya disebut fasik ( Alimunir Perdoman Bimbingan Tilawatil Qur’an ) yang dikutip dalam karya tulis Skripi Abd.Ghani  dengan Judul Pengaruh metode At-Tanzil terhadap kelancaran membaca Al-Qur’an.h.28

Jawaban .no.3
Lalu bagaimana hukum shalat jika bacaannya salah maka dalam hal ini Ulama beda pendapat :

Kesalahan bacaan surat Al-Quran dalam shalat dalam pandangan Imam Abu Hanifah dan muridnya Syekh Muhammad berimplikasi pada keabsahan shalat. Menurut keduanya, kesalahan bacaan Al-Quran lalu kesalahan bacaan melahirkan makna yang jauh dapat membatalkan shalat.

وتبطل أيضاً عند أبي حنيفة ومحمد بما له مثل في القرآن، والمعنى بعيد، ولم يكن متغيراً تغيراً فاحشاً. ولا تبطل عند أبي يوسف؛ لعموم البلوى

Artinya, “Ibadah shalat menjadi batal menurut Imam Abu Hanifah dan Syekh Muhammad karena bacaan yang memiliki kemiripan dalam Al-Quran, sedangkan makna yang muncul karena salah bacaan tersebut cukup jauh meski tidak fatal. Tetapi ibadah shalat itu tidak batal menurut Syekh Abu Yusuf karena umumul balwa,” (Lihat Syekh Wahbah Az-Zuhayli, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, [Beirut, Darul Fikr: 1985 M/1405 H], cetakan kedua,  juz II, halaman 20). 

Adapun ulama madzhab Maliki menganggap kesalahan bacaan Al-Quran tanpa sengaja oleh seorang imam dalam shalat tidak mempengaruhi keabsahan shalat. Tetapi makmum yang mengikutinya berdosa bila ada orang lain yang masih layak menjadi imam.

وَ) صَحَّتْ (بِلَحْنٍ) فِي الْقِرَاءَةِ (وَلَوْ بِالْفَاتِحَةِ) إنْ لَمْ يَتَعَمَّدْ، (وَأَثِمَ) الْمُقْتَدِي بِهِ (إنْ وَجَدَ غَيْرَهُ) مِمَّنْ يُحْسِنُ الْقِرَاءَةَ وَإِلَّا فَلَا

Artinya, “Shalat (dengan) bacaan (salah meski itu adalah Al-Fatihah) tetap sah jika dilakukan secara tidak sengaja. Makmum yang mengikuti imam yang salah baca (berdosa jika mendapati imam lain) yang baik bacaannya. Tetapi jika tidak ada imam lain yang baik bacaannya, maka makmum tidak berdosa,” (Lihat Syekh Ahmad bin Muhammad As-Shawi, Hasyiatus Shawi alas Syarhis Shaghir, juz II, halaman 230).

Pandangan mazhab Syafi’i berbeda lagi. Menurut mazhab ini, kesalahan bacaan Al-Quran selain Al-Fatihah yang tidak mengubah makna tidak membatalkan shalat dan tidak merusak status shalat berjamaah. Tetapi kesalahan bacaan Al-Quran yang mengubah makna bila dilakukan karena lupa juga tidak membatalkan shalat dan tidak merusak status shalat berjamaah meski makruh.

وأما السورة فإن كان اللحن لا يغير المعنى صحت صلاته والقدوة به لكنه مع التعمد والعلم حرام وإن كان يغير المعنى فإن عجز عن التعلم أو كان ناسيا أو جاهلا صحت صلاته والقدوة به مطلقا مع الكراهة

Artinya, “Adapun surat [selain Al-Fatihah], jika kesalahan itu tidak mengubah makna, maka sah lah shalatnya dan sah juga bermakmum kepadanya. Tetapi jika kesalahan itu dilakukan dengan sengaja dan sadar [akan larangan demikian], maka haram. Sementara jika seseorang tidak sanggup belajar, lupa atau tidak tahu, maka sah lah shalatnya dan sah juga bermakmum kepadanya secara mutlak meski makruh,” (Lihat Syekh M Nawawi Banten, Nihayatuz Zein, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyyah: 2002 M/1422 H] cetakan pertama, halaman 126).

إعانة الطالبين.ج١ ص١٦٣
السابع : رعاية حروفها ، فلو أسقط منها حرفا، ولو همزة، وجبت إعادة الكلمة التى هو منها ومابعدها قبل طلوع الفصل وركوع وإلا بطلت صلاته

Ketujuh: Memelihara huruf-hurufnya (bacaan dalam shalat), maka jika seseorang menghilangkan satu huruf darinya, meskipun hanya berupa hamzah, maka wajib baginya mengulangi kata yang mengandung huruf tersebut dan apa yang setelahnya, selama belum melewati rukun yang lain seperti rukuk atau tidak sampai jeda panjang. Jika tidak (diulang), maka batallah shalatnya.

Penjelasan dengan makna dari teks tersebut. Dalam “I’anatuth Thalibin”, dijelaskan bahwa menjaga huruf-huruf dalam bacaan shalat sangat penting, dan jika terjadi pengurangan atau kesalahan dalam pengucapan satu huruf, seperti memendekkan bacaan yang seharusnya panjang, maka hal tersebut dianggap kesalahan fatal jika tidak segera diperbaiki sebelum berpindah ke rukun lain.

Jika bacaan huruf ض yang seharusnya panjang dibaca pendek, dan tidak segera diperbaiki, maka hal itu termasuk dalam pengurangan huruf, yang dapat membatalkan shalat apabila tidak diulangi sebelum rukun lain (seperti rukuk) atau jeda yang terlalu lama.

Adapun Mazhab Hanbali berpendapat bahwa kesalahan bacaan surat Al-Quran selain Al-Fatihah tanpa sengaja di dalam shalat berjamaah tidak masalah. Tetapi jika kesalahan bacaan terjadi pada surat Al-Fatihah dalam shalat, itu menjadi masalah.

وقال الحنابلة : إن أحال اللحان المعنى في غير الفاتحة لم يمنع صحة الصلاة ولا الائتمام به إلا أن يتعمده، فتبطل صلاتهما. أما إن أحال المعنى في الفاتحة فتبطل الصلاة مطلقاً

Artinya, “Mazhab Hanbali mengatakan bahwa jika imam yang salah itu mengubah makna pada surat selain Al-Fatihah, maka [kesalahan] itu tidak mencegah keabsahan shalat dan keabsahan bermakmum kepadanya kecuali jika dilakukan dengan sengaja sehingga [dengan sengaja] batal shalat keduanya. Adapun jika ia mengubah makna pada surat Al-Fatihah, maka batal shalatnya secara mutlak,” (Lihat Syekh Wahbah Az-Zuhayli, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, [Beirut, Darul Fikr: 1985 M/1405 H], cetakan kedua,  juz II, halaman 22). Wallahu A’lam bisshowab.

تصحيح نطق حرف ‘الضاد’ في سورة الفاتحة: تأثيره على المعنى، أحكام التجويد، وصحة الصلاة

وصف المشكلة:
في أداء الصلاة، تُعتبر سورة الفاتحة ركنًا أساسيًا يجب قراءته. ولكن غالبًا ما يحدث خطأ في نطق لفظ المغضوب، خاصة في حرف ض (Ḍād). يحدث ذلك عندما تقام الصلاة جماعة، حيث يقرأ الإمام الحرف ض قصيرًا. في حالة أن يتم سماع هذا الخطأ من المأموم مرتين خلال صلاة العشاء، يطرح السؤال حول تأثير هذا الخطأ على المعنى، حكم التجويد، وصحة الصلاة.

الأسئلة:

١. هل يؤثر نطق الحرف ض القصير على معنى لفظ المغضوب؟

٢. ما هو حكم هذا الخطأ وفقًا لعلم التجويد؟

٣. هل يؤثر هذا الخطأ على صحة الصلاة؟

الجواب على السؤال الأول:

نطق الحرف ض في سورة الفاتحة الذي يجب أن يكون طويلًا ثم يُنطق قصيرًا، نعم، يؤثر قليلًا على معنى لفظ المغضوب، لأن كلمة المغض (al-maghḍab) مأخوذة من الجذر غضب، الذي يعني الغضب. المغضب تعني حرفيًا “الشخص الذي يغضب عليه” أو “الذي يُغضب عليه”.

ومع ذلك، يجب أن نلاحظ أن في القرآن الكريم، اللفظ المستخدم هو المغضوب (al-maghḍūb) الذي يعني “المغضوب عليهم” أو “الذين غضب الله عليهم”، كما جاء في الآية غير المغضوب عليهم في سورة الفاتحة.

الفرق بين المغضب و المغضوب هو في صيغة المجهول من الكلمة:

المغضب تعني “الشخص الذي يُغضب عليه”.

المغضوب تعني “المغضوب عليه” في سياق غضب الله.

الجواب على السؤال الثاني

الحكم الشرعي لهذا الخطأ في النطق هو الإثم، كما قال الشيخ الجزري في شعره في كتاب “دليل إرشاد تلاوة القرآن” للمؤلف العليمونير، الذي استشهد به عبد الغني في أطروحته:

والأخذ بالتجويد حتم لازم # من يجود القرآن فهو آثم 
لأنه به الإله أنزل # وهكذا منه إلينا وصلا 

“وأخذ التجويد واجب لابد منه، ومن لم يجود القرآن فهو آثم لأنه به الإله أنزل، وهكذا وصل إلينا.”

التجويد هو قاعدة واجبة الاتباع عند قراءة القرآن لأنه الطريقة الصحيحة لنقل التلاوة كما نزلت من الله إلى النبي محمد ﷺ وانتقلت إلينا. 
قال رسول الله ﷺ:

“سمّى قارئ القرآن بغير تجويد فاسقًا.”

أي أن من يقرأ القرآن دون اتباع أحكام التجويد يعتبر فاسقًا، كما ورد في “دليل إرشاد تلاوة القرآن” الذي استشهد به عبد الغني في أطروحته.

الجواب على السؤال الثالث

اختلفت آراء الفقهاء حول تأثير الخطأ في التلاوة على صحة الصلاة:

رأي الإمام أبو حنيفة وتلميذه الشيخ محمد يتعلق بصحة الصلاة. وفقاً لهما، فإن خطأ في قراءة القرآن بحيث ينتج عنه معنى بعيد قد يؤدي إلى بطلان الصلاة

وتبطل أيضاً عند أبي حنيفة ومحمد بما له مثل في القرآن، والمعنى بعيد، ولم يكن متغيراً تغيراً فاحشاً. ولا تبطل عند أبي يوسف؛ لعموم البلوى

بمعنى: “تبطل الصلاة عند الإمام أبو حنيفة والشيخ محمد بسبب القراءة التي تتشابه مع بعض ما في القرآن، إذا كان المعنى الناتج عن الخطأ بعيداً، ولو لم يكن التغيير جسيماً. ولكن الصلاة لا تبطل عند الشيخ أبو يوسف بسبب عموم البلوى.” (انظر: الشيخ وهبة الزحيلي،الفقه الإسلامي وأدلته، بيروت، دار الفكر: ١٩٨٥ م/١٤٠٥ هـ، الطبعة الثانية، ج ٢، ص ٢٠).

أما علماء المذهب المالكي فيرون أن أخطاء قراءة القرآن غير المتعمدة من الإمام في الصلاة لا تؤثر على صحة الصلاة. لكن المأموم يأثم إذا كان هناك شخص آخر يصلح أن يكون إماماً.

وَ) صَحَّتْ (بِلَحْنٍ) فِي الْقِرَاءَةِ (وَلَوْ بِالْفَاتِحَةِ) إنْ لَمْ يَتَعَمَّدْ، (وَأَثِمَ) الْمُقْتَدِي بِهِ (إنْ وَجَدَ غَيْرَهُ) مِمَّنْ يُحْسِنُ الْقِرَاءَةَ وَإِلَّا فَلَا

بمعنى: “تكون الصلاة (بالقراءة الخاطئة ولو كانت في الفاتحة) صحيحة إذا لم يكن الخطأ متعمداً. ويأثم المأموم إذا وجد إماماً آخر يحسن القراءة، أما إذا لم يوجد فلا يأثم.” (انظر: الشيخ أحمد بن محمد الصاوي، *حاشية الصاوي على الشرح الصغير*، ج ٢، ص ٢٣٠).

وأما المذهب الشافعي فيرى أن أخطاء قراءة القرآن غير الفاتحة التي لا تغير المعنى لا تبطل الصلاة ولا تفسد صلاة الجماعة. ولكن إذا كان الخطأ في القراءة يغير المعنى وكان ناتجاً عن النسيان، فلا تبطل الصلاة ولا صلاة الجماعة، وإن كانت مكروهة.

وأما السورة فإن كان اللحن لا يغير المعنى صحت صلاته والقدوة به لكنه مع التعمد والعلم حرام وإن كان يغير المعنى فإن عجز عن التعلم أو كان ناسيا أو جاهلا صحت صلاته والقدوة به مطلقا مع الكراهة

بمعنى: “وأما السورة [غير الفاتحة]، فإذا كان الخطأ في القراءة لا يغير المعنى، فتكون صلاته صحيحة، وكذلك يجوز الاقتداء به. ولكن إذا كان الخطأ متعمداً وكان عالماً بحرمة ذلك، فهو حرام. وإذا كان الشخص غير قادر على التعلم أو نسي أو كان جاهلاً، فتكون صلاته صحيحة، وكذلك الاقتداء به، ولكن مع الكراهة.” (انظر: الشيخ محمد نووي الجاوي، *نهاية الزين*، بيروت، دار الكتب العلمية: ٢٠٠٢ م/١٤٢٢ هـ، الطبعة الأولى، ص ١٢٦).

إعانة الطالبين.ج١ ص١٦٣
السابع : رعاية حروفها ، فلو أسقط منها حرفا، ولو همزة، وجبت إعادة الكلمة التى هو منها ومابعدها قبل طلوع الفصل وركوع وإلا بطلت صلاته


توضيحك دقيق ومتوافق مع معنى
النص المذكور. في كتاب “إعانة الطالبين”، يُوضَّح أن المحافظة على الحروف في قراءة الصلاة أمر مهم للغاية، وإذا حدث نقصان أو خطأ في نطق حرف واحد، مثل قصر المد الذي يجب أن يكون طويلاً، فإن ذلك يُعتبر خطأً جسيماً إذا لم يتم تصحيحه فوراً قبل الانتقال إلى ركن آخر.

فإذا قُرئ حرف ض الذي يجب أن يكون ممدوداً بشكل قصير، ولم يتم تصحيح هذا الخطأ، فإنه يُعد نقصاناً في الحرف، وقد يُبطل الصلاة إذا لم يُعاد تصحيح الخطأ قبل الانتقال إلى ركن آخر (مثل الركوع) أو إذا لم يكن هناك فاصل زمني طويل.

وهذا يتماشى مع مبدأ كتاب “إعانة الطالبين”، حيث يجب تصحيح الأخطاء في تلاوة القرآن الكريم على الفور للحفاظ على صحة الصلاة.

وأما المذهب الحنبلي فيرى أن أخطاء القراءة في السورة غير الفاتحة في صلاة الجماعة غير المتعمدة لا إشكال فيها. ولكن إذا كان الخطأ في قراءة الفاتحة، فذلك يعتبر مشكلة.

وقال الحنابلة : إن أحال اللحان المعنى في غير الفاتحة لم يمنع صحة الصلاة ولا الائتمام به إلا أن يتعمده، فتبطل صلاتهما. أما إن أحال المعنى في الفاتحة فتبطل الصلاة مطلقاً

بمعنى: “يقول الحنابلة: إذا أدى خطأ القراءة إلى تغيير المعنى في غير الفاتحة، فإن ذلك لا يمنع صحة الصلاة ولا صحة الاقتداء به، إلا إذا كان متعمداً، فتكون صلاة كل منهما باطلة. أما إذا تغير المعنى في الفاتحة، فتكون الصلاة باطلة مطلقاً.” (انظر: الشيخ وهبة الزحيلي، *الفقه الإسلامي وأدلته*، بيروت، دار الفكر: ١٩٨٥ م/١٤٠٥ هـ، الطبعة الثانية، ج ٢، ٢٢).

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *