
Assalamualaikum
Deskripsi Masalah
Kalau ada seorang ayah dengan dua orang anak menerima undangan sahabat karibnya. Dan keluarga tersebut bersemangat hadir untuk menghadiri acara tersebut, sebelum berangkat, dia memerintahkan istrinya untuk berdandan sebaik mungkin, seraya berucap “dek macako, Ben pantes”… Dan memang telah menjadi hal yang umum di masyarakat bahwa suami akan merasa mau jika istrinya berpenampilan kurang menarik ketika menghadiri suatu acara.
Selang beberapa bulan P. Yadi dan istri berkunjung ke rumah sahabatnya, seperti biasa, mereka asik mengobrol dengan diselingi canda tawa ringan, dengan nada bercanda pak Yadi berkata kepada sahabatnya : “segeralah memiliki momongan, jangan ditunda-tunda”. Kemudian ditimpali sahabatnya ” Beres… Lha kamu kapan nambah lagi?”.
Candaan tersebut ternyata membuat P. Yadi merasa tertantang, lantas ia mengajak istrinya untuk segera menambah keturunan lagi. Namung dengan alasan tertentu, istrinya tidak mengiyakan ajakan tersebut.
Pertanyaan :
- Bagaimana hukum seorang istri berdandan atas perintah suami sebagaimana deskripsi?
- Dalam kasus menambah keturunan, yaitu keinginan P. Yadi menambah lagi dan keinginan istri untuk menundanya, atau bahkan tidak mau lagi, siapakah yang dimenangkan antara keduanya menurut Syara’?
Waalaikum salam
Jawaban.No 1
- Hukum Istri Berdandan Atas Perintah Suami
Dalam Islam, istri dianjurkan untuk berhias atau berdandan demi menyenangkan suami, dengan syarat tidak melanggar aturan syariat. Berdandan untuk suami adalah salah satu bentuk pelayanan istri kepada suami yang diperbolehkan dan bahkan dianjurkan selama dalam batas yang wajar dan sesuai dengan norma agama. Rasulullah ﷺ bersabda:
وقد روى ابن المبارك عن سعيد بن ابي سعيد عن ابيه عن ابي هريرة , قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم :خير النساء امرأة إذا نظرت إليها سرتك, وإذا أمرت أطاعتك , وإذا غبت عنها حفظتك في ونفسها ومالك.
“Diriwayatkan dari Ibnu mubarak, dari Sa’id bin Abi Sa’id, dari Bapaknya, dari Abu Hurairah, berkata : Rasulullah SAW bersabda : Sebaik-baiknya perempuan adalah perempuan yang ketika kamu melihatnya ia membahagaiakanmu, saat kamu memerintahnya ia mentaatimu, dan saat kamu tidak ada maka ia akan menjaga harta dan dirinya.” (HR. An-Nasa’i)
Namun, dalam konteks menghadiri acara umum, istri tetap harus menjaga auratnya dan tidak berdandan secara berlebihan yang dapat menarik perhatian orang lain selain suaminya. Apabila suami meminta istrinya untuk berdandan dengan maksud menjaga penampilan yang pantas di hadapan orang lain, maka hal itu boleh saja, selama niatnya adalah untuk menjaga kehormatan keluarga dan tidak menimbulkan fitnah.
Jika tujuan suami memerintahkan istrinya berdandan adalah agar terlihat pantas dan menjaga martabat saat menghadiri undangan sosial, maka hal ini diperbolehkan, asalkan istri tetap menjaga adab berpakaian yang sesuai syariat dan tidak melanggar prinsip-prinsip Islam dalam berhias.artinya seorang istri tetap wajib mentaati suami kerena hal perintah itu bertujuan agar terlihat pantas untuk menjaga martabat ini penjelasan dalam kitab Mausu’ah Al-Fiqhiyah:
الطَّاعَةُ:
١٢ – يَجِبُ عَلَى الْمَرْأَةِ طَاعَةُ زَوْجِهَا، فَعَنْ أَنَسٍ: أَنَّ رَجُلاً انْطَلَقَ غَازِيًا وَأَوْصَى امْرَأَتَهُ أَنْ لاَ تَنْزِل مِنْ فَوْقِ الْبَيْتِ، وَكَانَ وَالِدُهَا فِي أَسْفَل الْبَيْتِ، فَاشْتَكَى أَبُوهَا، فَأَرْسَلَتْ إِلَى رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تُخْبِرُهُ وَتَسْتَأْمِرُهُ فَأَرْسَل إِلَيْهَا: اتَّقِي اللَّهَ وَأَطِيعِي زَوْجَكِ، ثُمَّ إِنَّ وَالِدَهَا تُوُفِّيَ فَأَرْسَلَتْ إِلَيْهِ تَسْتَأْمِرُهُ، فَأَرْسَل إِلَيْهَا مِثْل ذَلِكَ، وَخَرَجَ رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَرْسَل إِلَيْهَا: إِنَّ اللَّهَ قَدْ غَفَرَ لَكِ بِطَوَاعِيَتِكِ لِزَوْجِكِ. (١)وَقَال أَحْمَدُ فِي امْرَأَةٍ لَهَا زَوْجٌ وَأُمٌّ مَرِيضَةٌ، طَاعَةُ زَوْجِهَا أَوْجَبُ عَلَيْهَا مِنْ أُمِّهَا إِلاَّ أَنْ يَأْذَنَ لَهَا (٢) .وَقَدْ رَتَّبَ الشَّارِعُ الثَّوَابَ الْجَزِيل عَلَى طَاعَةِ الزَّوْجِ، كَمَا رَتَّبَ الإِْثْمَ الْعَظِيمَ عَلَى مُخَالَفَةِ أَمْرِ الزَّوْجِ، فَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَال: إِذَا دَعَا الرَّجُل امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَلَمْ تَأْتِهِ فَبَاتَ غَضْبَانَ عَلَيْهَا لَعَنَتْهَا الْمَلاَئِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ. (٣)ثُمَّ إِنَّ وُجُوبَ طَاعَةِ الزَّوْجِ مُقَيَّدٌ بِأَنْ لاَ يَكُونَ فِي مَعْصِيَةٍ، فَلاَ يَجُوزُ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تُطِيعَهُ
فِيمَا لاَ يَحِل مِثْل أَنْ يَطْلُبَ مِنْهَا الْوَطْءَ فِي زَمَانِ الْحَيْضِ أَوْ فِي غَيْرِ مَحَل الْحَرْثِ، أَوْ غَيْرَ ذَلِكَ مِنَ الْمَعَاصِي، فَإِنَّهُ لاَ طَاعَةَ لِمَخْلُوقٍ فِي
مَعْصِيَةِ الْخَالِقِ (٤) .
Ketaatan:
12 – Seorang istri wajib menaati suaminya. Dari Anas bin Malik, bahwa seorang lelaki pergi berperang dan berpesan kepada istrinya agar tidak turun dari atas rumah, sementara ayahnya tinggal di bagian bawah rumah. Suatu ketika, ayahnya jatuh sakit. Istrinya pun mengirim pesan kepada Rasulullah ﷺ, mengabarkan hal tersebut dan meminta izin. Rasulullah ﷺ mengirim pesan kembali, “Bertakwalah kepada Allah dan taatilah suamimu.” Kemudian ayahnya wafat, dan ia kembali mengirim pesan untuk meminta izin. Rasulullah ﷺ mengirim pesan yang sama. Ketika itu Rasulullah ﷺ keluar dan mengirim pesan kepadanya, “Sesungguhnya Allah telah mengampunimu karena ketaatanmu kepada suamimu.”
Imam Ahmad pernah ditanya tentang seorang perempuan yang memiliki suami dan ibunya sedang sakit, mana yang lebih wajib ditaati? Beliau menjawab, “Ketaatan kepada suaminya lebih wajib baginya daripada kepada ibunya, kecuali jika suaminya mengizinkannya.”
Syariat telah menetapkan pahala yang besar bagi istri yang menaati suaminya, sebagaimana juga telah ditetapkan dosa besar bagi istri yang melanggar perintah suaminya. Dari Abu Hurairah رضي الله عنه, Nabi ﷺ bersabda: “Jika seorang suami mengajak istrinya ke ranjang (untuk berhubungan suami istri) dan ia menolak, sehingga suaminya tidur dalam keadaan marah, maka para malaikat melaknatnya hingga pagi.”
Namun, kewajiban menaati suami terbatas pada hal-hal yang bukan merupakan maksiat. Tidak diperbolehkan bagi seorang istri untuk menaati suaminya dalam perkara yang haram, seperti jika suaminya meminta berhubungan suami istri saat istri sedang haid, atau di tempat yang tidak diperbolehkan, atau dalam perbuatan maksiat lainnya. Sebab, “Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Sang Pencipta.”
Jawaban 2.
Hukum Menambah Keturunan: Keinginan Suami vs Keinginan Istri
Dalam hal menambah keturunan, Islam menganjurkan umatnya untuk memperbanyak keturunan dengan tujuan memperkuat umat. Rasulullah saw dalam haditsnya menganjurkan umatnya untuk berketurunan dan beranak pinak.
تناكحوا تناسلوا تكثروا فإنى مباهٍ بكم الأمم يوم القيامة
Artinya, “Rasulullah saw bersabda, ‘Menikahlah, maka kalian akan berketurunan dan menjadi banyak karena aku akan bangga dengan kalian di depan umat lain pada hari kiamat.’”
Rasulullah saw pada riwayat lain menganjurkan umatnya untuk menikah dan melarang keras mereka hidup menjomblo.
كَانَ رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَأْمُرُ بِالْبَاءَةِ , وَيَنْهَى عَنِ التَّبَتُّلِ نَهْيًا شَدِيدًا , وَيَقُولُ :” تَزَوَّجُوا اَلْوَدُودَ اَلْوَلُودَ . إِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمُ اَلْأَنْبِيَاءَ يَوْمَ اَلْقِيَامَةِ – رَوَاهُ أَحْمَدُ , وَصَحَّحَهُ اِبْنُ حِبَّانَ
Artinya, “Rasulullah saw memerintahkan untuk menikah dan melarang keras hidup menjomblo. Rasulullah bersabda, ‘Nikahlah dengan perempuan yang sayang dan berketurunan karena aku akan berbangga dengan kalian di depan para nabi pada hari kiamat,’” (HR Ahmad dan disahihkan oleh Ibnu Hibban).
Namun,dalam hal menambah keturunan, keputusan ini tidak sepenuhnya hanya bergantung pada keinginan salah satu pihak, baik suami maupun istri. Keduanya, suami dan istri, harus mencapai kesepakatan melalui musyawarah, dan tidak boleh memaksakan kehendak satu sama lain.
Dalam kasus di mana P. Yadi ingin menambah anak, namun istrinya menolak atau ingin menunda karena alasan tertentu, maka Islam mengajarkan agar suami dan istri bermusyawarah dalam mengambil keputusan ini.Sebagaimana firman Allah:(QS. Asy-Syura: 38)
وَالَّذِيْنَ اسْتَجَابُوْا لِرَبِّهِمْ وَاَقَامُوا الصَّلٰوةَۖ وَاَمْرُهُمْ شُوْرٰى بَيْنَهُمْۖ وَمِمَّا رَزَقْنٰهُمْ يُنْفِقُوْنَۚ
(juga lebih baik dan lebih kekal bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhan dan melaksanakan salat, sedangkan urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah di antara mereka. Mereka menginfakkan sebagian dari rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka.
Jika istri memiliki alasan yang sah, seperti kondisi kesehatan fisik atau mental, atau alasan lainnya yang diakui dalam syariat, maka suami harus mempertimbangkan hal tersebut dan tidak memaksakan kehendaknya. Kemaslahatan dan kesehatan istri juga menjadi faktor penting dalam syariat.
Hal sebagaimana dijelaskan dalam Kitab Mausu’atul fiqhiyah
٣) الْمَرَضُ:
١١ – ذَهَبَ الْفُقَهَاءُ إِلَى أَنَّ مِنْ مَوَانِعِ تَسْلِيمِ الْمَرْأَةِ إِلَى زَوْجِهَا الْمَرَضَ، وَالْمَقْصُودُ بِالْمَرَضِ هُنَا الْمَرَضُ الَّذِي يَمْنَعُ مِنَ الْجِمَاعِ، وَحِينَئِذٍ تُمْهَل الْمَرْأَةُ إِلَى زَوَال مَرَضِهَا، وَأَلْحَقَ الشَّافِعِيَّةُ بِالْمَرِيضَةِ مَنْ بِهَا هُزَالٌ تَتَضَرَّرُ بِالْوَطْءِ مَعَهُ (٣)
Penyakit:
Para ahli fiqih sepakat bahwa salah satu hal yang menghalangi seorang istri untuk diserahkan kepada suaminya adalah penyakit. Yang dimaksud dengan penyakit di sini adalah penyakit yang mencegah hubungan suami istri (jima’). Dalam kondisi seperti ini, istri diberi waktu hingga penyakitnya sembuh. Kaum Syafi’iyah menyamakan kondisi perempuan yang sakit dengan perempuan yang sangat kurus sehingga ia akan mendapat mudarat jika melakukan hubungan suami istri dalam kondisi tersebut.
Dalam QAWA’ID FIQHIYAH juga dijelaskan ;
لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ
Tidak boleh melakukan sesuatu yang membahayakan diri sendiri ataupun orang lain
Kaidah yang mulia ini sesuai dengan lafadz sabda Rasulullah ﷺ bersabda: Dari Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhu yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Ibnu Mâjah, dan lainnya:
لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ
Tidak boleh melakukan sesuatu yang membahayakan diri sendiri ataupun orang lain.
Dari sini dapat kita ketahui bahwa dharar (melakukan sesuatu yang membahayakan) dilarang di dalam syari’at ini. Maka, tidak boleh bagi seorang Muslim mengerjakan sesuatu yang membahayakan dirinya sendiri atau membahayakan saudaranya sesama Muslim, baik berupa perkataan atau perbuatan, tanpa alasan yang benar. Dan semakin kuat larangan tersebut jika dharar itu dilakukan kepada orang-orang yang wajib dipergauli secara ihsân, seperti karib kerabat, isteri, tetangga, dan semisalnya.
Oleh karena itu, dalam kasus ini, jika istri memiliki alasan yang kuat dan syar’i untuk menunda atau tidak menambah keturunan, maka suami harus menghargai keputusan tersebut. Keduanya harus mencapai kesepakatan bersama demi kebaikan dan kesejahteraan keluarga.
Kesimpulan:
- Istri boleh berdandan atas perintah suami selama sesuai dengan syariat.
- Keputusan menambah keturunan harus disepakati bersama melalui musyawarah. Jika istri memiliki alasan yang kuat untuk menunda atau tidak menambah keturunan, maka keputusannya harus dihormati dan tidak boleh dipaksakan oleh suami.
Referensi:
1.Mausu’ah Al-Fiqhiyah .18974/31949
1.Fiqhus sunnah Sayyid Sabiq Lebanon Bairut Cetakan ke 4 th.1983 M. hal. 172
2.QS. Asy-Syura: 38
3.HR. Imam Ahmad 1/313. Ibnu Mâjah dalam Kitab Al-Ahkâm, Bab Man banâ bihaqqihi mâ yadhurru jârahu, No. 2341.
4.QOWAID FIQHIYAH