
Assalamualaikum.
Deskripsi Masalah:
Seorang Muslim mencium kening atau bagian tubuh lain dari non-Muslim (dalam konteks ini disebut kafir) sebagai bentuk persahabatan atau penghormatan. Tindakan ini menimbulkan berbagai pertanyaan di kalangan masyarakat Muslim terkait batasan interaksi sosial antara Muslim dan non-Muslim, khususnya yang berkaitan dengan nilai-nilai agama dan etika.
Dari perspektif agama, beberapa Muslim mungkin merasa bahwa tindakan tersebut bisa melanggar norma-norma Islam terkait batasan fisik, apalagi jika dilakukan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram. Ada juga kekhawatiran bahwa hal ini bisa dianggap sebagai perbuatan yang mendekati sikap terlalu akrab, yang dalam beberapa pemahaman mungkin dianggap tidak sesuai dengan ajaran Islam yang mengatur interaksi dengan non-Muslim.
Namun, dari sudut pandang lain, tindakan tersebut bisa dianggap sebagai ekspresi penghormatan atau persahabatan tanpa niat negatif atau melanggar ajaran agama. Dalam masyarakat yang semakin global dan plural, banyak orang yang melihat interaksi semacam ini sebagai cara untuk menunjukkan keterbukaan, keramahan, dan saling menghormati antaragama yang menjadi pertanyaan adalah:
- Bagaimana menurut hukum agama orang islam mencium kening non muslim dengan tujuan bersahabatan atau penghormatan?
Waalaikum salam.
Jawaban.
Dalam konteks hukum Islam, mencium kening atau anggota tubuh seseorang (baik muslim maupun non-muslim) sebagai bentuk persahabatan atau penghormatan perlu dilihat dari sudut etika, adab, serta niat di balik tindakan tersebut. Secara umum, beberapa prinsip yang bisa diambil dari literatur hukum Islam adalah:
1️⃣. Niat
Niat dan Maksud: perkara itu bergantung niat dan tujuan, sebagaimana, Kaidah : الأمور بمقاصدها Maksud dari kaidah ini adalah bahwa hukum yang menjadi konsekuensi atas setiap perkara haruslah harus sesuai dengan yang menjadi tujuan sesuatu tersebut. Kaidah ini berasal dari banyak materi fiqih , karena didalam fiqih nilai suatu perbuatan tergantung pada niatnya . Kaidah tersebut diatas yang diambil dari sebuah hadits
عَنْ أَمِيرِ المُؤمِنينَ أَبي حَفْصٍ عُمَرَ بْنِ الخَطَّابِ رَضيَ اللهُ عنْهُ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: ) إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَِى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا، أَوْ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا، فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ (. رَوَاهُ البخارى ومسلم
Dari Amirul Mukminin Abu Hafsh Umar bin Al Khaththab adia berkata: ‘Aku mendengar Rasulullah shalallahu alaihi wasalam bersabda: “Amalan-amalan itu hanyalah tergantung pada niatnya. Dan setiap orang itu hanyalah akan dibalas berdasarkan apa yang ia niatkan. Maka barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya keapda Allah dan Rasul-Nya. Namun barang siapa yang hijrahnya untuk mendapatkan dunia atau seorang wanita yang ingin ia nikahi, maka hijrahnya kepada apa yang ia niatkan tersebut.” ( HR. Bukhari dan Muslim).
Niat adalah elemen penting dalam menentukan status hukum dalam suatu perbuatan . Dalam arti jika mencium kening dilakukan dengan niat untuk menunjukkan persahabatan, penghormatan, atau sebagai tanda keramahan, tanpa ada unsur penghinaan, pelecehan, atau niat yang bertentangan dengan syariat, maka tindakan tersebut bisa dianggap sebagai perbuatan mubah (diperbolehkan). Namun, jika tindakan yang dilakukan oleh seorang dengan niat yang mengarah pada penghinaan terhadap agama atau menyiratkan dukungan terhadap keyakinan yang bertentangan dengan Islam, maka hal ini bisa menjadi masalah dalam hukum syariah.hal ini berdasarkan pada sebuah kaidah
الحكم يدور مع علته وجود وعداما
Hukum berputar beserta iklannya ada dan tidak adanya
2️⃣. Hormat vs. Pengagungan Berlebihan:
Islam mengajarkan umatnya untuk menghormati semua manusia, termasuk non-Muslim, sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an tentang keadilan dan kasih sayang terhadap sesama manusia (QS. Al-Mumtahanah: 8).
لَا يَنْهٰىكُمُ اللّٰهُ عَنِ الَّذِيْنَ لَمْ يُقَاتِلُوْكُمْ فِى الدِّيْنِ وَلَمْ يُخْرِجُوْكُمْ مِّنْ دِيَارِكُمْ اَنْ تَبَرُّوْهُمْ وَتُقْسِطُوْٓا اِلَيْهِمْۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِيْن
Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.
Dalam Tafsir Wajiz dijelaskan terkait ayat tersebut, bahwa Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil, karena kebaikan dan keadilan itu bersifat universal, kepada orang-orang kafir yang tidak memerangi kamu karena agama dengan menekankan kebebasan dan toleransi beragama; dan tidak mengusir kamu dari kampung halaman kamu, karena kamu beriman kepada Allah. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil baik terhadap dirinya sendiri maupun terhadap orang lain.
Artinya selama tindakan tersebut ( mencium kening ) adalah bentuk penghormatan yang wajar dan bukan pengagungan yang berlebihan (misalnya, tindakan yang dapat dianggap sebagai tasyabbuh atau meniru kebiasaan yang khusus dari agama lain), hal itu dapat diterima.
Namun, jika mencium kening atau anggota tubuh dilakukan dalam konteks penghormatan berlebihan yang menyerupai bentuk ” ritual keagamaan”, maka tindakan ini harus dihindari karena bisa menyerupai syirik atau memberikan penghormatan kepada selain Allah dengan cara yang tidak sesuai dengan syariat.
3️⃣. Adab dan Etika dalam Interaksi:
Islam memberikan panduan dalam berinteraksi dengan sesama manusia, termasuk adab terhadap non-Muslim. Interaksi yang berlandaskan etika yang baik, keramahan, dan penghormatan adalah bagian dari ajaran Islam. Namun, tindakan-tindakan seperti mencium anggota tubuh harus diperhatikan dengan saksama agar tidak menimbulkan salah tafsir atau dianggap sebagai tindakan yang bertentangan dengan prinsip akidah.
Dengan terbitnya kitab Ihya’ Ulumiddin karya Imam al-Ghazali membawa Hikmah dalam Membela Al-Qur’an dengan Akhlak Mulia
.
“Mari kita ngaji bersama untuk menguatkan dan keliru tafsir dengan jawaban pertanyaan penanya diatas itu”.halaman 162
كَانَ رَسُولُ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَثِيرَ الضَّرَاعَةِ وَالِابْتِهَالِ دَائِمَ السُّؤَالِ مِنَ الله تَعَالَى أَنْ يُزَيِّنَهُ بِمَحَاسِنِ الْآدَابِ وَمَكَارِمِ الْأَخْلَاقِ فَكَانَ يَقُولُ فِي دُعَائِهِ اللهمَّ حَسِّنْ خُلُقِي وَخَلْقِي وَيَقُولُ اللهمَّ جَنِّبْنِي مُنْكَرَاتِ الْأَخْلَاقِ فَاسْتَجَابَ الله تَعَالَى دُعَاءَهُ وَفَاءً بِقَوْلِهِ عَزَّ وجل {ادعوني أستجب لكم} فأنزل عليه القرآن وأدبه به فكان خلقه القرآن قال سعد بن هشام دخلت على عائشة رضي الله عنها وعن أبيها فسألتها عن أخلاق رَسُولِ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ أما تقرأ القرآن قلت بلى قالت كان خلق رسول الله صلى الله عليه وسلم الْقُرْآنَ
Nabi selalu memohon kepada Allah SWT supaya dihiasi dengan adab yang baik serta akhlak terpuji. Dalam doanya, beliau membaca: Ya Allah, baguskanlan rupa dan akhlakku. Dan beliau juga berdoa: “Ya Allah, jauhkan aku dari akhlak yang munkar,” maka Allah mengabulkan doa beliau sesuai dengan firmanNya “Berdoalah kepada-Ku niscaya Kuperkenankan (permintaan) kamu itu” (QS al-Mu’min: 60). Allah turunkan Al-Qur’an kepada Nabi Muhammad dan dijadikan Al-Qur’an itu bahan pengajaran adab, maka jadilah akhlak Nabi Muhammad itu (seperti isi) Al-Qur’an. Said bin Hisyam berkata, “Aku masuk menemui Siti Aisyah RA dan bertanya tentang akhlak Rasulullah Saw.” Aisyah menjawab dan bertanya, “Apakah engkau membaca Al-Qur’an?” Aku menjawab, “Iya.” Aisyah menjawab, “Akhlak Nabi SAW adalah Al-Qur’an.” Jika memang akhlak Nabi itu adalah Al-Qur’an maka mari kita simak sejumlah ayat Al-Qur’an untuk memahami akhlak beliau SAW”, Sebagai lanjutan kitab Ihya’:
وَإِنَّمَا أَدَّبَهُ الْقُرْآنُ بِمِثْلِ قَوْلِهِ تَعَالَى {خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ} وَقَوْلِهِ {إِنَّ الله يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ} وَقَوْلِهِ {وَاصْبِرْ عَلَى مَا أَصَابَكَ إِنَّ ذَلِكَ من عزم الأمور} وقوله {ولمن صبر وغفر إن ذلك لمن عزم الأمور} وَقَوْلِهِ {فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاصْفَحْ إِنَّ الله يُحِبُّ المحسنين} وقوله {وَلْيَعْفُوا وَلْيَصْفَحُوا أَلَا تُحِبُّونَ أَنْ يَغْفِرَ الله لكم} وَقَوْلِهِ {ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بينك وبينه عداوة كأنه ولي حميم} وقوله {وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَالله يُحِبُّ المحسنين} وَقَوْلِهِ {اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بعضاً} ولما كسرت رباعيته وشج يوم أحد فجعل الدم يسيل على وجهه وهو يمسح الدم ويقول كيف يفلح قوم خضبوا وجه نبيهم بالدم وهو يدعوهم إلى ربهم فأنزل الله تعالى {ليس لك من الأمر شيء} تأديباً له على ذلك
Sungguh Al-Qur’an mengajarkan Rasulullah SAW adab kesantunan sebagaimana dalam ayat, “Jadilah Engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.” (QS al-A’raf: 199) Di lain ayat, Allah berfirman, “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan.” (QS al-Nah,: 90) Dan firman Allah, “Bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).” (QS Luqman:17) Begitu juga dengan ayat “Orang yang bersabar dan memaafkan, sesungguhnya (perbuatan) yang demikian itu termasuk hal-hal yang diutamakan” (QS Asy-Syura: 43) dan “Maka maafkanlah mereka dan biarkan mereka, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik” (QS al-Maidah:13). Kemudian, “Dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu?” (QS al-Nur:22). Lanjut dengan ayat “Dan yang sanggup menahan marahnya, serta orang- orang yang mema’afkan (kesalahan) orang lain. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan” (QS Ali Imran:134) dan “jauhilah kebanyakan prasangka (kecurigaan), karena sebagian dari prasangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain” (QS al-Hujurat:12). Pada perang Uhud, gigi geraham Nabi patah sehingga darah mengucur keluar dan membasahi wajah beliau. Nabi berkata, “Bagaimana suatu kaum akan selamat jika mereka melumuri wajah Nabi mereka dengan darah, sedangkan Nabi mereka mengajak mereka kepada Tuhan” maka, Allah Swt menurunkan ayat, “Tak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka itu” (QS Ali Imran:128). Ayat-ayat ini bermakna membimbing Rasulullah SAW atas kejadian yang tengah dihadapinya. Lebih lanjut mari kita ngaji lanjutan ibarat kitab Ihya berikut’:
وَأَمْثَالُ هَذِهِ التَّأْدِيبَاتِ فِي الْقُرْآنِ لَا تُحْصَرُ وهو صلى الله عليه وسلم الْمَقْصُودُ الْأَوَّلُ بِالتَّأْدِيبِ وَالتَّهْذِيبِ ثُمَّ مِنْهُ يُشْرِقُ النُّورُ عَلَى كَافَّةِ الْخَلْقِ فَإِنَّهُ أُدِّبَ بِالْقُرْآنِ وَأَدَّبَ الْخَلْقَ بِهِ وَلِذَلِكَ قَالَ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الْأَخْلَاقِ ثُمَّ رغب الخلق في محاسن الأخلاق بما أوردناه في كتاب رياضة النفس وتهذيب الأخلاق فلا نعيده ثُمَّ لَمَّا أَكْمَلَ الله تَعَالَى خُلُقَهُ أَثْنَى عَلَيْهِ فَقَالَ تَعَالَى {وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ}
Ayat yang senada seperti di atas banyak dijumpai dalam Al-Qur’an. Semuanya itu dimaksudkan mula-mula yaitu untuk membimbing dan mengarahkan Nabi Saw. Dengan itu, maka sinar pelajaran dari Al-Qur’an dapat menyebar ke seluruh manusia. Itulah sebabnya Rasulullah SAW bersabda: “Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia”. Setelah Allah menyempurnakan akhlak beliau, lalu Allah memujinya: “Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung” (QS al-Qalam:4). Kemudian lompat ke lembaran berikutnya.
لما أتى بسبايا طيء وقفت جارية في السبي فقالت يا محمد إن رأيت أن تخلي عني ولا تشمت بي أحياء العرب فإني بنت سيد قومي وإن أبي كان يحمي الذمار ويفك العاني ويشبع الجائع ويطعم الطعام ويفشي السلام ولم يرد طالب حاجة قط أنا ابنة حاتم الطائي فقال صلى الله عليه وسلم يا جارية هذه صفة المؤمنين حقاً لو كان أبوك مسلماً لترحمنا عليه خلوا عنها فإن أباها كان يحب مكارم الأخلاق وإن الله يحب مكارم الأخلاق فقام أبو بردة بن نيار فقال يا رسول الله الله يحب مكارم الأخلاق فقال والذي نفسي بيده لا يدخل الجنة إلا حسن الأخلاق
Ketika didatangkan sekelompok tawanan Thayyi-in, di antara tawanan tersebut ada seorang gadis belia. Dia berkata, “Hai Muhammad, sudikah engkau membebaskan aku, dan tidak mengecewakan musuh-musuhmu serta tidak mempermalukan orang-orang Arab? Sesungguhnya, aku adalah putri seorang pemimpin di kaumku. Bapakku bertugas melindungi daerahku, membebaskan tawanan, memenuhi kebutuhan orang yang membutuhkan, memberi makan, menyebarkan salam dan tidak pernah mengusir seseorang yang datang kepadanya untuk suatu keperluan. Aku adalah putri dari Hatim al-Tha’i” Rasulullah Saw berkata, “Wahai budak perempuan, yang kamu sebut adalah semuanya sifat orang-orang mu’min. Andaikata bapakmu seorang Muslim, niscaya kami akan mendoakan rahmat baginya.” Nabi lalu memerintahkan, “Bebaskan dia, sesungguhnya bapaknya menyenangi budi pekerti yang mulia.” Lalu bangun berdiri Abu Bardah bin Niar, seraya-berkata : “Wahai Rasulullah! Allah menyukai akhlaq yang mulia!” Nabi Menjawab: “Demi Allah yang nyawaku dalam kekuatan-Nya! Tiada yang masuk surga kecuali orang yang bagus akhlaknya” ** “Sampai di sini, mengertikah kamu, Ujang, bahwa Nabi pun memghormati akhlak non-Muslim dan menyanjungnya. Kita tentu malu sekarang kalau non-Muslim lebih banyak yang mengamalkan akhlak mulia ketimbang kita para pengikut Nabi Muhammad,” lajutan ibarat selanjutnya-
عن معاذ بن جبل عن النبي صلى الله عليه وسلم قال إِنَّ الله حَفَّ الْإِسْلَامَ بِمَكَارِمِ الْأَخْلَاقِ وَمَحَاسِنِ الْأَعْمَالِ وَمِنْ ذَلِكَ حُسْنُ الْمُعَاشَرَةِ وَكَرَمُ الصَّنِيعَةِ وَلِينُ الْجَانِبِ وَبَذْلُ الْمَعْرُوفِ وَإِطْعَامُ الطَّعَامِ وَإِفْشَاءُ السلام وعيادة المريض المسلم براً كان أو فاجراً وتشييع جنازة المسلم وَحُسْنُ الْجِوَارِ لِمَنْ جَاوَرْتَ مُسْلِمًا كَانَ أَوْ كَافِرًا وَتَوْقِيرُ ذِي الشَّيْبَةِ الْمُسْلِمِ وَإِجَابَةُ الطَّعَامِ وَالدُّعَاءُ عَلَيْهِ وَالْعَفْوُ وَالْإِصْلَاحُ بَيْنَ النَّاسِ وَالْجُودُ والكرم والسماحة والابتداء بالسلام وكظم الغيظ والعفو عن الناس
Dari Muaz bin Jabal, Nabi Bersabda: “Sesungguhnya, Islam meliputi akhlak-akhlak yang terpuji dan perilaku yang baik.” Adapun contoh dari akhlak yang terpuji adalah pergaulan yang baik, perbuatan terpuji dan perkataan yang lemah lembut, melakukan perbuatan yang ma’ruf, memberi makan tamu, menyebarkan salam, menziarahi orang Muslim yang sakit baik yang akhlaknya baik maupun yang buruk, mengantarkan jenazah Muslim, berlaku baik kepada tetangga baik yang Muslim maupun yang Kafir, memuliakan yang lebih tua, menghadiri undangan perjamuan makan dan mendoakannya, suka memaafkan, senang mendamaikan, bersifat pemurah, mulia, toleran, memulai memberi salam, menahan amarah dan memberi maaf orang yang minta maaf. “Masih panjang pembahasan comtoh-contoh akhlak Nabi yang dijelaskan oleh Imam al-Ghazali dalam kitab Ihya’. Tapi intinya kita harus memahami betul terhadap akhlak Nabi yaitu Al-Qur’an. Maka jika kita bertekat membela Al-Qur’an maka kita harus membelanya lewat akhlak Nabi Muhammad yang digambarkan begitu indah dalam Al-Qur’an. Tentu mengherankan kalau kita hendak membela Al-Qur’an tapi dilakukan dengan cara yang jauh dari nilai-nilai akhlak yang terkandung dalam Al-Qur’an dan terwujud dalam contoh budi pekerti Nabi Muhammad yang agung.”
Kesimpulan:
Mencium kening atau bagian tubuh non-Muslim dengan niat persahabatan atau penghormatan tidak secara otomatis haram, selama hal itu tidak mengandung unsur pengagungan yang berlebihan, tidak terkait dengan ritual keagamaan yang bertentangan dengan Islam, dan dilakukan dengan niat yang baik serta adab yang benar. Namun, kehati-hatian dalam tindakan ini tetap dianjurkan agar tidak menimbulkan kerancuan atau penafsiran yang salah terkait dengan prinsip-prinsip agama.Hal ini berdasarkan sebuah hadits
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا هَاشِمُ بْنُ الْقَاسِمِ حَدَّثَنَا أَبُو عَقِيلٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يَزِيدَ حَدَّثَنِي رَبِيعَةُ بْنُ يَزِيدَ وَعَطِيَّةُ بْنُ قَيْسٍ عَنْ عَطِيَّةَ السَّعْدِيِّ وَكَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَبْلُغُ الْعَبْدُ أَنْ يَكُونَ مِنْ الْمُتَّقِينَ حَتَّى يَدَعَ مَا لَا بَأْسَ بِهِ حَذَرًا لِمَا بِهِ الْبَأْسُ
Telah menceritakan kepada kami [Abu Bakar bin Abu Syaibah] telah menceritakan kepada kami [Hasyim bin Al Qasim] telah menceritakan kepada kami [Abu ‘Aqil] telah menceritakan kepada kami [Abdullah bin Yazid] telah menceritakan kepadaku [Rabi’ah bin Yazid] dan [‘Athiyah bin Qais] dari [‘Athiyah As Sa’di] -dan dia termasuk dari salah seorang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam- dia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Seorang hamba belum mencapai derajat takwa sehingga ia meninggalkan sesuatu yang mubah (boleh) sebagai bentuk kehati-hatian dari sesuatu yang dilarang.”
[Ibnu Majah]
Referensi
- Ihya’ Ulumiddin halaman 163
- Al-Qur’an Surat Al-Mumtahanah: 8
- Hadits tentang Niat (HR. Bukhari dan Muslim)
- Imam Nawawi dalam Riyadhus Shalihin
- Kitab Fiqh Al-Mughnikarya Ibnu Qudamah.
Fatawa Ulama Kontemporer seperti dari Sheikh Yusuf al-Qaradawi juga menegaskan pentingnya bersikap baik kepada non-Muslim dalam konteks sosial, selama hal tersebut tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar Islam.
Referensi-referensi ini menekankan pentingnya niat, adab, serta batasan dalam penghormatan terhadap non-Muslim, agar tetap dalam kerangka yang sesuai dengan ajaran Islam.