
SOLUSI POLIGAMI TANPA MELUKAI HATI
Assalamualaikum.
Assail Ust. Abdul Hamid. Aceh.
Latar belakang Masalah
Poligami atau lebih tepatnya disebut poligini, merupakan satu Isu paling krusial dalam relasi antara umatnya yang laki-laki dan perempuan yang tak pernah selesai diperbincangkan khususnya didunia muslim. Hampir tak ada hari, bulan atau tahun tanpa memperbincangkan isu ini, ia bagaikan dua sisi yang berhadapan dan bertarung ketat dan keras . Relasi dualitas berseteru, antara kenikmatan atau kebutuhan disatu sisi dan kesakitan atau tak penting disisi yang lain. Satu pihak menganggap perlu dan penting, sementara pihak lain menganggap tak perlu, bahkan menciptakan keresahan yang menyakitkan sehingga menjadikan kekacauan dalam rumah tangga.
Di negeri ini ( Indonesia ) fenomena praktek poligami menyeruak dan eksperesif ditengah-tengah kegalauan yang panjang kaum perempuan. Mungkin menarik dikemukakan, seorang tokoh disuatu daerah membawa serta empat orang istrinya dalam acara pelantikannya sebagai anggota Dewan. Usai pelantikan, ia berdiri didepan bublik dengan didampingi empat orang istrinya sambil memperlihatkan wajahnya yang ceria, begitu empat orang istrinya itu . Mereka ingin menunjukkan kepada bublik kebahagiaan dan kebanggaan berpoligami. Belakangan, seorang Wakil kepala daerah tampil kepublik diapit dua orang Istrinya yang baru saja dilantik sebagai kepala desa.
Peristiwa lain yang menarik adalah munculnya inisiasi dari sejumlah tokoh masyarakat disebuah daerah, yakni Aceh, untuk membuat qanun, sebuah regulasi, yang mengatur tentang poligami meski sesungguhnya telah diatur dalam Undang-undang perkawinan No.1/ 1974 DPRD Aceh menyebut qanun Poligami amat vinal untuk mencegah nikah sirri serta menjamin hak perempuan dan anak tak kalah hebohnya, seminar dan ilmu teknik berpoligami diselenggarakan dan ditawarkan dengan bayaran yang cukup mahal disebuah Tempat, dan publik meresponnya dengan penuh antusias. Lebih dari segalanya .
Berangkat dari latar belakang rumusan masalah diatas dapat diangkat sebagai sebuah pertanyaan berikut:
1- Bagaimanakah sebenarnya syarat hukumnya poligami berikut cara agar tak melukai hati (menyakiti ) kepada kedua istri atau antara satu istri dengan istri yang lainnya?
Walaikum salam.
Jawaban.
Sebelumnya penting kami jelaskan pengertian Poligami dari berbagai sudut pandang baik dari segi etemologi maupun termonologi dan juga pendapat Ulama’.
A. Definisi Poligami
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, poligami adalah “Ikatan perkawinan yang salah satu pihak memiliki/mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang bersamaan”. Kata tersebut dapat mencakup poligini yakni “sistem perkawinan yang membolehkan seorang pria mengawini beberapa wanita dalam waktu yang sama”, maupun sebaliknya, yakni poliandri, di mana seorang wanita memiliki/mengawini sekian banyak lelaki.⁵⁰ Dalam hal ini hukumnya haram sebagaimana firman Allah SWT
وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ، كِتَابَ اللهِ عَلَيْكُمْ، وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَلِكُمْ أَنْ تَبْتَغُوا بِأَمْوَالِكُمْ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ، فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً، وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا تَرَاضَيْتُمْ بِهِ مِنْ بَعْدِ الْفَرِيضَةِ، إِنَّ اللهِ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا (النساء: ٢٣)
Dan diharamkan bagi kalian menikahi para perempuan sedang mempunyai suami, kecuali menyetubuhi para budak perempuan yang kalian miliki; seperti itulah ketentuan muharramatun nisa yang Allah tentukan bagi kalian; dan dihalalkan bagi kalian selain para perempuan yang haram dinikahi itu, agar kalian mencari istri dengan harta-harta kalian dalam kondisi kalian sebagai orang yang menjaga agama kalian dengan mempunyai istri dan dalam kondisi bukan orang yang berzina. Lalu orang yang kalian setubuhi dari para perempuan yang halal dinikahi itu, maka bayarlah maharnya sebagai kefardhuan; dan tidak ada dosa bagi kalian dalam mahar yang kalian saling rela dengannya setelah membayar kadar mahar yang diwajibkan; sungguh Allah adalah Dzat yang Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana,” (An-Nisa’: 24).
Adapun Poligami berasal dari bahasa Yunani. Secara etimologis, poligami merupakan derivasi dari kata apolus yang berarti banyak, dan Gamos yang berarti istri atau pasangan. Poligami bisa dikatakan sebagai mempunyai istri lebih dari satu orang secara bersamaan. Adapun secara terminologis, poligami dapat dipahami sebagai suatu keadaan di mana seorang suami mamiliki istri lebih dari satu orang.⁵¹
Istilah poligami dalam bahasa Arab adalah ta‟addud al-zawjāt. Poligami adalah suatu kebolehan suami untuk beristri lebih dari seorang dalam waktu bersamaan. Sebaliknya, perkawinan seorang perempuan dengan beberapa orang laki-laki sering disebut dengan poliandri. Dengan demikian, perkawinan poliandri merupakan lawan dari perkawinan poligami.⁵²
Sedangkan poligami yang berasal dari bahasa Inggris adalah “Poligamy” dan disebut:” تعدد الزوجات dalam hukum Islam, yang berarti beristri lebih dari seorang wanita. Begitu pula dengan istilah poliandri berasal dari bahasa Inggris “Poliandry” dan di sebut تعدد البعول atau تعدد الأزوج dalam hukum Islam, yang berarti bersuami lebih dari seorang pria. Maka poligami adalah seorang pria yang memiliki istri lebih dari seorang wanita, sedangkan poliandri adalah seorang wanita yang bersuami lebih dari seorang.⁵³
Zamakhsyari didalam Tafsir al-Kasyasaaf menerangkan bahwa poligami menurut syari’at Islam adalah rukhshah (kelonggaran) ketika darurat. Sama hal dengan rukhshah bagi musafir dan orang sakit yang dibolehkan berbuka puasa pada bulan Ramadhan ketika dalam perjalanan. Darurat yang dimaksud adalah berkaitan dengan tabiat laki-laki dari segi kecenderungannya untuk bergaul dengan lebih dari seorang istri. Kecenderungan yang ada pada diri seorang laki-laki itulah yang kemudian diatur dalam ajaran Islam. Dalam keadaan seperti itu, seandainya syariat Islam tidak memberikan kelonggaran berpoligami maka akan membuka peluang pada perzinaan itulah sebabnya poligami di perbolehkan dalam Islam. ⁵⁴
Aa Gym menjelaskan berpoligami merupakan ibadah yang dibolehkan dalam syari’at Islam. Realita ditengah masyarakat memandang buruk atau negatif terhadap amaliah poligami. Oleh karena itu diantara tujuan utama beliau berpoligami ialah menghilangkan citra bahwa poligami suatu kekeliruan atau kejahatan, menyadarkan untuk berhati-hati dan tidak menggampangkan berpoligami, karena poligami harus dilakukan dengan persiapan yang baik, kualitatif dan didukung oleh ilmu serta ekonomi yang representatif. Lebih lanjut beliau menuturkan bahwa poligami mengandung unsur penyelamatan serta ikhtiar.⁵⁵
Menurut Prof. Mahmoed Syaltut bahwa poligami menurut asal hukumnya boleh (mubah). Perbuatan ini sejak permulaan Islam menunjukkan bahwa poligami itu di perbolehkan selama tidak dikhawatirkan terjadinya penganiayaan, tetapi jika dikhawatirkan terjadinya penganiayaan tersebut, maka wajiblah mencukupkan istri seorang saja.⁵⁶
Rasyid Ridha mengatakan, sebagaimana yang dikutip oleh Masyfuk Zuhdi, sebagai berikut:
“Islam memandang poligami lebih banyak membawa resiko/mudharat dari pada manfaatnya, karena manusia itu menurut fitrahnya (human nature) mempunyai watak cemburu, iri hati, dan suka mengeluh. Karena itu, poligami hanya diperbolehkan, bila dalam keadaan darurat, misalnya istri ternyata mandul, sebab menurut islam, anak itu merupakan salah satu dari tiga human invesment yang sangat berguna bagi manusia setelah ia meninggal dunia, yakni bahwa amalnya tidak tertutup berkah adanya keturunan yang shaleh yang selalu berdo‟a untuknya”.⁵⁷
Amir Abdul Aziz dalam Tafsir Syamiil mengatakan bahwa Islam pada dasarnya adalah agama yang dapat memahami, yang berdiri berdasarkan keadilan dan penuh dengan pertimbangan serta tidak melampaui batas. Islam tidak mengharuskan menikah hanya sekali saja tapi boleh lebih dari satu, dan islam tidak membiarkan perkara menikah tanpa ada aturan atau tuntunan dan penjagaannya. Bahkan islam memberikan solusi terbaik dalam masalah pernikahan ini. Islam menghimbau untuk segera menikah dan menghindari masa lajang baik laki-laki maupun perempuan. Hal ini dilakukan untuk kemaslahatan umat agar mendapatkan keridhoan dan rasa ketenangan serta kenikmatan dalam rumah tangga. Tetapi jika ada keadaan yang mendesak sehingga sedikit memaksakan sesuatu untuk berpoligami, maka hal itu tidak bisa dihindari untuk poligami.
Islam adalah agama yang sejalan dengan fitrah manusia dan realistis. Ia menghadapi realita kehidupan ini dengan kearifan yang mendidik, menjauhkannya dari sifat melampaui batas sekaligus sikap ceroboh. Hal ini dapat kita saksikan secara jelas dalam memandang masalah poligami. Dengan didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan manusiawi yang sangat penting baik secara individu maupun sosial – ia memperbolehkan muslim menikah lebih dari satu perempuan. Bangsa-bangsa dan agama-agama sebelum Islam memperbolehkan kawin dengan perempuan dengan jumlah yang sangat banyak, puluhan hingga ratusan, tanpa syarat dan atau batasan tertentu. Setelah kedatangan Islam, ditentukanlah batas dan syarat-syarat berpoligami itu. Adapun batasannya, Islam mengizinkan batas maksimal empat istri. Ghailan Ats-Tsaqafi ketika masuk Islam ia beristri sepuluh orang. Nabi pun berkata kepadanya.
إختر منهن أربعا وفارق سائرهن
Pilihlah empat diantaranya dan tinggalkan sisanya . ( HR Ahmad, Turmudzi,Ibnu Majah).
Demikian pula orang yang masuk Islam dengan membawa istri delapan atau lima orang Rasulullah melarang mempertahankan kecuali empat diantaranya. Sedangkan perkawinan Rasulullah dengan sembilan orang istri, ini adalah perkecualian yang Allah berikan kepada beliau untuk kebutuhan dakwah dimasa hidupnya. Selain itu, juga kebutuhan umat kepada mereka setelah beliau meninggal .⁵⁸
B. SYARAT-SYARAT POLIGAMI
Adapun persyarat-persyarat seseorang yang berpoligami yaitu : ⁵⁹
- Pertama, istri mempunyai suatu penyakit yang tidak dapat disembuhkan sehingga mempengaruhi kehidupan rumah tangga. Dalam kasus ini suami tidak bisa bersabar dalam waktu yang lama sampai dia takut terlibat dalam hal yang dilarang islam, maka suami diperbolehkan untuk poligami.
- Kedua, Istri tidak dapat melahirkan. Jika tidak diperbolehkan untuk suami menikah lagi maka tidak akan ada keturunan atau anak dalam pernikahan. Dan manusia dikemas pada cinta keturunan, yang tetap merindukan dan bertemu dengan anak-anak dan cucu-cucu mereka sendiri. Dengan demikian akan terasa lengkap kehidupan mereka bila adanya keturunan sehingga tidak terjadi hal yang dapat mengganggu pernikahan.
- Ketiga, Masa-masa Peperangan, itu adalah fakta yang tidak diragukan lagi yang terjadi dari waktu ke waktu. Dimana adanya perselisihan manusia yang menimbulkan persaingan dan pertikaian yang menghancurkan. Masyarakat dan negara-negara beragam sepertinya mereka tidak takut untuk melakukan cara- cara yang paling keras dalam menyesaikan masalah dan perselihan. Sehingga dalam masa-masa peperangan tersebut banyak kaum laki-laki yang terbunuh. Pada hakikatnya peperangan mengharuskan laki-laki untuk pergi dan perempuan tetap tinggal. Dan perkara ini sangat jelas, karena akan terjadi kesenjangan antara jumlah laki-laki dan jumlah perempuan dimana jumlah laki-laki lebih sedikit dibanding perempuan, maka diperbolehkanlah untuk berpoligami kalau terjadi masa-masa seperti ini, masalah ini akan terjadi didalam lingkungan masyarakat atau manusia.
- Keempat, tabayun antara istri dan suami. Dalam arti ada perkara-perkara antara suami dan istri yang harus dibicarakan untuk kelangsungan hidup rumah tangga. Karena dalam urusan hidup setiap manusia berbeda-beda baik itu dalam masalah akhlak, prestasi, kesanggupan, kecerdasan, dan dari segi mental, psikologis, spiritual dan fisik, dan dalam hal keuangan atau makanan, begitu juga dalam hal seks. Maka ketika mereka dipisahkan dari hal ini, akan ada kesenjangan antara jiwa dan keinginan yang kuat. Ini semua sudah menjadi ketentuan Allah dan semua makhluk ciptaannya.⁶⁰
Menurut Musdah Mulia, poligami adalah ikatan perkawinan yang salah satu pihak (suami) mengawini beberapa (lebih dari satu) istri dalam waktu yang bersamaan. Selain poligami, dikenal juga poliandri yaitu seorang istri mempunyai beberapa suami dalam waktu yang bersamaan. ⁶¹
Pandangan para fuqaha dalam masalah poligami dapat diigolongkan menjadi tiga, yakni:
- Mereka yang berpegang pada ketidakbolehan menikahi wanita lebih dari satu, kecuali dalam kondisi tertentu. Yang berpendapat seperti ini adalah para fuqahȃ (pemikir) mutakhir seperti Syah Waliyullah, Sayyid Ahmad Khan, Muhammad Abduh, Ameer Ali, Qasim Amin, dan Fazlur Rahman.
- Mereka yang menyakini kebolehan menikahi wanita lebih dari satu sampai empat. Pendapat seperti ini dipegang oleh jumhur ulama salaf.
- Menikahi wanita bahkan lebih dari empatpun boleh. Pendapat seperti ini disampaikan oleh ulama Dzahiri.⁶²
Pendapat yang lebih ekstrim datang dari Muhammad Abduh yang mengatakan bahwa hukum poligami bagi orang yang merasa khawatir tidak akan berlaku adil adalah haram. Poligami hanya dibolehkan jika keadaan benar-benar memaksa seperti tidak dapat mengandung. Kebolehan poligami juga mensyaratkan kemampuan suami untuk berlaku adil. Ini merupaka sesuatu yang sangat berat, seandainya manusia tetap bersikeras berlaku adil tetap saja ia tidak akan mampu membagi kasih sayangnya secara adil.⁶³
Di dalam undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Bab 1 Dasar Perkawinan Pasal 3 yang berbunyi:
1) Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.
2) Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.⁶⁴
Dari undang-undang di atas dapat disimpulkan bahwa seorang laki-laki boleh mempunyai istri lebih dari satu apabila di izinkan oleh pengadilan bagi seorang pegawai negeri. Seorang laki-laki boleh menikah lebih dari satu kali karena mudarat karena hal-hal seperti seorang istri tidak bisa memberikan keturunan kepadanya dan suami istri tersebut ingin mempunyai anak maka seorang suami boleh menikah lagi, karena istrinya sakit dan tidak bisa mengurus suaminya maka seorang suami boleh menikah lagi.
Meski dalam pasal 3 ayat 1 undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan disebutkan bahwa pada dasarnya dalam suatu perkawinan seorang suami hanya boleh mempunyai seorang istri, dan seorang perempuan hanya boleh mempunyai seorang suami. Namun dalam ayat disebutkan bahwa pengadilan dapat memberi ijin pada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang bila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan. ⁶⁵
Sedangkan dalam pasal 4 selain mengatur mengenai bagaimana prosedur mengajukan permohonan untuk melakukan poligami, dalam ayat 2 disebutkan alasan-alasan yang memungkinkan pengadilan untuk mengijinkan poligami. Yaitu bila istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri, bila istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan bila istri tidak dapat melahirkan keturunan. Selain itu, dalam komplikasi Hukum Islam-aturan hukum yang dipakai umat muslim dalam hukum perdata beracara pada pasal 55 ayat 2 disebutkan syarat-syarat suami untuk melakukan poligami,
“Syarat utama beristri lebih dari seorang, suami harus mampu berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya”. ⁶⁶
Suami wajib berlaku adil terhadap istri-istrinya dalam urusan: pangan, pakaian, tempat tinggal, giliran berada pada masing-masing istri, dan lainnya yang bersifat kebendaan, tanpa membedakan antara istri yang kaya dengan istri yang miskin, yang berasal dari keturunan tinggi dengan yang berasal dari golongan bawah. Berkenaan dengan ketidak adilan suami terhadap istrinya, Nabi Saw bersabda:
عن ابى هريرة أن النبي صلى الله عليه وسلم قال من كانت له إمرأتان فمال إلى أحدهما جاء يوم القيامة وشقه مائل ( رواه ابوا داود والترميذي والنسائي وابن حبان)
“Dari Abu Hurairah ra. Sesungguhnya Nabi saw bersabda: Barang siapa yang mempunyai dua orang istri, lalu memberatkan kepada salah satunya, maka ia akan datang pada Hari Kiamat dengan bahunya miring”. ⁶⁷
Mengenai adil terhadap istri-istri dalam masalah cinta dan kasih sayang, Abu Bakar bin Araby mengatakan bahwa hal ini berada di luar kesanggupan manusia, sebab cinta itu adanya dalam genggaman Allah Swt yang mampu membolakbalikannya menurut kehendak-Nya.
Oleh karena itu Rasulullah Shollallahu alaihi wasallam dulu membagi-bagi secara adil dan belua berdo’. Sehubungan dengan keadilan , Aisyah r.a. berkata “
كان رسول الله صلى الله عليه يقسم فيعدل ويقول اللهم هذا قسمي فيما أملك فلا تَلُمْنِي فيما تملك ولاأملك قال أبوداود يعني القلب (ابوا داود والترميذي والنسائي وابن حبان
Rasulullah SAW selalu membagi giliran sesama istrinya dengan adil. Dan beliau pernah berdo‟a: Ya Allah, ini bagianku yang dapat aku kerjakan. Karena itu, janganlah Engkau mencelakakanku tentang apa yang Engkau Kuasai sedangkan aku tidak mengusainya. Abu Daud berkata: Yang dimaksud dengan „Engkau Kuasai tetapi aku tidak menguasai‟ yaitu hati”.
Maksudnya jangan disiksa karena hal yang tidak dimiliki, menyangkut masalah hati dan kecenderungan perasaan secara husus kepada salah satu diantara mereka. Jika hendak bebergian beliau mengundi mereka. Barang siapa diantara nama mereka muncul dialah yang berhak bersamanya. Beliau lakukan itu semata untuk menghindari penyesalan dan kelanggengan hati.
Menurut Al-Khattabi, hadits tersebut sebagai penguat adanya wajib melakukan pembagian yang adil terhadap istri-istrinya yang merdeka, dan makruh bersikap berat sebelah dalam menggaulinya, yang berarti mengurangi haknya, tetapi tidak di larang untuk lebih mencintai perempuan yang satu daripada yang lainnya, karena masalah cinta berada di luar kesanggupannya. ⁶⁸
Rasulullah Saw. memberi peringatan kepada si lelaki yang telah selesai melakukan ijab qabul dengan wali si perempuan agar dia berlaku baik terhadap istrinya sebab sejak ijab qabul tersebut tanggung jawab atas perempuan telah berpindah dari tangan orang tuanya kepada suaminya. Rasulullah Saw bersabda:
إستوصوا بالنساء خيرا أخذتمو هن بأمانة الله واستحللتم فروجهن بكلمات الله ( رواه البخارى ومسلم
“Aku diperingatkan kepada kamu agar kamu berlaku baik kepada istri-istri kamu. Karena kamu mengambil dia adalah sebagai amanah dari Allah dan telah menjadi halal kehormatannya bagi kamu dengan kalimat Allah. (H.R. Bukhari dan Muslim)”. ⁶⁹
Dari penjelasan hadits dan juga pendapat ulama” berserta Undang- undang perkawinan sebagaimana tersebut diatas, manakala seorang suami telah memenuhi terhadap hak-haknya atau kewajiban-kewajiban kepada istrinya, maka tidaklah mungkin istri-istrinya merasa tersakiti , karena timbul rasa sakit atau merasa tersakiti pada umumnya adalah disebabkan tidak terpenuhinya syarat berpoligami dan tidak terealisasinya sebuah keadilan. Oleh karenanya maka untuk mencover atau menutupi rasa sakitnya seorang istri karena dimadu itu bergantung pada keadilan sang suami dalam berpoligami dan kesabaran istri, karena jika suami yang berpoligami sudah sesuai dengan aturan syariat ( Adil ) tidaklah mungkin antara yang satu dengan yang lainnya merasa tersakiti. Kalau memang masih ada yang tersakiti padahal suami sudah adil, maka hal tersebut bukanlah hal yang timbul dari suami, melainkan timbul dari perindividu istri itu sendiri dan seorang suami tidaklah berdosa melainkan berdosa adalah ditanggung pribadi seorang istri, Allah SWT berfiman :
لِيَتَّخِذْ أَحَدُكُمْ قَلْبًا شَاكِرًا وَلِسَاناً ذَاكِرًا وَزَوْجَةً مُؤْمِنَةً تُعِيْنُ أَحَدَكُمْ عَلَى أَمْرِ الْآخِرَةِ
Di antara contoh istri yang sabar adalah seperti pahala Siti Asiyah istri Fir’aun yang dzalim. Begitu hebat Siti Asiyah menghadapi siksaan dan kedzaliman suaminya yang mengaku dirinya sebagai Tuhan. Siti Asiyah menghadapi siksaan ini dengan penuh kesabaran disertai senyuman dalam setiap rasa sakit yang ia terima sampai maut menjemputnya, sehingga namanya tercatat sebagai wanita mulia yang dijamin masuk surga atas kesabarannya menghadapi akhlak buruk suaminya. Rasulullah SAW bersabda :
مَن صَبَرَت عَلى سوءِ خُلُقِ زَوجِها؛ أعطاها مِثلَ ثَوابِ آسِيَةَ بِنتِ مُزاحِمٍ
Jika seorang istri sabar menghadapi keburukan akhlak suaminya, maka Allah akan memberikan pahala seperti yang diberikan kepada Asiyyah istri Fir’aun. “(H.R Muslim).
Islam menuntut dari seorang muslim yang akan melakukan poligami adalah keyakinan dirinya bahwa ia bisa berlaku adil diantara dua istri atau istri- istrinya baik dalam hal makanan, minuman, tempat tinggal, pakaian, dan nafkah. Barang siapa kurang yakin akan kemampuannya memenuhi hak-hak tersebut dengan seadil-adilnya, haramlah baginya menikah dengan lebih dari satu perempuan . Allahberfirman.
وإن خفتم أن لاتعدلوا فواحدة
Dan jika kalian hawatir tidak bisa berlaku adil cukuplah satu saja.( Annisa’ ;3).
C HISTORIS
Sebelum datangnya Islam, masyarakat Arab khususnya yang hidup di Jazirah Arab telah mempraktekkan poligami yang dilakukan tanpa ada batasan. Sejumlah riwayat menceritakan bahwa rata-rata pemimpin suku ketika itu memiliki puluhan istri, bahkan tidak sedikit kepala suku yang mempunyai sampai ratusan istri.⁷⁰
Poligami dalam sejarah manusia ternyata mengikuti cara pandang masyarakat terhadap kaum perempuan. Ketika masyarakat memandang kedudukan dan derajat perempuan itu sebagai makhluk yang hina, maka poligami menjadi subur (banyak dilakukan), sebaliknya pada masa masyarakat memandang kedudukan dan derajat perempuan itu terhormat, poligamipun berkurang.⁷¹
Sesungguhnya telah terjadi berbagai penafsiran dan pendapat tentang asal mula kejadian perempuan. Pertanyaan yang sering muncul adalah: Apakah dia diciptakan dari tanah seperti Adam, atau dia justru diciptakan dari bagian tubuh Adam. Pembicaraan dalam masalah ini dimulai dari penafsiran surah An-Nisa’ ayat pertama, yaitu:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ ٱتَّقُوا۟ رَبَّكُمُ ٱلَّذِى خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ وَٰحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَآءً ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ٱلَّذِى تَسَآءَلُونَ بِهِۦ وَٱلْأَرْحَامَ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
“Artinya: Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang Telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan Mengawasi kamu”.⁷²
Pendapat para ulama tentang kejadian perempuan dari lelaki, khususnya Hawa yang tercipta dari tulang rusuk Adam, bukan tanpa alasan. Sebab ada informasi dari hadis sahih seperti berikut:
وعن أبي هريرةَ قال : قالَ رسول ُ اللَّه ﷺ: اسْتوْصُوا بِالنِّساءِ خيْرًا، فإِنَّ المَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ ضِلَعٍ، وَإِنَّ أَعْوجَ مَا في الضِّلَعِ أَعْلَاهُ، فَإِنْ ذَهبْتَ تُقِيمُهُ كَسرْتَهُ، وإِنْ تركتَهُ لَمْ يَزلْ أَعوجَ، فاستَوْصُوا بِالنِّسَاءِ متفقٌ عَلَيهِ.
Dari Abu Hurairah Ra.Rasulullah SAW bersabda;” Nasahatilah perempuan itu dengan baik karena dia diciptakan dari tulang rusuk. Dan yang paling bengkok dari tulang rusuk itu adalah bahagian atas. Jika kamu memaksa untuk meluruskannya pasti kamu akan mematahkan dan jika kamu membiarkannya dia akan tetap bengkok”, Nasehatilah perempuan itu ( HR. Bukhari Muslim )
Pada hadis di atas jelas terlihat bahwa perempuan itu dikatakan seperti tulang rusuk yang bengkok, bukan diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok. Artinya tulang rusuk bengkok itu bukan asal, tetapi gambaran sikap dasar perempuan. Sebab ada sifat-sifat dasar yang harus dipahami oleh lelaki dan perlu disikapi dengan penuh kebijaksanaan.⁷³
Jika perempuan itu mitra para lelaki maka kedua jenis manusia ini harus seiring selangkah, saling memahami. Sikap superior dan infirior sewajarnya ditiadakan sebab kemitraan pada hakikatnya adalah memadukan kelebihan dan melengkapi kekurangan kedua belah pihak karena tidak menutup kemungkinan diantara keduanya ada kelemahan dan kekurangan untuk saling menutupi diantara keduanya, karena seorang perempuan ( istri ) adalah pakaian bagi seorang suami, begitu juga suami adalah pakaian bagi seorang istri guna untuk saling menutupi kekurangan atau aib diantara keduanya sehingga nantinya terbentuk keluarga dan masyarakat paripurna, sebagaimana Allah berfirman dalam al-Qur’an:”
هُنَّ لِبَاسٌ لَّكُمْ وَأَنتُمْ لِبَاسٌ لَّهُنَّ
Mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. QS Al Baqarah 2: 187.
Oleh karenanya bahwa inti dari ajaran Islam adalah memuliakan kedudukan dan kejadian perempuan karena tidak memuliakan kepada perempuan ( istri ) kecuali orang yang mulia sebagaimana Rasulullah SAW bersabda:”
مَا أَكْرَمَ النِّسَاءَ إِلاَّ كَرِيْمٌ ، وَمَا أَهَانَهُنَّ إِلاَّ لَئِيْمٌ
“Tidak menghormati kepada perempuan ( para wanita/istri kecuali laki-laki ( suami ) yang terhormat. Dan tidak merendahkan/menghina kepada perempuan para wanita ( istri ) kecuali laki-laki ( suami ) yang rendah/hina“.“
Islam tidak membedakan di antara perempuan dan lelaki dalam aspek kemuliaan karena, Keduanya adalah manusia yang utuh berasal dari keturunan Adam. Ini yang diungkapkan Allah dalam Al-Qur’an surah Al-Isra’ ayat: 70
وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُم مِّنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَىٰ كَثِيرٍ مِّمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلًا﴾ الإسراء: ٧٠
Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan. ⁷⁴
Wanita memang pernah tertindas dalam sejarah. Misalnya saja dalam sejarah bangsa Arab, bahkan di sejarah bangsa mana pun di dunia ini kaum hawa di masa lampau mengalami hal yang sama. Pada masa Jahiliah, sebelum datangnya suatu ajaran agama yang disebut Islam, tidak dapat dipungkiri bahwa nasib wanita di kala itu memang sangat terpinggirkan dan tertindas di bawah kesewenang-wenangan dan hegemoni kaum lelaki. ⁷⁵
Al-Qur’an menyebutkan perilaku orang-orang Arab jahiliyah bahwa mereka mengubur hidup-hidup anak-anak perempuan mereka karena takut menanggung cela atau makan bersama mereka. Dalam pandangan mereka, wanita tak lebih dari barang warisan sehingga seorang anak laki-laki bisa menikahi istri ayahnya (setelah kematian ayahnya) dan melarang mereka untuk menikah sepanjang masa.⁷⁶
Dengan banyak cara dan berbagai argumentasi. Secara rasional objektif biasanya pendukung poligami sering memakai alasan demografi dengan mengatakandi dunia ini jumlah perempuan lebih banyak dari pada laki-laki, maka poligami akan membantu semua lelaki dan perempuan secara legal formal untuk dapat menikmati seks dan memperoleh keturunan.⁷⁷
Berbicara poligami, kita akan teringat adanya fenomena yang mengundang kontroversi diberbagai kalangan. Tidak hanya kaum aktivis perempuan dan agamawan yang mengomentari fenomena ini, tetapi juga para artis yang ikut dalam debat publik menyikap poligami Award. ⁷⁸
Di India, juga di negeri Islam dan non-Islam lainnya, poligami diserang oleh mereka yang mendukung hak-hak perempuan bahkan. Bukan ha-nya Islam tapi juga semua agama, adat dan tradisi yang terkait yang memperbolehkan beristri lebih dari satu. Mitos dan legenda Hindu bertutur tentang ratusan istri dari beberapa dewa, misalnya, Krishna. Bahkan sebagian Kulin Brahmin memiliki istri lusinan di Bengan Tengah.⁷⁹
Peraturan poligami sebenarnya telah dikenal dan dibolehkan sebelum Islam lahir dan itu berlaku dikalangan penganut agama-agama ardi seperti Berhalaisme, Majusi, dan Budha. Agama-agama ini membolehkan praktek poligami dengan jumlah yang tidak terbatas. Begitupula dalam agama Masehi, tidak ada keterangan yang melarang pengikutnya untuk berpoligami dengan dua perempuan atau lebih.⁸⁰
Dalam agama Hindu, poligami dilakukan sejak zaman bahari. Seperti yang dilakukan oleh beberapa bangsa lain, poligami yang berlaku dalam agama Hindu tidak mengenal batasan tertentu mengenai jumlah perempuan yang boleh dinikahi. Hal tersebut juga membudayakan dan melembaga pada masyarakat Israel sebelum datangnya Nabi Musa a.s. Kebiasaan perkawinan poligami tersebut kemudian diupayakan oleh Talmud di Yerussalem untuk dihapuskan.⁸¹
Agama Yahudi memperbolehkan perkawinan poligami dengan tanpa batasan tertentu. Dalam tradisi Kristen, poligami dijalankan sampai adanya aturan Yustinus. Kebiasaan sebelumnya, tidak ada aturan khusus yang membahas masalah perkawinan tersebut. Perkembaangan modern menyebabkan banyaknya pandangan yang mengutuk perkawinan poligami. Barat mengklaim perkawinan tersebut adalah sesuatu yang tidak bermoral. ⁸²
Dalam kajian antropologi yang mempelajari pola-pola kebudayaan masyarakat, perkawinan antara laki-laki dan perempuan mengakibatkan munculnya suatu kelompok kekerabatan (kin group) yang disebut keluarga inti (nuclear family). Tradisi praktek poligami ini diperkuat oleh masuknya agama Islam ke tanah Nusantara yang mulai menyebar secara luas di awal abad ke 13. Ajaran Islam memang membolehkan poligami, meskipun dibatasi empat istri.⁸³
Melalui perspektif antropologi dan sejarah, terlihat bahwa praktek poligami pada masyarkat-masyarakat pra-industrial, di samping berkaitan dengan pemuasan hasrat seksual, juga terkait dengan persoalan pembagian kerja seksual. Ajaran Islam yang seharusnya tidak membelenggu perempuan, malah kemudian melebur dalam budaya dan struktur patriarki dengan membolehkan laki-laki untuk beristri lebih dari satu. ⁸⁴
Pada masa Nabi Muhammad, ada seorang sahabat yang bernama Ghilan AtTsauqfi. Dia mempunyai sepuluh orang istri. Hal ini dilaporkan pada Nabi, kemudian beliau menyuruhnya untuk mengambil hanya empat dari sepuluh istri tersebut. Riwayat ini membuktikan bahwa poligami merupakan respons sosiologis dan antropologis Al-Qur’an atas masyarakat saat itu. Bilangan empat bukan lagi diartikan sebagai batas maksimal untuk masa sekarang, tetapi batas maksimal untuk masa lalu. Namun, para ahli fiqih yang notabene ulama laki-laki, sering menjadikan batas maksimal 4 yang seringkali menafsirkan ajaran-ajaran Islam masa lalu secara tekstual, tanpa melihat kondisi perubahan yang terjadi dalam masyarakat, seolah-olah keberlakuannya universal dan abadi.⁸⁵
D. NASH
Islam adalah agama yang sesuai dengan fitrah manusia dan selalu terjun dalam suatu realita, mendidik dan menjauhkan dari sikap teledor dan bermalas-malas. Syarat yang ditentukan Islam untuk poligami ialah terpercayanya seorang muslim terhadap dirinya, bahwa dia sanggup berlaku adil terhadap semua istrinya baik tentang soal makannya, minumnya, pakaiannya, tempat tidurnya mahupun nafakahnya. Siapa yang tidak mampu melaksanakan keadilan ini, maka dia tidak boleh kahwin lebih dari seorang.⁸⁶
Bentuk perkawinan dalam Islam ada dua, yaitu monogami dan poligami. Monogami merupakan bentuk perkawinan yang alami, karena di dalamnya terdapat semangat yang eksklusif dalam melimpahkan rasa kasih sayang, cinta dan pelayanan seksual sepasang suami istri tanpa berbagi dengan orang lain. Lawan dari kata monogami adalah poligami, berarti perkawinan dengan lebih dari seorang perempuan.86 Firman Allah dalam surat An-Nisa ayat 3 yang berbunyi:
وَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّا تُقْسِطُوْا فِى الْيَتٰمٰى فَانْكِحُوْا مَا طَابَ لَكُمْ مِّنَ النِّسَاۤءِ مَثْنٰى وَثُلٰثَ وَرُبٰعَۚ فَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّا تَعْدِلُوْا فَوَاحِدَةً اَوْ مَا مَلَكَتْ اَيْمَانُكُمْۗ ذٰلِكَ اَدْنٰٓى اَلَّا تَعُوْلُوْاۗ ٣
” Artinya :” Jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Akan tetapi, jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, (nikahilah) seorang saja atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat untuk tidak berbuat zalim.
Poligami tidak akan ada kecuali jika membludaknya jumlah perempuan. Tujuan mengapa harus disyariatkan poligami adalah agar tidak ada satu pun perempuan muslimah di mana pun mereka berada hidup dalam sebuah masyarakat tanpa memiliki suami. Semuanya bertujuan agar lingkungan tersebut terbebas dari kesesatan dan perempuan ketika mereka mendapat posisi sebagai istri kedua tidak akan melakukan hal yang menyimpang.⁸⁷
Sebenarnya poligami disyariatkan untuk memecahkan berbagai problematika hidup yang dialami oleh kaum perempuan. Di samping itu, untuk mengatasi penyimpangan yang terjadi dalam tubuh masyarakat seandainya terdapat jumlah perempuan yang sangat besar. Sistem poligami ini kebanyakan dapat menjaga kehidupan istri yang pertama dan kedua. Karena tidak setiap prolem atau masalah menjadikan negatif sehingga orang tersebut terpuruk, lemah dan bahkan merasa kehilangan harga diri-nya. Tetapi, ada juga yang karena mendapatkan problem atau masalah menjadikan orang tersebut termotivasi menjadi lebih baik dan bahkan menjadi lebih kuat dari sebelumnya.
Masalahnya sekarag ini adalah, sebagian lakilaki yang ingin atau telah melakukan praktik poligami sering mengabaikan unsur keadilan yang telah Allah syaratkan kepada laki-laki ketika ingin melakukan praktik poligami. ⁸⁸
Allah berfirman dalam surah An-Nisa ayat 129 tentang keadilan berpoligami yang berbunyi:
وَلَنْ تَسْتَطِيْعُوْٓا اَنْ تَعْدِلُوْا بَيْنَ النِّسَاۤءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلَا تَمِيْلُوْا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوْهَا كَالْمُعَلَّقَةِ ۗوَاِنْ تُصْلِحُوْا وَتَتَّقُوْا فَاِنَّ اللّٰهَ كَانَ غَفُوْرًا رَّحِيْمًا
” Artinya:” Dan kamu tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.
Ayat ini menjelaskan bahwa kamu wahai para suami sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil, yakni tidak dapat mewujudkan dalam hati kamu secara terusmenerus keadilan dalam hal cinta di antara istri-istri kamu walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena cinta di luar kemampuan manusia untuk mengaturnya. Karena itu, berlaku adillah sekuat kemampuan kamu, yakni dalam hal-hal yang bersifat material, dan kalaupun hatimu lebih mencintai salah seorang atas yang lain, maka aturlah sedapat mungkin persaan kamu sehingga janganlah kamu terlalu cenderung kepada istri yang kamu cintai dan mendemontrasikan serta menumpahkan semua cintamu kepadanya, sehingga kamu biarkan isrtimu yang lain terkatung-katungtidak merasa diperlakukan sebagai istri dan tidak juga dicerai sehingga bebas untuk menikah atau melakukan apa yang dikehendakinya. Dan jika kamu setiap saat dan bersinambung mengadakan perbaikan dengan menegakkan keadilan yang diperintahkan Allah dan bertakwa, yakni menghindari aneka kecurangan serta memelihara diri dari segala dampak buruk, maka Allah akan mengampuni pelanggaran-pelanggaran kecil yang kamu lakukan karena sesunguhnya Allah selalu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.⁸⁹
E. Kesimpulan.
Poligami adalah ikatan yang salah satu pihak mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu bersamaan yang mana kata tersebut dapat mencakup poligini yakni sistem perkawinan yang memperbolehkan seorang pria mengawini beberapa wanita dengan minimalnya dua sedangkan maksimal empat wanita yang hukumnya diperbolehkan dalam Islam dengan didasarkan atas keyakinan terhadap kemampuan dirinya untuk adil dalam memberikan nafkah dhahir batin , pakaian makanan tempat terhadap istr-istrinya dengan berpijak pada tuntunan Al-Qur’an dan Assunnah serta undang-undang perkawinan yang berlaku. ⁹⁰ Akan tetapi sebaliknya jika tidak optimis/ tidak percaraya diri atau tidak ada adanya keyakinan terhadap kemampuan dirinya sehingga tidak terpenuhinya syarat poligami maka hukumnya haram.⁹¹
Dengan demikian timbulnya adanya prolematika yang menyebabkan lukanya hati ( tersakitinya) salah satu dari istrinya adalah dikarenakan tidak adanya keadilan dalam arti suaminya tidak memenuhi terhadap hak-haknya atau tidak memenuhi syarat dalam berpoligami apalagi bersikap kasar bahkan menghinanya maka ini bisa tersakiti karena perempuan semuanya tercipta dari tulang yang bengkok yang mudah fatah jika diperlakukan secara kasar dan bukan secara bijaksana. Akan tetapi sebaliknya apabila suami adil dalam arti telah memenuhi terhadap hak-haknya serta menggaulinya secara makruf dan lemah lembut, maka akan tertanam kehidupan keluarga yang sakinah mawaddah warohmah hatinya tenang tentram rukun dan penuh kedamaian dalam berumah tangga ” بيتي جنتي rumahku adalah surgaku . Wallahu A’lam bisshowab.
REFERENSI / DAFTAR PUSTAKA
⁵⁰: Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008), hlm, 1089.
⁵¹:Rodli Makmun, dkk, Poligami dalam Tafsir Muhammad Syahrur, (Ponorogo: STAIN Ponorogo Press, 2009), hlm, 15.
⁵²: M. Alfatih Suryadilaga, Sejarah Poligami dalam Islam, Musãwa: Jurnal Studi Gender dan Islam, Vol1Maret 2002
⁵³: Mahyuddin, Masailul Fiqhiyah, (Jakarta: Kalam Mulia, 2003), hlm, 39-40.
⁵⁴:Jurnal RISALAH, Vol. 26, No. 2, Juni 2015: 58.
⁵⁵: Jurnal RISALAH, hlm, 59.
⁵⁶: Ibid, hlm, 59.
⁵⁷: Halal dan haram Dr Susuf Al-Qardhawi, hal.
⁵⁸: Ghazaly ABD Rachman, Fiqih Munakahat, cet.2, (Jakarta: Kencana, 2003), hlm, 130-131.
⁵⁹: Amir Abdul Aziz, Tafsir Al-Syamiil Al-Qur‟anulkarim, Jilid 2, (Al-Azhar: Dar Al Salam, 2000/1420 H), hlm, 652.
⁶⁰: Amir Abdul Aziz, Tafsir Syamiil Al-Qur‟anulkarim, Jilid 2, hlm, 652-653.
⁶¹: Siti Musdah Mulia, Islam Menggugat Poligami, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2003), hlm,43.
⁶²:Fayumi Badriyah, dkk, Isu-Isu Gender Dalam Islam, cet.1, (Jakarta: PSW UIN Syarif Hidayatullah, 2002), hlm, 52.
⁶³: Attan Navaron, Konsep Adil dalam Poligami (Studi Analisis Pemikiran M. Qurasyi Shihab) Skripsi, ( Semarang: IAIN Walisongo, 2010), hlm, 46.
⁶⁴: Mardani, Hukum Islam (Kumpulan Peraturan tentang Hukum Islam di Indonesia), (Jakarta: Kencana, 2013), hlm, 69.
⁶⁵:Vony Reynata, Kebijakan Poligami: Kekerasan Negara Terhadap Perempuan, Jurnal Perempuan (untuk pencerahan dan kesetaraan), Menimbang Poligami, (Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2003), hlm, 11.
⁶⁶: Vony Reynata, hlm, 11-12.
⁶⁷:Gazaly ABD Rachman, hlm, 131-133
⁶⁸: Ibid, hlm, 133.
⁶⁹: Hamka, Buya Hamka Berbicara tentang Perempuan, (Jakarta: Gema Insani, 2015), hlm, 71-72.
⁷⁰:Fayumi Badriyah, dkk, Isu-Isu Gender Dalam Islam, hlm, 42.
⁷¹: Ibid, hlm, 42.
⁷²:.Al-Qur’an, Surah An-Nis, Ayat:1.30
⁷³: Amin Saidul, Filsafat Feminisme ( Studi Kritis Terhadap Gerakan Pembaharuan Perempuan di Dunia Barat dan Islam), (Pekanbaru: CV Mulia Indah Kemala, 2015), hlm, 101-102.
⁷⁴: Op. Cit, hlm, 102-103.
⁷⁵: Eka Kurnia, Poligami Siapa Takut?, (Jakarta: Qultum Media, 2006), hlm, 14.
⁷⁶: Al-Ghamidi Ali bin Sa’id, Fikih Wanita, (Jakarta: Aqwam 2012), hlm, xix.
⁷⁷: Kristi Poerwandri, Ilusi Poligami, Jurnal Perempuan (untuk pencerahan dan kesetaraan), Menimbang Poligami, (Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2003), hlm, 19.
⁷⁸: Leli Nurohmah, Poligami, Saatnya Melihat Realitas, Jurnal Peremppuan, Menimbang Poligami,(Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2003), hlm, 31.
⁷⁹: Engineer Asghar Ali, Matinya Perempuan (Menyingkap Megaskandal Doktrin dan Laki-laki),(Yogyakarta: IRCiSoD, 2003), hlm, 131.
⁸⁰: Engineer Asghar Ali, hlm, 33.
⁸¹: M. Alfatih Suryadilaga, Musãwa Jurnal Studi Gender dan Islam, hlm, 3.
⁸²: Ibid, hlm, 4.
⁸³: Budi Radjab, Meninjau Poligami: Perspektif Antropologi dan Keharusan Mengubahnya, Jurnal Perempuan (untuk pencerahan dan kesetaraan) Menimbang Poligami, (Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2003), hlm, 69-74.
⁸⁴: Budi Radjab, Jurnal Perempuan, hlm, 80-81.
⁸⁵: Ibid, hlm, 81.
⁸⁶: Qardhawi Muhammad Yusuf, Halal Dan Haram Dalam Islam, (Singapura: pt. Bina ilmu, 1993), hlm,
⁸⁷: Usman, Perdebatan Masalah Poligami dalam Islam, An-Nida: Jurnal Pemikiran Islam, Vol.39,No.1 Januari-Juni 2014.hlm 130
⁸⁸: Syaikh Mutawalli As-Sya’rawi, Fikih Perempuan ( Muslimah), Sinar Grafika Offset: Amzah, hlm,, 184.
⁸⁹: Ibid, hlm, 185-186.
⁹⁰: M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah (Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟an), Volume 2…, hlm,606-607.
⁹¹: Fiqhul Islamiy Waadillatuhu Syaikh Wah ah Azzuhailiy
كتاب الحلال والحرام للشيخ الدكتور يوسف القرضاوي رحمه الله
:الزواج بأكثر من واحدة ، الإسلام دين يلائم الفطرة ، ويعالج الواقع ، بما يهذبه ، ويبعد به عن الإفراط والتفريط
. زوجات وهذا ما نشاهده جليًّا في موقفه من تعدد الزوجات
فإنه العتبارات إنسانية هامة ، فردية واجتماعية ، أباح للمسلم أن يتزوج
. بأكثر من واحدة
كان كثير من الأمم والملل قبل الإسلام ، يبيحون التزوج بالجم وقد الغفير من النساء ، قد يبلغ العشرات ، وقد يصل إلى المائة والمئات ، دون اشتراط لشرط،ولاتقيد بقيد ، فلما جاء الإسلام وضع لاعدد الزوجات قيدا وشرطا .فأماالقيد فجعل الحد الأقصى للزوجات أربعا . وقد أسلم غيلان الثقفي وتحته عشر نسوة فقال له النبي إختر منهن أربعا وفارق سائرهن . وكذلك من أسلم عن ثمانية نهاه رسول الله أن يمسك منهن إلا أربعا. أما زواج الرسول بتسع نسوة فكان هذا شيأ خصه الله به لحاجة الدعوة فى حياته وحياة الأمة إليهن بعد وفاته.
العدل شرط فى إباحة التعدد.
أما الشرط الذي إشترطه الإسلام للتعدد الزوجات فهو ثقة المسلم
أن يعدل بين زوجتيه او زوجاته فى المأكل والمشرب والملبس والمسكن والمبيت والنفقة ومن لم يثق فى نفسه والقدر ة على آداء هذه الحقوق بالعدل والسوية ، حرم عليه أن يتزوج بأكثر من واحدة .قال تعالى فإن خفتم أن لاتعدلوا فواحدة . ( النساء.٣).وقال النبي صلى الله عليه وسلم من كانت له إمرأتان يميل لإحداهما على الأخرى جاء يوم القيامة يجر أحد شقيه مائل رواه أحمد فى مسنده والميل الذي حذر من هذا الحديث هو الجور على حقوقها لا مجر الميل القلبي ، فإن هذا داخل فى العدل لايستطاع ، والذي عفى الله عنه وسامح فى شأنه قال سبحانه وتعالى ولن تستطيعوا ان تعدلوا بين النساء ولو حرصتم فلا تميلوا كل الميل (النساء .١٢٩) ولهذا كان رسول الله يقسم ويعدل ويقول ؛ اللهم هذا قسمي فيما أملك فلا تلمني فيما تملك ولاعمرك. يعني بما لايملكه أمر القلب والميل العطافي إلى إحداهن خاصة
وكان إذا أراد سفر حكم بينهن القرعة فأيتهن خرج سهما سفربها ، وإنما فعل ذلك دفعات لوخر الصدور وترضية للجمع
الفقه الإسلامي وأدلته، ٩/١٦٠
فَلَا تَعْنِي أَنَّ كُلَّ مُسْلِمٍ يَتَزَوَّجُ أَكْثَرَ مِنْ وَاحِدَةٍ، بَلْ أَصْبَحَ مَبْدَأَ وَحْدَةِ الزَّوْجَةِ هُوَ الْغَالِبُ الْأَعْظَمُ. قُيُوْدُ إِبَاحَةِ التَّعَدُّدِ : اشْتَرَطَتِ الشَّرِيْعَةُ لِإِبَاحَةِ التَّعَدُّدِ شَرْطَيْنِ جَوْهَرِيَيْنِ هُمَا: ١) تَوْفِيْرُ الْعَدْلِ بَيْنَ الزَّوْجَاتِ: أَيْ العَدْلُ الَّذِيْ يَسْتَطِيْعُهُ اْلِإنْسَانُ، وَيَقْدِرُ عَلَيْهِ، وَهُوَ التَّسْوِيَّةُ بَيْنَ الزَّوْجَاتِ فِي النَّوَاحِي الْمَادِيَّةِ مِنْ نَفَقَةٍ وَحُسْنِ مُعَاشَرَةٍ وَمَبِيْتٍ. ;إِلَى أَنْ قَالَ) القُدْرَةُ عَلَى الْإِنْفَاقِ: لَا يَحِلُّ شَرْعاً الِإقْدَامُ عَلَى الزَّوَاجِ، سَوَاءٌ مِنْ وَاحِدَةٍ أَوْ مِنْ أَكْثَرَ إِلَّا بِتَوَافُرِ القُدْرَةِ عَلَى مُؤَنِ الزَّوَاجِ وَتَكَالِيْفِهِ، وَالْاِسْتِمْرَارُ فِي أَدَاءِ النَّفَقَةِ الْوَاجِبَةِ لِلزَّوْجَةِ عَلَى الزَّوْجِ، لِقَوْلِهِ : يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ، مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ البَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ… وَالْبَاءَةُ: مُؤْنَةُ النِّكَاحِ. ( (فَإِنْ اشْتَدَّ الشِّقَاقُ) أَيْ الْخِلَافُ بَيْنَهُمَا بِأَنْ دَامَا عَلَى التَّسَابِّ وَالتَّضَارُبِ (بَعَثَ) الْقَاضِي (حَكَمًا مِنْ أَهْلِهِ وَحَكَمًا مِنْ أَهْلِهَا) لِيَنْظُرَا فِي أَمْرِهِمَا بَعْدَ اخْتِلَاءِ حَكَمِهِ بِهِ، وَحَكَمِهَا بِهَا وَمَعْرِفَةِ مَا عِنْدَهُمَا فِي ذَلِكَ، وَيُصْلِحَا بَيْنَهُمَا أَوْ يُفَرِّقَا إنْ عَسُرَ الْإِصْلَاحُ عَلَى مَا سَيَأْتِي قَالَ تَعَالَى:وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُوا حَكَمًا إلخ ، وَهَلْ بَعْثُهُ وَاجِبٌ، أَوْ مُسْتَحَبٌّ وَجْهَانِ صَحَّحَ فِي الرَّوْضَةِ، وُجُوبَهُ لِظَاهِرِ الْأَمْرِ فِي الْآيَةِ (وَهُمَا وَكِيلَانِ لَهُمَا وَفِي قَوْلٍ) حَاكِمَانِ (مُوَلَّيَانِ مِنْ الْحَاكِمِ) لِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى سَمَّاهُمَا حَكَمَيْنِ، وَالْوَكِيلُ مَأْذُونٌ لَيْسَ بِحَكَمٍ، وَوَجْهُ الْأَوَّلِ أَنَّ الْحَالَ قَدْ يُؤَدِّي إلَى الْفِرَاقِ وَالْبُضْعُ حَقُّ الزَّوْجِ، وَالْمَالُ حَقُّ الزَّوْجَةِ وَهُمَا رَشِيدَانِ، فَلَا يُوَلَّى عَلَيْهِمَا فِي حَقِّهِمَا (فَعَلَى الْأَوَّلِ يُشْتَرَطُ رِضَاهُمَا) بِبَعْثِ الْحَكَمَيْنِ (فَيُوَكِّلُ) هُوَ (حَكَمَهُ بِطَلَاقٍ وَقَبُولِ عِوَضِ خُلْعٍ وَتُوكِلُ) هِيَ (حَكَمَهَا بِبَذْلِ عِوَضٍ وَقَبُولِ طَلَاقٍ بِهِ)، وَيُفَرِّقُ الْحَكَمَانِ بَيْنَهُمَا إنْ رَأَيَاهُ صَوَابًا وَعَلَى الثَّانِي لَا يُشْتَرَطُ رِضَاهُمَا بِبَعْثِ الْحَكَمَيْنِ، وَإِذَا رَأَى حَكَمُ الزَّوْجِ الطَّلَاقَ اسْتَقَلَّ بِهِ وَلَا يَزِيدُ عَلَى طَلْقَةٍ وَإِنْ رَأَى الْخُلْعَ، وَوَافَقَهُ حَكَمُهَا تَخَالَعَا وَإِنْ لَمْ يَرْضَ الزَّوْجَانِ ثُمَّ الْحَكَمَانِ يُشْتَرَطُ فِيهِمَا عَلَى الْقَوْلَيْنِ مَعًا الْحُرِّيَّةُ وَالْعَدَالَةُ وَالِاهْتِدَاءُ إلَى مَا هُوَ الْمَقْصُودُ مِنْ بَعْثِهِمَا دُونَ الِاجْتِهَادِ، وَتُشْتَرَطُ الذُّكُورَةُ عَلَى الثَّانِي وَكَوْنُهُمَا مِنْ أَهْلِ الزَّوْجَيْنِ أَوْلَى لَا وَاجِبٌ.
حاشيتا قليوبي وعميرة، ١٢/٢٢٧
أيماامْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوْجَهَا الطَّلَاقَ) فِي رِوَايَةٍ طَلاَقَهَا (مِنْ غَيْرِ مَا بَأْسٌ) بِزِيَادَةِ مَا للِتَّأْكِيْدِ وَالْبَأْسُ الشِّدَّةُ أَيْ فِي غَيْرِ حَالَةِ شِدَّةٍ تَدْعُوْهَا وَتُلْجِئُهَا إِلَى الْمُفَارَقَةِ كَأَنْ تَخَافَ أَنْ لَا تُقِيْمَ حُدَوْدَ اللهِ فِيْمَا يَجِبُ عَلَيْهَا مِنْ حُسْنِ الصُّحْبَةِ وَجَمِيْلُ الْعُشْرَةِ لِكَرَاهَتِهَا لَهُ أَوْ بَأَنْ يُضَارَّهَا لِتَنْخَلَعَ مِنْهُ (فَحَرَامٌ عَلَيْهَا) أَيْ مَمْنُوْعٌ عَنْهَا (رَائِحَةُ الْجَنَّةِ) وَأَوَّلُ مَا يَجِدُ رِيْحَهَا الْمُحْسِنُوْنَ الْمُتَّقُوْنَ لَا أَنَّهَا لَا تَجِدُ رِيْحَهَا أَصْلًا فَهُوَ لِمَزِيْدِ الْمُبَالَغَةِ فِي التَّهْدِيْدِ وَكَمْ لَهُ مِنْ نَظِيْرٍ. قَالَ اْبنُ الْعَرَبِيِّ: هَذَا وَعِيْدٌ عَظِيْمٌ لَا يُقَابِلُ طَلَبُ الْمَرْأَةِ الْخُرُوجَ مِنَ النِّكَاحِ لَوْ صَحَّ. وَقَالَ ابْنُ حَجَرٍ: الأَخْبَارُ الْوَارِدَةُ فِي تَرْغِيْبِ الْمَرْأَةِ مِنْ طَلَبِ طَلَاقِ زَوْجِهَا مَحْمُولَةٌ عَلَى مَا إِذَا لَمْ يَكُنْ سَبَبٌ يَقْتَضِي ذَلِكَ. (فيض القدير، ١٧٨/٣) الْمَسْأَلَةُ الْخَامِسَةُ: إِذَا وَقَعَ الشِّقَاقُ بَيْنَهُمَا، فَذَاكَ الشِّقَاقُ إِمَّا أَنْ يَكُوْنَ مِنْهُمَا أَوْ مِنْهُ أَوْ مِنْهَا، أَوْ يُشْكَلُ، فَاِنْ كَانَ مِنْهَا فَهُوَ النُّشُوْزُ وَقَدْ ذَكَرْنَا حُكْمَهُ، وَاِنْ كَانَ مِنْهُ، فَاِنْ كَانَ قَدْ فَعَلَ فِعْلًا حَلَالَا: مِثْلَ التَّزَوُّجِ بِامْرَأَةٍ أُخْرَى، أَوْ تَسَرِّي بِجَارِيَةٍ، عَرَفَتِ الْمَرْأَةُ أَنَّ ذَلِكَ مُبَاحٌ وَنُهِيَتْ عَنِ الشِّقَاقِ، فَاِنْ قَبِلَتْ وَإِلَّا كَانَ نُشُوْزَا، وَإِنْ كَانَ بِظُلْمٍ مِنْ جِهَتِهِ أَمَرَهُ الْحَاكِمُ بِالْوَاجِبِ، وَإِنْ كَانَ مِنْهُمَا أَوْ كَانَ الْأَمْرُ مُتَشَابِهًا، فَالْقَوْلُ أَيْضاً مَا قُلْنَاهُ. (تفسير الفخر الرازى، ١٤٤٤/١) (وَيَسْتَحِقُّ الْقَسْمَ مَرِيضَةٌ) وَقَرْنَاءُ (وَرَتْقَاءُ وَحَائِضٌ وَنُفَسَاءُ) وَمَنْ آلَى مِنْهَا أَوْ ظَاهَرَ وَمُحْرِمَةٌ وَمَجْنُونَةٌ لَا يَخَافُ مِنْهَا. قَالَ الْغَزَالِيُّ: وَكَذَا كُلُّ مَنْ بِهَا عُذْرٌ شَرْعِيٌّ أَوْ طَبِيعِيٌّ؛ لِأَنَّ الْمَقْصُودَ مِنْهُ الْأُنْسُ لَا الِاسْتِمْتَاعُ. أَمَّا الْمَجْنُونَةُ الَّتِي يَخَافُ مِنْهَا وَلَمْ يَظْهَرْ مِنْهَا نُشُوزٌ وَهِيَ مُسَلِّمَةٌ لَهُ فَلَا يَجِبُ لَهَا قَسْمٌ كَمَا بَحَثَهُ الزَّرْكَشِيُّ وَإِنْ اسْتَحَقَّتْ النَّفَقَةَ، فَهِيَ مُسْتَثْنَاةٌ مِنْ قَوْلِنَا: وَضَابِطُ مَنْ يَسْتَحِقُّ الْقَسْمَ كُلُّ مَنْ وَجَبَتْ نَفَقَتُهَا وَلَمْ تَكُنْ مُطَلَّقَةً لِتَخْرُجَ الرَّجْعِيَّةُ. وَيُسْتَثْنَى مِنْ اسْتِحْقَاقِ الْمَرِيضَةِ الْقَسْمَ مَا لَوْ سَافَرَ بِنِسَائِهِ فَتَخَلَّفَتْ وَاحِدَةٌ لِمَرَضٍ فَلَا قَسْمَ لَهَا وَإِنْ كَانَتْ تَسْتَحِقُّ النَّفَقَةَ كَمَا نَقَلَهُ الْبُلْقِينِيُّ عَنْ تَصْرِيحِ الْمَاوَرْدِيُّ وَأَقَرَّهُ. وَضَابِطُ مَنْ لَا يَسْتَحِقُّهُ كُلُّ امْرَأَةٍ لَا نَفَقَةَ لَهَا فَلَا تَسْتَحِقُّهُ أَمَةٌ لَمْ تُسَلِّمْ لِلزَّوْجِ لَيْلًا وَنَهَارًا، وَلَا الصَّغِيرَةُ الَّتِي لَا تُطِيقُ الْوَطْءَ، وَلَا الْمَحْبُوسَةُ، وَلَا الْمَغْصُوبَةُ، وَ (لَا نَاشِزَةٌ) بِخُرُوجِهَا عَنْ طَاعَةِ زَوْجِهَا كَأَنْ خَرَجَتْ مِنْ مَسْكَنِهِ بِغَيْرِ إذْنِهِ، أَوْ لَمْ تَفْتَحْ لَهُ الْبَابَ لِيَدْخُلَ، أَوْ لَمْ تُمَكِّنْهُ مِنْ نَفْسِهَا بِلَا عُذْرٍ لَهَا كَمَرَضٍ وَإِلَّا فَهِيَ عَلَى حَقِّهَا كَمَا قَالَهُ الْمَاوَرْدِيُّ، أَوْ دَعَاهَا فَاشْتَغَلَتْ بِحَاجَتِهَا، أَوْ ادَّعَتْ الطَّلَاقَ، وَفِي مَعْنَى النَّاشِزِ الْمُعْتَدَّةُ عَنْ شُبْهَةٍ لِتَحْرِيمِ الْخَلْوَةِ بِهَا، وَنُشُوزُ الْمَجْنُونَةِ كَالْعَاقِلَةِ لَكِنَّهَا لَا تَأْثَمُ. (مغني المحتاج إلى معرفة ألفاظ المنهاج، /١٣/١٢٤)
والله أعلم بالصواب