
Assalaamualaikum
Deskrpsi masalah.
Dalam waqiiyah terjadi perkawinan dimasyarakat Indonesia yang masih belum hilang dari ingatan berita heboh, yaitu perkawinan seorang anak pengusaha dengan anak perempuan yang masih belia, katakanlah Nama samarannya Mahmud dengan Ulfatun Hasanah.Namun pernikahan ini bukan tanpa permasalahan. Munculnya tuntutan yang diajukan oleh KOMNAS PA ( Perlindungan Anak ) yang diketahui oleh Mulyadi, atau yang lebih dikenal dengan panggilan Kak Mul mengusik pernikahan yang tadinya adem ayem ini. Mereka berdalih bahwa pernikahan keduanya tidak sesuai dengan UU Pernikahan, karena Ulfà masih berusia 13 tahun. Sedangkan dalam UU pernikahan batas batas minimal umur yang diperbolehkan untuk menikah adalah 16 Tahun. Alasan lain menurut mereka, pernikahan yang mereka lakukan dapat merusak masa depan Ulfa, seperti berakhirnya pernikahan dengan perceraian yang akhirnya bisa membuat sang perempuan ( Umumnya ) menjadi TKW atau bahkan menjadi PSK.
Dengan adanya alasan yang utarakan oleh KOMNAS PA Mulyadi memberikan tanggapan dengan alasan sebaliknya, yaitu pernikahannya malah pertujuan untuk menyelamatkan Ulfa menjadi korban dari dampak pergaulan bebas seperti hamil diluar nikah. Alasan lan Syaik Mulyadi adalah banyaknya orang tua yang takut anak gadisnya mendapat setatus perawan tua. Belum lagi pandangan mereka bahwa setelah menikahkan anak perempuan, orang tua sudah tidak berkewajiban lagi mencukupi kebutuhan anak.
Pertanyaan
1.Bagaimana yang dimaksud dengan pernikahan dibahwah umur lalu bagaimana syariat menanggapi hukum pernikahan anak usia dini ( dibawah umur ) /kurang dari 16 tahun versi pemerintah?
Waalaikum salam.
Jawaban
A. Pernikahan usia dini ( dibawah umur )
- Pengertian pernikahan dibawah umur ( usia dini)
Pengertian dini menurut Undang-undang adalah pernikahan yang tidak sesuai dengan UU Perkawinan BAB 11 pasal 7 ayat 1 yang menyatakan bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pihak peria sudah mencapai usia 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 tahun.
Dengan demikian jika masih dibawah umur tersebut, maka pernikahan tersebut dinamakan pernikahan dini.
Pengertian pernikahan dini menurut Islam adalah pernikahan yang dilakukan oleh pasangan yang belum baligh. Sebagaimana
Nabi Muhammad SAW pernah beberapa kali menikah yang mana diantara salah satu istrinya adalah Aisyah bin Abubakar yang terkenal jenius dan berakhlakul karimah. Dalam salah satu riwayat yang dikeluarkan oleh Imam Muslim, Aisyah berkata:
تزوجنى رسول الله صلى الله عليه وسلم لست سنين وبنى بي وأنا بنت تسع سنين
Rasulullah SAW menikahiku pada saat Aku berumur enam tahun dan belum memintaku untuk hidup bersama saat aku telah menginjak umur sembilan tahun.”
Berkenaan dengan pernikahan dibawah umur ( usia dini ) riwayat ini oleh sebagian ulama dijadikan sebagai dasar untuk melegalkan pernikahan anak yang masih belum baligh.Sedangkan Imam Syafi’i dan pengikutnya ( Ashhab al-Syafi’i ) menganjurkan bagi wali untuk tidak menikahkan anak perempuannya sebelum dia baligh. Melihat hadits diatas, Imam Syafi’i tidak serta memperbolehkan secara muthlak pernikahan usia dini ( dibawah umur ). Al-Syafi’i juga mempertimbangkan kejadian-kejadian yang banyak dialami oleh pengantin perempuan yang belum baligh yang mana tidak mampu untuk melaksanakan kewajibannya sebagai seorang istri karena baik secara dhahir maupun batin dia belum siap.
Oleh karena itu penting bagi Cantin mempersiapkan terlebih dahulu dengan matang baik dari segi mental, ekonomi, dan lain sebagainya. Ada istilah pernikahan dini yang muncul dalam masyarakat yang konotasinya kurang baik sehingga pernikahan dini dianggap sebagai pernikahan yang terlalu awal dilakukan dengan tanpa persiapan yang matang.
Apa sebenarnya pernikan atau perkawinan dini itu ?
Mari kita lihat pengertian pernikahan atau perkawinan dari beberapa sudut pandang. Pertama menurut Negara. Dalam undang-undang no.1 tahun 1974 tentang Perkawinan bab 11 pasal 7 ayat 1 .Menyebutkan bahwa usia minimal pernikahan bagi laki-laki adalah 19 tahun dan perempuan minimal usia 16 tahun. Pernikahan dibawah usia minimal diperbolehkan oleh negara, dengan syarat dan ketentuan tertentu.
Adapun dari sudut pandang kedokteran, pernikahan dini merupakan pernikahan yang dilakukan sebelum kedua CANTIN ( calon pengantin ) memiliki kematangan fisik untuk menikah terutama bagi perempuan dimana organ- organ produksinya belum siap dan matang untuk hamil sehingga sangat beresiko dari segi kesehatan. Walaupun ketika seorang perempuan telah mengalami menstruasi berarti dia sudah bisa hamil. Akan tetapi pertumbuhannya masih belum sempurna seperti pertumbuhan tulang panggul sehingga sangat beresiko ketika melahirkan.
Dari segi mental dan sosial, suatu pernikahan dikatakan pernikahan dini, ketika kedua CANTIN belum memiliki kematangan emosi dan cara berpikir seperti yang kita maklumi kehidupan pernikahan memiliki banyak problem yang harus dihadapi dengan cara berpikir yang dewasa dan kematangan emosi . Tanpa hal itu sebuah pernihan rentan dengan percekcokan dan perceraian . Kedewasaan emosi dan cara berpikir seseorang tentu saja tidak selalu berbanding lurus karena manusia mempunyai nafsu syahwat dan akal dan berbeda dengan malaikat yang hanya dibekali akal sehingga semua apa yang timbul dari akal lurus dan benar dan juga hewan yang hanya dibekali syahwat sehingga yang ada hanyalah kemauan semata tidak memandang halal dan haramnya . Oleh karena itu manusia akan menjadi makhluk yang termulia dan utama dibandingkan dengan makhluk lainnya jika akalnya dapat mengalahkan hawa nafsunya ( syahwat ) sebagaimana sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan bahwa Amr Bin Ka’ab dan Abu Hurairoh r.a bertanya kepada Rasulullah SAW :
يارسول الله من أعلم الناس قال: العاقل قالا : من أعبد الناس؟ قال العاقل قالا : من أفضل الناس ؟ قال العاقل ، لكل شيء آلة وآلة المؤمن العقل ، ولكل قوم راع وراعى المؤمن العقل ولكل قوم غاية وغاية العباد العقل (حياة القلوب
Artinya :” Wahai Rasulullah SAW siapakah yang paling Alim diantara manusia? Rasulullah menjawab adalah orang yang berakal. Siapakah orang yang paling sholeh ibadahnya? Rasulullah SAW menjawab adalah orang yang berakal.Siapakah orang yang paling utama? Rasulullah SAW menjawab adalah orang yang berakal. Segala sesuatu ada alatnya sedangkan alatnya orang yang beriman adalah akal. Dan setiap kaum ada pemimpinnya dan pemimpinnya orang yang beriman adalah akalnya. Dan setiap setiap kaum mempunyai tujuan sedangkan tujuannya hamba adalah akal ( Hayatul Qulub). -( Dzurratun -Nashiin juz 2 hl : 6).
Dalam keterangan yang lain bahwa Allah menjadikan makhluk dibagi tiga kelompok.
نكتة : قسم الله تعالى الخلائق ثلاثة أقسام قسم خلقوا بعقل بغير شهوة وهم الملائكة وقسم خلقوا بشهوة بغير عقل وهم الدواب وقسم خلقوا بعقل وشهوة وهم بنوا آدم فمن غلب عقله على شهوته كان مع الملائكة ومن غلبت شهوته على عقله كان مع الدواب
Allah menciptakan banyak makhluk dibagi tiga kelompok
- Malaikat diciptakan bersama akal tanpa Syahwat.
- Hewan diciptakan bersama syahwat tanpa akal
- Manusia ( anak cucu Adam ) mereka diciptakan bersama akal dan nafsu/syahwat
Barang siapa yang akalnya menang/mengalahkan syahwatnya maka dia akan bersama dengan malaikat. Akan tetapi barang siapa yang akalnya dikalahkan oleh nafsu syahwatnya maka dia akan bersama hewan. ( Majalisus-TSaniyah.Hal: 10).
Adapun Hukum pernikahan anak usia dini yang dinilai undang-undang masih dibawah umur (16 ) tahun versi pemerintah adalah sebagai berikut:
- Perempuan belum balig:
✔Hukumnya Sunnah jika ada kebutuhan atau kebaikan yang kembali kepada pempelai perempuan
✔️ Hukumnya makruh jika mempelai perempuan tidak suka ( benci ) kepada mempelai laki-laki.
✔️Hukumnya haram jika tidak ada kebutuhan dan maslahat, serta mempelai perempuan tersebut tidak suka ( benci ) kepada mempelai laki-laki.
Ketentuan menikahkan anak dibawah umur ( usia dini ) yang masih belum balig harus memenuhi syarat-syarat berikut:
a. Mempelai pria sekufu’ ( dinilai sepadan menurut istilah syariat).
b. Tidak ada permusuhan antara wali dan kedua mempelai.
c. Tidak ada permusuhan antara kedua mempelai
d. Mahar mistli ( mahar Yang sepadan, bukan mahar Yang disebutkan dalam akad nikah ). Tunai dan berupa mata uang yang umum berlaku didaerah tersebut.
f. Mempelai wanita tidak mendapat bahaya atau dirugikan.
- Perempuan sudah balig.
Hukumnya sama dengan perempuan yang belum baligh jika dinikahkan tanpa izin dan tidak mendapatkan izin darinya.Sedangkan untuk persyaratannya, jika mendapatkan izin dari mempelai perempuan maka syarat-syarat diatas tidak harus dipenuhi.
B. Pertimbangan Pendapat.
Adapun pertimbangan pendapat-pendapat diatas dapat ditarik sebuah pemahaman bahwa menikahkan anak perempuan yang belum baligh tidak muthlak dianjurkan ( disunnatkan ), bahkan bisa jadi makruh ataupun haram. Perbedaan hukum ini muncul karena faktor maslahat yang menjadi pertimbangan. Atas dasar pertimbangan maslahat ini pula terjadi perbedaan hukum antara menikahkan anak perempuan yang telah baligh dengan anak perempuan yang belum baligh, karena keduanya memiliki kepribadian yang berbeda dengan adanya pertimbangan tersebut, maka dalam menikahkan anak perempuan terdapat pemilahan hukum sebagaimana berikut;
- Wanita belum balig
a. Sunnah, ketika telah jelas ada kemaslahatan baginya. Salah satu contoh seperti yang disebutkan dalam sebuah hadits, ketika sahabat Abu Bakar menikahkan Aisyah ra. Yang dilamar Nabi Muhammad SAW, orang yang menjadi panutan umat. Dengan pernikahan tersebut, Aisyah mendapatkan bingbingan dari Muhammad SAW. tentang kehidupan dunia dan akhirat.
b. Makruh apabila anak perempuan yang akan dinikahkan tidak menyukai atau benci pada calon suami, meskipun ada maslahat dan kebahagiaan mempelai perempuan pada masa yang akan datang. Hal ini sama saja memaksa seorang anak untuk berada pada kondisi yang akan menyiksa batinnya. Unsur ketidak sukaan atau kebencian ini juga bisa membuka peluang terjadinya masalah rumah tangga .Dengan alasan-alasan tersebut, maslahat yang menjadi tujuan awal akan tercampakkan . Sedangkan dalam tujuan pernikahan adalah untuk menciptakan keluarga yang penuh kasih dan sayang ( Mawaddah warohmah ) antara suami istri.
c. Haram jika tidak ada kebutuhan dan maslahat serta calon istri tidak suka ( benci ) kepada calon suami. Karena, alasan yang mendasar diperbolehkan menikahkan seorang anak perempuan yang belum baligh adalah maslahat. - Wanita balig
Enam ketentuan dalam pernikahan wanita yang belum baligh juga berlaku ketika pernikahan perempuan yang sudah baligh tapi tanpa izin ( tidak mendapat izin darinya) . Hal ini disebabkan oleh karena pernikahan keduanya ( yang belum baligh dan sudah balig) masih berada dalam konsep nikah ijbar ( paksaan ) yang menyarankan seperti diatas. Hal ini memandang bahwa hak pemberian izin yang dimiliki wanita baligh harus diganti dengan kemaslahatan yang kembali padanya. Apabila ketika menikahkan mendapat izin darinya, maka syarat-syarat diatas tidak harus dipenuhi sebab dia telah memiliki sifat kedewasaan dan sudah mampu membuat sebuah pertimbangan. Dengan demikian, apapun yang akan terjadi menjadi tanggung jawabnya sendiri.
Terlepas dari permasalahan sang istri sudah balig atau belum, ketika pernikahan telah dinilai sah tak lantas memperbolehkan seorang suami melakukan hubungan biologis dengan istrinya apabila sang istri masih berumur dibawah sembilan tahun. Karena anak dibawah umur tersebut umumnya belum kuat untuk melakukan hubungan biologis. Begitu pula ketika ingin membawa sang istri yang belum baligh, suami harus mendapatkan izin dari wali istri terlebih dahulu dengan mempertimbangkan kondisi sang istri.
KESIMPULAN
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pembatasan pernikahan dengan batas minimal 16 tahun tersebut menyalahi aturan syariat, karena yang menjadi pertimbangan adalah telah baligh atau belum baligh. Sedangkan anak yang telah mencapai umur 16 tahun jelas-jelas telah mencapai usia baligh dan siapapun tidak boleh ikut campur dalam masalah tersebut, termasuk pemerintah, kecuali untuk mewujudkan hak-hak istri yang tidak bisa dipenuhi oleh suami.Sedangkan hukum menikahkan Ulfa yang nyatanya masih berumur 13 tahun harus sesuai dengan ketentuan diatas .Wallahu a’lam bish-shawab.
Referensi
- UU Perkawinan BAB 11 pasal 7 ayat 1 tahun 1974
2.Dzurratun-Nashihiin juz 2 hal.10 - Majalisussaniyah.hal; 6
- Asnal Matholib : vol.III hal.127
- Syarah al-Nawawi ala Muslim: Vol .IX, hal.285
6.Al-Ghurar al-Bahiyah Syarah al-Bahjah : Vol.IV, hal, 115
7.Tuhfah al-Muhtaj; Vol.VII, hal, 285 - Asna al-Mathalib : Vol.IV , hal 115
- Al-Um : Vol.V , hal, 19 dan 22
- Al-Mughni Syarah al-Kabir: Vol VII, hal.199-200.
11.Al-Mausu’ah al-Quwaitiyah : Vol.XXX, hal.122-123.
اسنى المطالب شرح الروضة ج٣ص ١٢٧
(الْبَابُ الرَّابِعُ فِي بَيَانِ الْأَوْلِيَاءِ وَأَحْكَامِهِمْ وَفِيهِ ثَمَانِيَةُ أَطْرَافٍ) الطَّرَفُ (الْأَوَّلُ فِي أَسْبَابِ الْوِلَايَةِ وَهِيَ أَرْبَعَةٌ) السَّبَبُ (الْأَوَّلُ الْأُبُوَّةُ) وَهِيَ أَقْوَى الْأَسْبَابِ لِكَمَالِ الشَّفَقَةِ (فَلِلْأَبِ وَالْجَدِّ) أَيْ لِكُلٍّ مِنْهُمَا حَيْثُ (لَا) يَكُونُ (عَدُوًّا ظَاهِرًاتَزْوِيجُ الْبِكْرِ) بِمَهْرِ مِثْلِهَا مِنْ نَقْدِ الْبَلَدِ مِنْ كُفْءٍ لَهَا مُوسِرٍ بِالْمَهْرِ (مُطْلَقًا) أَيْ سَوَاءٌ أَكَانَتْ صَغِيرَةً أَمْ كَبِيرَةً (بِغَيْرِ إذْنِهَا) لِخَبَرِ الدَّارَقُطْنِيِّ «الثَّيِّبُ أَحَقُّ بِنَفْسِهَا مِنْ وَلِيِّهَا وَالْبِكْرُ يُزَوِّجُهَا أَبُوهَا» وَرِوَايَةُ مُسْلِمٍ «وَالْبِكْرُ يَسْتَأْمِرُهَا أَبُوهَا» حُمِلَتْ عَلَى النَّدْبِ وَلِأَنَّهَا لَمْ تُمَارِسْ الرِّجَالَ بِالْوَطْءِ فَهِيَ شَدِيدَةُ الْحَيَاءِ أَمَّا إذَا كَانَ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا عَدَاوَةٌ ظَاهِرَةٌ فَلَيْسَ لَهُ تَزْوِيجُهَا إلَّا بِإِذْنِهَا بِخِلَافِ غَيْرِ الظَّاهِرَةِ؛ لِأَنَّ الْوَلِيَّ يَحْتَاطُ لِمُوَلِّيَتِهِ لِخَوْفِ الْعَارِ وَلِغَيْرِهِ وَعَلَيْهِ يُحْمَلُ إطْلَاقُ الْمَاوَرْدِيِّ وَالرُّويَانِيِّ الْجَوَازَ. قَالَ الشَّيْخُ وَلِيُّ الدِّينِ الْعِرَاقِيُّ: وَيَنْبَغِي أَنْ يُعْتَبَرَ فِي الْإِجْبَارِ أَيْضًا انْتِفَاءُ الْعَدَاوَةِ بَيْنَهَا وَبَيْنَ الزَّوْجِ انْتَهَى. وَإِنَّمَا لَمْ يَعْتَبِرْ ظُهُورَ الْعَدَاوَةِ هُنَا كَمَا اُعْتُبِرَ ثَمَّ لِظُهُورِ الْفَرْقِ بَيْنَ الزَّوْجِ وَالْوَلِيِّ الْمُجْبِرِ بَلْ قَدْ يُقَالُ لَا حَاجَةَ إلَى مَا قَالَهُ؛ لِأَنَّ انْتِفَاءَ الْعَدَاوَةِ بَيْنَهَا وَبَيْنَ الْوَلِيِّ يَقْتَضِي أَنْ لَا يُزَوِّجَهَا إلَّا مِمَّنْ يَحْصُلُ لَهَا مِنْهُ حَظٌّ وَمَصْلَحَةٌ لِشَفَقَتِهِ عَلَيْهَا أَمَّا مُجَرَّدُ كَرَاهَتِهَا لَهُ فَلَا يُؤَثِّرُ، لَكِنْ يُكْرَهُ لِوَلِيِّهَا أَنْ يُزَوِّجَهَا مِنْهُ كَمَا نَصَّ عَلَيْهِ فِي الْأُمِّ.
[الْبَابُ الرَّابِعُ فِي بَيَانِ الْأَوْلِيَاءِ وَأَحْكَامِهِمْ]
[الطَّرَفُ الْأَوَّلُ فِي أَسْبَابِ الْوِلَايَةِ]
(بَابٌ الرَّابِعُ فِي بَيَانِ الْأَوْلِيَاءِ)
(قَوْلُهُ وَهِيَ أَرْبَعَةٌ) قَالَ الْبُلْقِينِيُّ وَهُنَا سَبَبٌ آخَرُ عَلَى الْمَذْهَبِ وَهُوَ وَلِيُّ مَالِكَةِ الْأَمَةِ أَوْ مُعْتِقِهَا وَسَبَبَانِ آخَرَانِ عَلَى قَوْلِ الْإِسْلَامِ عَلَى قَوْلٍ تُوَلِّي أَمْرَهَا عِنْدَ فَقْدِ الْوَلِيِّ رَجُلًا مُسْلِمًا الثَّانِي التَّحْكِيمُ وَهُوَ غَيْرُ السَّلْطَنَةِ (قَوْلُهُ فَلِلْأَبِ وَالْجَدِّ إلَخْ) يُشْتَرَطُ لِإِجْبَارِ الْأَبِ وَالْجَدِّ الْبِكْرَ عَدَمُ عَدَاوَةٍ ظَاهِرَةٍ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا وَكَفَاءَةُ الزَّوْجِ وَكَوْنُهُ مُوسِرًا بِمَهْرِهَا وَكَوْنُهُ بِمَهْرِ مِثْلِهَا مِنْ نَقْدِ الْبَلَدِ فَلَا يَصِحُّ النِّكَاحُ عِنْدَ انْتِفَاءِ شَرْطٍ مِنْهَا إلَّا فِي الرَّابِعِ وَالْخَامِسِ (قَوْلُهُ لَا عَدُوًّا ظَاهِرًا) قَالَ ابْنُ الْعِمَادِ وَشَرْطُهُ أَيْضًا أَنْ لَا يَكُونَ قَدْ وَجَبَ عَلَيْهَا الْحَجُّ فَإِنْ وَجَبَ عَلَيْهَا فَلَيْسَ لَهُ تَزْوِيجُهَا إلَّا بِإِذْنِهَا؛ لِأَنَّ الزَّوْجَ يَمْنَعُهَا مِنْ أَدَاءِ الْوَاجِبِ لِكَوْنِهِ عَلَى التَّرَاخِي وَلَهَا غَرَضٌ فِي تَعْجِيلِ بَرَاءَةِ الذِّمَّةِ اهـ وَأَنْ لَا يُزَوِّجَهَا بِمَنْ تَتَضَرَّرُ بِمُعَاشَرَتِهِ كَشَيْخٍ هَرِمٍ وَأَعْمَى وَأَقْطَعَ وَنَحْوِ ذَلِكَ؛ لِأَنَّ الشَّافِعِيَّ نَصَّ فِي الْأُمِّ عَلَى مَنْعِ الْأَبِ مِنْ تَزْوِيجِ ابْنِهِ بِامْرَأَةٍ بِهَذِهِ الصِّفَاتِ وَالْبِنْتُ أَوْلَى بِالْمَنْعِ فِيمَا يَظْهَرُ وَفِي اللَّطِيفِ لِابْنِ خَيْرَانَ أَنَّهُ لَا يُزَوِّجُهَا مِنْ خَصِيٍّ وَعَنْ الصَّيْمَرِيِّ أَنَّهُ لَا يُزَوِّجُهَا مِنْ شَيْخٍ هَرَمٍ وَلَا أَقْطَعَ أَوْ أَعْمَى وَفِي فَتَاوَى الْقَاضِي مَا يُفْهِمُ أَنَّهُ لَا يَصِحُّ تَزْوِيجُهَا مِنْ أَعْمَى قَوْلُهُ تَزْوِيجُ الْبِكْرِ) أَيْ وَلَوْ طَرَأَ سَفَهُهَا (قَوْلُهُ بِغَيْرِ إذْنِهَا) قَالَ ابْنُ عَبْدِ الْبَرِّ لَمَّا أَجْمَعُوا عَلَى أَنَّ لَهُ تَزْوِيجَهَا صَغِيرَةً وَهِيَ لَا إذْنَ لَهَا صَحَّ بِذَلِكَ أَنْ يُزَوِّجَهَا بِغَيْرِ إذْنِهَا كَبِيرَةً إنْ كَانَتْ بِكْرًا؛ لِأَنَّ النَّصَّ إنَّمَا وَرَدَ بِالْفَرْقِ بَيْنَ الثَّيِّبِ وَالْبِكْرِ (قَوْلُهُ فَلَيْسَ لَهُ تَزْوِيجُهَا إلَّا بِإِذْنِهَا) فَلَا يُخَالِفُهُ مَا قَالَهُ الْمَاوَرْدِيُّ وَالرُّويَانِيُّ مِنْ أَنَّهُ بَاقٍ عَلَى وِلَايَتِهِ (قَوْلُهُ وَلِغَيْرِهِ) مَعْطُوفٌ عَلَى قَوْلِهِ لِخَوْفِ الْعَارِ (قَوْلُهُ فَلَا تُزَوَّجُ الصَّغِيرَةُ الثَّيِّبُ حَتَّى تَبْلُغَ إلَخْ)
شرح النووي على مسلم ج٩ص٢٠٦
(باب جواز تزويج الأب البكر الصغيرة)
[١٤٢٢] فِيهِ حَدِيثُ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ (تَزَوَّجَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِسِتِّ سِنِينَ وَبَنَى بِي وَأَنَا بِنْتُ تِسْعِ سِنِينَ) وَفِي رِوَايَةٍ تَزَوَّجَهَا وَهِيَ بِنْتُ سَبْعِ سِنِينَ هَذَا صَرِيحٌ فِي جَوَازِ تَزْوِيجِ الْأَبِ الصغيرة بغير اذنها لِأَنَّهُ لَا إِذْنَ لَهَا وَالْجَدُّ كَالْأَبِ عِنْدَنَا وَقَدْ سَبَقَ فِي الْبَابِ الْمَاضِي بَسْطُ الِاخْتِلَافِ فِي اشْتِرَاطِ الْوَلِيِّ وَأَجْمَعَ الْمُسْلِمُونَ عَلَى جَوَازِ تزويجه بنته الْبِكْرَ الصَّغِيرَةَ لِهَذَا الْحَدِيثِ وَإِذَا بَلَغَتْ فَلَا خِيَارَ لَهَا فِي فَسْخِهِ عِنْدَ مَالِكٍ وَالشَّافِعِيِّ وَسَائِرِ فُقَهَاءِ الْحِجَازِ وَقَالَ أَهْلُ الْعِرَاقِ لَهَا الْخِيَارُ إِذَا بَلَغَتْ أَمَّا غَيْرُ الْأَبِ وَالْجَدِّ مِنَ الْأَوْلِيَاءِ فَلَا يَجُوزُ أَنْ يُزَوِّجَهَا عِنْدَ الشافعي والثوري ومالك وبن أَبِي لَيْلَى وَأَحْمَدَ وَأَبِي ثَوْرٍ وَأَبِي عُبَيْدٍ وَالْجُمْهُورِ قَالُوا فَإِنْ زَوَّجَهَا لَمْ يَصِحَّ وَقَالَ الْأَوْزَاعِيُّ وَأَبُو حَنِيفَةَ وَآخَرُونَ مِنَ السَّلَفِ يَجُوزُ لِجَمِيعِ الْأَوْلِيَاءِ وَيَصِحُّ وَلَهَا الْخِيَارُ إِذَا بَلَغَتْ إِلَّا أَبَا يُوسُفَ فَقَالَ لَا خِيَارَ لَهَا وَاتَّفَقَ الْجَمَاهِيرُ عَلَى أَنَّ الْوَصِيَّ الْأَجْنَبِيَّ لَا يُزَوِّجُهَا وَجَوَّزَ شُرَيْحٌ وَعُرْوَةُ وَحَمَّادٌ لَهُ تَزْوِيجَهَا قَبْلَ الْبُلُوغِ وَحَكَاهُ الْخَطَّابِيُّ عَنْ مَالِكٍ أَيْضًا وَاللَّهُ أَعْلَمُ وَاعْلَمْ أَنَّ الشَّافِعِيَّ وَأَصْحَابَهُ قَالُوا يستحب أنْ لَا يُزَوِّجَ الْأَبُ وَالْجَدُّ الْبِكْرَ حَتَّى تَبْلُغَ وَيَسْتَأْذِنُهَا لِئَلَّا يُوقِعَهَا فِي أَسْرِ الزَّوْجِ وَهِيَ كَارِهَةٌ وَهَذَا الَّذِي قَالُوهُ لَا يُخَالِفُ حديث عائشة لِأَنَّ مُرَادَهُمْ أَنَّهُ لَا يُزَوِّجُهَا قَبْلَ الْبُلُوغِ إِذَا لَمْ تَكُنْ مَصْلَحَةٌ ظَاهِرَةٌ يَخَافُ فَوْتَهَا بالتأخير كحديث عائشة فيستحب تحصيل ذلك الزوج لِأَنَّ الْأَبَ مَأْمُورٌ بِمَصْلَحَةِ وَلَدِهِ فَلَا يُفَوِّتُهَا وَاللَّهُ أَعْلَمُ وَأَمَّا وَقْتُ زِفَافِ الصَّغِيرَةِ الْمُزَوَّجَةِ وَالدُّخُولُ بِهَا فَإِنِ اتَّفَقَ الزَّوْجُ وَالْوَلِيُّ عَلَى شَيْءٍ لَا ضَرَرَ فِيهِ عَلَى الصَّغِيرَةِ عُمِلَ بِهِ وَإِنِ اخْتَلَفَا فَقَالَ أَحْمَدُ وَأَبُو عُبَيْدٍ تُجْبَرُ عَلَى ذَلِكَ بِنْتُ تِسْعِ سِنِينَ دُونَ غَيْرِهَا وَقَالَ مَالِكٌ وَالشَّافِعِيُّ وَأَبُو حَنِيفَةَ حَدُّ ذَلِكَ أَنْ تُطِيقَ الْجِمَاعَ وَيَخْتَلِفُ ذَلِكَ بِاخْتِلَافِهِنَّ وَلَا يُضْبَطُ بِسِنٍّ وَهَذَا هُوَ الصَّحِيحُ وَلَيْسَ فِي حَدِيثِ عَائِشَةَ تَحْدِيدٌ وَلَا الْمَنْعُ مِنْ ذَلِكَ فِيمَنْ أَطَاقَتْهُ قَبْلَ تِسْعٍ وَلَا الْإِذْنُ فيمن لَمْ تُطِقْهُ وَقَدْ بَلَغَتْ تِسْعًا قَالَ الدَّاوُدِيُّ وكانت عائشة قد شبت شبابا حسا رضى الله
تحفة المحتاج الجزء السابع ص ٢٨٥
(وَلَيْسَ لَهُ تَزْوِيجُ ابْنِهِ الصَّغِيرِ أَمَةً) لِأَنَّهُ مَأْمُونُ الْعَنَتِ قَالَ الزَّرْكَشِيُّ: قَدْ يُمْنَعُ هَذَا فِي الْمُرَاهِقِ لِأَنَّ شَهْوَتَهُ إذْ ذَاكَ أَعْظَمُ فَإِنْ قِيلَ فِعْلُهُ لَيْسَ زِنًا قِيلَ وَفِعْلُ الْمَجْنُونِ كَذَلِكَ مَعَ أَنَّهُمْ جَوَّزُوا لَهُ نِكَاحَ الْأَمَةِ عِنْدَ خَوْفِ الْعَنَتِ فَهَلَّا كَانَ الْمُرَاهِقُ كَذَلِكَ اهـ وَلَك رَدُّهُ بِأَنَّ وَطْءَ الْمَجْنُونِ يُشْبِهُ وَطْءَ الْعَاقِلِ إنْزَالًا وَنَسَبًا وَغَيْرِهِمَا بِخِلَافِ وَطْءِ الْمُرَاهِقِ فَلَا جَامِعَ بَيْنَهُمَا، وَادِّعَاءُ أَنَّ شَهْوَتَهُ إذْ ذَاكَ أَعْظَمُ مَمْنُوعٌ لِأَنَّهَا شَهْوَةٌ كَاذِبَةٌ إذْ لَمْ تَنْشَأْ عَنْ دَاعٍ قَوِيٍّ وَهُوَ انْعِقَادُ الْمَنِيِّ (وَكَذَا مَعِيبَةٌ) بِعَيْبٍ يُثْبِتُ الْخِيَارَ فَلَا يَصِحُّ النِّكَاحُ (عَلَى الْمَذْهَبِ) لِأَنَّهُ عَلَى خِلَافِ الْغِبْطَةِ وَكَذَا عَمْيَاءُ وَعَجُوزٌ وَمَقْطُوعَةُ طَرَفٍ كَمَا فِي الْأُمِّ وَاعْتَمَدَهُ الْبُلْقِينِيُّ وَالْأَذْرَعِيُّ وَنَقَلَهُ عَنْ خَلَائِقَ مِنْ الْأَئِمَّةِ وَإِنَّمَا صَحَّ تَزْوِيجُ الْمُجْبَرَةِ مِنْ نَحْوِ أَعْمَى كَمَا مَرَّ لِأَنَّهُ كُفُؤٌ وَلَيْسَ الْمَدَارُ فِي نِكَاحِهَا إلَّا عَلَيْهِ إذْ الْمَلْحَظُ ثَمَّ الْعَارُ وَهُنَا الْمَصْلَحَةُ وَلِأَنَّ تَزْوِيجَهَا يُفِيدُهَا وَتَزْوِيجَهُ يُغَرِّمُهُ فَاحْتِيطَ لَهُ أَكْثَرَ (وَيَجُوزُ) تَزْوِيجُهُ (مَنْ لَا تُكَافِئُهُ بِبَعْضِ الْخِصَالِ فِي الْأَصَحِّ) لِأَنَّ الرَّجُلَ لَا يَتَغَيَّرُ بِاسْتِفْرَاشِ مَنْ لَا تُكَافِئُهُ عَلَى أَنَّهُ إذَا بَلَغَ يَثْبُتُ لَهُ الْخِيَارُ كَمَا صَرَّحَا بِهِ
(قَوْلُهُ: وَكَذَا عَمْيَاءُ وَعَجُوزٌ وَمَقْطُوعَةُ طَرَفٍ إلَخْ) قَالَ فِي الرَّوْضِ وَإِنْ زُوِّجَ الْمَجْنُونُ أَوْ الصَّغِيرُ لِعَجُوزٍ أَوْ عَمْيَاءَ أَوْ قَطْعَاءَ لِلْأَطْرَافِ أَوْ بَعْضِهَا وَالصَّغِيرَةُ بِهَرِمٍ أَوْ أَعْمَى أَوْ أَقْطَعَ فَوَجْهَانِ قَالَ فِي شَرْحِهِ صَحَّحَ مِنْهُمَا الْبُلْقِينِيُّ وَغَيْرُهُ عَدَمَ الصِّحَّةِ فِي صُوَرِ الْمَجْنُونِ وَالصَّغِيرِ وَنَقَلُوهُ عَنْ نَصِّ الْأُمِّ لِأَنَّهُ إنَّمَا يُزَوِّجُهُمَا بِالْمَصْلَحَةِ وَلَا مَصْلَحَةَ فِي ذَلِكَ بَلْ فِيهِ ضَرَرٌ عَلَيْهِمَا وَقَضِيَّةُ كَلَامِ الْجُمْهُورِ فِي الْكَلَامِ عَلَى الْكَفَاءَةِ تَصْحِيحُ الصِّحَّةِ فِي صُورَةِ الصَّغِيرَةِ وَهَذَا هُوَ الْأَوْجَهُ لَكِنْ يَظْهَرُ حُرْمَةُ ذَلِكَ عَلَيْهِ أَخْذًا مِمَّا مَرَّ فِي شُرُوطِ الْإِجْبَارِ شَرْحُ م ر لِأَنَّ وَلِيَّهَا إنَّمَا يُزَوِّجُهَا بِالْإِجْبَارِ مِنْ الْكُفُؤِ وَكُلٌّ مِنْ هَؤُلَاءِ كُفُؤٌ فَالْمَأْخَذُ فِي هَذِهِ وَمَا قَبْلَهَا مُخْتَلِفٌ ثُمَّ قَالَ فِي الرَّوْضِ وَالْخَصِيُّ وَالْخُنْثَى غَيْرُ الْمُشْكِلِ كَالْأَعْمَى اهـ.
(قَوْلُهُ: يَثْبُتُ لَهُ الْخِيَارُ كَمَا صَرَّحَا بِهِ) فَيُزَادُ ثُبُوتُ الْخِيَارِ لَهُ بِنَحْوِ الْحِرْفَةِ عَلَى مَا يَأْتِي فِي الْخِيَارِ م ر.
الأم ج ٥ ص ١٩
(قَالَ الشَّافِعِيُّ): وَيُشْبِهُ فِي دَلَالَةِ سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – إذَا فَرَّقَ بَيْنَ الْبِكْرِ وَالثَّيِّبِ فَجَعَلَ الثَّيِّبَ أَحَقَّ بِنَفْسِهَا مِنْ وَلِيِّهَا وَجَعَلَ الْبِكْرَ تُسْتَأْذَنُ فِي نَفْسِهَا أَنَّ الْوَلِيَّ الَّذِي عَنَى وَاَللَّهُ تَعَالَى أَعْلَمُ الْأَبُ خَاصَّةً فَجَعَلَ الْأَيِّمَ أَحَقَّ بِنَفْسِهَا مِنْهُ فَدَلَّ ذَلِكَ عَلَى أَنَّ أَمْرَهُ أَنْ تُسْتَأْذَنَ الْبِكْرُ فِي نَفْسِهَا أَمْرُ اخْتِيَارٍ لَا فَرْضٍ لِأَنَّهَا لَوْ كَانَتْ إذَا كَرِهَتْ لَمْ يَكُنْ لَهُ تَزْوِيجُهَا كَانَتْ كَالثَّيِّبِ وَكَانَ يُشْبِهُ أَنْ يَكُونَ الْكَلَامُ فِيهَا أَنَّ كُلَّ امْرَأَةٍ أَحَقُّ بِنَفْسِهَا مِنْ وَلِيِّهَا وَإِذْنُ الثَّيِّبِ الْكَلَامُ وَإِذْنُ الْبِكْرِ الصَّمْتُ وَلَمْ أَعْلَمْ أَهْلَ الْعِلْمِ اخْتَلَفُوا فِي أَنَّهُ لَيْسَ لِأَحَدٍ مِنْ الْأَوْلِيَاءِ غَيْرِ الْآبَاءِ أَنْ يُزَوِّجَ بِكْرًا وَلَا ثَيِّبًا إلَّا بِإِذْنِهَا فَإِذَا كَانُوا لَمْ يُفَرِّقُوا بَيْنَ الْبِكْرِ وَالثَّيِّبِ الْبَالِغَيْنِ لَمْ يَجُزْ إلَّا مَا وَصَفْت فِي الْفَرْقِ بَيْنَ الْبِكْرِ وَالثَّيِّبِ فِي الْأَبِ الْوَلِيِّ وَغَيْرِ الْوَلِيِّ وَلَوْ كَانَ لَا يَجُوزُ لِلْأَبِ إنْكَاحُ الْبِكْرِ إلَّا بِإِذْنِهَا فِي نَفْسِهَا مَا كَانَ لَهُ أَنْ يُزَوِّجَهَا صَغِيرَةً لِأَنَّهُ لَا أَمْرَ لَهَا فِي نَفْسِهَا فِي حَالِهَا تِلْكَ وَمَا كَانَ بَيْنَ الْأَبِ وَسَائِرِ الْوُلَاةِ فَرْقٌ فِي الْبِكْرِ كَمَا لَا يَكُونُ بَيْنَهُمْ فَرْقٌ فِي الثَّيِّبِ فَإِنْ قَالَ قَائِلٌ فَقَدْ أَمَرَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنْ تُسْتَأْمَرَ الْبِكْرُ فِي نَفْسِهَا؟ قِيلَ يُشْبِهُ أَمْرُهُ أَنْ يَكُونَ عَلَى اسْتِطَابَةِ نَفْسِهَا وَأَنْ يَكُونَ بِهَا دَاءٌ لَا يَعْلَمُهُ غَيْرُهَا فَتَذْكُرُهُ إذَا اُسْتُؤْمِرَتْ أَوْ تَكْرَهُ الْخَاطِبَ لِعِلَّةٍ فَيَكُونُ اسْتِئْمَارُهَا أَحْسَنَ فِي الِاحْتِيَاطِ وَأَطْيَبَ لِنَفْسِهَا وَأَجْمَلَ فِي الْأَخْلَاقِ وَكَذَلِكَ نَأْمُرُ أَبَاهَا وَنَأْمُرُهُ أَيْضًا أَنْ يَكُونَ الْمُؤَامَرُ لَهَا فِيهِ أَقْرَبَ نِسَاءِ أَهْلِهَا وَأَنْ يَكُونَ تُفْضِي إلَيْهَا بِذَاتِ نَفْسِهَا أُمًّا كَانَتْ أَوْ غَيْرَ أُمٍّ وَلَا يَعْجَلُ فِي إنْكَاحِهَا إلَّا بَعْدَ إخْبَارِهَا بِزَوْجٍ بِعَيْنِهِ ثُمَّ يُكْرَهُ لِأَبِيهَا أَنْ يُزَوِّجَهَا إنْ عَلِمَ مِنْهَا كَرَاهَةً لِمَنْ يُزَوِّجُهَا وَإِنْ فَعَلَ فَزَوَّجَهَا مَنْ كَرِهَتْ جَازَ ذَلِكَ عَلَيْهَا وَإِذَا كَانَ يَجُوزُ تَزْوِيجُهُ عَلَيْهَا مَنْ كَرِهَتْ فَكَذَلِكَ لَوْ زَوَّجَهَا بِغَيْرِ اسْتِئْمَارِهَا فَإِنْ قَالَ قَائِلٌ وَمَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّهُ قَدْ يُؤْمَرُ بِمُشَاوِرَةِ الْبِكْرِ وَلَا أَمْرَ لَهَا مَعَ أَبِيهَا الَّذِي أُمِرَ بِمُشَاوِرَتِهَا؟ قِيلَ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى لِنَبِيِّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – {وَشَاوِرْهُمْ فِي الأَمْرِ} وَلَمْ يَجْعَلْ اللَّهُ لَهُمْ مَعَهُ أَمْرًا إنَّمَا فَرَضَ عَلَيْهِمْ طَاعَتَهُ وَلَكِنَّ فِي الْمُشَاوِرَةِ اسْتِطَابَةَ أَنْفُسِهِمْ وَأَنْ يَسْتَنَّ بِهَا مَنْ لَيْسَ لَهُ عَلَى النَّاسِ مَا لِرَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَالِاسْتِدْلَالُ بِأَنْ يَأْتِيَ مِنْ بَعْضِ الْمُشَاوِرِينَ بِالْخَيْرِ قَدْ غَابَ عَنْ الْمُسْتَشِيرِ وَمَا أَشْبَهَ هَذَا.
قَالَ وَالْجَدُّ أَبُو الْأَبِ وَأَبُوهُ وَأَبُو أَبِيهِ يَقُومُونَ مَقَامَ الْأَبِ فِي تَزْوِيجِ الْبِكْرِ وَوِلَايَةِ الثَّيِّبِ مَا لَمْ يَكُنْ دُونَ وَاحِدٍ مِنْهُمْ أَبٌ أَقْرَبَ مِنْهُ وَلَوْ زُوِّجَتْ الْبِكْرُ أَزْوَاجًا مَاتُوا عَنْهَا أَوْ فَارَقُوهَا وَأَخَذَتْ مُهُورًا وَمَوَارِيثَ دَخَلَ بِهَا أَزْوَاجُهَا أَوْ لَمْ يَدْخُلُوا إلَّا أَنَّهَا لَمْ تُجَامِعْ زُوِّجَتْ تَزْوِيجَ الْبِكْرِ لِأَنَّهُ لَا يُفَارِقُهَا اسْمُ بِكْرٍ إلَّا بِأَنْ تَكُونَ ثَيِّبًا وَسَوَاءٌ بَلَغَتْ سِنًّا وَخَرَجَتْ الْأَسْوَاقَ وَسَافَرَتْ وَكَانَتْ قَيِّمَ أَهْلِهَا أَوْ لَمْ يَكُنْ مِنْ هَذَا شَيْءٌ لِأَنَّهَا بِكْرٌ فِي هَذِهِ الْأَحْوَالِ كُلِّهَا.
الأم ج ٥ ص٢٢
إنْكَاحُ الصِّغَارِ وَالْمَجَانِين
(قَالَ الشَّافِعِيُّ – رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى -): وَلَا يُزَوِّجُ الصَّغِيرَةَ الَّتِي لَمْ تَبْلُغْ أَحَدٌ غَيْرُ الْآبَاءِ وَإِنْ زَوَّجَهَا فَالتَّزْوِيجُ مَفْسُوخٌ وَالْأَجْدَادُ آبَاءٌ إذَا لَمْ يَكُنْ أَبٌ يَقُومُونَ مَقَامَ الْآبَاءِ فِي ذَلِكَ، وَلَا يُزَوِّجُ الْمَغْلُوبَةَ عَلَى عَقْلِهَا أَحَدٌ غَيْرُ الْآبَاءِ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ آبَاءٌ رُفِعَتْ إلَى السُّلْطَانِ وَعَلَيْهِ أَنْ يُعْلِمَ الزَّوْجَ مَا اُشْتُهِرَ عِنْدَهُ أَنَّهَا مَغْلُوبَةٌ عَلَى عَقْلِهَا، فَإِنْ يُقْدِمْ عَلَى ذَلِكَ زَوَّجَهَا إيَّاهُ وَإِنَّمَا مَنَعْتُ الْوُلَاةَ غَيْرَ الْآبَاءِ تَزْوِيجَ الْمَغْلُوبَةِ عَلَى عَقْلِهَا أَنَّهُ
لَا يَجُوزُ لِوَلِيٍّ غَيْرِ الْآبَاءِ أَنْ يُزَوِّجَ امْرَأَةً إلَّا بِرِضَاهَا فَلَمَّا كَانَتْ مِمَّنْ لَا رِضَا لَهَا لَمْ يَكُنْ النِّكَاحُ لَهُمْ تَامًّا وَإِنَّمَا أَجَزْت لِلسُّلْطَانِ أَنْ يُنْكِحَهَا لِأَنَّهَا قَدْ بَلَغَتْ أَوْ أَنَّ الْحَاجَةَ إلَى النِّكَاحِ وَأَنَّ فِي النِّكَاحِ لَهَا عَفَافًا وَغِنَاءً وَرُبَّمَا كَانَ لَهَا فِيهِ شِفَاءٌ وَكَانَ إنْكَاحُهُ إيَّاهَا كَالْحُكْمِ لَهَا وَعَلَيْهَا، وَإِنْ أَفَاقَتْ فَلَا خِيَارَ لَهَا وَلَا يَجُوزُ أَنْ يُزَوِّجَهَا إلَّا كُفُؤًا، وَإِذَا أَنْكَحَهَا فَنِكَاحُهُ ثَابِتٌ وَتَرِثُ وَتُورَثُ، وَإِنْ غَلَبَ عَلَى عَقْلِهَا مِنْ مَرَضٍ أَوْ بِرْسَامٍ أَوْ غَيْرِهِ لَمْ يَكُنْ لَهُ أَنْ يُنْكِحَهَا حَتَّى يَتَأَنَّى بِهَا فَإِنْ أَفَاقَتْ أَنْكَحَهَا الْوَلِيُّ مَنْ كَانَ بِإِذْنِهَا، وَإِنْ لَمْ تُفِقْ حَتَّى طَالَ ذَلِكَ وَيُؤَيَّسُ مِنْ إفَاقَتِهَا زَوَّجَهَا الْأَبُ أَوْ السُّلْطَانُ وَإِنْ كَانَ بِهَا مَعَ ذَهَابِ الْعَقْلِ جُنُونٌ أَوْ جُذَامٌ أَوْ بَرَصٌ أَعْلَمَ ذَلِكَ الزَّوْجَ قَبْلَ أَنْ يُزَوِّجَهَا وَإِنْ كَانَ بِهَا ضَنًى يَرَى أَهْلُ الْخِبْرَةِ بِهَا أَنَّهَا لَا تُرِيدُ النِّكَاحَ مَعَهُ لَمْ أَرَ لَهُ أَنْ يُزَوِّجَهَا وَإِنْ زَوَّجَهَا لَمْ أُرِدْ تَزْوِيجَهُ لِأَنَّ التَّزْوِيجَ ازْدِيَادٌ لَهَا لَا مُؤْنَةٌ عَلَيْهَا فِيهِ، وَسَوَاءٌ إذَا كَانَتْ مَغْلُوبَةً عَلَى عَقْلِهَا بِكْرًا كَانَتْ أَوْ ثَيِّبًا لَا يُزَوِّجُهَا إلَّا أَبٌ أَوْ سُلْطَانٌ بِلَا أَمْرِهَا لِأَنَّهُ لَا أَمْرَ لَهَا.
شرح الكبير على متن المقنع – المنار المطبوع مع المغنى الحنبلي ج ٧ ص١٩٩-٢٠٠
ويشترط إمكان الاستمتاع بها فإن كانت صغيرة لا يجامع مثلها وذلك معتبر بحالها واحتمالها لذلك، قاله القاضي وذكر انهن يختلفن فقد تكون صغيرة السن تصلح وكبيرة لا تصلح، وحده أحمد رحمه الله بتسع سنين فقال في رواية أبي الحارث في الصغيرة يطلبها زوجها فإن أتى عليها تسع سنين دفعت إليه ليس لهم أن يحبسوها بعد التسع وذهب في ذلك إلى أن النبي صلى الله عليه وسلم بنى بعائشة وهي بنت تسع سنين، قال القاضي هذا عندي ليس على طريق التحديد وإنما ذكره لأنالغالب ان ابنة تسع يتمكن من الاستمتاع بها ومتى كانت لا تصلح للوطئ لا يجب على أهلها تسليمها إليه وإن ذكر أنه يحصنها ويربيها لأنه لا يملك الاستمتاع بها وليت له بمحل ولا يؤمن شره نفسه إلى مواقعتها فيفضها، وإن كانت مريضة مرضا مرجوا الزوال لم يلزمها تسليم قبل برئها لأنه مانع مرجو الزوال فهو كالصغر ولأن العادة لم تجر بتسليم المريضة إلى زوجها والتسليم في العقد يجب على حسب العرف فإن كان المرض غير مرجو الزوال لزم تسليمها إلى الزوج إذا طلبها ولزمه تسلمها إذا عرفت عليه لأنها ليست لها حالة يرجى زوال ذلك فيها، فلو لم تسلم نفسها لم يفد التزويج وله أن يستمتع بها فإن كانت نضوة الخلق وهو جسيم تخاف على نفسها الإفضاء من عظمه فلها منعه من جماعها وله الاستمتاع بها فيها دون لفرج وعليه النفقة ولا يثبت له خيار الفسخ لأن هذه يمكن الاستمتاع بها لغيره وإنما الامتناع لأمر من جهته وهو عظم خلقه بخلاف الرتقاء فإن طلب تسليمها إليه وهي حائض احتمل أن لا يجب ذلك كالمرض المرجو زواله، واحتمل وجوب التسليم لأنه يزول قريبا ولا يمنع من الاستمتاع بما دون الفرج.
الموسوعة الفقهية الكويتية. ج ٣٠ص١٢٢-١٢٣
ذهب الفقهاء إلى أن من موانع التسليم [أي تسليم الزوجة للزوج] الصغر، فلا تسلم صغيرة لا تحتمل الوطء إلى زوجها حتى تكبر ويزول هذا المانع؛ لأنه قد يحمله فرط الشهوة على الجماع فتتضرر به، وذهب المالكية والشافعية إلى زوال مانع الصغر بتحملها للوطء، قال الشافعية: ولو قال الزوج: سلموها لي ولا أطؤها حتى تحتمله، فإنه لا تسلم له وإن كان ثقة، إذ لا يؤمن من هيجان الشهوة .
وقال الحنابلة : إذا بلغت الصغيرة تسع سنين دفعت إلى الزوج، وليس لهم أن يحبسوها بعد التسع ولو كانت مهزولة الجسم، وقد نص أحمد على ذلك، لما ثبت أن { النبي ﷺ بنى بعائشة وهي بنت تسع سنين } لكن قال القاضي: ليس هذا عندي على طريقة التحديد وإنما ذكره، لأن الغالب أن ابنة تسع يتمكن من الاستمتاع بها، وإذا سلمت بنت تسع سنين إليه وخافت على نفسها الإفضاء من عظمه فلها منعه من جماعها ويستمتع بها كما يستمتع من الحائض.أهـ.