
Assalamualaikum.
Deskripsi masalah.
Hujan merupakan ciptaan Allah yang terjadi karena peristiwa hidrologi yang melibatkan proses kondensasi,yang kemudian Allah ciptakan air lalu diturunkan ke bumi.
Sebagaimana firman Allah dalam Al Qur’an surat Az-Zukhruf ayat 11.
وَالَّذِي نَزَّلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً بِقَدَرٍ فَأَنْشَرْنَا بِهِ بَلْدَةً مَيْتًا ۚ كَذَٰلِكَ تُخْرَجُونَ
Artinya: Dan Yang menurunkan air dari langit menurut kadar (yang diperlukan) lalu Kami hidupkan dengan air itu negeri yang mati, seperti itulah kamu akan dikeluarkan (dari dalam kubur).
Dalam Ayat lain Allah berfirman dalam Al-Qur’an surat An-Nahl ayat 10:
هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً ۖ لَكُمْ مِنْهُ شَرَابٌ وَمِنْهُ شَجَرٌ فِيهِ تُسِيمُونَ
Artinya: Dialah, Yang telah menurunkan air hujan dari langit untuk kamu, sebahagiannya menjadi minuman dan sebahagiannya (menyuburkan) tumbuh-tumbuhan, yang pada (tempat tumbuhnya) kamu menggembalakan ternakmu.
Maka seiring dengan datangnya musim hujan, tidak lah sedikit ruas jalan mulai dari jalan pelosok Desa hingga jalan raya bahkan pasar-pasar jual beli hewan tergenangi air hujan maupun lumpur, sehingga manakala seseorang mengendarai sepeda motor atau berjalan kaki,atau bertepatan berada dipasar sapi pakaiannya terkena percikan air atau lumpur.
Pertanyaan
Bagaimana hukumnya badan dan pakaian yang terkena percikan air hujan di jalanan atau dipasar sapi sebagaimana deskripsi ?
Waalaikum salam.
Jawaban.
Menyikapi persoalan najis dan tidaknya badan dan pakaian yang terkena percikan air atau lumpur yang ada di jalanan,ketika hujan sebenarnya tidak lepas dari kondisinya jalan dan air itu sendiri. Jika jalan yang ditempuh ada genangan air atau lumpur terlihat telah bercampur dengan barang najis, seperti dipasar hewan , yang nampak kotoran kambing, sapi dll, maka dalam kondisi seperti ini sudah pasti mengakibatkan genangan air tersebut distatuskan najis atau mutanajjis (terkena atau bercampur najis). Akan tetapi jika jalan yang ditempuh airnya dijalan tidak nampak terkena najis namun diyakini kenajisannya tapi karena sulitnya memelihara pada umumnya, sedangkan percikan airnya sedikit, maka dalam hal ini dimakfu dan hukumnya badan dan pakaian tersebut dihumumi suci, sebagaimana dijelaskan Imam Al-Ghazali dan Imam Ar-Rafi‘i dalam kitab Al-Aziz Syarhul Wajiz (Beirut, Darul Kutub al-Ilmiyah: 1997) Cetakan I, Jilid II, halaman 22:
قال الغزالي : يُعْذَرُ مِنْ طِيْنِ الشَّوَارِعِ فِيْمَا يَتَعَذَّرُ الإِحْتِرَازُ عَنْهُ غَالِبًا
“Imam Al-Ghazali berkata: Pakaian yang terkena percikan lumpur maupun air di beberapa jalan karena sulitnya menghindarkan diri darinya, maka hal ini dimaafkan.”
Imam Ar-Rafi‘i kemudian memberikan komentar bahwa jika percikan air maupun lumpur tersebut diyakini mengandung najis, misalnya genangan air tersebut adalah luapan dari got ataupun comberan yang mengandung najis. Maka hal ini juga dimaafkan jika memang percikan tersebut sedikit.
وَأَمَّا مَا تَسْتَيْقِنُ نَجَاسَتُهُ فَيُعْفَى عَنِ القَلِيلِ مِنْهُ. وأمَّا الكَثِيْرُ فَلاَ يُعْفَى عنهُ كَسَائِرِ النَّجَاسَاتِ
“Dan adapun sesuatu ( tempat) yang diyakini kenajisannya maka hukumnya dimaafkan jika percikan tersebut hanya sedikit, namun jika percikan tersebut banyak maka tidak dimaafkan, sebagaimana hukumnya najis-najis yang lain.”
Tambahan referensi:
[القليوبي، حاشيتا قليوبي وعميرة، ٢٠٩/١]
(وَطِينُ الشَّارِعِ الْمُتَيَقَّنِ نَجَاسَتَهُ يُعْفَى عَنْهُ عَمَّا يَتَعَذَّرُ الِاحْتِرَازُ مِنْهُ غَالِبًا وَيَخْتَلِفُ بِالْوَقْتِ وَمَوْضِعِهِ مِنْ الثَّوْبِ وَالْبَدَنِ) فَيُعْفَى فِي زَمَنِ الشِّتَاءِ عَمَّا لَا يُعْفَى عَنْهُ فِي زَمَنِ الصَّيْفِ، وَيُعْفَى فِي الذَّيْلِ وَالرِّجْلِ عَمَّا لَا يُعْفَى عَنْهُ فِي الْكُمِّ وَالْيَدِ، وَمَا لَا يَتَعَذَّرُ الِاحْتِرَازُ عَنْهُ غَالِبًا لَا يُعْفَى عَنْهُ، وَمَا تُظَنُّ نَجَاسَتُهُ لِغَلَبَتِهَا فِيهِ قَوْلًا الْأَصْلُ، وَالظَّاهِرُ أَظْهَرُهُمَا طَهَارَتُهُ عَمَلًا بِالْأَصْلِ، وَمَا لَمْ يُظَنُّ نَجَاسَتُهُ لَا بَأْسَ بِهِ.
[القليوبي، حاشيتا قليوبي وعميرة، ٢٠٩/١]
قَوْلُهُ: (وَطِينُ الشَّارِعِ) وَكَذَا مَاؤُهُ وَالْمُرَادُ بِهِ مَحَلُّ الْمُرُورِ. والله أعلم بالصواب
Dengan demikian maka dapat disimpulkan hukumnya badan dan pakaian yang terkena percikan air tersebut dikondisikan dengan adanya tanah jalan dan genangan air atau lumpur dijalan tersebut artinya jika jelas dengan kasat mata air bercampur najis maka paian dan badannya dihuhumi najis, dan jika tidak nampak atau diyakini kenajisannya namun karena sulitnya memelihara atau menghindarinya pada umumnya maka dimakfu dengan catatan percikannya air tersebut sedikit, apalagi tidak jelas kenajisan-Nya maka dihukumi suci, tetapi jika percikannya banyak dan diyakini najisnya maka hukumnya najis, Alasannya Karena Syariah hanya Menghukumi Zhahirnya saja sedangkan masalah yang samar ( Batin ) adalah Urusan Allah
كتاب التحبير شرح التحرير المكتبة الشاملة ص ٣٧٩٢
وَرُبمَا اسْتدلَّ على ذَلِك بِمَا رُوِيَ عَن النَّبِي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنه قَالَ: ” نَحن نحكم بِالظَّاهِرِ، وَالله يتَوَلَّى السرائر “، كَمَا اسْتدلَّ بِهِ الْبَيْضَاوِيّ وَغَيره.لكنه حَدِيث لَا يعرف، لَكِن رَوَاهُ الْحَافِظ أَبُو طَاهِر إِسْمَاعِيل بن عَليّ بن إِبْرَاهِيم بن أبي الْقَاسِم الجنزوي فِي كِتَابه: ” إدارة الْأَحْكَام ” فِي قصَّة الْكِنْدِيّ والحضرمي الَّذين اخْتَصمَا إِلَى النَّبِي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -، وأصل حَدِيثهمَا فِي ” الصَّحِيحَيْنِ ” فَقَالَ الْمقْضِي عَلَيْهِ: قضيت عَليّ وَالْحق لي، فَقَالَ رَسُول الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” إِنَّمَا نقضي بِالظَّاهِرِ وَالله يتَوَلَّى السرائر ” وَله شَوَاهِد.
والله أعلم بالصواب