
HUKUMNYA ISTRI MENOLAK AJAKAN SUAMI BERHUBUNGAN INTIM (JIMAK)
Asslamualaikum
Deskripsi masalah.
Misalkan saya Nama samarannya “Aisyah” mengingatkan/menyuruh suami saya untuk melakukan shalat, namun suami saya enggan melakukannya atau tidak melakukan shalat , ketika suami saya mengajak untuk bersenggama /berhubungan intim saya menolaknya karena tidak shalat .
Pertanyaannya.
Apakah saya wajib mengingatkan/menyuruh suami agar supaya melakukan shalat?
Lalu apakah saya berdosa jika saya menolak ajakan suami untuk bersenggama/jimak dengan alasan karena tidak menghiraukan peringatan saya agar melakukan shalat?
Waalaikum salam
Jawaban
Wajib bagi istri mengingatkan suaminya untuk melakukan shalat karena Saling mengingatkan atau saling berpesan untuk kebenaran itu adalah kewajiban bagi setiap muslim dan muslimah , setiap mukmin dan mukminat agar tidak termasuk manusia yang rugi sebagai Allah telah menegaskan dalam al-Quran QS. Al-Ashr bahwa Allah telah bersumpah dengan Masa, waktu atau zaman yang mencakup atas banyak kejaiban-keajaiban yang menunjukan pada kekuasaan Allah dan hikmah yang jelas dan kuat atas kerugian manusia, kecuali orang yang mensifati dengan sifat-sifat yang empat yaitu Iman, amal shaleh dan orang yang saling berpesan/saling mengingatkan antara yang satu dengan yang lainnya untuk menuju kepada yang hak ( benar ) serta saling berpesan/mengingatkan untuk menuju pada kesabaran itulah yang tidak akan mengalami kerugian didunia terlebih diakhiran nanti.
Adapun anjuran saling mengingatkan ini bersifat umum, namun yang lebih khusus anjuran kepada diri kita keluarga kerabat yang dekat maupun kerabat yang jauh terlebih suami istri atau pun istri kepada suami sebagai ahli dalam rumah tangga. Misalkan suami telah menyuruh istrinya untuk melakukan sholat namun belum juga melaksanakan itu sudah bukan tanggung jawabannya begitu juga istri telah mengingatkan atau menyuruh suaminya namun belum juga melaksanakannya itu sudah bukan tanggung jawabnya kerena kewajiban kita hanyalah menyampaikan mengingatkan melaksanakan perintah setelah selesai itu sudah menjadi urusan peribadi mereka secara vertikal/hakkullah (kewajiban /hak dirinya kepada Allah SWT), tapi seorang istri atau suami jangan berputus asa untuk mengingatkan-Nya ,untuk saling asah asih dan asuh dalam rumah tangga.
Lalu bagaimana jika seorang istri tidak mau dijimak gara-gara dia mengingatkan suaminya tidak dilaksanakan maka hukumnya berdosa bahkan malaikat pun melaknatnya hingga waktu pagi, karena seorang muslim yang meninggalkan shalat (tārik al-shalāh) tidaklah otomatis menjadi kafir atau murtad yang mengeluarkan statusnya dari agama Islam (nonmuslim). Jumhur ulama (mazhab Maliki, Hanafi, dan Syafii) secara mutlak menyatakan bahwa seseorang yang tidak melaksanakan shalat wajib bukan sebab membangkang atau mengingkari kewajiban shalat (juhūdan) ataupun menganggap remeh (istikhfāf) atau mengolok-olok (istihzā’), melainkan misalnya sebab mengabaikan atau tidak sungguh-sungguh (tahāwun) dan malas (kaslan, takāsulan), tidaklah menjadi kafir, tetapi menjadi fasiq.
Imam al-Nawawî (631-676 H), pensyarah Shahih Muslim menjelaskan:
وأما تارك الصلاة فإن كان منكرا لوجوبها فهو كافر بإجماع المسلمين، خارج من ملة الإسلام، إلا أن يكون قريب عهد بالإسلام ولم يخالط المسلمين مدة يبلغه فيها وجوب الصلاة عليه، وإن كان تركه تكاسلا مع اعتقاده وجوبها كما هو حال كثير من الناس، فقد اختلف العلماء فيه، فذهب مالك والشافعي — رحمهما الله– والجماهير من السلف والخلف إلى أنه لا يكفر بل يفسق ويستتاب، فإن تاب وإلا قتلناه حدا كالزانى المحصن، ولكنه يقتل بالسيف، وذهب جماعة من السلف إلى أنه يكفر، وهو مروي عن علي بن أبى طالب –كرم الله وجهه– وهو إحدى الروايتين عن أحمد بن حنبل –رحمه الله–، وبه قال عبد الله بن المبارك وإسحاق بن راهويه، وهو وجه لبعض أصحاب الشافعى –رضوان الله عليه–، وذهب أبو حنيفة وجماعة من أهل الكوفة والمزني صاحب الشافعي –رحمهما الله– إلى أنه لا يكفر ولا يقتل بل يعزر ويحبس حتى يصلي. واحتج من قال بكفره بظاهر الحديث الثانى المذكور –(أي حديث: بين الرجل وبين الشرك والكفر ترك الصلاة)– وبالقياس على كلمة التوحيد، واحتج من قال لا يقتل بحديث “لا يحل دم امرئ مسلم إلا بإحدى ثلاث”، وليس فيه الصلاة، واحتج الجمهور على أنه لا يكفر بقوله تعالى: ﴿إن الله لا يغفر أن يشرك به ويغفر ما دون ذلك لمن يشاء﴾ وبقوله صلى الله عليه وسلم: “من قال لا إله الا الله دخل الجنة”، “من مات وهو يعلم أن لا إله الا الله دخل الجنة”، “ولا يلقى الله تعالى عبد بهما غير شاك فيحجب عن الجنة”، “حرم الله على النار من قال لا إله إلا الله”، وغير ذلك
Oleh karenanya bagi istri yang menikah dengan cara yang benar sesuai ajaran Islam tidak boleh menolak selama tidak ada udzur karena setiap hubungan intim mereka akan menjadi pahala selama sesuai dengan ketentuan syariat.
Rasulullah Nabi Muhammad SAW dalam sabdanya memperingatkan para wanita yang telah menjadi suami untuk tidak menolak ajakan suami untuk melakukan hubungan badan.
وعن أَبي هريرة – رضي الله عنه – قَالَ: قَالَ رَسُول الله – صلى الله عليه وسلم: إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امرَأتَهُ إِلَى فرَاشِهِ فَلَمْ تَأتِهِ، فَبَاتَ غَضْبَانَ عَلَيْهَا، لَعَنَتْهَا المَلائِكَةُ حَتَّى تُصْبحَ
Abu Hurairah berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Jika seorang suami mengajak istrinya untuk berhubungan, akan tetapi ia (istri) tidak memenuhi ajakan suami, hingga malam itu suaminya marah, maka ia (istri) mendapatkan laknat para Malaikat sampai subuh.” (HR Muslim).
Di dalam hadits lain, Rasulullah SAW bersabda bahwa istri yang menolak ajakan suami untuk berhubungan badan akan dimurkai yang ada di langit hingga suaminya memaafkan istrinya.
عن أَبي هريرة – رضي الله عنه – قَالَ: قَالَ رَسُول الله – صلى الله عليه وسلم: والَّذِي نَفْسِي بيَدِهِ مَا مِنْ رَجُلٍ يَدْعُو امْرَأتَهُ إِلَى فِرَاشهِ فَتَأبَى عَلَيهِ إلاَّ كَانَ الَّذِي في السَّمَاء سَاخطًا عَلَيْهَا حَتَّى يَرْضَى عَنها
Abu Hurairah berkata Rasulullah SAW bersabda, “Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah seorang suami mengajak istrinya ke ranjang (untuk bersenggama) sedangkan dia (istri) enggan, melainkan yang ada di langit murka kepadanya sampai suaminya memaafkannya.” (HR Muslim).
Rasulullah SAW juga memperingatkan seorang suami agar tidak membocorkan rahasia istrinya ketika melakukan hubungan badan kepada siapapun. Suami yang membocorkan rahasia istrinya mendapat ancaman paling buruk kedudukannya pada hari kiamat.
عن أبي سعيد رضي الله عنه قال أن النبي صلى الله عليه وسلم قال أن النبي صلى اللّه عليه وآله وسلم قال ان من شر الناس عند اللّه منزلة يوم القيامة يفضي إلى المرأة وتفضي إليه ثم ينشر سرها
Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya manusia yang paling jelek kedudukannya di sisi Allah pada hari kiamat ialah seseorang yang menyetubuhi istrinya dan istri bersetubuh dengan suaminya, kemudian suami menyebarkan rahsia istrinya.” (HR Muslim).
Jadi bedakan antara hakkullah hubungan vertikal manusia kepada Allah dan hakkunnas horesital manusia kepada manusia kerena urusan mengauli itu adalah hak suami istri ( hubungan manusia kepada manusia) sedangkan pelaksanaan shalat adalah hubungan vertikal manusia dengan Allah .Namun demikian wajib suami menyuruh istri ( ahlinya) untuk melakukan shalat begitu juga istri mengingatkan dan membangunkan suaminya untuk melaksanakan shalat ditengah malam karena Allah berkasih sayang kepada mereka sebagaimana keterangan hadits Rasulullah yang dikeluarkan oleh Abu Daud dan Ibnu Majah dari [Abu Hurairah] dia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Allah akan merahmati seseorang yang bangun malam kemudian shalat lalu membangunkan isterinya, apabila isterinya menolak, dia akan memercikkan air ke mukanya, dan Allah akan merahmati seorang isteri yang bangun malam lalu shalat, kemudian dia membangunkan suaminya, apabila suaminya enggan, maka isterinya akan memercikkan air ke muka suaminya.” Keterangan anjuran mengingatkan keluarga dan kerabat dan menyuruh ahli untuk melakukan shalat dijelaskan dalam Al-Qur’an ( Tafsir al-Qur’an) berikut:
التفسير المنير للزحيلى .ص ٤٧٨٦-٤٧٨٧
قال تعالى لرسوله: {وَأَنْذِرْ عَشِيرَتَكَ الْأَقْرَبِينَ} [الشعراء ٢١٤/ ٢٦]، وقال تعالى: {وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْها} [طه ١٣٢/ ٢٠]، وقال سبحانه:
{يا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ ناراً} [التحريم ٦/ ٦٦]. و
أخرج أبو داود وابن ماجه عن أبي هريرة قال: قال رسول الله صلّى الله عليه وآله وسلّم: «رحم الله رجلا قام من الليل فصلى وأيقظ امرأته، فإن أبت نضح في وجهها الماء. رحم الله امرأة قامت من الليل، فصلت وأيقظت زوجها، فإن أبى نضحت في وجهه الماء».
وأخرج أبو داود والنسائي وابن ماجه-واللفظ له-عن أبي سعيد وأبي هريرة رضي الله عنهما عن النبي صلّى الله عليه وآله وسلّم قال: «إذا استيقظ الرجل من الليل، وأيقظ امرأته، فصليا ركعتين، كتبا من الذاكرين الله كثيرا والذاكرات».
٤ – {وَكانَ عِنْدَ رَبِّهِ مَرْضِيًّا} أي رضيا زاكيا صالحا، مرضي العمل غير مقصر في طاعة ربه، فعلى المؤمن الاقتداء به. لكن لا خلاف أن الوفاء بالدين يستحق صاحبه الحمد والشكر، وعلى الخلف الذم، وقد أثنى الله تبارك وتعالى على من صدق وعده، ووفّى بنذره.
ويرى الإمام مالك: أن الوعد ملزم إذا دخل الموعود في التزام ما، أو وعد بقضاء دين عنه، وشهد عليه اثنان، يلزمه ذلك قضاء (١). ويرى سائر الفقهاء الآخرين: أن العدة لا يلزم منها شيء؛ لأنها منافع لم تقبض في العارية، وفي غير العارية: هي أشياء وأعيان موهوبة لم تقبض، فلصاحبها الرجوع فيها.
وكان إسماعيل عليه السلام رسولا إلى جرهم في مكة ونبيا صالحا، وكان يأمر أهله جرهم وولده بالصلاة والزكاة، وكان عند ربه مرضيا مقبولا؛ وهذا في نهاية المدح؛ لأن المرضي عند الله هو الفائز بأعلى الدرجات.
وإذا قرنت الزكاة بالصلاة أريد بها الصدقات الواجبة، فهي طاعة لله لازمة، تتطلب الإخلاص في أدائها، كما أن الصلاة واجبة.
والأقرب-كما قال الرازي-في الأهل: أن المراد به من يلزمه أن يؤدي إليه الشرع، فيدخل فيه كل أمته؛ لأنه يلزمه في جميعهم ما يلزم المرء في أهله خاصة.
التفسير المنير للزحيلى ص.٩٢٦٧-٩٢٧٢
بسم الله الرحمن الرحيم
سورة العصر
مكيّة، وهي ثلاث آيات.
تسميتها:
سميت سورة العصر لقسم الله به في مطلعها بقوله: {وَالْعَصْرِ إِنَّ الْإِنْسانَ لَفِي خُسْرٍ} {وَالْعَصْرِ}: الدهر، لاشتماله على الأعاجيب، من سرّاء وضرّاء، وصحة وسقم، وغنى وفقر، وعز وذل، وانقسامه إلى أجزاء: سنة وشهر ويوم وساعة ودقيقة وثانية.
مناسبتها لما قبلها:
لما بيّن في السورة المتقدمة أن الاشتغال بأمور الدنيا والتهالك عليها مذموم، أراد أن يبين في هذه السورة ما يجب الاشتغال به من الإيمان والأعمال الصالحات، وهو ما يعود إلى النفس، ومن التواصي بالخيرات وكفّ النفس عن المناهي أو المعاصي، وهو ما يعود إلى المجتمع. والخلاصة: بعد أن قال: {أَلْهاكُمُ التَّكاثُرُ} وهدد بتكرار: {كَلاّ سَوْفَ تَعْلَمُونَ} بيّن حال المؤمن والكافر.
ما اشتملت عليه السورة:
هذه السورة المكية الموجزة توضح أصول الإسلام الكبرى، ودستور الحياة الإنسانية.
فقد أقسم الله تعالى بالعصر الذي هو الدهر أو الزمان المشتمل على العجائب والدال على قدرة الله وحكمته البالغة على خسارة الإنسان إلا من اتصف بالأوصاف الأربعة، وهي: الإيمان، والعمل الصالح، والتواصي مع الآخرين بالحق، والتواصي بالصبر والمصابرة.
فضلها:
ذكر الرواة أن عمرو بن العاص وفد على مسيلمة الكذاب، وذلك بعد ما بعث رسول الله صلّى الله عليه وسلّم، وقبل أن يسلم عمرو، فقال له مسيلمة: ماذا أنزل على صاحبكم في هذه المدة؟! فقال: لقد أنزل عليه سورة وجيزة بليغة، فقال:
وما هي؟ فقال: {وَالْعَصْرِ إِنَّ الْإِنْسانَ لَفِي خُسْرٍ، إِلاَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصّالِحاتِ، وَتَواصَوْا بِالْحَقِّ، وَتَواصَوْا بِالصَّبْرِ} ففكر مسيلمة هنيهة، ثم قال:
وقد أنزل علي مثلها، فقال له عمرو: وما هو؟ فقال:
يا وبر يا وبر (١)، وإنما أنت أذنان وصدر، وسائرك حفر نقر.
ثم قال كيف ترى يا عمرو: فقال له عمرو: والله لتعلم أني أعلم أنك تكذب.
وذكر الطبراني عن عبيد الله بن حفص قال: كان الرجلان من أصحاب رسول الله صلّى الله عليه وسلّم إذا التقيا لم يفترقا، إلا على أن يقرأ أحدهما على الآخر سورة العصر، إلى آخرها، ثم يسلم أحدهما على الآخر. وأخرجه البيهقي عن أبي حذيفة.
وقال الشافعي رحمه الله: لو تدبر الناس هذه السورة لوسعتهم.
(١) الوبر: دويبة تشبه الهر، أعظم شيء فيه أذناه وصدره، وباقيه دميم، فأراد مسيلمة أن يركب من هذا الهذيان ما يعارض به القرآن، فلم يرج ذلك على عابد الأوثان في ذلك الزمان (تفسير ابن كثير ٥٤٧/ ٤).
رسالة الحياة أو حال المؤمن والكافر
{بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ. وَالْعَصْرِ (١) إِنَّ الْإِنْسانَ لَفِي خُسْرٍ (٢) إِلاَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصّالِحاتِ وَتَواصَوْا بِالْحَقِّ وَتَواصَوْا بِالصَّبْرِ (٣)}
الإعراب:
{وَالْعَصْرِ} قسم، وجوابه: {إِنَّ الْإِنْسانَ لَفِي خُسْرٍ} والمراد بالإنسان: الجنس، ولهذا استثنى منه: {إِلاَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصّالِحاتِ}.
{وَتَواصَوْا} أصله «تواصيوا» إلا أنه تحركت الياء وانفتح ما قبلها، فانقلبت ألفا، فاجتمع ساكنان: الألف والواو بعدها، فحذفوا الألف لالتقاء الساكنين.
البلاغة:
{إِنَّ الْإِنْسانَ} أي الناس بدليل الاستثناء، فهو إطلاق البعض وإرادة الكل.
{لَفِي خُسْرٍ} التنكير للتعظيم، أي في خسر عظيم.
{وَتَواصَوْا بِالْحَقِّ، وَتَواصَوْا بِالصَّبْرِ} إطناب بتكرار الفعل، لزيادة العناية به.
{وَتَواصَوْا بِالصَّبْرِ} بعد قوله: {بِالْحَقِّ} خاص بعد عام، فإن الصبر داخل في عموم الحق، إلا أنه خصصه بالذكر للاهتمام به بعينه.
{الْعَصْرِ}، {بِالصَّبْرِ}، {خُسْرٍ} سجع عفوي غير متكلف، وهو من المحسنات البديعية.
المفردات اللغوية:
{وَالْعَصْرِ} والدهر، أقسم الله به لاشتماله على الأعاجيب، وقيل: صلاة العصر، أو وقت العصر من بعد الزوال إلى الغروب. {إِنَّ الْإِنْسانَ} جنس الإنسان فالتعريف للجنس.
{خُسْرٍ} خسارة أو خسران في تجارته، والتنكير للتعظيم. والخسارة: النقصان وضياع رأس المال. {إِلاَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصّالِحاتِ} فإنهم اشتروا الآخرة بالدنيا، ففازوا بالحياة الأبدية والسعادة الدائمة، فليسوا في خسران.{بِالْحَقِّ} وهو الشيء الثابت الذي لا يصح إنكاره من اعتقاد أو عمل، أو هو ما أرشد إليه دليل قاطع، أو عيان ومشاهدة، أو شرع صحيح جاء به نبي معصوم.
والتواصي بالحق: أن يوصي الناس بعضهم بعضا بما لا مجال لإنكاره من إيمان وخير وفضيلة.
{بِالصَّبْرِ} قوة في النفس تدعو إلى احتمال المشقة في العمل. والتواصي بالصبر: أن يوصي الناس بعضهم بعضا به، ويحث الواحد غيره عليه.
وقد اكتفى سبحانه ببيان سبب الربح دون الخسران لأنه المقصود، وما عداه يؤدي إلى الخسران والنقص.
التفسير والبيان:
{وَالْعَصْرِ، إِنَّ الْإِنْسانَ لَفِي خُسْرٍ} أي قسما بالعصر وهو الدهر أو الزمان الذي يمر به الناس؛ لما فيه من العبر وتقلبات الليل والنهار، وتعاقب الظلام والضياء، وتبدل الأحداث والدول، والأحوال والمصالح، مما يدل على وجود الصانع عزّ وجلّ وعلى توحيده وكمال قدرته، أقسم بذلك على أن الإنسان في خسارة وهلاك ونقص وضلال عن الحق، في المتاجر والمساعي، وصرف الأعمال في أعمال الدنيا، إلا من استثناهم الله فيما يأتي. وإقسام الله بالدهر دليل على شرفه وأهميته، لذا
قال صلّى الله عليه وسلّم فيما أخرجه مسلم عن أبي هريرة: «لا تسبّوا الدهر، فإن الله هو الدهر». والآية كما ذكر الرازي كالتنبيه على أن الأصل في الإنسان أن يكون في الخسران والخيبة.
وقيل: المراد بالعصر: صلاة العصر، أو وقتها تعظيما لها، ولشرفها وفضلها، ولهذا فسّر بها الصلاة الوسطى عند كثير من العلماء. وفيه إشارة إلى أن عمر الدنيا الباقي هو ما بين العصر إلى المغرب، فعلى الإنسان أن يشتغل بتجارة لا خسران فيها، فإن الوقت قد ضاق، وقد لا يمكن تدارك ما فات.
والمراد بالإنسان: الجنس، واللام لام الجنس وهو الراجح. وقيل: اللام في الإنسان لمعهود معين، كما روي عن ابن عباس أنه أراد جماعة من المشركين كالوليد بن المغيرة، والعاص بن وائل، والأسود بن المطّلب. قال أبو حيان:
والعصر، والإنسان: اسم جنس يعم، ولذلك صح الاستثناء منه.
ثم استثنى من جنس الإنسان عن الخسران ما يأتي:
{إِلاَّ الَّذِينَ آمَنُوا، وَعَمِلُوا الصّالِحاتِ، وَتَواصَوْا بِالْحَقِّ، وَتَواصَوْا بِالصَّبْرِ} أي إن الإنسان لفي خسارة وضياع ونقصان وهلاك إلا الذين جمعوا بين الإيمان بالله والعمل الصالح، فإنهم في ربح، لا في خسر؛ لأنهم عملوا للآخرة، ولم تشغلهم أعمال الدنيا عنها، فآمنوا بقلوبهم، وعملوا بجوارحهم (أعضائهم).
وإلا الذين وصّى بعضهم بعضا بالأمر الثابت الذي لا يسوغ إنكاره: وهو الإيمان بالله والتوحيد، والقيام بما شرعه الله، واجتناب ما نهى عنه. والحق خلاف الباطل، ويشمل جميع الخيرات وما يلزم فعله، أو هو أداء الطاعات، وترك المحرّمات. قال الزمخشري: وهو الخير كله، من توحيد الله وطاعته واتباع كتبه ورسله، والزهد في الدنيا، والرغبة في الآخرة.
وإلا الذين أوصى بعضهم بعضا بالصبر على فرائض الله، وعن معاصي الله، وعلى أقداره وبلاياه. والصبر يشمل احتمال الطاعات، واجتناب المنكرات، وتحمل المصائب والأقدار، وأذي الذي يأمرونه بالمعروف، وينهونه عن المنكر.
فقه الحياة أو الأحكام:
دلت السورة على ما يأتي:
١ – الإنسان وإن ربح الثورة الكبيرة والمال الوفير، فهو في خسارة محققة، إن لم يعمل للآخرة عملا طيبا صحيحا.
٢ – أقسم الله تعالى على هذا الحكم بأي عصر أو زمان، لما فيه من التنبيه
بتصرف الأحوال وتبدّلها، وما فيها من الدلالة على الصانع ووحدانيته وكمال قدرته ومزيد حكمته التي تظهر أحيانا بعد مرور الزمان.
والعصر في الحلف بالأيمان مختلف في تقديره عند الفقهاء، فقال مالك: من حلف ألا يكلم رجلا عصرا، يحمل على السنة؛ لأنه أكثر ما قيل فيه، وذلك على أصله في تغليظ المعنى في الأيمان.
وقال الشافعي: يبرّ بساعة، إلا أن تكون له نية، أو يفسره بما يحتمله، وذلك حملا على الأقل المتيقن المراد بالعصر.
٣ – حكم الله تعالى بالوعيد الشديد؛ لأنه حكم بالخسارة على جميع الناس إلا من كان آتيا بأشياء أربعة أو متصفا بصفات أربع، وهي: الإيمان، والعمل الصالح، والتواصي بالحق، والتواصي بالصبر.
فدلّ ذلك على أن النجاة معلقة بمجموع هذه الأمور، وعناصر الإيمان ستة:
أن تؤمن بالله، وملائكته، وكتبه، ورسله، واليوم الآخر، وبالقدر خيره وشره. والعمل الصالح: أداء الفرائض واجتناب المعاصي، وفعل الخير.
والتواصي بالحق: أن يوصي بعضهم بعضا بالأمر الثابت، ويحث بعضهم بعضا على توحيد الله، والعمل بالقرآن، والدعوة إلى الدين والنصيحة، والأمر بالمعروف والنهي عن المنكر، وأن يحب المرء لغيره ما يحب لنفسه. قال عمر رضي الله عنه:
رحم الله من أهدى إلي عيوبي.
والتواصي بالصبر: أن يوصي الناس بعضهم بعضا على طاعة الله عزّ وجلّ، والصبر عن معاصيه، والرضا بالقضاء والقدر في المصائب والمحن.
٤ – قال الإمام الرازي رحمه الله: دلت الآية على أن الحق ثقيل، وأن المحن تلازمه، فلذلك قرن به التواصي (١).
(١) تفسير الرازي: ٩٠/ ٣٢