
Assalamu’alaikum
Deskripsi masalah
Terkadang ada seorang perempuan nikat berhubungan intim dengan lelaki diluar nikah sehingga hamil maka dalam rangka untuk menutupi aibnya dia Aborsi, sedangkan kehamilannya sudah mencapai 4 bulan yang masyhur dimasyarat jika kandungan sampai 4 bulan adalah masa ditiupkannya ruh kedalam rahim,
Studi kasus yang hampir sama
Ada pasangan suami istri terjadi talak dalam masa iddah ternyata dia hamil 4 bulan maka dia melakukan aborsi dalam rangka untuk bisa menikah lagi.
Pertanyaannya.
Bagaimana hukumnya menggugurkan anak ( aborsi) dalam masa indah dengan tujuan untuk bisa menikah.
Mohon pencerahan nya kiyai.
Waalaikum
Jawaban .
Aborsi adalah menggugurkan anak dalam kandungan .
Jika Islam memperbolehkan seseorang muslim mencegah kehamilan karena alasan-alasan yang mengharuskannya, namun ia tidak memperbolehkannya menganiaya kandungan itu, jika benar-benar telah terjadi. Para ahli fiqih sepakat bahwa menggugurkan kandungan setelah ditiupkannya ruh kedalamnya hukumnya adalah haram dan termasuk dosa. Seorang muslim tidak boleh melakukannya karena termasuk tindakan kriminal terhadap manusia yang telah sempurna dan jelas-jelas hidup .
Mereka mengatakan bahwa karena itu, pengguguran kandungan berkewajiban membayar diyat, jika terlahir dalam keadaan hidup kemudian mati.Jika terlahir dalam keadaan telah mati, dikenakan hukuman harta yang lebih ringan. Akan tetapi mereka juga mengatakan ” Bilamana dengan cara yang terpercaya dinyatakan bahwa keberadaan kandungan yang jelas-jelas hidup itu menyebabkan kematian ibunya tanpa bisa dihindari , syariat dengan kaidah-kaidah umumnya memerintahkan untuk melakukan tindakan yang risikonya lebih ringan.
Bila keberadaannya menyebabkan kematian dan tidak ada cara lain untuk menyelamatkan ibunya kecuali dengan menggugurkannya dalam hal ini menjadi wajib . Tidak boleh mengorbankan ibu untuk menyelamatkan jiwa si janin .Karena dialah pangkalnya, dan kehidupan telah berada dalam jiwanya. Ia memiliki hak hidup secara mandiri, Memiliki hak dan kewajiban , lebih dari itu adalah pilar keluarga .Karenanya tidak logis kalau demi membela janin yang belum tentu jelas kehidupan nya harus mengorbankan sang ibu , padahal janin itu belum mempunyai hak kewajiban sedikitpun.
Imam Ghazali membedakan antara mencegah kehamilan dan menggugurkannya .Hal ini ( mencegah kehamilan ) bukanlah aborsi dan bukan pula penguburan anak hidup-hidup . Karena penguguran hakikatnya adalah merupakan kejahatan terhadap makhluk yang telah benar-benar hidup .Keberadaan makhluk hidup memiliki beberapa tingkatan . Tingkatan pertama adalah ketika seperma ketika masuk kedalam rahim dan tercampur dengan ovum dan siap untuk hidup.Merusaknya adalah kejahatan . Kalau seperma sudah menjadi segumpal darah , tingkat kriminalnya lebih keji, Apalagi telah ditiupin ruh kedalamnya dan menjadi makhluk yang sempurna, nilai kriminalnya jauh lebih keji lagi. Dan yang paling keji kadar kriminalnya adalah jika pembunuhan dilakukan setelah terpisah ( lahir )sebagai makhluk hidup.
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan dari beberapa pendapat ulama ; Bahwa hukum Aborsi Haram Jika sudah mencapai 4 bulan dan sudah ditiupkan ruh kedalam rahim , begitu juga haram Jika belum ada ruhnya yakni berbentuk segumpal darah atau segumpal daging tapi menurut imam Romli boleh. Menurut ulama’ lain boleh dengan syarat dapat persetujuan dari suami-istri serta tidak akan terjadi bahaya terhadap ibunya (perempuan yang hamil) pendapat ulama’ lain.: sedangkan menurut Imam Ghozali : haram secara mutlak , menurut sebagian ulama boleh secara mutlak (baik setelah ada ruh atau tidak) ketika sudah tidak ada cara lain untuk menyelamatkan ibunya.
Referensi:
كتاب الحلال والحرام للشيخ دكتور يوسف القرضاوي .ص ٢٣٢-٣٣٣
● تسقاط الحمل :
وإذا كان الإسلام قد أباح للمسلم أن يمنع الحمل لضرورات تقتضي
ذلك ، فلم يُبح له أن يجني على هذا الحمل ، بعد أن يُوجد فعلا . ولو جاء هذا الحمل من طريق حرام ، فإن النبي * لم يقبل أن يقيم الحدَّ على امرأة حملت من زِنى حتى تض جنينها ، وتتم رضاعته ؛ إذ لا ذنب له
.واتفق الفقهاء على أن إسقاطه ، بعد نفخ الروح فيه حرام وجريمة ،
لا يحل للمسلم أن يفعله ؛ لأنه جناية على حيّ ، متكامل الخَلْق ، ظاهرالحياة ، قالوا : ولذلك وجبت في إسقاطه الدية إن نزل حيًّا ثم مات ، وعقوبة مالية أقل منها إن نزل ميتا .ولكنهم قالوا : إذا ثبت من طريق موثوق به أن بقاءه ـ بعد تحقق
حياته هكذا ـ يؤدي لا محالةَإلى موت الأم ، فإن الشريعة بقواعدها العامة ، تأمر بارتكاب أخف الضررين ، فإذا كان في بقائه موت الأم ، وكان لا منقذ لها سوى إسقاطه ، كان إسقاطه في تلك الحالة متعينًا ، ولايضحَّى بها في سبيل إنقاذه ؛ لأنها أصله ، وقد استقرت حياتها ، ولهاحظ مستقل في الحياة ، ولها حقوق وعليها حقوق ، وهي بعد هذا وذاك
عماد الأسرة . وليس من المعقول أن نضحي بها في سبيل الحياة لجنين لم تستقل حياته ، ولم يحصل على شيء من الحقوق والواجبات.ذلك إذا ثبت لنا بطريقة علمية مؤكدة ، أن الجنين سينزل مشوَّهًا ويعيش حياته في الأم وتعاسة ، له ولمن حوله ، فقواعد الشريعة لا تمنع من إسقاطه ، وحصر ذلك في المدة الأولى من الحمل ، أي قبل نهاية أربعة أشهر ـ قال الإمام الغزالي يفرق بين منع الحمل وإسقاطه ،( وليس هذا ) أى منع الحمل كالإجهاض والوأد ؛ لأن ذلك جناية على موجود حاصل ـ أي من الحمل وأول مراتب الوجود أن تقع النطفة في الرحم ، وتختلط بماء المرأة. وتستعد لقبول الحياة صارت نطفة فعلقة د له مراتب والوجو . وإفساد ذلك جناية ، فإن . وتستعد لقبول الحياة وإفساد ذلك جناية فإنوصارت نطفة فعلقة ، كانت الجناية أفحش ، وإن نفخ فيه الروح واستوت الخِلقة ، ازدادت الجناية تفاحشا ، ومنتهى التفاحش في الجناية ، بعد الانفصال حيا
ﺑﻐﻴﺔ اﻟﻤﺴﺘﺮﺷﺪﻳﻦ – (ص ٢٤٦)
(ﻣﺴﺄﻟﺔ ك) ﻳﺤﺮﻡ اﻟﺘﺴﺒﺐ ﻓﻲ ﺇﺳﻘﺎﻁ اﻟﺠﻨﻴﻦ ﺑﻌﺪ اﺳﺘﻘﺮاﺭﻩ ﻓﻲ اﻟﺮﺣﻢ، ﺑﺄﻥ ﺻﺎﺭ ﻋﻠﻘﺔ ﺃﻭ ﻣﻀﻐﺔ ﻭﻟﻮ ﻗﺒﻞ ﻧﻔﺦ اﻟﺮﻭﺡ ﻛﻤﺎ ﻓﻲ اﻟﺘﺤﻔﺔ، ﻭﻗﺎﻝ (ﻣ ﺭ) : ﻻ ﻳﺤﺮﻡ ﺇﻻ ﺑﻌﺪ اﻟﻨﻔﺦ، ﻭاﺧﺘﻠﻒ اﻟﻨﻘﻞ ﻋﻦ اﻟﺤﻨﻔﻴﺔ ﻓﻲ اﻟﺠﻮاﺯ ﻣﻄﻠﻘﺎ ﻭﻓﻲ ﻋﺪﻣﻪ ﺑﻌﺪ ﻧﻔﺦ اﻟﺮﻭﺡ، ﻭﻫﻞ ﻫﻮ ﻛﺒﻴﺮﺓ ؟ اﻷﺣﻮﻁ ﺃﻥ ﻳﻘﺎﻝ : ﺇﻥ ﻋﻠﻢ اﻟﺠﺎﻧﻲ ﺑﻮﺟﻮﺩ اﻟﺤﻤﻞ ﺑﻘﺮاﺋﻦ اﻷﺣﻮاﻝ ﻭﺗﻌﻤﺪ ﻓﻌﻞ ﻣﺎ ﻳﺠﻬﺾ ﻏﺎﻟﺒﺎ ﻭﻗﺪ ﻧﻔﺦ ﻓﻴﻪ اﻟﺮﻭﺡ ﻭﻟﻢ ﻳﻘﻠﺪ اﻟﻘﺎﺋﻞ ﺑﺎﻟﺤﻞ ﻓﻜﺒﻴﺮﺓ ﻭﺇﻻ ﻓﻼ.
اعانة الطالبين ج٤ ص١٤٧
فرع: اختلفوا في التسبب لاسقاط ما لم يصل لحد نفخ الروح فيه وهو مائة وعشرون يوما، والذي يتجه وفاقا لابن العماد وغيره الحرمة، ولا يشكل عليه جواز العزل لوضوح الفرق بينهما بأن المني حال نزوله محض جماد لم يتهيأ للحياة بوجه بخلافه بعد استقراره في الرحم وأخذه في مبادئ التخلق ويعرف ذلك بالامارات، وفي حديث مسلم أنه يكون بعد اثنتين وأربعين ليلة: أي ابتداؤه كما مر في الرجعة، ويحرم استعمال ما يقطع الحبل من أصله، كما صرح به كثيرون، وهو وظاهر. والذي رجحه م ر أنه بعد نفخ الروح يحرم مطلقا ويجوز قبله ونص عبارته في باب أمهات الاولاد بعد كلام. قال الدميري: لا يخفى أن المرأة قد تفعل ذلك بحمل زنا وغيره، ثم هي إما أمة فعلت ذلك بإذن مولاها الواطئ لها وهي مسألة الفراتي أو بإذنه وليس هو الواطئ وهو صورة لا تخفى، والنقل فيها عزيز، وفي مذهب أبي حنيفة شهير، ففي فتاوى قاضيخان وغيره أن ذلك يجوز، وقد تكلم الغزالي عليها في الاحياء بكلام متين غير أنه لم يصرح بالتحريم. والراجح تحريمه بعد نفخ الروح مطلقا وجوازه قبله.
الفقه الإسلامي ج٤ ص٢٦٤٨
٣ – مذهب الشافعية: يباح الإجهاض مع الكراهة إذا تم في فترة الأربعين يوماً (٤٠ أو ٤٢ أو ٤٥ يوماً) من بدء الحمل، بشرط كونه برضا الزوجين، وألا يترتب على ذلك ضرر بالحامل. وبعد فترة الأربعين يحرم الإسقاط مطلقاً.
ورجح الرملي جواز الإجهاض قبل نفخ الروح والتحريم بعد نفخ الروح مطلقاً، فيكون رأيه كالحنفية.
وحرم الغزالي الإجهاض مطلقاً، لأنه جناية على موجود حاصل.
ﺗﻮﺿﻴﺢ اﻷﺣﻜﺎﻡ اﻟﺠﺰء اﻟﺨﺎﻣﺲ ﺻ: ١٨٨-١٨٩
ﻻ ﻳﺠﻮﺯ ﺇﺳﻘﺎﻁ اﻟﺤﻤﻞ ﻓﻰ ﻣﺨﺘﻠﻒ ﻣﺮاﺣﻠﻪ ﺇﻻ ﻟﻤﺒﺮﺭ ﺷﺮﻋﻰ ﻭﻓﻰ ﺣﺪﻭﺩ ﺿﻴﻘﺔ ﺟﺪا. ﺇﺫا ﻛﺎﻥ اﻟﺤﻤﻞ ﻓﻰ اﻟﻄﻮﺭ اﻷﻭﻝ ﻭﻫﻰ ﻣﺪﺓ اﻷﺭﺑﻌﻴﻦ ﻭﻛﺎﻥ ﻓﻰ ﺇﺳﻘﺎﻃﻪ ﻣﺼﻠﺤﺔ ﺷﺮﻋﻴﺔ اﻭ ﺩﻓﻊ ﺿﺮﺭ ﻣﺘﻮﻗﻊ ﺟﺎﺯ ﺇﺳﻘﺎﻃﻪ ﺃﻣﺎ ﺇﺳﻘﺎﻃﻪ ﻓﻰ ﻫﺬﻩ اﻟﻤﺪﺓ ﺧﺸﻴﺔ اﻟﻤﺸﻘﺔ ﻓﻰ ﺗﺮﺑﻴﺔ اﻷﻭﻻﺩ ﺃﻭ ﺧﻮﻓﺎ ﻣﻦ اﻟﻌﺠﺰ ﻋﻦ ﺗﻜﺎﻟﻴﻒ ﻣﻌﻴﺸﺘﻬﻢ ﻭﺗﻌﻠﻴﻤﻬﻢ ﺃﻭ ﻣﻦ ﺃﺟﻞ ﻣﺴﺘﻘﺒﻠﻬﻢ ﺃﻭ ﺇﻛﺘﻔﺎء ﺑﻤﺎ ﻟﺬﻯ اﻟﺰﻭﺟﻴﻦ ﻣﻦ اﻷﻭﻻﺩ ﻓﻐﻴﺮ ﺟﺎﺋﺰ. ﻻ ﻳﺠﻮﺯ اﺳﻘﺎﻁ اﻟﺤﻤﻞ ﺇﺫا ﻛﺎﻥ ﻋﻠﻘﺔ ﺃﻭ ﻣﻀﻐﺔ ﺣﺘﻰ ﺗﻜﺮﺭ ﻟﺠﻨﺔ ﻃﺒﻴﺔ ﻣﻮﺛﻮﻗﺔ ﺇﻥ اﺳﺘﻤﺮاﺭﻩ ﺧﻄﺮ ﻋﻠﻰ ﺳﻼﻣﺔ ﺃﻣﻪ ﺑﺄﻥ ﻳﺨﺸﻰ ﻋﻠﻴﻬﺎ اﻟﻬﻼﻙ ﻣﻦ اﺳﺘﻤﺮاﺭﻩ ﻓﻴﺠﻮﺯ ﺇﺳﻘﺎﻃﻪ ﺑﻌﺪ اﺳﺘﻨﻔﺎﺩ ﻛﺎﻓﺔ اﻟﻮﺳﺎﺋﻞ ﻟﺘﻼﻗﻰ ﺗﻠﻚ اﻷﺧﻄﺎﺭ. ﺑﻌﺪ اﻟﻄﻮﺭ اﻟﺜﺎﻟﺚ ﻭﺑﻌﺪ ﺇﻛﻤﺎﻝ ﺃﺭﺑﻌﺔ ﺃﺷﻬﺮ ﻟﻠﺤﻤﻞ ﻻ ﻳﺤﻞ اﺳﻘﺎﻃﻪ ﺣﺘﻰ ﻳﻘﺮﺭ ﺟﻤﻊ ﻣﻦ اﻷﻃﺒﺎء اﻟﻤﺨﺘﺼﻴﻦ اﻟﻤﻮﺛﻮﻗﻴﻦ ﺃﻥ ﺑﻘﺎء اﻟﺠﻨﻴﻦ ﻓﻰ ﺑﻄﻦ ﺃﻣﻪ ﻳﺴﺒﺐ ﻣﻮﺗﻬﺎ ﻭﺑﺬﻟﻚ ﺑﻌﺪ اﺳﺘﻨﻔﺎﺩ اﻟﻮﺳﺎﺋﻞ ﻻﻧﻘﺎﺫ ﺣﻴﺎﺗﻪ ﻭﺇﻧﻤﺎ ﺭﺧﺺ اﻹﻗﺪاﻡ ﻋﻠﻰ اﺳﻘﺎﻃﻪ ﺑﻬﺬﻩ اﻟﺸﺮﻭﻁ ﺩﻓﻌﺎ ﻷﻋﻈﻢ اﻟﻀﺮﺭﻳﻦ ﻭﺟﻠﺒﺎ ﻟﻌﻈﻤﻰ اﻟﻤﺼﻠﺤﻴﻦ. ﻗﺒﻞ ﻣﺮﻭﺭ ﻣﺎﺋﺔ ﻭﻋﺸﺮﻳﻦ ﻳﻮﻣﺎ ﻋﻠﻰ اﻟﺤﻤﻞ ﺇﺫا ﺛﺒﺖ ﻭﺗﺄﻛﺪ ﺑﺘﻘﺮﻳﺮ ﻟﺠﻨﺔ ﻃﺒﻴﺔ ﻣﻦ اﻷﻃﺒﺎء اﻟﻤﺨﺘﺼﻴﻦ اﻟﺜﻘﺎﺕ ﻭﺑﻨﺎء ﻋﻠﻰ اﻟﻔﺤﻮﺹ اﻟﻔﻨﻴﺔ ﺑﺎﻷﺟﻬﺰﺓ ﻭاﻟﻮﺳﺎﺋﻞ اﻟﻤﻤﻜﻨﺔ ﺃﻥ اﻟﺠﻨﻴﻦ ﻣﺸﻮﻩ ﺗﺸﻮﻳﻬﺎ ﺧﻄﻴﺮا ﻏﻴﺮ ﻗﺒﻴﻞ ﻟﻠﻌﻼﺝ ﻭﺇﻧﻪ ﺇﺫا ﺑﻘﻰ ﻭﻭﻟﺪ ﻓﻰ ﻣﻮﻋﺪﻩ ﺳﺘﻜﻮﻥ ﺣﻴﺎﺗﻪ ﺳﻴﺌﺔ ﻭﺃﻻﻣﺎ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﻋﻠﻰ ﺃﻫﻠﻪ ﻓﻌﻨﺪﺋﺬ ﻳﺠﻮﺯ اﺳﻘﺎﻃﻪ ﺑﻨﺎء ﻋﻠﻰ ﻃﻼﺏ اﻟﻮاﻟﺪﻳﻦ ﻭاﻟﻤﺠﻠﺲ ﺇﺫ ﻳﻘﺮﺭ ﺫﻟﻚ ﻳﺴﻰء اﻷﻃﺒﺎء ﻭاﻟﻮاﻟﺪﻳﻦ ﺑﺘﻘﻮﻯ اﻟﻠﻪ ﻭاﻟﺘﺜﺒﺖ ﻓﻰ ﻫﺬا اﻷﻣﺮ
Kitab Al-Halal wal-Haram
Syekh Dr. Yusuf Al-Qaradawi, Halaman 232–233
Tentang Pengguguran Janin:
Jika Islam memperbolehkan seorang Muslim untuk mencegah kehamilan karena alasan-alasan tertentu yang mendesak, maka Islam tidak memperbolehkan seseorang untuk menghilangkan janin setelah ia benar-benar ada. Bahkan jika janin itu berasal dari hubungan haram, Nabi Muhammad ﷺ tidak menjatuhkan hukuman hudud kepada seorang wanita yang hamil karena zina sampai ia melahirkan anaknya dan selesai menyusui, karena anak tersebut tidak bersalah.
Para ulama sepakat bahwa menggugurkan janin setelah ruh ditiupkan adalah haram dan merupakan tindakan kriminal. Tidak diperbolehkan bagi seorang Muslim untuk melakukannya karena itu adalah kejahatan terhadap makhluk hidup yang sempurna bentuknya dan memiliki kehidupan yang nyata. Para ulama mengatakan bahwa jika janin dilahirkan dalam keadaan hidup lalu meninggal, maka diwajibkan membayar diyat (tebusan), sedangkan jika lahir dalam keadaan mati, maka diyatnya lebih ringan.
Namun, mereka juga menyatakan bahwa jika terbukti secara medis bahwa keberadaan janin setelah ruh ditiupkan akan menyebabkan kematian ibu tanpa keraguan, maka syariat berdasarkan kaidahnya memerintahkan untuk memilih kerugian yang lebih ringan. Jika keberadaan janin dapat menyebabkan kematian ibu, dan satu-satunya cara untuk menyelamatkan ibu adalah dengan menggugurkan janin tersebut, maka tindakan tersebut menjadi wajib. Nyawa ibu tidak boleh dikorbankan untuk menyelamatkan janin karena ibu adalah asal dari janin tersebut.
Kehidupan ibu telah mapan, ia memiliki hak dan kewajiban serta merupakan pilar utama keluarga. Tidaklah masuk akal untuk mengorbankannya demi janin yang belum memiliki kehidupan yang mandiri dan belum mendapatkan hak-hak penuh.
Jika terbukti secara ilmiah bahwa janin akan lahir cacat dan menjalani kehidupan yang penuh penderitaan bagi dirinya dan orang di sekitarnya, maka kaidah syariat tidak melarang menggugurkannya. Namun, tindakan ini hanya diperbolehkan pada tahap awal kehamilan, yaitu sebelum 120 hari. Imam Al-Ghazali membedakan antara mencegah kehamilan dan menggugurkan janin. Ia mengatakan bahwa mencegah kehamilan tidak sama dengan aborsi atau membunuh bayi, karena aborsi adalah kejahatan terhadap makhluk yang telah ada.
Ketika sperma bertemu dengan sel telur dalam rahim dan siap untuk menerima kehidupan, maka merusaknya dianggap sebagai kejahatan. Jika sudah berubah menjadi segumpal darah atau daging, kejahatannya semakin besar. Ketika ruh telah ditiupkan dan bentuknya sempurna, kejahatan tersebut menjadi lebih berat, dan tingkat kejahatan tertinggi adalah membunuh makhluk hidup setelah ia lahir dalam keadaan hidup.
Referensi dari Kitab Lain
Bughyatul Mustarsyidin (Halaman 246):
Dalam Bughyatul Mustarsyidin disebutkan bahwa haram hukumnya menyebabkan gugurnya janin setelah ia menetap di dalam rahim, baik dalam bentuk segumpal darah (ʿalaqah) atau segumpal daging (muḍghah), bahkan sebelum ruh ditiupkan, sebagaimana tercantum dalam kitab “At-Tuhfah.”
Namun, ada pendapat (dalam madzhab Syafi’i) yang menyatakan bahwa pengguguran tidak haram kecuali setelah ruh ditiupkan. Pendapat dalam madzhab Hanafi berbeda; sebagian membolehkan menggugurkan janin pada tahap awal, sementara sebagian lain mengharamkannya setelah ruh ditiupkan.
I’aanatuth Thalibin (Jilid 4, Halaman 147):
Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum menggugurkan janin sebelum ruh ditiupkan (120 hari). Pendapat yang lebih kuat adalah bahwa hukumnya haram karena setelah janin menetap di rahim dan mulai terbentuk, statusnya berbeda dengan sperma yang masih berupa zat mati.
Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuh (Jilid 4, Halaman 2648):
Dalam madzhab Syafi’i, menggugurkan kandungan diperbolehkan dengan catatan makruh jika dilakukan dalam 40 hari pertama kehamilan, asalkan atas persetujuan suami-istri dan tidak membahayakan kesehatan ibu. Setelah 40 hari, pengguguran janin menjadi haram.
Tawdihul Ahkam (Jilid 5, Halaman 188–189):
Menggugurkan kandungan di berbagai tahap kehamilan tidak diperbolehkan kecuali ada alasan syar’i yang mendesak, dan itu pun dalam batasan yang sangat sempit.
Jika janin berusia kurang dari 40 hari dan ada alasan syar’i atau untuk menghindari bahaya tertentu, maka pengguguran diperbolehkan. Namun, alasan seperti khawatir tidak mampu mendidik anak, ketakutan terhadap biaya hidup, atau kecukupan jumlah anak tidak dapat dijadikan alasan syar’i untuk melakukan pengguguran.
Setelah janin mencapai usia 120 hari dan jika terbukti secara medis bahwa keberadaannya akan menyebabkan kematian ibu, maka pengguguran diperbolehkan dengan syarat telah dilakukan segala upaya untuk menyelamatkan nyawa janin.