
HUKUM SETENGAH JIMA'(MEMASUKKAN SEPARUH HASYAFAH) PADA FARJI’ ISTERI KETIKA PUASA ROMADHON
Assalamualaikum.
Deskripsi masalah
Sepasang suami Istri baru menikah diakhir bulan Sya’ban katakanlah nama samarannya Ahmad Julianto dan Julianti setelah keduanya makan sahur dan imsak dia tidur hingga melakukan jima’ hanya menyilamkan( memasukkan ) ujung hasyafahnya saja (vinis) pas adzan hingga sempurna adzan dia cabut dengan tanpa inzal ( mengeluarkan mani)’
Pertanyaannya.
1.Apakah batal puasa keduanya ( Julianto dan Julianti ) karena jima’ sementara ketika jima’ hanya ujung hasyafahnya yang dimasukkan dengan tanpa keluar mani?
2.Apakah wajib membayar kaffarat sebab jima’ sebagaimana deskripsi?
Waalaikum salam
Jawaban
Memasukkan separuh khasafah ke farji dibulan puasa dengan tanpa mengeluarkan mani :
·BAGI WANITA :
- Batal puasanya, bukan karena jima’ tapi karena masuknya ain ke dalam jaufnya (farji’).
- BAGI LAKI-LAKI-
- Tidak batal puasanya, Karena Memasukkan separuh hasyafah belum dikatakan jima’, sehingga puasa tidak batal bagi laki-laki tersebut dan tidak ada hukum had, qodho dan kafarot, ini sudah menjadi ijma’ fukoha. Dan qoul atau pendapat yang mengatakan batal puasa keduanya dan wajib qodho dan kafarot adalah qoul yang Syudzuz (tidak shohih) dan dhoif, qoul ini diriwayatkan oleh Ad-darimi dan imam rofi’i dari Ibnu Kajjin, yang menyatakan “memasukkan separuh hasyafah sama dengan memasukkan seluruh hasyafah”.
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan; Bahwa Puasanya Ahmad Julianto tidak batal, dan tidak wajib bayar kaffarat Karena yang dinamamakan jima’ mewajibkan membayar kaffarat jika Jima’ sampai menyelamkan ( memasukkan ) seluruh Hasyafahnya) kedalam farji’.Akan tetapi Bagi Julianti batal puasanya dikarenakan masuknya ain kedalaman farji’nya. Wallahu A’lam.
Referensi :
- Al Mausu’ah al-fiqhiyah al kuwaitiyyah :
أجمع الفقهاء على أنّه يجب الغسل بغيبوبة الحشفة كلّها في فرج آدميّ حيّ
اتّفق الفقهاء على أنّ تغييب الحشفة في أحد السّبيلين في صوم رمضان مفسد للصّوم إذا كان عامدا، ويلزمه القضاء والكفّارة، ولا يشترط الإنزال، لأنّ الإنزال شبع
- Al-Muhadzdzab Imam Nawawi :
المرأة إذا جومعت فإنها يحصل فطرها بتغييب بعض الحشفة فلا يحصل الجماع التام إلا وقد أفطرت لدخول داخل فيها، فالفطر يحصل بمجرد الدخول … اهــ
جميع الأحكام المتعلقة بالجماع يشترط فيها تغييب الحشفة بكمالها في الفرج، ولا يشرط زيادة على الحشفة، ولا يتعلق ببعض الحشفة وحده شيء من الأحكام، وهذا كله متفق عليه في جميع الطرق؛ إلا وجها حكاه الدارمي وحكاه الرافعي عن حكاية ابن كج أن بعض الحشفة كجميعها وهذا في نهاية من الشذوذ والضعف . اهــ
- Qalyubi jil 2 hal 90 :
ﻗﻮﻟﻪ: (ﻋﻠﻰ اﻟﺰﻭﺝ) ﻟﻮ ﻗﺎﻝ ﻋﻠﻰ اﻟﻮاﻃﺊ ﺩﻭﻥ اﻟﻤﻮﻃﻮء ﻟﺸﻤﻞ ﻏﻴﺮ اﻟﺰﻭﺝ ﻭاﻟﺰﻭﺟﺔ ﻛﺄﺟﻨﺒﻲ ﻭﻓﻲ اﻟﺪﺑﺮ. ﻭﻗﺪ ﻳﻘﺎﻝ: ﺇﻧﻤﺎ ﻗﻴﺪ ﺑﺎﻟﺰﻭﺝ ﻷﻧﻪ ﻣﺤﻞ اﻟﺨﻼﻑ ﻓﻐﻴﺮﻩ ﺗﺠﺐ اﻟﻜﻔﺎﺭﺓ ﻋﻨﻪ ﻗﻄﻌﺎ ﻻ ﻋﻠﻰ اﻟﻤﻮﻃﻮء، ﻭﺳﻮاء اﻟﻜﻔﺎﺭﺓ ﺑﺎﻟﺼﻮﻡ ﺃﻭ ﻏﻴﺮﻩ. ﻭﻓﻴﻪ ﺑﺤﺚ ﻇﺎﻫﺮ ﻋﻠﻰ ﺃﻥ اﻟﻤﻮﻃﻮء ﻳﺒﻄﻞ ﺻﻮﻣﻪ ﺑﺪﺧﻮﻝ ﺑﻌﺾ اﻝﺣﺸﻔﺔ ﻓﻼ ﻳﺘﺼﻮﺭ ﻓﻴﻪ ﺇﻓﺴﺎﺩ ﺑﺠﻤﺎﻉ ﻓﺘﺄﻣﻞ
Al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah:
Para fuqaha sepakat bahwa mandi wajib menjadi kewajiban ketika seluruh kepala zakar (حشفة) tenggelam dalam farji manusia yang masih hidup.
Para fuqaha juga sepakat bahwa memasukkan kepala zakar ke dalam salah satu dari dua jalan (qubul atau dubur) di bulan Ramadan secara sengaja dapat membatalkan puasa, dan pelakunya wajib mengqadha serta membayar kafarat, meskipun tanpa keluarnya mani. Sebab, keluarnya mani bukanlah syarat pembatalan.
Al-Muhadzdzab – Imam Nawawi:
Seorang wanita yang dijima’ akan batal puasanya hanya dengan masuknya sebagian kepala zakar, sebab jima’ yang sempurna tidak mungkin terjadi kecuali setelah puasanya batal akibat adanya sesuatu yang masuk ke dalam tubuhnya. Maka, batalnya puasa terjadi hanya dengan sekadar masuknya (zakar).
Semua hukum yang berkaitan dengan jima’ mensyaratkan tenggelamnya seluruh kepala zakar ke dalam farji, tanpa harus lebih dari itu. Tidak ada konsekuensi hukum bagi masuknya sebagian kepala zakar saja. Ini merupakan kesepakatan semua mazhab, kecuali satu pendapat yang disebutkan oleh Al-Darimi dan diriwayatkan oleh Al-Rafi’i dari Ibnu Khuja bahwa sebagian kepala zakar diperlakukan seperti seluruhnya. Namun, pendapat ini sangat ganjil dan lemah.
Qalyubi, Jilid 2, Halaman 90:
Ungkapan “atas suami”—jika disebut “atas pelaku” tanpa menyebut pihak yang dizina’i, maka itu mencakup selain suami-istri, seperti orang asing (bukan suami istri) atau dalam dubur.
Dapat dikatakan bahwa pembatasan dengan kata “suami” terjadi karena inilah titik perbedaan pendapat. Adapun selain suami, kafarat wajib atas pelaku secara mutlak dan tidak wajib atas yang dizina’i, baik kafarat itu berupa puasa atau lainnya.
Dalam hal ini terdapat penelitian yang jelas bahwa pihak yang dizina’i puasanya batal hanya dengan masuknya sebagian kepala zakar. Maka, tidak terbayangkan adanya kebatalan puasa karena jima’ dalam kasus ini. Maka, renungkanlah. Wallahu a’lam bish-shawab