
HUKUNYA MENELAN SPERMA MENURUT ISLAM
Deskripsi masalah.
Dengan Nafsu berahi terkadang manusia dapat melupakan hal yang dianggap menjijikkan, itu bisa saja terjadi disebabkan dahsyatnya syahwat yang mereka miliki. Berahi adalah istilah dalam seksualitas yang menunjukkan keadaan kesiapan fisik dan mental suatu individu untuk melakukan hubungan seksual/persanggamaan. Keadaan ini tidak hanya ditunjukkan oleh banyak hewan, tetapi juga termasuk manusia. Kerena Allah membagi makhluk menjadi tiga golongan sebagaman keterangan dalam kitab MAJALISUSSANIYAH Yaitu golongan malaikat golongan hewan dan golonga anak cucu Adam, dari ketiga golongan ada dua golongan yang Allah berikan kelebihan dan kekurangan tetapi yang satu golongan Allah berikan keistimewaan dari yang lainnya yaitu golongan manusia. Buktinya Allah memberikan akal kepada malaikat tanpa syahwat, sedangkan golongan yang kedua hewan, yang mana Allah berikan Syahwat kepadanya tanpa akal, sedangkan manusia Allah berikan akal dan syahwat, maka dengan akal manusia dapat berfikir dan dengan syahwat manusia punya keinginan menikah. Ketika syahwat manusia normal tak sedikit nafsu berahinya didorong oleh siklus fisik (muncul secara alami). Sebagaimana contoh Katakanlah Nama samarannya Alimuddin seorang pemuda yang baru menikah dengan seorang perempuan cantik buah enool, Nanik Lojingga dimana pada malam pertama merupakan malam yang dinanti-natikan oleh keduanya untuk menyelamami Nikmatnya menggauli suami isitri (ketika jima’), karena bagaimanapun jima’ ulama ada yang berpendapat wajib sekali semur hidup ada yang perpendapat setelah pertama adalah sunnah dua kali dalam seminggu dan ada yang mengatakan satu kali dalam sebulan,dll. apalagi hubungan keduanya sudah sama-halal sebab sahnya akad pernikahan , maka dalam kondisi jima’ dan nikmatnya jima’ tentu keduanya melupakan hal-hal yang yang lain diluar jima” hingga dia menelan air maninya, tentunya jika bukan dalam kondisi meluapnya syahwat (dahsyatnya) ketika jima’ tidaklah mungkin salah satu dari keduanya menelannya,
Pertanyaanya
Bagaimana sebenarnya hukum menelan sperma halalkah ataukah haram menurut Agama Islam?
Waalaikum salam
Jawaban.
Bagi pasangan suami istri, keluarnya air mani atau sperma memang tidak terhindarkan dalam sebuah hubungan persenggamaan apa lagi bagi pasangan dua insan yang baru menikah sebagaimana deskripsi.
Mani adalah cairan putih yang keluar dari kemaluan karena adanya syahwat, baik keluarnya karena faktor onani atau karena faktor melakukan hubungan intim, Namun terkadang ada hal-hal yang tak lazim terjadi dalam bersenggama seperti tertelannya sperma baik secara sengaja maupun tidak disengaja. Oleh sebab itu, hal ini penting kami jelaskan hukumnya secara Islam maupun menurut pandangan medis. Berikut adalah penjelasan mengenai hukum menelan air mani berdasarkan pendapat ulama, ada dua:
Pendapat yang yang pertamama: Bahwa menelan sperma tidak diperbolehkan. Alasannya cairan sperma dianggap sebagai hal menjijikkan.
Pendapat yang kedua :Bahwa menelan seperma hukumnya boleh.Dengan alasan karena air mani (seperma) suci.Dari dua pendapat,diatas yang benar dan masyhur bahwasanya itu tidak halal karena mustakhbats (menjijikkan), Namun, ada juga yang berpendapat bahwa menelan sperma itu diperbolehkan. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Syaikh Abi Zaid. Ini didasarkan pada hukum bahwa sperma suci dan tidak membahayakan, walau demikian, sebaiknya menurut para ulama berpendapat menganjurkan untuk tidak melakukannya karena hukumnya masih menjadi perdebatan atau terjadi khilaf.Hal ini berdasarkan Kaidah الْخُرُوجُ مِنْ الْخِلَافِ مُسْتَحَب
Artinya:” Keluar dari perbedaan pendapat adalah disunnatkan”.Dikalangan ulama banyak yang mengakui bahwa kaidah ini tergolong kaidah yang sulit kajiannya. Diantara mereka ada yang mempertanyakan substansi keutamaan kaidah; apakah memang ada nash yang secara specific menerangkan keutamaan menghindari khilaf. Kejanggalan yang mengemuka ini akhirnya mendapat jawaban dari ibn-al Subuki, yang mengatakan bahwa meski tidak diketemukan nash yang secara tegas menyinggung kesunahan atau keutamaan menghindari khilaf ulama, namun keutamaan menghindari ulama ini, pada dasarnya telah tercakup dalam substansi nash yang substansinya berupa pembebasan diri dari silang pendapat ulama yang bersinggungan dengan masalah keagamaan. Masih dalam pandangan Ibn-al Subki, tindakan menghindari khilaf ulama dengan cara mengakomodasikannya ini termasuk tindakan wira’ yang diperintahkan agama. Wallahu A’lam bisshowab
Referensi:
المجموع شرح المهذب ج.٢ ص ٥٥٦
(فَرْعٌ)
هَلْ يَحِلُّ أَكْلُ الْمَنِيِّ الطَّاهِرِ فِيهِ وَجْهَانِ الصَّحِيحُ الْمَشْهُورُ أَنَّهُ لَا يَحِلُّ لِأَنَّهُ مستخبث قال الله تعالي (ويحرم عليهم الخبائث) وَالثَّانِي يَجُوزُ وَهُوَ قَوْلُ الشَّيْخِ أَبِي زَيْدٍ الْمَرْوَزِيِّ لِأَنَّهُ طَاهِرٌ لَا ضَرَرَ فِيهِ وَسَنَبْسُطُ الْكَلَامَ فِيهِ وَفِي الْمُخَاطِ وَأَشْبَاهِهِ فِي كِتَابِ الْأَطْعِمَةِ إنْ شَاءَ اللَّهُ تَعَالَى وَإِذَا قُلْنَا بطهارة ببض مالا يُؤْكَلُ لَحْمُهُ جَازَ أَكْلُهُ بِلَا خِلَافٍ لِأَنَّهُ غَيْرُ مُسْتَقْذَرٍ وَهَلْ يَجِبُ غَسْلُ ظَاهِرِ الْبَيْضِ إذَا وَقَعَ عَلَى مَوْضِعٍ طَاهِرٍ: فِيهِ وَجْهَانِ حَكَاهُمَا الْبَغَوِيّ وَصَاحِبُ الْبَيَانِ وَغَيْرُهُمَا بِنَاءً عَلَى أَنَّ رُطُوبَةَ الْفَرْجِ طَاهِرَةٌ أَمْ نَجِسَةٌ وَقَطَعَ ابْنُ الصَّبَّاغِ فِي فَتَاوِيهِ بِأَنَّهُ لَا يَجِبُ غَسْلُهُ وَقَالَ الْوَلَدُ إذَا خَرَجَ طَاهِرٌ لَا يَجِبُ غَسْلُهُ بِإِجْمَاعِ الْمُسْلِمِينَ وَكَذَا الْبَيْضُ وَاَللَّهُ أعلم *
Artinya, “Apakah boleh memakan sperma yang suci? Ada dua pendapat; pendapat yang shahih dan masyhur adalah tidak halal, karena sperma dianggap menjijikkan. Allah subhanahu wata’ala berfirman: “Diharamkan bagi kalian, hal-hal yang menjijikkan”. Pendapat kedua: boleh. Ini adalah pendapat syaikh Abi Zaid al-Maruzi. Alasannya, sperma itu suci, tidak membahayakan.”……………
المجموع شرح المهذب .فى باب الأطعمة .ج ٢ ص ١٠٨١
[وأما منى الادمى فطاهر لِمَا رُوِيَ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّهَا كَانَتْ تحت الْمَنِيَّ مِنْ ثَوْبِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يصلى ولو كان نجسا لما انعقدت معه الصلاة ولانه مبتدا خلق بشر فكان طاهرا كالطين]
[الشَّرْحُ]
حَدِيثُ عَائِشَةَ صَحِيحٌ رَوَاهُ مُسْلِمٌ لَكِنَّ لَفْظَهُ (لَقَدْ رَأَيْتُنِي أَفْرُكُهُ مِنْ ثَوْبِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرْكًا فَيُصَلِّي فِيهِ) هَذَا لَفْظُهُ فِي صَحِيحِ مُسْلِمٍ وَسُنَنِ أَبِي دَاوُد وَغَيْرِهِ مِنْ كُتُبِ السُّنَنِ وَأَمَّا اللَّفْظُ الَّذِي ذَكَرَهُ الْمُصَنِّفُ فَغَرِيبٌ وَقَوْلُهُ تَحُتُّ المنى أي تفركه وتحته وقوله ولانه مُبْتَدَأُ خَلْقِ بَشَرٍ احْتِرَازٌ مِنْ مَنِيِّ الْكَلْبِ: وَأَمَّا حُكْمُ الْمَسْأَلَةِ فَمَنِيُّ الْآدَمِيِّ طَاهِرٌ عِنْدَنَا هَذَا هُوَ الصَّوَابُ الْمَنْصُوصُ لِلشَّافِعِيِّ رَحِمَهُ اللَّهُ فِي كُتُبِهِ وَبِهِ قَطَعَ جَمَاهِيرُ الْأَصْحَابِ وَحَكَى صَاحِبُ الْبَيَانِ وَبَعْضُ الْخُرَاسَانِيِّينَ فِي نَجَاسَتِهِ قَوْلَيْنِ وَمِنْهُمْ مَنْ قَالَ الْقَوْلَانِ فِي مَنِيِّ الْمَرْأَةِ فَقَطْ وَالصَّوَابُ الْجَزْمُ بِطَهَارَةِ مَنِيِّهِ وَمَنِيِّهَا وَسَوَاءٌ الْمُسْلِمُ وَالْكَافِرُ لَكِنْ إنْ قُلْنَا رُطُوبَةُ فَرْجِ الْمَرْأَةِ نَجِسَةٌ تَنَجَّسَ مَنِيُّهَا بِمُلَاقَاتِهَا كَمَا لَوْ بَالَ الرَّجُلُ وَلَمْ يَغْسِلْ ذَكَرَهُ بِالْمَاءِ ثُمَّ أَمْنَى فَإِنَّ مَنِيَّهُ يَنْجَسُ بِمُلَاقَاةِ الْمَحَلِّ النَّجِسِ وَإِذَا حَكَمْنَا بِطَهَارَةِ الْمَنِيِّ اُسْتُحِبَّ غَسْلُهُ مِنْ الْبَدَنِ وَالثَّوْبِ لِلْأَحَادِيثِ الصَّحِيحَةِ فِي الْبُخَارِيِّ وَمُسْلِمٍ عن عائشة رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا: أَنَّهَا كَانَتْ تَغْسِلُ الْمَنِيَّ مِنْ ثَوْبِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلِأَنَّ فِيهِ خُرُوجًا مِنْ خِلَافِ الْعُلَمَاءِ فِي نَجَاسَتِهِ
(فَرْعٌ)
قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ الْمَنِيَّ طَاهِرٌ عِنْدَنَا وَبِهِ قَالَ سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيِّبِ وعطاء واسحق بْنُ رَاهْوَيْهِ وَأَبُو ثَوْرٍ وَدَاوُد وَابْنُ الْمُنْذِرِ وَهُوَ أَصَحُّ الرِّوَايَتَيْنِ عَنْ أَحْمَدَ وَحَكَاهُ الْعَبْدَرِيُّ وَغَيْرُهُ عَنْ سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ وَابْنِ عُمَرَ وَعَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَقَالَ الثَّوْرِيُّ وَالْأَوْزَاعِيُّ وَمَالِكٌ وَأَبُو حَنِيفَةَ وَأَصْحَابُهُ نَجِسٌ لَكِنْ عِنْدَ أَبِي حَنِيفَةَ يُجْزِي فَرْكُهُ يَابِسًا وَأَوْجَبَ الْأَوْزَاعِيُّ وَمَالِكٌ غَسْلَهُ يَابِسًا وَرَطْبًا وَاحْتُجَّ لِمَنْ قَالَ بِنَجَاسَتِهِ بِحَدِيثِ عَائِشَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم (كَانَ يَغْسِلُ الْمَنِيَّ) رَوَاهُ مُسْلِمٌ وَفِي رِوَايَةٍ (كُنْتُ أَغْسِلُهُ مِنْ ثَوْبِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ) رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ وَفِي رواية لمسلم أنها قالت لرجل أصاب ثوب مَنِيٌّ فَغَسَلَهُ كُلَّهُ (إنَّمَا كَانَ يُجْزِيكَ إنْ رَأَيْتَهُ أَنْ تَغْسِلَ مَكَانَهُ فَإِنْ لَمْ تَرَهُ نضحت حوله لقدر رَأَيْتُنِي أَفْرُكُهُ مِنْ ثَوْبِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرْكًا فَيُصَلِّي فِيهِ) وَذَكَرُوا أَحَادِيثَ كَثِيرَةً ضَعِيفَةً مِنْهَا حَدِيثٌ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (كَانَ يَأْمُرُ بِحَتِّ الْمَنِيِّ) قَالُوا وَقِيَاسًا عَلَى الْبَوْلِ والحيض ولانه يَخْرُجُ مِنْ مَخْرَجِ الْبَوْلِ وَلِأَنَّ الْمَذْيَ جُزْءٌ مِنْ الْمَنِيِّ لِأَنَّ الشَّهْوَةَ تُحَلِّلُ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا فَاشْتَرَكَا فِي النَّجَاسَةِ وَاحْتَجَّ أَصْحَابُنَا بِحَدِيثِ فَرْكِهِ وَلَوْ كَانَ نَجِسًا لَمْ يَكْفِ فَرْكُهُ كَالدَّمِ وَالْمَذْيِ وَغَيْرِهِمَا وَهَذَا الْقَدْرُ كَافٍ وَهُوَ الَّذِي اعْتَمَدْتُهُ أَنَا فِي طَهَارَتِهِ وَقَدْ أَكْثَرَ أَصْحَابُنَا مِنْ الِاسْتِدْلَالِ بِأَحَادِيثَ ضَعِيفَةٍ وَلَا حَاجَةَ إلَيْهَا وَعَلَى هَذَا إنَّمَا فَرْكُهُ تَنَزُّهًا وَاسْتِحْبَابًا وَكَذَا غَسْلُهُ كَانَ لِلتَّنَزُّهِ وَالِاسْتِحْبَابِ وَهَذَا الَّذِي ذَكَرْنَاهُ مُتَعَيِّنٌ أَوْ كَالْمُتَعَيِّنِ لِلْجَمْعِ بَيْنَ الْأَحَادِيثِ وَأَمَّا قَوْلُ عَائِشَةَ (إنَّمَا كَانَ يُجْزِيكَ) فَهُوَ وَإِنْ كَانَ ظَاهِرُهُ الْوُجُوبَ فَجَوَابُهُ مِنْ وَجْهَيْنِ أَحَدُهُمَا حَمْلُهُ عَلَى الِاسْتِحْبَابِ لِأَنَّهَا احْتَجَّتْ بِالْفَرْكِ فَلَوْ وَجَبَ الْغَسْلُ لَكَانَ كَلَامُهَا حُجَّةً عَلَيْهَا لَا لَهَا وَإِنَّمَا أَرَادَتْ الْإِنْكَارَ عَلَيْهِ فِي غَسْلِ كُلِّ الثَّوْبِ فَقَالَتْ غَسْلُ كُلِّ الثَّوْبِ بِدْعَةٌ مُنْكَرَةٌ وَإِنَّمَا يُجْزِيكَ فِي تَحْصِيلِ الْأَفْضَلِ وَالْأَكْمَلِ كَذَا وَكَذَا وَذَكَرَ أَصْحَابُنَا أَقْيِسَةً وَمُنَاسَبَاتٍ كَثِيرَةً غَيْرَ طَائِلَةٍ وَلَا نَرْتَضِيهَا وَلَا نَسْتَحِلُّ الِاسْتِدْلَالَ بِهَا وَلَا نَسْمَحُ بِتَضْيِيعِ الْوَقْتِ فِي كِتَابَتِهَا وَفِيمَا ذَكَرْنَاهُ كِفَايَةٌ وَأَجَابَ أَصْحَابُنَا عَنْ الْقِيَاسِ عَلَى الْبَوْلِ وَالدَّمِ بِأَنَّ الْمَنِيَّ أَصْلُ الْآدَمِيِّ الْمُكَرَّمِ فَهُوَ بِالطِّينِ أَشْبَهُ بِخِلَافِهِمَا وَعَنْ قولهم يخرج من مِنْ مَخْرَجِ الْبَوْلِ بِالْمَنْعِ قَالُوا بَلْ مَمَرُّهُمَا مُخْتَلِفٌ قَالَ الْقَاضِي أَبُو الطَّيِّبِ وَقَدْ شُقَّ ذَكَرُ الرَّجُلِ بِالرُّومِ فَوُجِدَ كَذَلِكَ فَلَا نُنَجِّسُهُ بِالشَّكِّ قَالَ الشَّيْخُ أَبُو حَامِدٍ وَلَوْ ثَبَتَ أَنَّهُ يَخْرُجُ مِنْ مَخْرَجِ الْبَوْلِ لَمْ يَلْزَمْ مِنْهُ النَّجَاسَةُ لِأَنَّ مُلَاقَاةَ النَّجَاسَةِ فِي الْبَاطِنِ لَا تُؤَثِّرُ وَإِنَّمَا تُؤَثِّرُ مُلَاقَاتُهَا فِي الظَّاهِرِ وَعَنْ قَوْلِهِمْ الْمَذْيُ جُزْءٌ مِنْ الْمَنِيِّ بِالْمَنْعِ أَيْضًا قَالُوا بَلْ هُوَ مُخَالِفٌ لَهُ فِي الِاسْمِ وَالْخِلْقَةِ وَكَيْفِيَّةِ الْخُرُوجِ لِأَنَّ النَّفْسَ وَالذَّكَرَ يَفْتُرَانِ بِخُرُوجِ الْمَنِيِّ وَأَمَّا الْمَذْيُ فَعَكْسُهُ وَلِهَذَا مَنْ بِهِ سَلَسُ الْمَذْيِ لَا يَخْرُجُ مَعَهُ شئ من المنى والله أعلم