HUKUM REKAYASA RIBA MENURUT MADZHAB YANG EMPAT

HUKUM REKAYASA RIBA MENURUT MADZHAB YANG EMPAT

Assalamualaikum.
Deskripsi masalah.

Riba merupakan salah satu akad yang diharamkan didalam syariat islam, yang dimaksud dengan riba adalah adanya kewajiban pembayaran yang tidak ada imbalannya, atau adanya nilai tambahan harta dalam akad karena berakhirnya tempo pembayaran, berbeda halnya dengan hukumnya jual beli maka hukumnya halal , jual beli yang dimaksud adalah adanya pertukaran antara uang dengan barang yang masing-masing dari keduanya sebagai imbalan dari yang lain dengan saling ridho. sebagaimana firman Allah.

وَاَحَلَّ اللّٰهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبٰواۗ

Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.( QS.Al-Baqarah :276)

Hujjah harus adanya saling ridha dalam jual beli ini, didasarkan pada hadits riwayat Ibnu Hibban:

إنما البيع عن تراض

Artinya: “Sesungguhnya jual beli itu berangkat dari saling ridha.” Sebagian masyarakat mengetahui adanya Model riba mulai dari riba hutang (riba qardlu), dan riba yang ada dalam praktek jual beli, seperti riba al-yad, riba al-fadl, begitu juga sebagian masyarakat telah mengetahui hukum-hukum riba yang diharamkan, keharaman riba tersebut dikarenakan adanya pengambilan keuntungan pihak yang memberi hutang sebagaimana keterangan hadits.

كل قرض جر منفعة فهو ربا.

Setiap pinjaman hutang yang menarik keuntungan maka termasuk riba. Namun larangan ini tidak berlaku secara mutlak. Karena keharaman tersebut hanya berlaku apa bila disyaratkan pada waktu akad. Adapun yang terjadi dimasyarat bahwa dalam kondisi dlaruroh mereka menghielah (mensiasati) riba Dengan berdalih alasan tertentu,hususnya dalam praktek muamalah Contoh adalah dengan cara menghielah yakni mensyaratkan adanya bunga di luar majlis akad atau tidak menyebutkannya di dalam akad.

pertanyaanya.
Bagaimana sebenarnya hukumnya menghielah riba( mensiasati /merekayasa riba) sebagaimana yang terjadi disebagian masyarakat menurut ulama’ fiqih madzhab yang empat..?

Waalaikum salam

Jawaban.

Ulama berbeda pendapat tentang hukum melakukan rekayasa riba.
🅰️. Menurut Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hambal hukum merekayasa Riba adalah Haram.
🅱️.Menurut Imam Syafi’i dan Imam Abu Hanifah mensiasati/ merekayasa riba adalah hukumnya boleh .

Referensi.

إسعاد الرفيق ،ج.١ص١٣٣

وتحرم أيضا( حيلته) أى الربا أى الحيلة فيه عند الإمام مالك والإمام أحمد رحمهماالله تعالى وقال الشافعى وأبو حنيفة بجوازها وعدهما فى الزواجر من الكبائر عند محرمها ……إلى أن قال ….ومنهم من جوزها بالنسبة للدنيا وهو أيضا شديد لمن تأمله فإن أحكام الدنيا قد تنام بأمر قريب من حيث الظاهر وهو فى الباطن عظيم هائل موجب للمَقت كحال المنافق مُظهر الإيمان ومضمر الكفر فتجري عليه ظاهرا أحكام المؤمنين ويكون فى الآخرة فى أسوإ حال وأشد عذاب من مُظهري الكفر لمخادعته علام الغيوب فلايأمن المحتال لحل ماذكر أن يكون أسوأ حالا ممن يتعاطون ظاهرا.

Referensi:


إسعاد الرفيق ج١ص١٤٤


وكذا يحرم على المكلف(جملة من معاملة أهل) هذا ( الزمان) قبيحة مستبشعة (و) كلها أو (أكثرها) خارجة عن قانون الشرع لفقدهاكثيرا من الشروط والأركان وذلك نحو الكيل واللجمة وهما عقدان من حيل الربا وصورتهما أن يشترى المتوصل إلى أخ دين من طالب زيادة متاعا بعشرة مثلا مأجلة ثم يرده عليه بثمانية حالة وينقده الثمانية لتبقى فى ذمته عشرة إلى الأجل المعروف بينهما وليس من غرض المشتري والبائع إلا التوصل لأخذ الزيادة وهو الربا المحرم فى الباطل إذ للوسائل حكم المقاصد كمامر وهذا وإن كان فى الظاهر بيعا جائزا مع الكراهة عند أبي حنيفة والشافعي رحمهما الله تعالى إلا أن كثيرا من أهل العلم بالله شددوا فى النكير على متعاطيه وقد سئل سيدنا الحبيب عبد الله الحداد عن مثل هذا المعاملات فأجاب بأنا لانقول بشيئ منها ولانراه ولايحل إلا ماكان على وجه شرعي جليّ كالسلم والقرض ونحوهما هذا مانراه وندين به الله .إنتهى .والله أعلم بالصواب

Penjelasan.
Dari pendapat madzhab yang empat bahwa yang memperbolehkan rekayasa Riba hanyalah Imam Syafi’i dan Imam Abu Hanifah .Namun yang menjadi pertanyaan apakah yang dimaksud dengan hal tersebut kita boleh melakukan akad yang sebenarnya mengandung riba,namun karena memiliki cara dan teknik sehingga terlihat bukan riba..? Maka jawabannya sebagaina penjelasan Jawaban diatas hukumnya boleh merekayasa riba dan makruh.Karena berlandaskan sebuah kaidah.

للوسائل حكم المقاصد

Bagi pengantar (media)memiliki hukum sesuai dengan tujuannya.Maksud dari kaidah adalah : Jika rekayasa tersebut dilakukan atas dasar semata-mata hanya untuk mencari keuntungan riba dalam bisnis dan bukan dalam kondisi dlorurah ( terpakasa) atau dalam kondisi keterdesakan, tentu hal ini tidak diperbolehkan.Dalam hal ini sebagian Ulama ada yang memperbolehkannya yaitu dalam hukum dunia pendapat ini sebenarnya terasa berat bagi yang merenungkannya, dikarenakan hukum-hukum dunia terkadang dikaitkan dengan hal-hal yang secara sekilas dianggap dekat dan remeh, sementara secara bathiniyah hal tersebut merupakan hal yang sangat berat, menakutkan dan dapat menjadi penyebab murka, sebagaimana keadaan orang orang munafik yang secara dhohir mereka menampakkan keimanan sedangkan bathin bathinnya menyimpan kekafiran, sehingga secara dhahiriyah ( lahir) ia diperlakukan baginya hukum-hukumnya kaum mukminin, sedangkan diakhirat nantinya akan berada dalam kondisi yang lebih buruk dan siksa yang lebih berat dibandingkan daripada orang-orang yang menampakkan kekufurannya, alasannya karena mereka telah menipu Allah Dzat yang Maha mengetahui terhadap hal-hal yang Ghaib.
Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa jika tidak dalam kondisi dloruroh ( sangat mendesak) maka rekayasa riba harus dihindari. Habib Abdullah al-Haddad pernah ditanya tentang muamalah semacam ini, lalu beliau menjawab; Bahwa kami tidak mengatakan sesuatu apapun darinya dan juga tidak berpendapat, dan tidak halal kecuali muamalah yang sesuai dengan syara’ secara jelas, sebagaimana akad salam, hutang dan semacamnya.

Dari penjelasan tersebut dapat dipahami bahwa merekayasa atau mensiasati riba masih dipertentangkan oleh ulama fiqih ( madzhab yang empat) . Namun demikian hukum tersebut masihlah umum tanpa memandang realita yang terjadi. Sehingga muncullah penjelasan dalam kitab Bahjah al-Wasail yang menjelaskan bahwa kebolehan mensiasati riba hanya tertentu ketika dalam keadaan terpaksa:


بهجة الوسائل .ص ٣٧
وَذَهَبَ الشَّافِعِيُّ وَاَبُوْحَنِيْفَةَ اِلَى جَوَازِ الْحِيْلَةِ فِي الرِّبَا وَغَيْرِهِ عِنْدَ الْإِضْطِرَارِ

Imam Syafi’i dan Imam Abu Hanifah berpendapat boleh merekayasa riba dan lainnya ketika terpaksa.”

Menurut ulama lain, merekayasa riba diperbolehkan apabila ada tujuan-tujuan yang dapat dibenarkan syariat. sebagaimana penjelasan dari al-Habib ‘Abdur Rahman bin Muhammad bin Husain bin ‘Umar al-Masyhur dalam kitabnya yang berjudul Bughyah al-Mustarsyidin:

إِذِ الْقَرْضُ الْفَاسِدُ الْمُحَرَّمُ هُوَ الْقَرْضُ الْمَشْرُوْطُ فِيْهِ النَّفْعُ لِلْمُقْرِضِ هَذَا إِنْ وَقَعَ فِيْ صُلْبِ الْعَقْدِ فَإِتْ تَوَاطَآ عَلَيْهِ قَبْلَهُ وَلَمْ يَذْكُرْ فِيْ صُلْبِهِ أَوْ لَمْ يَكُنْ عَقْدٌ جَازَ مَعَ الْكَرَاهَةِ كَسَائِرِ حِيَلِ الرِّبَا الْوَاقِعَةِ لِغَيْرِ غَرَضٍ شَرْعِيٍّ

Praktek hutang yang rusak dan haram adalah menghutangi dengan adanya syarat memberi manfaat kepada orang yang menghjutangi. Hal ini jika syarat tersebut disebutkan dalam akad. Adapun ketika syarat tersebut terjadi ketika sebelum akad dan tidak disebutkan di dalam akad, atau tidak adanya akad, maka hukumnya boleh dengan hukum makruh. Seperti halnya berbagai cara untuk merekayasa riba pada selain tujuan yang dibenarkan syariat.

Kesimpulannya, merekayasa praktek yang sudah jelas riba agar menjadi halal terdapat khilaf (perbedaan pendapat) di antara para ulama, yakni haram menurut Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hanbal. Adapun menurut Imam Syafi’i dan Imam Abu Hanifah diperbolehkan apabila dalam keadaan terpaksa (dharurat) atau ada tujuan yang dibenarkan syariat (Ghardu as-Syar’i) Wallahu A’lam bisshowab.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *