DEWAN PIMPINAN PUSAT
IKATAN ALUMNI BATA-BATA

DPP IKABA

DEWAN PIMPINAN PUSAT IKATAN ALUMNI BATA-BATA

Kategori
Bahtsul Masail Haji Uncategorized

CARA WUDHU’DAN SHALAT DAN THOWAF BAGI PENDERITA PENYAKIT BESER ATAU PROSTAT

CARA WUDHU DAN SHOLAT DAN THOWAF BAGI PENDERITA PENYAKIT BESER ATAU PROSTAT

Assalamualaikum.
Tak jarang kita temui  dimasyarat  orang yang terkena penyakit beser atau prostat anehnya ketika diperiksa dan berobat kedokter sembuh namun hanya bisa ditempuh beberapa jam saja atau satu hari-sampai dua hari setelah itu kambuh lagi, hal ini terjadi bagi salah satu jamaah haji dimana dia sedang melaksanakan rukun haji yang diantara thowaf ,bagi orang yang awam tentu merasa kebingungan  tentang hal tersebut.

Pertanyaannya.

Bagaimana cara wudu’nya orang yang punya penyakit prostat/beser (kencingnya pakai sellang) ketika dia akan melaksanakan  thawaf atau shalat ?

JAWABAN : Waalaikumussalam

Dalam syariat islam tidak memaksa terhadap pemeluknya untuk berbuat sesuatu hal diluar batas kemampuannya oleh karenanya Islam selalu mengedepankan aspek kemudahan dalam setiap pelaksanaan ibadahnya, bukan mempersulit jika hal tersebut memang tidak bisa untuk dilakukan sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an

يريد الله بكم اليسر ولايريد بكم العسر

Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.QS. Al-Baqarah. Ayat: 184



Rasulullah ﷺ bersabda:


إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ أَنْ تُؤْتِى رُخْصَهُ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ تُؤْتِى مَعْصِيَتَهُ


Allah mencintai jika rukhshah (keringangan dari)-Nya dilaksanakan sebagaimana Dia benci jika kemaksiatan kepada-Nya terjadi (HR. Ahmad no. 5606; sahih menurut Imam Ibnu Hibban).


Dalam hadits yang lain Rasulullah SAW bersabda:

أفضل أمتى الذين يعملون بالرخص.رواه الطبراني

Paling utamanya ummatku adalah orang-orang yang bisa mengamalkan dengan secara mudah.Oleh karena itu, bagi penyandang daimul hadats, (yaitu orang yang selalu batal wudhunya ) karena penyakit seperti penderita ambeien, prostat, selalu kencing dan wanita istihadoh cara bersucinya  Berikut penjelasannya berdasarkan pendapat empat madzhab.

CARA BERSUCI( WUDHU) BAGI PENDERITA PENYAKIT BESER MENURUT MAFZHAB SYAFI’IY.

Menurut Madzahab Syafiiyah mereka berpendapat  bahwa Disamping harus melaksanakan empat syarat wudhu orang normal, terdapat satu syarat lagi yang harus dilakukan untuk memudahkan ibadahnya diantaranya sebagaimana deskripsi . Yakni Thawaf, diantara syarat Thawaf dalam beribadah haji dan umroh adalah harus punya wudhu , sedangkan wudhu’nya  Daimul hadts harus dilakukan ketika akan melakukan thowaf  atau ketika sudah masuk waktu shalat, baik shalat wajib maupun shalat sunnah yang berwaktu seperti Duha, Qabliyah, Bad’diyah, dsb.
Mengingat kondisi daimul hadats merupakan kategori tidak normal (di luar kebiasaan) dalam hal bersuci, maka ada beberapa hal yang harus dipatuhi agar Thawaf, shalat yang dilaksanakan tetap berstatus sah dan tidak perlu diulang kembali. 

*Pertama* , sebelum berwudhu, ia harus membersihkan bagian kemaluan yang menjadi sumber keluarnya penyakit beser atau istihadhah dari najis yang keluar. 
*Kedua* , menutup lubang kemaluan dengan kapas sekiranya hal itu tidak mengganggu dan menimbulkan rasa sakit untuk menghalangi keluarnya air kencing keluar saat shalat atau saat melakukan Thawaf. 
*Ketiga* , bila menutup jalur keluarnya air kencing dengan kapas dirasa belum efektif, maka ia bisa membalut kemaluannya dengan kain atau pembalut setelah disumpal. 
*Keempat* , setelah selesai berwudhu, hendaknya ia segera melaksanakan thawaf  atau ibadah shalat, jangan menunda-nunda. 
Nah, proses ini, dari pertama hingga terakhir, harus dilakukan setiap kali hendak melakukan Thawaf atau shalat wajib. Hukumnya sama seperti hukum yang diberlakukan pada tayammum. Artinya, satu kali wudhu hanya dapat digunakan untuk satu kali shalat fardhu saja. Kecuali untuk shalat sunah, boleh dilakukan berkali-kali.

Adapun cara melakukan sholat tetap sebagaimana biasanya artinya harus memenuhi syarat dan rukunnya kecuali jika tidak bisa berdiri maka boleh sholat duduk dan jika tidak bisa duduk maka berbaring dan harus menghadap kearah kiblat.

بغية المسترشدين، ١٦٢)
فَائِدَةٌ: يَجِبُ عَلىَ المَرِيضِ أَنْ يُؤَدِّيَ الصَّلَوَاتِ الخَمْسَ مَعَ كَمَالِ شُرُوطِهَا وَأَرْكَانِهَا وَاجْتِنَابِ مُبْطِلَاتِهَا حَسْبَ قُدْرَتِهِ وَإِمْكَانِهِ، وَلَهُ الجُلُوسُ ثُمَّ الإِضْطِجَاعُ ثُمَّ الإِسْتلِقْاَءُ وَالإِيْمَاءُ إِذَا وُجِدَ مَا تُبِيْحُهُ عَلىَ مَا قَرِّرَ فِي المَذْهَبِ، فَإِنْ كَثُرَ ضَرَرُهُ وَاشْتَدَّ مَرَضُهُ وَخُشِيَ تَرْكُ الصَّلاَةِ رَأْساً فَلَا بَأْسَ بِتَقْلِيْدِ أَبِي حَنِيفَةَ وَمَالِكٍ، وَإِنْ فُقِدَتْ بَعْضُ الشُّرُوطِ عِنْدَنَا. وَحَاصِلُ مَا ذَكَرَهُ الشَّيخُ مُحَمَّد بِن خَاتِم فِي رِسَالَتِهِ فِي صَلَاةِ المَرِيضِ أَنَّ مَذْهَبَ أَبِي حَنِيْفَةَ أَنَّ المَرِيضَ إِذَا عَجَزَ عَنِ الإِيمَاء بِرَأْسِهِ جازَ لَهُ تَرْكُ الصَّلاَةِ، فَإِنْ شُفِيَ بَعْدَ مُضِيِ يَوْمٍ فَلَا قَضَاءَ عَليَهْ، وَإِذَا عَجَزَ عَنِ الشُّرُوطِ بِنَفْسِهِ وَقَدَرَ عَلَيْهَا بِغَيْرِهِ فَظَاهِرُ المَذْهَبِ وَهُوَ قَوْلُ الصَّاحِبِينَ لُزُوْمُ ذَلِكَ، إِلَّا إِنْ لحِقَتْهُ مَشَقَّةٌ بِفِعْلِ الغَيْرِ، أَوْ كَانَتْ النَّجَاسَةُ تَخْرُجُ مِنْهُ دَائِماً. وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ: لَا يَفْتَرِضُ عَلَيْهِ مُطْلَقاً، لِأَنَّ المُكَلَّفَ عِنْدَهُ لَا يُعَدُّ قَادِراً بِقُدْرَةِ غَيْرِهِ، وَعَلَيْهِ لَوْ تَيَمَّمَ العَاجِزُ عَنِ الوُضُوءِ بِنَفْسِهِ، أَوْ صَلَّى بِنَجَاسَةٍ أَوْ إِلَى غَيْرِ القِبْلَةِ مَعَ وُجُودِ مَنْ يَسْتَعِيْنُ بِهِ وَلمَ ْيَأْمُرْهُ صَحَّتْ، وَأَمَّا مَالِكٌ فَمُقْتَضَى مَذْهَبِهِ وُجُوبُ الإِيمَاءِ بِالطَّرْفِ أَوْ بِإِجْرَاءِ الأَرْكَانِ عَلىَ القَلْبِ، وَالمُعْتَمَدُ مِنْ مَذْهَبِهِ أَنَّ طَهَارَةَ الخُبُثِ مِنَ الثَّوْبِ وَالبَدَنِ وَالمَكَانِ سُنَّةٌ، فَيُعِيْدُ اِسْتِحْبَاباً مَنْ صَلىَّ عَالِماً قَادِراً عَلىَ إِزَالَتِهَا، وَمُقَابِلَةُ الوُجُوبِ مَعَ العِلْمِ وَالقُدْرَةِ، وَإلَّا فَمُسْتَحَبٌّ مَا دَامَ الوَقْتُ فَقَطْ، وَأَمَّا طَهَارَةُ الحَدَثِ فَإِنْ عَجَزَ عَنْ اسْتِعْمَالِ المَاءِ لِخَوفِ حُدُوثِ مَرَضٍ أَوْ زِيَادَتِهِ أَوْ تَأْخِيرِ بُرْءٍ جَازَ التَّيَمُّمُ وَلَا قَضَاءَ عَلَيْهِ، وَكَذَا لَوْ عَدَمِ مَنْ يُنَاوِلُهُ المَاءُ وَلَوْ بِأُجْرَةٍ، وَإِنْ عَجَزَ عَنِ المَاءِ وَالصَّعِيدِ لِعَدَمِهِمِا أَوْ عَدَمِ القُدْرَةِ عَلىَ اسْتِعْمَالِهِمَا بِنَفْسِهِ وَغَيرِهِ سَقَطَتْ عَنْهُ الصَّلاَةُ وَلَا قَضَاءض اهـ. وَاعْلَمْ أَنَّ اللهَ مُطَّلِعٌ عَلىَ مَنْ تَرَخَّصَ لِضَرُورَةٍ، وَمَنْ هُوَ مُتهَاوِنٌ بِأَمْرِ رَبِّهِ، حَتّىَ قِيلَ: يَنْبَغِي لِلْإِنْسَانِ أَنْ لَا يَأْتِيَ الرُّخْصَةَ حَتَّى يَغْلِبُ عَلىَ ظَنِّهِ أَنَّ اللهَ تَعَالَى يُحِبُّ مِنهُ أَنْ يَأْتِيَهَا لِمَا يَعْلَمُ مَا لَدَيْهِ مِنَ العَجْزِ، وَاللهُ يَعْلَمُ المَعْذُورَ مِنَ المَغْرُورِ، اهـ مِنْ خَاتِمَةِ الرِّسَالَةِ العُلُوِيَّةِ لِلشَّرِيفِ عَبْدُ اللهِ بِن حُسَينِ بِن طَاهِر عَلَوِي.)

(المجموع شرح المهذب، ٣/١٣٦)

أَمَّا حُكْمُ الْمَسْأَلَةِ فَإِذَا كَانَ عَلىَ بَدَنِهِ نَجَاسَةٌ غَيْرُ مَعْفُوٍّ عَنْهَا وَعَجَزَ عَنْ إِزَالَتِهَا وَجَبَ اَنْ يُصَلِّيَ بِحَالِهِ لِحُرْمَةِ الْوَقْتِ لِحَدِيْثِ أَبِي هُرَيرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ e قَالَ )وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِشَيءٍِ فَأْتُوا مِِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ( (رَوَاهُ البُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ).

Adapun niatnya bersuci dari hadts bagi Daimul hadats ( orang yang terkena beser)

نويت الوضوء لاستباحة فرض الطواف  لله تعالى


Saya niat wudhu’ karena untuk diperbolehkannya melakukan farduhnya Thawaf karena Allah Ta’ala
Atau berniat seperti ini sudah dianggap cukup.

نويت رفع الحدث


Saya niat menghilangkan hadts.

Atau berniat :


نويت فرائض الوضوء  لله تعالى



Saya niat fardu-fardunya wudhu’ karena Allah Ta’ala

Niat tersebut diatas dapat dilakukan karena memang ini bukan wudhu yang sebenarnya. Tapi wudhu dispensasi Islam agar bisa melaksanakan thawaf, dan shalat dengan wudhu khusus ini. – Antara cebok, menutup kemaluan dengan kain, wudhu dan kemudian shalat harus dilakukan dengan tertib dan segera (muwalat). Tidak boleh ada perbuatan lain yang menyelanya. Kalau itu dilakukan maka batal wudhunya. Kecuali kalau perbuatan penyela itu ada kaitan dengan shalat. Misalnya, setelah wudhu ia berjalan menuju masjid. Atau setelah wudhu ia diam menunggu imam untuk shalat berjamaah, maka diamnya itu tidak membatalkan wudhu. – Menyumbat lobang kencing dengan kapas itu dilakukan apabila tidak sedang puasa.

مذاهب الأربعة ج.١ ص ٨١

الشافعية قالوا : ما خرج على وجه السلس يجب على صاحبه أن يتحفظ منه بأن يحشو محل الخروج ويعصبه : فإن فعل ثم توضأ . ثم خرج منه شيء فهو غير ضار في إباحة الصلاة وغيرها بذلك الوضوء . إنما يشترط لاستباحة العبادة بهذا الوضوء شروط

Artinya: Mazhab Syafi’i berpendapat bahwa air yang keluar karena beser maka wajib dijaga dengan cara menutup tempat keluarnya dan mengikatnya dengan kain. Apabila ia sudah melakukan itu lalu berwudhu, lalu keluar sesuatu (kencing) darinya maka itu tidak merusak kebolehan shalat dan lainnya dengan wudhu tersebut. Namun diberlakukan sejumlah syarat untuk bolehnya ibadah dengan cara wudhu seperti ini Adapun syarat-syaratnya sebagai berikut:

  • Saat masuk waktu shalat fardhu, sebelum mengambil air wudhu, terlebih dahulu siapkan baju dan pakaian dalam yang suci.
  • Bersihkan jalan keluar air kencing (cebok) dengan bersih.
  • Tempat keluarnya air kencing disumbat dengan kapas bagi wanita atau gunakan kain seperti kain perban untuk laki-laki atau yang lebih praktis gunakan pampers untuk dewasa, barulah menggunakan pakaian dalam yang bersih dan suci.
  • Mengambil air wudhu secara sempurna.
  • Segera lakukan shalat.


Referensi:

إعانة الطالبين ج ١ ص ٤٧

وحاصل ما يجب عليه – سواء كان مستحاضة أو سلسا – أن يغسل فرجه أولا عما فيه من النجاسة، ثم يحشوه بنحو قطنة – إلا إذا تأذى به أو كان صائما – وأن يعصبه بعد الحشو بخرقة إن لم يكفه الحشو لكثرة الدم، ثم يتوضأ أو يتيمم، ويبادر بعده إلى الصلاة، ويفعل هكذا لكل فرض وإن لم تزل العصابة عن محلها.


Artinya: Adapun hasil (kesimpulan) sesuatu yang wajib atasnya (Daimul hadas) itu sama saja ada pada Istihadoh (berdarah penyakit) atau orang yang terus menerus kencing agar dibasuhnya farjinya lebih dulu dari najis, kemudian disumpal dengan seumpama kapas kecuali jika hal tersebut menyakitinya atau sedang berpuasa. Dan hendaknya mengikat atau membalut (kemaluan) dengan kain perca jika sekiranya tidak cukup untuk disumpal saja, karena banyaknya darah, kemudian segeralah berwudu dan sesudah itu bersegeralah sholat. Lakukan hal ini untuk setiap satu shalat fardhu walaupun perban atau pembalut masih tetap berada di tempatnya. Tata Cara Orang yang Terkena Istihadho atau Beser sebagai berikut ; Orang yang beser. Cara yang harus dilakukan adalah dengan mensucikan kemaluan/farji, setelah itu disumbat dengan pembalut atau kapas. Barulah kemudian berwudlu dengan menyegerakan shalat. Penderita keputihan dan orang yang beser tidak boleh menunda-nunda shalat setelah berwudlu, kecuali untuk kemaslahatan shalat seperti menjawab adzan atau menunggu jamaah.

Referensi:

حاشية الجمل. الجز ٢.صفحة ١٤٩.

( قَوْلُهُ وَرُطُوبَةٍ فَرْجٍ)

هِيَ مَاءٌ أَبْيَضُ مُتَرَدِّدٌ بَيْنَ الْمَذْيِ وَالْعَرَقِ وَمَحِلُّ ذَلِكَ إذَا خَرَجَتْ مِنْ مَحَلٍّ يَجِبُ غَسْلُهُ ، فَإِنْ خَرَجَتْ مِنْ مَحِلٍّ لَا يَجِبُ غَسْلُهُ فَهِيَ نَجِسَةٌ ؛ لِأَنَّهَا رُطُوبَةٌ جَوْفِيَّةٌ وَهِيَ إذَا خَرَجَتْ إلَى الظَّاهِرِ يُحْكَمُ بِنَجَاسَتِهَا وَإِذَا لَاقَاهَا شَيْءٌ مِنْ الطَّاهِرِ تَنَجَّسَ.

(Pernyataan cairan dalam kemaluan) yaitu cairan putih yang ambigu antara madzi dan keringat. Titik tekan masalah ini, yaitu ketika cairan itu keluar dari tempatnya yang wajib membersihkannya. Apabila cairan itu keluar dari tempat yang tidak wajib dibersihkan maka dihukumi najis, karena hal itu merupakan cairan dari dalam. Apabila cairan itu keluar dari anggota dzahir, maka dihukumi najis. Apabila sesuatu yang suci bersentuhan dengannya maka menjadi mutanajis.

Referensi

. منهج الطلاب. الجز ١. صفحة ٢٦.

والاستحاضة كسلس فلا تمنع ما يمنعه الحيض فيجب أن تغسل مستحاضة فرجها فتحشوه فتعصبه بشرطهما فتطهر لكل فرض وقته وتبادر به ولا يضر تأخيرها لمصلحة كستر وانتظار جماعة.

Istihadzah (darah penyakit) itu seperti orang yang beser, maka orang yang istihadzah tidak tercegah melakukan sesuatu yang tidak boleh dilakukan oleh orang yang haid. Maka wajib bagi seorang yang istihadzah untuk mensucikan farjinya, menyumpal dan membalutnya sesuai dengan syarat-syaratnya, kemudian berwudlu. Hal ini wajib dilakukan setiap akan menjalankan shalat fardlu dan bersegera menjalankannya. Mengakhirkan shalat (setelah wudlu) diperboleh bila untuk kemaslahatan seperti menutup aurat atau menunggu jamaah.

Referensi

حاشيتان قليوبي وعميرة – الجزء الأول – ص ٥٢ – ٥٣

والأصل في النية حديث الصحيحين المشهور « إنما الأعمال بالنيات » ( ومن دام حدثه كمستحاضة ) ومن به سلس البول ( كفاه نية الاستباحة ) كغيره ( دون الرفع ) لبقاء حدثه ( على الصحيح فيهما ) وقيل : لا تكفي نية الاستباحة ، بل لا بد من نية الرفع معها لتكون نية الرفع للحدث السابق ونية الاستباحة للاحق . وقيل : تكفي نية الرفع لتضمنها لنية الاستباحة . ( ومن نوى تبردا مع نية معتبرة ) كنية مما تقدم ( جاز ) له ذلك أي لم يضره في النية المعتبرة ( على الصحيح ) لحصوله من غير نية . والثاني يضره للإشراك في النية بين العبادة وغيرها ونية التنظيف كنية التبرد فيما ذكر ( أو ) نوى ( ما يندب له الوضوء كقراءة ) أي نوى الوضوء لقراءة القرآن أو نحوها ، ( فلا ) يجوز له ذلك ، أي لا يكفيه في النية ( في الأصح ) لأن ما يندب له الوضوء جائز مع الحدث فلا يتضمن قصده قصد رفع الحدث ، والثاني يقول قصده حالة كماله ، فيتضمن قصده ما ذكر .

Referensi

فقه الإسلامى وأدلته

أولاً ـ النية: النية لغة: القصد بالقلب، لا علاقة للسان بها، وشرعاً: هي أن ينوي المتطهر أداء الفرض، أو رفع حكم الحدث، أو استباحة ما تجب الطهارة له، كأن يقول المتوضئ: نويت فرائض الوضوء، أو يقول من دام حدثه كمستحاضة وسلس بول أو ريح: نويت استباحة فرض الصلاة، أو الطواف أو مس المصحف. أو يقول المتطهر مطلقاً: نويت رفع الحدث، أي إزالة المانع بين كل فعل يفتقر إلى الطهارة. وعرف الحنفية النية اصطلاحاً بأنها توجه القلب لإيجاد الفعل جزماً.وقد اختلف الفقهاء في اشتراط النية للطهارة:فقال الحنفية (١): يسن للمتوضئ البداية بالنية لتحصيل الثواب، ووقتها: قبل الاستنجاء ليكون جميع فعله قربة. وكيفيتها: أن ينوي رفع الحدث، أو إقامة الصلاة، أو ينوي الوضوء أو امتثال الأمر. ومحلها القلب، فإن نطق بها ليجمع بين فعل القلب واللسان، فهو مستحب عند المشايخ.ويترتب على قولهم بعدم فرضية النية: صحة وضوء المتبرد، والمنغمس في الماء للسباحة أو للنظافة أو لإنقاذ غريق، ونحو ذلك.
واستدلوا على رأيهم بما يأتي:
١ً – عدم النص عليها في القرآن: إن آية الوضوء لم تأمر إلا بغسل الأعضاء الثلاثة والمسح بالرأس، والقول باشتراط النية بحديث آحاد زيادة على نص الكتاب، والزيادة على الكتاب عندهم نسخ، لا يصح بالآحاد.
٢ً – عدم النص عليها في السنة: لم يعلمها النبي صلّى الله عليه وسلم للأعرابي مع جهله. وفرضت النية في التيمم لأنه بالتراب، وليس هو مزيلاً للحدث بالأصالة، وإنما هو بدل عن الماء.
٣ً – القياس على سائر أنواع الطهارة وغيرها: إن الوضوء طهارة بماء، فلا تشترط لها النية كإزالة النجاسة، كما لا تجب النية في شروط الصلاة الأخرى كستر العورة، ولا تجب أيضاً بغسل الذمية من حيضها لتحل لزوجها المسلم.
٤ً – إن الوضوء وسيلة للصلاة، وليس مقصوداً لذاته، والنية شرط مطلوب في المقاصد، لا في الوسائل.وقال المالكية والشافعية: النية فرض في الوضوء، وعند الحنابلة شرط، لتحقيق العبادة أو قصد القربة لله عز وجل (١)،فلا تصح الصلاة بالوضوء لغير العبادة كالأكل والشرب والنوم ونحو ذلك. واستدلوا بما يأتي:
١ً – السنة: قوله صلّى الله عليه وسلم: «إنما الأعمال بالنيات، وإنما لكل امرئ ما نوى» (٢) أي إن الأعمال المعتدّ بها شرعاً تكون بالنية، والوضوء عمل، فلا يوجد شرعاً إلا بنية.
٢ً – تحقيق الإخلاص في العبادة: لقوله تعالى: {وما أمروا إلا ليعبدوا الله مخلصين له الدين} [البينة:٥/ ٩٨]، والوضوء عبادة مأمور بها، لا يتحقق إلا بإخلاص النية فيه لله تعالى، لأن الإخلاص عمل القلب وهو النية.
٣ً – القياس: تشترط النية في الوضوء كما تشترط في الصلاة، وكما تشترط في التيمم لا ستباحة الصلاة.
٤ً – الوضوء وسيلة للمقصود، فله حكم ذلك المقصود، لقوله تعالى: {إذا قمتم إلى الصلاة فاغسلوا وجوهكم} [المائدة:٦/ ٥]، فهذا يدل على أن الوضوء مأمور به عند القيام للصلاة، ومن أجل هذه العبادة، فالمطلوب غسل الأعضاء لأجل الصلاة، وهو معنى النية.والحق: القول بفرضية النية؛ لأن أحاديث الآحاد كثيراً ما أثبتت أحكاماًقصد أصلاً، أو بقصد التبرد، ليس غسلاً للوضوء، حتى يؤد ي مهمته الشرعية، ويحقق المأمور به كما أمر به (١).
ما يتعلق بالنية: يتلخص مما سبق أمور تتعلق بالنية هي ما يأتي (٢):
أـ حقيقتها: لغة: القصد، وشرعاً: قصد الشيء مقترناً بفعله.
ب ـ حكمها: عند الجمهور: الوجوب، وعند الحنفية: الاستحباب.
جـ ـ المقصود بها: تمييز العبادة عن العادة، أو تمييز رتبتها أي تمييز بعض العبادات عن بعض، كالصلاة تكون فرضاً تارة، ونفلاً أخرى.
د ـ شرطها: إسلام الناوي وتمييزه وعلمه بالمنوي، وعدم إتيانه بما ينافيها بأن يستصحبها حكماً، فلا ينصرف عن الوضوء مثلاً لغيره، وألا تكون معلقة، فلو قال: إن شاء الله تعالى: فإن قصد التعليق أوأطلق، لم تصح، وإن قصد التبرك صحت.
واشترط غير الحنفية دخول وقت الصلاة لدائم الحدث كسلس بول ومستحاضة؛ لأن طهارته طهارة عذر وضرورة، فتقيدت بالوقت كالتيمم.
هـ ـ محلها: القلب، إذ هي عبارة عن القصد، ومحل القصد: القلب، فمتى اعتقد بقلبه أجزأه، وإن لم يتلفظ بلسانه، أما إن لم تخطر النية بقلبه، فلم يجزئه الفعل الحاصل، والأولى عند المالكية ترك التلفظ بالنية، ويسن عند الشافعية والحنابلة: التلفظ بها، إلا أن المذهب عند الحنابلة أنه يستحب التلفظ بها سراً، ويكره الجهر بها وتكرارها.وـ صفتها: أن يقصد بطهارته استباحة شيء لا يستباح إلا بها، كالصلاة والطواف ومس المصحف، وينوي رفع الحدث الأصغر، أي المنع المترتب على الأعضاء، أي أن صفة النية أن ينوي رفع الحدث أو الطهارة من الحدث، وأيهما نواه أجزأه، لأنه نوى المقصود وهو رفع الحدث.فإن نوى بالطهارة: ما لا تشرع له الطهارة، كالتبرد والأكل والبيع والزواج ونحوه، ولم ينو الطهارة الشرعية، لم يرتفع حدثه؛ لأنه لم ينو الطهارة ولامايتضمن نيتها، فلم يحصل له شيء، كالذي لم يقصد شيئاً.وإن نوى بالوضوء الصلاة وغيرها كالتبرد أو النظافة أو التعليم أو إزالة النجاسة، صحت النية وأجزأته. لكن لو أطلق النية أي لمجرد الطهارة الشاملة للحدث والخبث مثلاً، لم تصح ولم تجزئ، حتى يتحقق تمييز العبادة عن العادة، ولا يتم التمييز إلا بالنية، والطهارة قد تكون عن حدث وقد تكون عن نجس، فلم تصح بنية مطلقة.وإن نوى المتوضئ بوضوئه ما تسن له الطهارة، كأن نوى الوضوء لقراءة وذكر وأذان ونوم وجلوس بمسجد أو تعليم علم وتعلمه أو زيارة عالم ونحو ذلك، ارتفع حدثه وله أن يصلي ما شاء عند الحنابلة، لأنه نوى شيئاً من ضرورة صحة الطهارة.
ولا يجزئه للصلاة عند المالكية من غير أن ينوي رفع الحدث، لأن ما نواه يصح فعله مع بقاء الحدث.
كما لا يجزئه في الأصح عند الشافعية؛ لأنه مباح مع الحدث، فلا يتضمن قصده رفع الحدث.
ولا خلاف في أنه إذا توضأ لنافلة أو لما يفتقر إلى الطهارة كمس المصحف والطواف، صلى بوضوئه الفريضة؛ لأنه ارتفع حدثه (١).

Referensi:


فتح المعين ص ١٥
٥- وخامسها: دخول وقت لدائم حدث كسلس ومستحاضة.
ويشترط له أيضا ظن دخوله فلا يتوضأ كالمتيمم لفرض أو نفل مؤقت قبل وقت فعله ولصلاة جنازة قبل الغسل وتحية قبل دخول المسجد وللرواتب المتأخرة قبل فعل الفرض ولزم وضوءان أو تيممان١ على خطيب دائم الحدث أحدهما: للخطبتين والآخر بعدهما


Referensi


نهاية الزين .ص١٦
لَكِن بَعضهم اسْتثْنى الْحَج قَالَ فَلَا يشْتَرط ذَلِك فَهَذِهِ عشرَة فِي وضوء السَّلِيم وَصَاحب الضَّرُورَة مَعًا وَيُزَاد فِي وضوء صَاحب الضَّرُورَة شَرط آخر وَهُوَ خَامِس فِي كَلَام المُصَنّف فَقَالَ (وَدخُول وَقت) أَو ظن دُخُوله (لدائم حدث) كسلس بَوْل وَهُوَ الَّذِي يتقاطر بَوْله دَائِما وَيشْتَرط لَهُ أَيْضا تقدم الِاسْتِنْجَاء على الْوضُوء لِأَنَّهُ يشْتَرط لطهره تقدم إِزَالَة النَّجَاسَة وَتقدم التحفظ مثل الحشو والعصب والموالاة بَين الِاسْتِنْجَاء والتحفظ والموالاة بَينهمَا وَبَين الْوضُوء
وَيسْتَثْنى من ذَلِك مَا إِذا كَانَ السلس بِالرِّيحِ فَلَا يشْتَرط الْمُوَالَاة بَين ذَلِك والموالاة بَين أَفعاله وَأما الْمُوَالَاة بَين الْوضُوء وَالصَّلَاة فَشرط لجَوَاز فعل الصَّلَاة بِهِ لَا شَرط لصِحَّته كَمَا قَالَه الرَّشِيدِيّ

Referensi


إعانة الطالبين

(لدائم حدث) كسلس ومستحاضة.
ويشترط له أيضا ظن دخوله، فلا يتوضأ – كالمتيمم – لفرض أو نفل مؤقت قبل وقت فعله، ولصلاة جنازة قبل الغسل، وتحية قبل دخول المسجد، وللرواتب المتأخرة قبل فعل الفرض، ولزم وضوآن أو تيممان على خطيب دائم الحدث، أحدهما: للخطبتين والآخر بعدهما لصلاة جمعة، ويكفي واحد لهما لغيره، ويجب عليه الوضوء لكل فرض – كالتيمم وكذا غسل الفرج وإبدال القطنة التي بفمه والعصابة، وإن لم تزل عن موضعها.
وعلى نحو سلس مبادرة بالصلاة، فلو أخر لمصلحتها كانتظار
ــ
وقد صححوا غسلا مع البول إن جرى خلاف وضوء خذه والعلم واسع ووشم بلا كره وعظمة جابرتشق بلا خوف ويكشط مانع (وقوله: كسلس) بكسر اللام على أنه اسم فاعل، وبفتحها على أنه مصدر، ويقدر مضاف، أي ذي سلس.
وشمل سلس البول وسلس الريح، فلو توضأ قبل دخول الوقت لم يصح لأنه طهارة ضرورة، ولا ضرورة قبل الوقت.
(قوله: ويشترط له أيضا إلخ) الأنسب والأخصر أن يقول بعد قوله دخول وقت لدائم الحدث ولو ظنا، أي سواء كان دخوله يقينا أو كان ظنا، فيما إذا اشتبه عليه الوقت أدخل أم لا، فاجتهد فأداه اجتهاده إلى دخوله.
وعبارة المنهج القويم: ودخول الوقت لدائم الحدث أو ظن دخوله.
اه.
وهي ظاهرة، تأمل.
(قوله: فلا يتوضأ) أي دائم الحدث.
وقوله: كالمتيمم أي حال كونه كالمتيمم، فإنه يشترط في تيممه دخول الوقت سواء كان دائم الحدث أم لا.

CARA BERSUCI ( WUDHU) BAGI DAIMUL HADAS MENURUT MAZHAB HANBALI

Menurut madzhah Hanabilah

Syarat-syaratnya bagi penderita penyakit beser  untuk bisan melakukan ibadah  sebagaimana  keterangan yang kami kutip
Dalam kitabnya Al Jaziri dalam Al Fiqh ala al Mazahib al Arba’ah, hlm. 1/81 , sbb:

الحنابلة قالوا : من دام حدثه كأن كان به سلس بول أو مذي أو انفلات ريح أو نحو ذلك فإنه لا ينتقض وضوءه بذلك الحدث الدائم بشروط : أحدها : أن يغسل المحل ويعصبه بخرقة ونحوها أو يحشوه قطنا أو غير ذلك مما يمنع نزول الحدث بقدر المستطاع بحيث لا يفرط في شيء من ذلك فإن فرط ينتقض وضوءه بما ينزل من حدثه وإلا فلا ومتى غسل المحل وعصبه بدون تفريط لا يلزمه فعله لكل صلاة . ثانيها : أن يدوم الحدث ولا ينقطع زمنا من وقت الصلاة بحيث يسع ذلك الزمن الطهارة والصلاة فإن كانت عادته أن ينقطع حدثه زمنا يسع ذلك وجب عليه أن يؤدي صلاته فيه ولا يعد معذورا وإن لم يكن عادته الانقطاع زمنا يسع الطهر والصلاة ولكن عرض له ذلك الزمن الطهارة والصلاة فإن كانت عادته أن ينقطع حدثه زمنا يسع ذلك وجب عليه أن يؤدي صلاته فيه ولا يعد معذورا وإن لم يكن عادته الانقطاع زمنا يسع الطهر والصلاة ولكن عرض له ذلك الانقطاع بطل وضوءه ثالثا : دخول الوقت فلو توضأ قبل دخول الوقت لم يصح وضوءه إلا إذا توضأ قبله لفائتة أو لصلاة جنازة فإن وضوءه يكون صحيحا ويجب أن يتوضأ لوقت كل صلاة إن خرج شيء من ذلك الحدث لمسترسل فإن لم يخرج فلا ينتقض وضوءه إلا بناقض آخر غير ذلك الحدث وللمعذور أن يصلي بوضوئه ما شاء من الفرائض والنوافل وإذا كان القيام للصلاة يوجب نزول حدثه صلى قاعدا أما إذا كان الركوع والسجود يوجبان نزول ذلك الحدث فإنه يصلي بركوع وسجود مع نزوله ولا يجزئه أن يصلي موميا


Artinya: Menurut mazhab Hanbali, penderita hadas berkepanjangan seperti beser, madzi, kentut, dll itu tidak batal wudhunya sebab hadas yang dideritanya dengan syarat: pertama, sebelum berwudhu membasuh tempatnya dan membalutnya dengan kain dll. . Kedua, hadasnya harus terjadi terus menerus sekiranya tidak terputus sama sekali yang cukup untuk wudhu dan shalat. Ketiga, wudhu harus dilakukan saat masuk waktu. Apabila berwudhu sebelum masuk waktu maka tidak sah wudhunya kecuali apabila ia wudhu sebelum waktu itu karena untuk shalat qadha atau shalat jenazah, maka dalam kasus ini wudhunya sah. Wajib wudhu untuk setiap waktu shalat apabila keluar sesuatu dari hadasnya … Wudhu tidak batal kecuali karena sebab pembatal wudhu yang lain selain hadas yang dideritanya. Penderita ini boleh salat dengan wudhunya shalat fardhu berkali-kali dan shalat sunnah berkali-kali. Apabila shalat berdiri akan menyebabkan turunnya hadasnya, maka shalat dengan duduk. apabila rukuk dan sujud menyebabkan turunnya hadas maka ia tetap harus rukuk dan sujud secara sempurna. Tidak sah rukuk dan sujud secara isyarat.
Penjelasan:
1. Satu kali wudhu, menurut mazhab Hambali, boleh digunakan untuk shalat fardhu beberapa kali dan shalat sunnah beberapa kali asalkan masih dalam waktu yang sama. Misalnya, saat tiba waktu shalat zhuhur, maka kita wudhu untuk shalat zhuhur. Kebetulan anda punya hutang shalat subuh, maka boleh shalat qadha subuh dengan wudhu yang untuk shalat zhuhur tersebut. Namun, ketika masuk shalat Ashar, maka anda tetap harus wudhu lagi, walaupun wudhu yang shalat zhuhur belum batal. Demikian juga, apabila anda sedang musafir dan berniat shalat jamak zhuhur dan ashar, maka boleh dilakukan dengan sekali wudhu.
2. Kain dan/atau pembalut tidak perlu diganti setiap akan wudhu kecuali apabila terjadi hadas selain hadas yang diderita.
3. Yang perlu diperbaru hanya wudhu saja yang harus dilakukan setiap waktu shalat. Ini berbeda dengan mazhab Syafi’i yang mengharuskan wudhu dan ganti kain/pembalut setiap waktu shalat wajib yang berbeda.
Baca juga aturan wudhu dan shalat penderita beser mazhab Syafi’i: Baca detail: Shalat orang yang Beser (Selalu Kencing)

CARA BERSUCINYA BAGI DAIMUL HADAS MENURUT MAZHAB MALIKI

Al Jaziri dalam Al Fiqh ala al Mazahib al Arba’ah, hlm. 1/81 , sbb:


المالكية قالوا : ما خرج من الإنسان حال المرض من سلس بول أو نحوه فإنه لا ينقض بشروط أحدها : أن لا يلازمه أغلب أوقات الصلاة أو نصفها على الأقل فإذا جاءه سلس بول في الصاج مثلا ثم انقطع بعد ساعتين فإنه لا يكون معذورا وعليه أن يصبر حتى ينقطع بوله ويتوضأ لصلاة الظهر ومثل ذلك ما إذا كان مصابا بانفلات ريح أو إسهال فإن لازمه ذلك نصف وقت صلاة فأكثر كان معذورا وإلا فلا ثانيها : أن يأتيه ذلك المرض في أوقات لا يستطيع ضبطها أما إذا أمكنه أن يضبط الأوقات التي يأتيه فيها فإن عليه أن لا يتوضأ فيها مثلا إذا عرف أنه ينقطع في آخر وقت صلاة الظهر فإن عليه أن يؤخر الصلاة إلى آخر الوقت . ويتوضأ ويصلي وكذا إذا عرف أنه ينقطع في أول الوقت فإنه يجب عليه أن يبادر بالصلاة في هذه الحالة ولا يباح له أن يؤخر الصلاة إلى آخر الوقت كما يباح للأصحاء فإذا كان السلس يستغرق وقت الظهر كله ووقت العصر إلا قليلا منه بأن ينقطع في آخر وقت العصر فإنه يجب عليه أن يؤخر وقت الظهر إلى هذا الوقت ويجمعها مع صلاة العصر جمع تأخير وإذا كان يأتيه السلس في كل وقت العصر وينقطع في آخر وقت الظهر فإن عليه أن يجمع بين الظهر والعصر جمع تقديم ثالثها : أن لا يقدر المريض على رفع مرضه بدواء أو تزوج أو نحو ذلك فإن قدر ولم يفعل فإنه لا يكون معذورا ويأثم بترك التداوي فإذا شرع في التداوي اغتفرت له أيام التداوي
ولا يعتبر المريض بسلس المذي معذورا إلا إذا حصل له ذلك السلس لمرض بشرط أن ينزل منه بلا لذة معتادة أما إذا لم يكن به مرض ولكن نزل منه بسبب عدم تزوجه بلذة معتادة بأن كان يتلذذ بالنظر أو التفكر فيحصل منه المذي كلما فعل ذلك فإن وضوءه ينتقض مطلقا حتى لو لازمه كل الزمن
هذا ونقض الوضوء بالسلس ونحوه بالشروط المذكورة هو المشهور من مذهب المالكية وعندهم قول آخر غير مشهور ولكن فيه تخفيف للمرضى وهو أن السلس لا ينقض الوضوء وإن لم تتحقق هذه الشروط إنما يستحب منه الوضوء إذ لازم بعض الزمن أما إذا لازم كل الزمن فإنه لا يستحب منه الوضوء وهذا القول يصح للمعذورين أن يقلدوه في حال المشقة والحرج فهو وإن لم يكن مشهورا لكنه قد يناسب أحوال كثير من الناس ولا مانع من أن يأخذوا به


Artinya: Yang keluar dari manusia saat sakit seperti beser, dll, itu tidak membatalkan wudhu dengan sejumlah syarat: pertama, penyakitnya itu terjadi pada mayoritas waktu shalat atau minimal separuh waktu shalat…; Kedua, penyakit itu muncul pada waktu yang tidak bisa dipastikan…. ; Ketiga, orang yang sakit tidak bisa menghilangkan penyakitnya dengan obat, dll. Penderita beser madzi tidak dianggap udzur kecuali kalau karena penyakit. Bukan karena naiknya hasrat seksual… Yang tidak memenuhi ketiga syarat batal wudhunya. Namun dalam mazhab Maliki ada pendapat kedua yang menyatakan bahwa beser itu tidak membatalkan wudhu walaupun tidak terpenuhi ketiga syarat di atas. Menurut pendapat ini, sunnah berwudhu apabila besernya terjadi di sebagian waktu. Apabila besernya terjadi di setiap waktu maka tidak disunnahkan wudhu. Pendapat ini sah bagi yang udzur untuk diikuti dalam kondisi sulit dan sakit. Walaupun pendapat ini tidak masyhur tapi sesuai kondisi banyak orang dan boleh mengikutnya.
Al-Dasuqi dalam Hasyiyah Al-Dasuqi, hlm. 1/116-117, menyatakan:

وعلق عليه الدسوقي رحمه الله بقوله: “أطلق المصنف في السلس فيشمل سلس البول والغائط والريح وغيره كالمني والمذي والودي، واعلم أن ما ذكره المصنف من التفصيل في السلس طريقة المغاربة وهي المشهورة في المذهب، وذهب العراقيون من أهل المذهب إلى أن السلس لا ينقض مطلقا، غاية الأمر أنه يستحب منه الوضوء إذا لم يلازم كل الزمان, فإن لازم كله فلا يستحب منه الوضوء” انتهى


Artinya: Musannif (penulis kitab matan) memutlakkan beser yang meliputi beser kencing, berak (B.A.B), kentut, dll seperti mani, madzi, wadi. Penjelasan musannif secara detail mengikuti pendapat yang masyhur.
Penjelasan:
1. Pendapat pertama dalam mazhab Maliki: wudhu penderita daimul hadas seperti beser, istihadah, dll, itu tidak batal asal memenuhi syarat yang ditentukan. Antara lain, hadas yang keluar mencapai separuh waktu atau lebih. Namun, tetap sunnah wudhu setiap waktu.
2. Pendapat kedua dalam mazhab Maliki, penderita beser itu secara mutlak tidak batal wudhunya. Walaupun waktu keluarnya tidak sampai separuh dari waktu yang ada. Namun pendapat ulama Iraq menyatakan bahwa beser itu tidak membatalkan wudhu secara mutlak. Namun sunnah berwudhu apabila besernya tidak meliputi seluruh waktu. Apabila keluar terus menerus maka tidak sunnah wudhu.
Karena tidak batal wudhu, maka satu kali wudhu boleh dipakai untuk beberapa kali shalat fardhu selama tidak batal oleh sebab lain di luar penyakitnya.

Kesimpulan 
Bagi seseorang yang terkena penyakit  beser yang infeksi saluran kencingnya  mengakibatkan keluar air seni yang tak menentu dapat dikategorikan sebagai penyandang daimul hadats, dan cara sholat tetap harus terpenuhi syarat dan rukunnya dan ini dapat disamakan dengan darah istihadhah. Ini merujuk pada kajian fikih wanita di mana istihadhah dengan kondisi darah yang keluar tak menentu digolongkan sebagai daimul hadats.Wallahu A’lam bisshowab.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *