CARA MENGENDALIKAN NAFSU

CARA MENGENDALIKAN NAFSU

Assalamualaikum wr wb.

Deskripsi Masalah

Nafsu merupakan bagian dari makhluk Allah. Dengan berbekal nafsu pula manusia dapat menjalankan kehidupannya secara wajar sebagai makhluk hidup yang hidup di alam dunia. Berbagai kebutuhan penting manusia, seperti makan, minum, tidur, menikah, dan lain sebagainya, melibatkan nafsu di dalamnya. Karena itu, secara alamiah nafsu bukanlah hal yang mutlak buruk. Namun demikian, nafsu memiliki kecederungan-kecenderungan untuk menyimpang. Kerena itu, dalam Islam terkandung anjuran kuat untuk mengendalikan nafsu. Memang manusia tak diperintahkan untuk memusnahkannya, namun nafsu harus memegang kuasa penuh atasnya agar selamat dari jebakan-jebakan dan godaan-godaannya yang menjerumuskan pada kemaksiatan.
Terus terang saya sebagai anak muda sering merasakan iman naik turun ustad, itu terjadi dikarenakan akal saya terkadang masih dikalahkan oleh anafsu

Pertanyaannya.

Bagaimana cara untuk mengendalikam nafsu yang terkadang terasa sulit dikendalikannya?

Waalaikum salam.

Jawaban.
Ketahuilah wahai saudaraku, bahwa Allah menciptakan beberapa makhluk yang kemudian dibagi menjadi tiga golongan atau kelompok, sebagaimana keterangan berikut:

Referensi:

مجالس السنية .ص ١٠

(نكتة)

قسم الله تعالى الخلائق ثلاثة أقسام قسم خلقوا بعقل بغير شهوة وهم الملائكة وقسم خلقوا بشهوة بغير عقل وهم الدواب وقسم خلقوا بعقل وشهوة وهم بنوا آدم فمن غلب عقله على شهوته كان مع الملائكة ومن كان غلبت شهوته على عقله كان مع الدواب


Allah membagi makhluk menjadi tiga bagian yaitu:
1️⃣ Golongan Malaikitat mereka diciptakan bersama dengan akal tanpa Nafsu/ syahwat.
2️⃣ Hewan mereka diciptakan bersama syahwat tanpa akal
3️⃣ Manusia ( anak cucu Nabi Adam ) mereka diciptakan bersama akal dan Nafsu syahwat, maka dengan nafsu inilah manusia dapat menjalankan kehidupannya secara wajar sebagai makhluk hidup yang hidup di alam dunia. Berbagai kebutuhan penting manusia, seperti makan, minum, tidur, menikah, sebagaimana deskripsi, dan lain sebagainya, semuanya itu didalamnya melibatkan nafsu. Karena itu, secara alamiah nafsu bukanlah hal yang mutlak buruk, karena bagaimanapun terkadang nafsu cenderung kepada kebaikan , oleh karenanya Allah SWT menciptakan hawa nafsu dalam diri manusia sebagai kekuatan agar ia mau melakukan sesuatu yang berdampak baik bagi dirinya sendiri. Hal ini sebagaimana difirmankan dalam Surat Ali Imran ayat 14 :

زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوٰتِ مِنَ النِّسَاۤءِ وَالْبَنِيْنَ وَالْقَنَاطِيْرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْاَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ۗ ذٰلِكَ مَتَاعُ الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا ۗوَاللّٰهُ عِنْدَهٗ حُسْنُ الْمَاٰبِ

Dijadikan terasa indah dalam pandangan manusia cinta terhadap apa yang diinginkan, berupa perempuan-perempuan, anak-anak, harta benda yang bertumpuk dalam bentuk emas dan perak, kuda pilihan, hewan ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik.

Hawa nafsu erat kaitannya dengan syahwat yang Allah karuniakan kepada manusia. Secara istilah, keduanya memiliki makna yang sama, yakni merujuk pada gairah, kehendak, selera, dan hasrat. Namun secara hakikat, nafsu dan syahwat memiliki pengertian yang berbeda. Agar lebih memahaminya, berikut penjelasan tentang perbedaan nafsu dan syahwat .
Adapun Perbedaan nafsu dan syahwat telah dikemukakan oleh Imam Ghazali dalam kitabnya. Ia berkata: ‘Secara istilah tidak ada perbedaan. Tetapi yang dimaksud dengan hawa nafsu menurutnya adalah keinginan yang terpuji, bukan yang tercela. Sebab, nafsu yang terpuji itu berasal dari Allah SWT.

Dan hawa nafsu Dia ciptakan dalam diri manusia sebagai sebuah kekuatan agar termotivasi atau mendorong melakukan sesuatu yang berdampak baik, untuk kelestarian dirinya , atau keduanya. Sementara syahawat adalah keinginan tercela yang berasal dari nafsu ammarah, yaitu nafsu yang mendorong manusia melakukan kejahatan.” Sebagaimana Allah berfirman dalam Al-Qur’an:”

وَمَآ اُبَرِّئُ نَفْسِيْۚ اِنَّ النَّفْسَ لَاَمَّارَةٌ ۢ بِالسُّوْۤءِ اِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّيْۗ اِنَّ رَبِّيْ غَفُوْرٌ رَّحِيْم

Dan aku tidak (menyatakan) diriku bebas (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu mendorong kepada kejahatan, kecuali (nafsu) yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun, Maha Penyayang ( Q.S.Yusuf:53)

Referensi:

إحياء علوم الدين

اللفظ الثالث: النفس، وهو أيضاً بين معان، ويتعلق بغرضنا منه معنيان: “أحدهما” أنه يراد به المعنى الجامع لقوة الغضب والشهوة في الإنسان على ما سيأتي شرحه، وهذا الاستعمال هو الغالب على أهل التوصف؛ لأنهم يريدون بالنفس الأصل الجامع للصفات المذمومة من الإنسان، فيقولون: لا بد من مجاهدة النفس وكسرها، وإليه الإشارة بقوله عليه السلام “أعدى عدوك نفسك التي بين جنبيك” . “المعنى الثاني” هي اللطيفة التي ذكرناها التي هي الإنسان بالحقيقة، وهي نفس الإنسان وذاته، ولكنها توصف بأوصاف مختلفة بحسب اختلاف أحوالها؛ فإذا سكنت تحت الأمر وزايلها الاضطراب بسبب معارضة الشهوات سميت النفس المطمئنة. قال الله تعالى في مثلها “يا أيتها النفس المطمئنة ارجعي إلى ربك راضية مرضية” والنفس بالمعنى الأول لا يتصور رجوعها إلى الله تعالى؛ فإنها مبعدة عن الله، وهي من حزب الشيطان. وإذا لم يتم سكونها ولكنها صارت مدافعة للنفس الشهوانية ومعترضة عليها سميت النفس اللوامة؛ لأنها تلوم صاحبها عند تقصيره في عبادة مولاه. قال الله تعالى “ولا أقسم بالنفس اللوامة” وإن تركت الاعتراض وأذعنت وأطاعت لمقتضى الشهوات ودواعي الشيطان سميت النفس الأمارة بالسوء. قال الله تعالى إخباراً عن يوسف عليه السلام أو امرأة العزيز “وما أبرئ نفسي إن النفس لأمارة بالسوء” وقد يجوز أن يقال: المراد بالأمارة بالسوء: هي النفس بالمعنى الأول، فإذن النفس بالمعنى الأول مذمومة غاية الذم، وبالمعنى الثاني محمودة لأنها نفس الإنسان أي ذاته وحقيقته العالمة بالله تعالى وسائر المعلومات.

Nafsu mempunyai daya untuk memerintah dan melarang. Nafsu akan memenuhi semua permintaan yang disukai dan diinginkan oleh seseorang.
Para ulama mengatakan bahwa orang yang mengumbar nafsu syahwatnya sebenarnya telah memasuki pada kesesatan yang paling utama. Sebagaimana firman Allah Dalam Surat Al-Qasas ayat 50, berikut:

فَاِنْ لَّمْ يَسْتَجِيْبُوْا لَكَ فَاعْلَمْ اَنَّمَا يَتَّبِعُوْنَ اَهْوَاۤءَهُمْۗ وَمَنْ اَضَلُّ مِمَّنِ اتَّبَعَ هَوٰىهُ بِغَيْرِ هُدًى مِّنَ اللّٰهِ ۗاِنَّ اللّٰهَ لَا يَهْدِى الْقَوْمَ الظالمين

artinya:“Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti keinginannya tanpa mendapat petunjuk dari Allah sedikit pun? Sungguh, Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.”

Pada hakikatnya, Allah SWT melengkapi manusia dengan kecenderungan terhadap berbagai hal karena ada hikmah di baliknya. Tujuannya yaitu agar manusia terdorong untuk melakukan perbuatan baik, amar ma’ruf nahi munkar.
Semua kecenderungan itu tidaklah tercela, selama diupayakan melalui cara-cara yang dibolehkan syariat. Jika kecenderungan tersebut membuat manusia tenggelam pada kesibukannya dan melupakan Allah SWT, dengan kemaksiatan tentu itu tidak bisa dibenarkan. Oleh karenanya Ulama membagi Macam-Macam dan tingkatan Hawa Nafsu yaitu ada tujuh sebagaimana al-Faqir telah jelaskan dalam edisi sebelumnya lihat di webset bahsul masail ikaba .id. Dengan judul mengenal nafsu dan sifat-sifatnya.

Diantara Nafsu dan sifat-sifat nya adalah kecederungan-kecenderungan untuk menyimpang dari ketaatan atau cenderung berbuat jelek ( buruk ) itulah yang disebut dengan nafsu Ammarah, nafsu inilah yang harus kita waspadai, Kerena itu, dalam Islam terkandung anjuran kuat untuk mengendalikan nafsu. Memang manusia tak diperintahkan untuk memusnahkannya, namun nafsu harus memegang kuasa penuh atasnya agar selamat dari jebakan dan godaan-godaannya yang menjerumuskan, karena musuh kita yang sebenarnya adalah nafsu sebagaimana dijelaskan dalam hadits. Rasulullah SAW bersabda:

أَعْدَى عَدُوَّكَ نَفْسُكَ الَّتِي بَيْنَ جَنْبَيْكَ (رواه البيهقي)


“Adapun Musuhmu yang paling dahsyat adalah hawa nafsumu yang ada di antara kedua lambungmu”. (HR. Baihaqi, No: 354).

Pilihannya kita hanya dua, yaitu apakah akal kita mampu menguasai nafsu atau justru akal kita dikuasai oleh nafsu. Karena kemuliaan dan keutamaan manusia bergantung pada penguasaan akalnya terhadap nafsunya, jika akalnya menang terhadap nafsunya maka dia bersama para Malaikat yang dimuliakan , tetapi sebaliknya kehinaan dan kerendahan martabat sesorang adalah manakala akalnya dikalahkan oleh Nafsunya ( akalnya dikuasai oleh nafsunya ) maka mereka bersama dengan hewan, bahkan dalam keterangan yang lain manusia yang akal nya dikalahkan oleh nafsunya maka mereka bagaikan hewan yang hanya mengedepankan nafsu belaka, bahkan lebih sesat dari hewan. Siapakah mereka..? Mereka adalah manusia yang diberi hati namun tidak memahami, mereka punya mata tapi tidak melihat, mereka pun yang telinga tapi tidak digunakan untuk mendengar pada kebaikan.

وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيْرًا مِّنَ الْجِنِّ وَالْاِنْسِۖ لَهُمْ قُلُوْبٌ لَّا يَفْقَهُوْنَ بِهَاۖ وَلَهُمْ اَعْيُنٌ لَّا يُبْصِرُوْنَ بِهَاۖ وَلَهُمْ اٰذَانٌ لَّا يَسْمَعُوْنَ بِهَاۗ اُولٰۤئكَ كَالْاَنْعَامِ بَلْ هُمْ اَضَلُّ ۗ اُولٰۤئكَ هُمُ الْغٰفِلُوْنَ

Dan sungguh, akan Kami isi neraka Jahanam banyak dari kalangan jin dan manusia. Mereka memiliki hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka memiliki mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengarkan (ayat-ayat Allah). Mereka seperti hewan ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lengah.(Q.S. al-A’raf : 179)

Dua pilihan tersebut diatas juga yang menentukan apakah kita akan memperoleh kebahagiaan hakiki atau tidak. Imam Abu Hamid al-Ghazali pernah mengatakan dalam kitab Ihyâ’ ‘Ûlûmiddîn:

السَّعَادَةُ كُلُّهَا فِي أَنْ يَمْلِكَ الرَّجُلُ نَفْسَهُ وَالشَّــقَــاوَةُ فِي أَنْ تَمْـلِـكَـــهُ نَفْـسُــــهُ

“Kebahagiaan adalah ketika seseorang mampu menguasai nafsunya. Kesengsaraan adalah saat seseorang dikuiasai nafsunya.”

Tentu saja, usaha mengendalikan nafsu ini bukan perkejaan yang mudah. Karakter nafsu yang tak tampak dan kerapkali membawa efek kenikmatan menjadikannya sebagai musuh paling sulit untuk diperangi. Rasulullah sendiri mengistilahkan ikhtiar pengendalian nafsu ini dengan “jihad”, yakni jihâdun nafsi.

Sepulang dari perang badar, Nabi ﷺ bersabda, “Kalian semua pulang dari sebuah pertempuran kecil dan bakal menghadapi pertempuran yang lebih besar. Lalu ditanyakan kepada Rasulullah ﷺ, ‘Apakah pertempuran akbar itu, wahai Rasulullah?’ Rasul menjawab, ‘jihad (memerangi) hawa nafsu’.”

Nafsu menjadi musuh paling berat dan berbahaya karena yang dihadapi adalah diri sendiri. Ia menyelinap ke dalam diri hamba yang lalai, lalu memunculkan perilaku-perilaku tercela, seperti ujub, pamer, iri, meremehkan orang lain, dusta, khianat, memakan penghasilan haram, dan seterusnya.

Lantas, bagaimana cara efektif yang bisa kita ikhtiarkan untuk jihâdun nafsi, jihad mengendalikan nafsu ini?

Mari kita simak Washiyyat ke 8; disebutkan dalam kitab al-Minahus Saniyyah berikut;

(وَجَاهِدْ نَفْسَكَ)

اى خواطرها فى الشرع

“Tundukkanlah hawa nafsumu” Ya’ni ajakan nafsu menurut syara’

قال الإمام سهل التسترى رحمه الله تعالى : “أسوأ المعاصى حديث النفس ولعل غالب الناس لا يعدون ذلك ذنبا، وإذا اتقى المريد الإصغاء إلى حديث النفس وكان ملازما للذكر اتقد القلب بالذكر، وصار القلب سرا محفوظا وهناك يبعد عنه الشيطان كل البعد، وتبعد عن العبد الخواطر الشيطانية، ولا يصير معه إلا خواطر نفسانية وحينئذ يسعى فى قطعها وإتقانها بميزان العلم” فاعلم ذلك يا أخى

Imam Sahl At-Tastari rahimahullahu Ta’ala berkata; “Seburuk-buruk kema’siyatan adalah bisikan hati (yang mengajak pada keburukan), dan boleh jadi umumnya manusia tidak mengira bahwa itu adalah dosa. Apabila seorang murid menghindar dari mendengarkan bisikan hatinya, dan ia senantiasa berdzikir, maka hatinya akan turut berdzikir, dan hatinya menjadi bahagia serta terjaga. Pada saat itulah syaitan akan menjauh dari hatinya sejauh-jauhnya, bisikan syaitaniyah pun menjauh dari seorang hamba dan tidak ada lagi yang menyertainya kecuali bisikan ruhaniyah. Dan ketika itulah ia akan dapat mematahkan dan menundukkannya dengan neraca ‘ilmu”. Fahamilah hal itu wahai saudaraku!.

وجاهد نفسك (بِالْجُوْعِ) بطريقه الشرعى وهو تقليل الأكل شيئا فشيئا

Dan perangilah hawa nafsumu dengan “Lapar” sesuai dengan aturan syari’at yaitu mengurangi makan sedikit demi sedikit.

وقدم الجوع على غيره لأنه معظم أركان الطريق، ولأنه ليس للنفس فبدايته أمرها شيء أسرع لانقيادها من الجوع، لأنه مذل الملوك فضلا عن غيرهم، ولأنه يحل من الأجزاء الترابية والمائية بقدر ما يكون فيصفو القلب، ولأن باقى الأركان تابع له بالخاصة، ولأن خواطر النفس لا تضعف إلا به.

Pembahasan tentang lapar didahulukan dari lainnya karena; Lapar merupakan elemen dasar terpenting dalam menempuh jalan menuju Allah, sebab tidak ada suatupun yang lebih cepat untuk menundukkan nafsu pada tahap permulaannya daripada lapar.

Lapar mampu menundukkan kerajaan, selain daripada yang lainnya.

Lapar mampu melepaskan beberapa unsur tanah dan air sesuai dengan kemampuan yang ada, maka kemudian hati menjadi bening.

Seluruh anggota-anggota lainnya akan tunduk pada lapar secara khusus.

Bisikan nafsu tidak dapat ditundukkan kecuali dengan lapar.

وذكر الشيخ محي الدين بن العربى رحمه الله تعالى فى الفتوحات المكية : أن الله تعالى لما خلق النفس قال لها : “من أنا؟” فقالت : “من أنا؟”، فأسكنها فى بحر الجوع ألف سنة، ثم قال تعالى : “من أنا؟” فقالت : “أنت ربى”.

Syaikh Muhyiddin ibn Al-‘Arabiy rahimahullahu Ta’ala berkata didalam kitab Futuhat Al-Makkiyah; “Sesungguhnya Allah Ta’ala, tatkala telah menciptakan nafsu, Allah bertanya kepadanya; Siapa Aku? Nafsu malah balik bertanya; Aiapa aku? Maka Allah Ta’ala menempatkan nafsu dalam bahtera lapar selama seribu tahun, kemudian Allah Ta’ala bertanya lagi kepadanya; Siapa Aku? Nafsu menjawab; Engkau adalah Tuhanku”.

وكان الشيخ أبو سليمان الدارانى رحمه الله تعالى يقول : “مفتاح الدنيا الشبع، ومفتاح الآخرة الجوع” يعنى أعمالهما.

Syaikh Abu Sulaiman Ad-Daraniy rahimahullahu Ta’ala barkata; “Kunci dunia adalah kenyang dan kunci akhirat adalah lapar”. Ya’ni ‘amal-‘amal dunia dan akhirat.

ولما خلق الدنيا جعل فى الجوع العلم والحكمة، وجعل فى الشبع الجهل والمعصية،

Dan ketika Allah telah menciptakan dunia, Allah menjadikan ‘ilmu dan hikmah ada dalam lapar dan menjadikan bodoh dan ma’shiyat ada dalam kenyang. (Lapar dapat menimbulkan ‘ilmu dan hikmah, sedangkan kenyang dapat menimbulkan kebodohan dan kema’shiyatan).

وكان يحى بن معاذ الرازى رحمه الله تعالى يقول : “الشبع نار والشهوة مثل الحطب يتولد منه الإحراق ولا تنطفئ ناره حتى تحرق صاحبها”

Yahya bin Mu’adz Ar-Razi rahimahullahu Ta’ala berkata; “Kenyang adalah api dan syahwat bagaikan kayu kering yang darinyalah kebakaran akan muncul, dan api kenyang tidak dapat dipadamkan hingga membakar orangnya”.

وكان سهل بن عبد الله التسترى رحمه الله تعالى يقول : “من أراد أن يأكل فى اليوم مرتين فليبن له (مِعْلَفًا)”،

Sahl bin ‘Abdullah At-Tastary rahimahullahu Ta’ala berkata; “Barangsiapa yang berkehendak untuk makan dua kali dalam sehari, hendaklah ia membuat ajang makan seperti layaknya binatang”.

وكان مالك بن دينار رحمه الله تعالى يقول : “من أراد أن يفر الشيطان من ظله فليقهر شهوته”

Malik bin Dinar rahimahullahu Ta’ala berkata; “Barang siapa yang hendak mengusir syaitan dari bayang-bayang dirinya, hendaklah ia mampu menundukkan syahwatnya”.

وأقاويل السلف فى ذلك كثيرة فاعلم ذلك يا اخى.

Pernyataan ‘Ulama’ salaf tentang hal-hal seperti itu sangat banyak, maka ketahuilah itu wahai saudaraku!.

وجاهد نفسك بالجوع والسهر المفرطين (وَإِتْعَابِهَا فِى الْأعْمَالِ الشَّاقَةِ) تعذيبا لها لتنقاد لك إذا دعوتها لمرضاة الله تعالى، وذلك لأنها قبل الرياضة تشبه الدابة الحرون، وكالعجل الذى يعلمون الطحين فى الطاحون، فتراهم يجوعونه ويغمون عينيه ويدورونه بالضرب فى الطاحون أو غيرها على الفارغ فلا يزال كذلك حتى يظهر لهم منه كمال الإنقياد فهناك يطعمونه ويفكون الغما عن عينيه. فاعلم ذلك يا أخى.

Perangilah nafsumu dengan lapar dan tidak tidur malam yang melampaui batas, serta melumpuhkan nafsu dengan ‘amal-‘amal yang berat karena untuk menghajarnya agar tunduk kepadamu ketika engkau mengajaknya ke jalan yang diridlai Allah Ta’ala. Karena sebelum dihajar dan dilatih, nafsu itu menyerupai binatang liar, dan seperti anak sapi yang talah mereka latih untuk memutar penggilingan, sebagaimana yang engkau ketahui bahwa pada awalnya mereka membuatnya kelaparan, menutup kedua matanya dan memutar-mutarnya pada penggilingan yang masih kosong atau yang lainnya sambil di pukul. Demikian itu dilakukan secara terus-menerus hingga nampak bagi mereka bahwa ia benar-benar tunduk dengan sempurna. Dan setelah itu, baru mereka memberinya makan dan melepas tutup kedua matanya. Ketahuilah hal itu wahai saudaraku!.

(وَقِلَّ النَّوْمَ مَا أَمْكَنَكَ)

لأنه ليس فيه فائدة دنيوية ولا أخروية فهو أخو الموت، وقد عدوا من اتباع الهوى إيثار النوم على قيام الليل فى مثل ليالى الصيف، وذلك دليل على عدم محبة الحق تعالى.

“Dan kurangilah tidur selama hal itu memungkinkan bagimu”

Karena tidur tidak memiliki faidah baik duniwi maupun ukhrawi, dan tidur adalah saudaranya mati. Para ‘ulama’ menyatakan bahwa sebagian dari menuruti hawa nafsu yaitu lebih memilih tidur daripada ‘ibadah di malam hari seperti di malam-malam yang dingin. Dan demikian itu menunjukkan atas tidak adanya rasa cinta kepada Allah Al-Haqq Ta’ala.

وقال “السهر الدائم يذيب الأركان الأربعة ويحلها : الماء، والتراب، والهواء، وانار، وهناك ينظر إلى عالم الملكوت فيشتاق إلى مرضاة الله تعالى”

Shahibul wasiyat (Syaikh Al-Matbuliy) rahimahullahu Ta’ala berkata; “Tidak tidur malam secara terus menerus dapat menghancurkan dan melepaskan seseorang dari empat unsur pada dirinya, yaitu; Air, tanah, udara dan api, dan pada saat itulah seseorang dapat melihat alam malakut hingga ia makin cinta pada ridlo Allah Ta’ala”.

وكان الشيخ أبو الحسن العزاز رحمه الله تعالى يقول : “بني هذا الأمر على ثلا ثة أشياء : أن لا يأكل إلا عند الفاقة، ولا ينام إلا عند الغلبة، ولا يتكلم إلا عند الضرورة”

Syaikh Abul-Hasan Al-‘Azzaz rahimahullahu Ta’ala berkata; “Urusan ini (sampai ke hadirat Allah Ta’ala) dibangun atas tiga hal, yaitu; Tidak makan kecuali sangat lapar, tidak tidur kecuali sangat mengantuk dan tidak bicara kecuali darurat”.

وكان ابن الحوارى رحمه الله تعالى يقول : “كل مريد لا يكون فيه ثلاث خصال فهو كذاب : ترك المال، والطعام، والمنام، فلا يأخذ من كل واحد إلا بقدر الضرورة، وهناك يصلح لمجالسة الحق تعالى، فما كل ذاكر مجالس”. فاعلم ذلك يا أخى.

Ibn Al-Hawari rahimahullahu Ta’ala berkata; “Setiap murid (penempuh jalan menuju Allah Ta’ala) yang tidak memiliki tiga pekerti ini adalah omong kosong, yaitu; Meninggalkan harta, makan dan tidur. Dan masing-masing dari tiga pekerti ini hendaknya tidak ia lakukan kecuali sebatas darurat, karena dengan begitu ia akan pantas untuk bermajlis dengan Allah Al-Haqq Ta’ala, sebab tidak setiap orang yang ber’ibadah dapat bermajlis”.
Maka ketahuilah wahai saudaraku…
Terkait hal cara mengendalikan nafsu sebagaimana keterangan diatas dapat disimpulkan sebagaimana Syekh Abdul Wahhab asy-Sya’rani, berkata:

1️⃣ Melalui puasa. Nafsu ibarat kayu kering, sementara makanan adalah bahan bakarnya. Api yang menjalar pada kayu itu akan kian berkobar manakala bahan bakar disuplai tanpa batas. Untuk memadamkannya, perlu strategi untuk mengurangi, bahkan menghabiskan, bahan bakar tersebut.
2️⃣  Mengurangi tidur. Ini bukan berarti kita begadang dengan ragam kegiatan yang mubazir. Tidur, sebagaimana juga makanan, bisa menjadi sumber yang menutup kejernihan kita dalam menerima cahaya Tuhan. Mengurangi tidur berarti bergiat bagun menunaikan shalat malam, memperbanyak dzikir, serta bermunajat kepada Allah, dan kegiatan-kegiatan “berat” lainnya.
Rasululah ﷺ bersabda:

عَلَيْكُمْ بِقِيَامِ اللَّيْلِ ، فَإِنَّهُ دَأْبُ الصَّالِحِينَ قَبْلَكُمْ ، وَهُوَ قُرْبَةٌ إِلَى رَبِّكُمْ ، وَمَكْفَرَةٌ لِلسَّيِّئَاتِ ، وَمَنْهَاةٌ لِلإِثْمِ

“Laksanakanlah qiyamul lail (shalat malam) karena ia merupakan kebiasaan orang-orang saleh sebelum kalian, mendekatkan kepada Rabb kalian, menghapus dosa-dosa kalian, dan menjauhkan kalian dari berbuat dosa.” (HR at-Tirmidzi)
Bisa dikatakan, nafsu ibarat hewan beringas dan nakal. Untuk menjinakkannya, menjadikan hewan itu lapar dan payah merupakan pilihan strategi yang efektif. Selama proses penundukkan itu, nafsu mesti disibukkan dengan hal-hal positif agar semakin jinak dan tidak buas.

Untuk menjernihkan rohani, Syekh Abu Hasan Al-Azzaz rahimahullah pernah mengingatkan tiga hal, yakni tidak makan kecuali di waktu sangat lapar, tidak tidur kecuali sangat kantuk, dan tidak berbicara kecuali bila sangat perlu.
Kekayaan, makanan, dan tidur adalah tiga hal yang sangat akrab dengan keseharian kita. Saking akrabnya kadang kita tak merasakan ada masalah dalam tiga hal ini. Padahal—karena statusnya yang mubah—kerap kali kita mengumbar begitu saja keinginan-keinginan kita hingga terlena bahwa apa yang kita lakukan sama seperti menumpuk-numpuk kabut pekat dalam hati kita. Lama-lama kalbu kita pun semakin gelap, sehingga mudah sekali dikuasai nafsu buruk yang sudah dicegah. Demikian cara mengendalikan Nafsu Wallahu A’lam bisshowab.

تفسير القرطبي

وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِّنَ الْجِنِّ وَالْإِنسِ ۖ لَهُمْ قُلُوبٌ لَّا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَّا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لَّا يَسْمَعُونَ بِهَا ۚ أُولَٰئِكَ كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ ۚ أُولَٰئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ (١٧٩)

القول في تأويل قوله : وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِنَ الْجِنِّ وَالإِنْسِ لَهُمْ قُلُوبٌ لا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لا يَسْمَعُونَ بِهَا
قال أبو جعفر: يقول تعالى ذكره: ولقد خلقنا لجهنّم كثيرًا من الجن والإنس.


يقال منه: ذرأ الله خلقه يذرؤهم ذَرْءًا. (١)


وبنحو الذي قلنا في ذلك قال أهل التأويل

ذكر من قال ذلك:
١٥٤٤٣ – حدثني علي بن الحسين الأزدي قال: حدثنا يحيى بن يمان, عن مبارك بن فضالة, عن الحسن, في قوله: (ولقد ذرأنا لجهنم كثيرًا من الجن والإنس) قال: مما خلقنا. (٢).

١٥٤٤٤- …. حدثنا أبو كريب قال: حدثنا ابن أبي زائدة, عن مبارك, عن الحسن, في قوله: (ولقد ذرأنا لجهنم) قال: خلقنا.
١٥٤٤٥ – …. قال: حدثنا زكريا, عن عتاب بن بشير, عن علي بن بذيمة, عن سعيد بن جبير قال: أولاد الزنا ممّا ذرأ الله لجهنم.
١٥٤٤٦ – قال: حدثنا زكريا بن عدي، وعثمان الأحول, عن مروان بن معاوية, عن الحسن بن عمرو, عن معاوية بن إسحاق, عن جليس له بالطائف, عن عبد الله بن عمرو, عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: ” إن الله لما ذرأ لجهنم ما ذرأ, كان ولدُ الزنا ممن ذرأ لجهنم “. (٣)
١٥٤٤٧- حدثني محمد بن الحسين قال: حدثنا أحمد بن المفضل قال: حدثنا أسباط, عن السدي: (ولقد ذرأنا لجهنم)، يقول: خلقنا.
١٥٤٤٨ – حدثني الحارث قال: حدثنا عبد العزيز قال: حدثنا أبو سعد قال: سمعت مجاهدًا يقول في قوله: (ولقد ذرأنا لجهنم) قال: لقد خلقنا لجهنم كثيرًا من الجن و الإنس.

١٥٤٤٩ – حدثني المثنى قال: حدثنا عبد الله قال: حدثني معاوية, عن علي, عن ابن عباس: (ولقد ذرأنا لجهنم)، خلقنا.


قال أبو جعفر: وقال جل ثناؤه: (ولقد ذرأنا لجهنم كثيرًا من الجن والإنس )، لنفاذ علمه فيهم بأنهم يصيرون إليها بكفرهم بربِّهم.


وأما قوله: (لهم قلوبٌ لا يفقهون بها)، فإن معناه: لهؤلاء الذين ذرأهم الله لجهنم من خلقه قلوب لا يتفكرون بها في آيات الله, ولا يتدبرون بها أدلته على وحدانيته, ولا يعتبرون بها حُجَجه لرسله, (٤) فيعلموا توحيد ربِّهم, ويعرفوا حقيقة نبوّة أنبيائهم. فوصفهم ربُّنا جل ثناؤه بأنهم: ” لا يفقهون بها “، لإعراضهم عن الحق وتركهم تدبُّر صحة [نبوّة] الرسل، (٥) وبُطُول الكفر. وكذلك قوله: (ولهم أعين لا يبصرون بها)، معناه: ولهم أعين لا ينظرون بها إلى آيات الله وأدلته, فيتأملوها ويتفكروا فيها, فيعلموا بها صحة ما تدعوهم إليه رسلهم, وفسادِ ما هم عليه مقيمون، من الشرك بالله، وتكذيب رسله; فوصفهم الله بتركهم إعمالها في الحقّ، بأنهم لا يبصرون بها. (٦)
وكذلك قوله: (ولهم آذان لا يسمعون بها)، آيات كتاب الله، فيعتبروها ويتفكروا فيها, ولكنهم يعرضون عنها, ويقولون: لا تَسْمَعُوا لِهَذَا الْقُرْآنِ وَالْغَوْا فِيهِ لَعَلَّكُمْ تَغْلِبُونَ ، [سورة فصلت: ٢٦]. وذلك نظير وصف الله إياهم في موضع آخر بقوله: صُمٌّ بُكْمٌ عُمْيٌ فَهُمْ لا يَعْقِلُونَ ، [سورة البقرة: ١٧١]
.والعرب تقول ذلك للتارك استعمالَ بعض جوارحه فيما يصلح له, ومنه قول مسكين الدارمي:
أَعْمَــى إِذَا مَــا جَـارَتِي خَرَجَـتْ
حَــتَّى يُــوَارِيَ جَــارَتِي السِّـتْرُ (٧)
وَأَصَــمُّ عَمَّـا كَـــانَ بَيْنَهُمَــا
سَــمْعِي وَمَـا بِالسَّـمْعِ مِـنْ وَقْــرِ
فوصف نفسه لتركه النظر والاستماع بالعمى والصمم. ومنه قول الآخر: (٨) وَعَــوْرَاءُ اللِّئَــامِ صَمَمْـتُ عَنْهَـا
وَإِنِّــي لَــوْ أَشَــاءُ بِهَـا سَـمِيعُ (٩)
وَبَـادِرَةٍ وَزَعْـــتُ النَّفْـسَ عَنْهَـا
وَقَـدْ تَثِقَـتْ مِـنَ الْغَضَـبِ الضُّلُـوعُ (١٠)
وذلك كثير في كلام العرب وأشعارها. وبنحو الذي قلنا في ذلك قال أهل التأويل.

ذكر من قال ذلك:
١٥٤٥٠ – حدثني الحارث قال: حدثنا عبد العزيز قال: حدثنا أبو سعد قال: سمعت مجاهدًا يقول في قوله: (لهم قلوب لا يفقهون بها) قال: لا يفقهون بها شيئًا من أمر الآخرة =(ولهم أعين لا يبصرون بها)، الهدى=(ولهم آذان لا يسمعون بها) الحقَّ، ثم جعلهم كالأنعام سواءً, ثم جعلهم شرًّا من الأنعام, (١١) فقال: بَلْ هُمْ أَضَلُّ ، ثم أخبر أنهم هم الغافلون

ذكر من قال ذلك:
١٥٤٥٠ – حدثني الحارث قال: حدثنا عبد العزيز قال: حدثنا أبو سعد قال: سمعت مجاهدًا يقول في قوله: (لهم قلوب لا يفقهون بها) قال: لا يفقهون بها شيئًا من أمر الآخرة =(ولهم أعين لا يبصرون بها)، الهدى=(ولهم آذان لا يسمعون بها) الحقَّ، ثم جعلهم كالأنعام سواءً, ثم جعلهم شرًّا من الأنعام, (11) فقال: بَلْ هُمْ أَضَلُّ ، ثم أخبر أنهم هم الغافلون..



القول في تأويل قوله : أُولَئِكَ كَالأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُولَئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ (١٧٩)
قال أبو جعفر: يعني جل ثناؤه بقوله: (أولئك كالأنعام)، هؤلاء الذين ذرأهم لجهنم، هم كالأنعام, وهي البهائم التي لا تفقه ما يقال لها، (١٢) ولا تفهم ما أبصرته لما يصلح وما لا يَصْلُح، (١٣) ولا تعقل بقلوبها الخيرَ من الشر، فتميز بينهما. فشبههم الله بها, إذ كانوا لا يتذكَّرون ما يرون بأبصارهم من حُججه, ولا يتفكرون فيما يسمعون من آي كتابه. ثم قال: (بل هم أضل)، يقول: هؤلاء الكفرة الذين ذَرَأهم لجهنم، أشدُّ ذهابًا عن الحق، وألزم لطريق الباطل من البهائم، (١٤) لأن البهائم لا اختيار لها ولا تمييز، فتختار وتميز, وإنما هي مسَخَّرة، ومع ذلك تهرب من المضارِّ، وتطلب لأنفسها 
من الغذاء الأصلح. والذين وصفَ الله صفتهم في هذه الآية, مع ما أعطوا من الأفهام والعقول المميِّزة بين المصالح والمضارّ, تترك ما فيه صلاحُ دنياها وآخرتها، وتطلب ما فيه مضارّها, فالبهائم منها أسدُّ، وهي منها أضل، كما وصفها به ربُّنا جل ثناؤه.

وقوله: (أولئك هم الغافلون)، يقول تعالى ذكره: هؤلاء الذين وصفتُ صفتهم, القومُ الذين غفلوا =يعني: سهوًا (١٥) عن آياتي وحُججي, وتركوا تدبُّرها والاعتبارَ بها والاستدلالَ على ما دلّت عليه من توحيد ربّها, لا البهائم التي قد عرّفها ربُّها ما سخَّرها له. والله أعلم بالصواب

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *