BERKAT/PESANGON UNTUK ORANG YANG TAKZIYAH (MELAYAT)

BERKAT/PESANGON UNTUK ORANG YANG MELAYAT

Assalamualaikum

Deskripsi Masalah

Dimasyarat sudah mentradisi, jika ada orang tertimpa musibah berupa kematian baik yang meninggal itu ahlinya atau atau tetangganya, biasanya shohibul kifayah, memberikan jamuan, kepada penta’ziah ( para pelayat) tak terkecuali orang yang menshalatkan mayit dikasih pesangon berupa uang. Adapun jamuan itu mulai hari pertama hingga hari ketujuh ini yang lumrah.
Bila mayit tergolong orang kaya, pesangon dan jamuan makan itu diambilkan dari harta peninggalan (tirkahnya) sebelum dibagi-bagikan diantara ahli warisnya. Sedang bila mayit termasuk orang miskin, jamuan dan pesangon-pesangonnya itu terkadang juga diperoleh dari bantuan /sumbangan cuma-cuma dari saudara-saudara kerabat mayit, baik berupa makanan koue dll. begitu juga teman-teman dekat mayit dan seluruh kenalannya yang peduli ikut membantu. Namu di sisi lain, kebisaaan ini mengandung sistem putar, dalam roda-roda kegidupan artinya, bila yang meninggal keluarga Aminah misalkan bernama Shohibah maka masyarakat menyumbang kepada shahibul musibah ( Aminah) Misalkan uang sebesar Rp 20.000 maka bagi masyarakat bila ada keluarganya yang meninggal maka Aminah memberi sumbangan juga dengan nominal yang sama Rp.20.000 dan begitu seterusnya. Namun yang menjadi pertimbangan adalah bila hal tersebut tidak dilakukan, dikhawatirkan tidak ada orang yang takziah,( melayat) sedangkan tradisi ini berpotensi menghabiskan tirkah (harta peninggalan ) mayit, jika mayit termasuk orang miskin, maka tidak ada ifroz tarikah (pemilahan harta peninggalan mayit).

Pertanyaan:

Bagaimanakah hukum tradisi di atas dan status uang yang diterima ?

Waalaikum salam

Jawaban

Kebiasaan di atas di hukumi boleh dan sunnah dengan niat bersedekah untuk mayit, namun bisa jadi haram apabila :

A.Jamuan atau uang diberikan di ambilakan dari harta peninggalan mayit (tirkah) sebagian ahli waris ada yang mahjur ‘alaih.

B.Mayit punya hutang yang bisa menghabiskan tirkah.

C. Ada sebagian ahli waris yang tidak ridho.

Selanjutnya status uang yang di terima adalah halal dan bisa termasuk shodaqoh, atau hibah atau qordu, bergantung pada niatan yang menyumbang dan kebiasaan ( urf) jika kebiasaan nya misalkan sebagai qord maka shahibul musibah ( Aminah)wajib mengembalikan uang dengan nominal yang sama, ketika masyarakat yang menyumbang mendapatkan musibah, hal ini diqiyaskan pada acara walimah al-Hitan atau Nikah.

REFERENSI

بلوغ الأمنية ص ١٢٥

الوجه الثاني : أن اتخادهم الطعام المذكور : أما بدعة مكروهة لاتنفذ به الوصية إن كان لنحو نائحة أو رثاء وعلى ذلك حملوا ما رواه أحمد وابن ماجه فى إسناد صحيح عن جرسر بن عبد الله رضي الله عنه قال : كنا نعد الإجتماع إلى أهل الميت وصننعهم الطعام من النحاية . وإما بدعة مكروهة تنفذ به الوصية عند المالكية , وكذا عند الشافعية على الصحيح إن اتخذ لا لنحو ذلك , بل لإطعام المعزين لتصريحهم بكراهة اجتماع أهل الميت للعزاء . وإما بدعة مندوبة مثاب عليها حيث قصد بذلك إطعام المعزين لدفع ألسنة الجهال وخوضهم فى عرضهم بسبب الترك أخذا من أمره صلى الله عليه وسلم من أحدث فى الصلاة بوضع يده على أنفه , وعللوه بصون عرضه عن خوض الناس فيه لو انصرف على غير هذه الكيفية

Halaman 125, Kitab Bulughul Umniyyah

Pendapat Kedua:

Tradisi menjamu makanan yang disebutkan dapat dibagi menjadi beberapa kategori:

1. Bid’ah yang makruh dan wasiat tidak sah dilakukan dengannya jika bertujuan untuk meratapi jenazah atau melantunkan ratapan duka. Hal ini sesuai dengan apa yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Ibnu Majah dengan sanad yang sahih dari Jarir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu, yang berkata:

“Kami menganggap berkumpul di rumah keluarga jenazah dan membuat makanan sebagai bagian dari meratapi jenazah.”

2. Bid’ah yang makruh namun wasiat tetap sah dilakukan dengannya menurut mazhab Maliki, demikian juga dalam mazhab Syafi’i menurut pendapat yang sahih, jika tujuan pembuatan makanan tersebut bukan untuk meratapi jenazah, tetapi untuk menjamu para pelayat. Hal ini didasarkan pada pernyataan mereka yang menyebutkan makruh hukumnya keluarga jenazah berkumpul untuk menerima pelayat.

3. Bid’ah yang dianjurkan dan mendapatkan pahala, jika tujuan dari tradisi tersebut adalah untuk menjamu para pelayat demi menghindari gunjingan orang-orang jahil atau celaan terhadap keluarga jenazah karena tidak melakukannya. Hal ini diambil dari perintah Rasulullah ﷺ kepada seseorang yang batal salat untuk meletakkan tangannya di hidung (seolah-olah mimisan). Para ulama menjelaskan hikmahnya adalah menjaga kehormatan orang tersebut agar tidak menjadi bahan gunjingan jika ia keluar dari salat tanpa sebab yang jelas.

Dengan demikian, penilaian terhadap tradisi menjamu makanan bagi pelayat sangat bergantung pada niat dan tujuan pelaksanaannya..

الأمر الثالث : أن محل كون الإتخاذ المذكور بدعة محرمة أو مكروهة إذا لم يثبت معارض لحديث عبد الله بن جعفر وجرير بن عبد الله , أما إذا عارضهما ما رواه أبو داود فى سننه والبيهقي فى دلائل النبوة واللفظ له : عن عاصم بن كليب عن رجل من النصار قال : ( خرجنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم فى جنازة فرأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم يوصى الحافر يقول أوسع من قبل رجليه أوسع من قبل رأسه , فلما رجع استقبله داعي امرأته أي زوجة المتوفى فأجاب ونحن معه فجيء بالطعام فوضع يده ثم وضع القوم فاكلوا ونظرنا رسول الله صلى الله عليه وسلم يلوك لقمة فى فيه , ثم قال أجد لحم شاة أخدت بغير إذن أهلها فأرسلت المرأة تقول : يا رسول الله إني أرسلت إلى البقيع وهو موضع يباع فيه الغنام ليشتري لى شاة فلم توجد فأرسلت إلى جار لى قد اشترى شاة أن يرسل بها إليّ بثمانها فلو يوجد , فأرسلت إلى امرأته فأرسلت إلىّ بها فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم أطعمى هذا الطعام الأسرى ) وهم جمع اسير , والغالب أنه فقير قال الطيبي : وهم كفار , وذلك لأنه لم يوجد صاحب الطعام ليستحل منه , وكذا الطعام فى صدد الفساد ولم يكن من اطعامها هؤلاء بدٌ فأمر بإطعامهم , وقد لزمها قيمة الشاة بإتلافها ودفع هذا تصدق عنها , فإن ظاهر هذا الحديث يعارض مفاد الحديثين من كون الإتخاذ المذكور , إما بدعة محرمة وإما بدعة مكروهة كما أجمع عليه علماء المذاهب الأربعة , فينبغى أن يحمل على ما إذا كان الإتخاذ المذكور من التركة , وكان على الميت دين أو كان فى الورثة محجور عليه أو غائب أو من لم يعلم رضاه , وحديث عاصم عن أبيه على ما إذا كان الإتخاذ المذكور من مال شخص معين من الورثة لامن مال الميت قبل قسمة أو منه ولا وارث سوى ذلك المعين , أو من ثلث مال الميت إذا أوصى به لإتخاذ الطعام للقرآء وغيرهم ممن يحضر لأجل التهليل والفقراء ونحوه من المبرات جريا على قاعدة أن إعمال الدليلين بالجمع بينهما ودفع التعارض بينهما أولى من إلغاء أحدهما بالتعارض . فتأمل بإمعان. هذا خلاصة ما تفيده نصوص علماء المذاهب الأربعة

Pembahasan Perkara Ketiga:

Hukum menjadikan (menghidangkan makanan untuk para pelayat) ini dianggap bid’ah yang diharamkan atau dimakruhkan jika tidak terdapat dalil yang menjadi penghalang (pengecualian) dari hadis Abdullah bin Ja’far dan Jarir bin Abdullah. Namun, jika terdapat dalil yang menjadi penghalang, seperti yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunan-nya dan Al-Baihaqi dalam Dala’ilun Nubuwwah, dengan lafaz milik Al-Baihaqi:

Dari ‘Ashim bin Kulaib, dari seorang lelaki Nasrani yang berkata:
“Kami keluar bersama Rasulullah ﷺ dalam mengiringi jenazah. Aku melihat Rasulullah ﷺ memerintahkan penggali kubur agar memperluas galian di bagian kaki dan kepala. Ketika beliau pulang, beliau dihampiri oleh utusan istri almarhum (istri si mayit). Beliau pun memenuhi undangan itu, dan kami ikut bersamanya. Ketika makanan dihidangkan, beliau meletakkan tangannya (untuk makan), kemudian para sahabat juga makan. Namun, kami melihat Rasulullah ﷺ mengunyah sesuap makanan di mulutnya, lalu beliau bersabda, ‘Aku mendapati daging kambing yang diambil tanpa izin pemiliknya.’ Maka wanita tersebut berkata, ‘Wahai Rasulullah, aku telah mengutus orang ke Baqi’, yaitu tempat menjual kambing, untuk membeli kambing, tetapi tidak ditemukan (kambing yang dijual). Maka aku mengirim pesan kepada tetanggaku yang telah membeli kambing agar mengirimkan kambingnya kepadaku dengan harga yang sama, tetapi tidak ditemukan juga. Maka aku mengutus pesan kepada istrinya, lalu ia mengirimkan kambing itu kepadaku.’ Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Berikanlah makanan ini kepada para tawanan (al-asra)’.”

Penjelasan Hadis:

Al-asra adalah bentuk jamak dari asir (tawanan), yang dalam konteks ini kemungkinan besar adalah orang-orang fakir.

Imam At-Tibi mengatakan bahwa mereka adalah orang-orang kafir. Hal ini karena pemilik kambing tidak ditemukan untuk dimintai izin, sedangkan makanan itu berada dalam kondisi akan rusak. Tidak ada pilihan lain selain memberikan makanan itu kepada mereka.

Maka, wanita tersebut bertanggung jawab mengganti harga kambing yang rusak. Rasulullah ﷺ memerintahkan agar makanan tersebut disedekahkan atas nama wanita itu.

Pertentangan dengan Hadis Abdullah bin Ja’far dan Jarir bin Abdullah:
Hadis ini tampaknya bertentangan dengan pemahaman bahwa menjadikan (menghidangkan makanan) untuk para pelayat adalah bid’ah yang diharamkan atau dimakruhkan, sebagaimana yang disepakati oleh para ulama dari empat mazhab.

Penggabungan Dalil:
Hadis ‘Ashim bin Kulaib ini dapat dipahami bahwa penghidangan makanan tersebut dilakukan:

1. Jika berasal dari harta warisan, maka tidak boleh dilakukan jika terdapat utang yang belum lunas, ada ahli waris yang masih kecil, tidak diketahui keridaan semua ahli waris, atau salah satu ahli waris tidak hadir.

2. Jika berasal dari harta pribadi salah seorang ahli waris, maka diperbolehkan, selama tidak berasal dari harta warisan sebelum dibagi atau berasal dari harta peninggalan tanpa adanya wasiat.

3. Jika berasal dari sepertiga harta peninggalan (yang diwasiatkan), diperbolehkan digunakan untuk menjamu orang-orang yang hadir membaca tahlil, para fakir, atau kegiatan amal lainnya.

Kesimpulan:
Penggunaan dua dalil yang tampak bertentangan ini lebih diutamakan dengan cara menggabungkannya (menyesuaikan konteks masing-masing) daripada mengabaikan salah satunya karena dianggap bertentangan. Maka, pahamilah hal ini dengan cermat dan mendalam.

Itulah intisari yang dapat disimpulkan dari berbagai teks para ulama empat mazhab.

إعانة الطالبين ج ٢ ص ١٤٦

وفي حاشية العلامة الجمل على شرح المنهج ومن البدع المنكرة والمكروه فعلها ما يفعله الناس من الوحشة والجمع والأربعين بل كل ذلك حرام إن كان من مال محجور أو من ميت عليه دين أو يترتب عليه ضرر أو نحو ذلك اه

Kitab I’anatut Thalibin, Juz 2, Halaman 146

Dalam Hasyiah Al-‘Allamah Al-Jamal atas Syarh Al-Minhaj:

Di antara bid’ah yang mungkar dan makruh dilakukan adalah apa yang dilakukan oleh masyarakat berupa acara wahsyah (tahlilan hari pertama setelah pemakaman), al-jam’u (tahlilan dengan mengumpulkan orang banyak), dan peringatan hari keempat puluh (arba’in). Bahkan, semua itu hukumnya haram jika berasal dari harta seseorang yang berada dalam status terhalang (seperti anak kecil atau orang yang tidak berwenang), dari harta orang yang meninggal yang masih memiliki utang, menyebabkan mudarat, atau hal serupa lainnya. Selesai. 

إعانة الطالبين الجزء الثانى

وَ يُكْرَهُ لِأَهْلِ الْمَيِّتِ الْجُلُوْسِ لِلتَّعْزِيَةِ وَصَنْعُ طَعَامٍ يُجْمِعُوْنَ النَّاسَ عَلَيْهِ لِمَا رَوَى أَحْمَدُ عَنْ جَرِيْرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ الْبَجَلِي قاَلَ كُنَّا نَعُدُّ الْإِجْتِمَاعَ إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنْعَهُمُ الطَّعَامَ بَعْدَ دَفْنِهِ مِنَ النِّيَاحَةِ.

Kitab I’anatut Thalibin, Juz 2

Dimakruhkan bagi keluarga jenazah untuk duduk-duduk menerima takziah (di satu tempat tertentu) dan membuat makanan untuk mengumpulkan orang-orang di sekitarnya. Hal ini berdasarkan riwayat Ahmad dari Jarir bin Abdullah Al-Bajali yang berkata:

“Kami menganggap berkumpul di rumah keluarga jenazah dan membuat makanan setelah penguburan termasuk bagian dari niyahah (ratapan yang dilarang).”

الفتاوى الكبرى ج ٢ ص ٧

وفي الفتاوى الكبرى فى أوائل الجزء الثانى ما نصه (وَسُئِل) أَعَادَهُ اللهُ عَلَيْنَا مِنْ بَرَكَاتِهِ عَمَّا يُذْبَحُ مِنَ النَّعَمِ وَ يُحْمَلُ مَعَ مِلْحٍ خَلْفَ الْمَيِّتِ إِلَى الْمَقْبَرَةِ وَ يُتَصَدَّقُ بِهِ عَلَى الْحَفَّارِيْنَ فَقَطْ وَ عَمَّا يُعْمَلُ ثَالِثَ مَوْتِهِ مِنْ تَهْيِئَةِ أَكْلٍ أَوْ إِطْعَامِهِ لِلْفُقَرَاءِ وَ غَيْرِهِمْ وَ عَمَّا يُعْمَلُ يَوْمَ السَّابِعِ كَذَلِكَ وَ عَمَّا يُعْمَلُ تَمَامَ الشَّهْرِ مِنَ الْكَعْكِ وَيُدَارُ بِهِ عَلَى بُيُوْتِ النِّسَاءِ التِي حَضَرْنَ الْجَنَازَةَ وَ لَمْ يَقْصُدُوْا بِذَلِكَ إِلاَّ مُقْتَضَى عَادَةِ أَهْلِ الْبِلاَدِ حَتىَّ أَنَّ مَنْ لَمْ يَفْعَلْ ذَلِكَ صَارَ مَمْقُوْتًا عِنْدَ هُمْ حَسِيْسًا لاَ يَعْبَأُوْنَ بِهِ وَ هَلْ إِذَا قَصَدُوْا بِذَلِكَ الْعَادَةَ وَ التَّصَدَّقَ فِي غَيْرِ الْأَخِيْرَةِ أَوْ مُجَرَّدَ الْعَادَةِ مَا ذَا يَكُوْنُ الْحُكْمُ جَوَازًا أَوْ غَيْرَهُ. وَ هَلْ يُوْزَعُ مَا صُرِفَ عَلَى انْصِبَاءِ الْوَرَرَثَةِ عِنْدَ قِسْمَةِ التِّرْكَةِ وَ إِنْ لَمْ يَرْضَ بِهِ بَعْضُهُمْ وَ عَنِ الْمَيِّتِ عِنْدَ أَهْلِ المَيِّتِ إِلَى مُضِيِّ شَهْرٍ مِنْ مَوْتِهِ لِأَنَّ ذَلِكَ عِنْدَهُمْ كَالْفَرْضِ مَا حُكْمُهُ؟ (فَأَجَابَ) بِقَوْلِهِ جَمِيْعُ مَا يُفْعَلُ مِمَّا ذُكِرَ فِي السُّؤَالِ مِنَ الْبِدَعِ الْمَذْمُوْمَةِ لَكِنْ لاَ حُرْمَةَ فِيْهِ إِلاَّ إِنْ فُعِلَ شَيْءٌ مِنْهُ لِنَحْوِ نَائِحَةٍ أَوْرَثَاءٍ وَمَنْ قَصَدَ بِفِعْلِ شَيْءٍ مِنْهُ دَفَعَ أَلْسِنَةِ الْجُهَّالِ وَ حَوْضِهِمْ فِي عَرْضِهِ بِسَبَبِ التَّرْكِ. يرْجَى أَنْ يَكْتَبَ لَهُ ثَوَابُ ذَلِكَ أَخْذًا مَنْ أَمْرِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ مَنْ أَحْدَثَ فِي الصَّلاَةِ بِوَضْعِ يَدِهِ عَلَى أَنْفِهِ. وَ عَلَّلُوْا بِصَوْنِ عَرْضِهِ عَنْ حَوْضِ النَّاسِ فِيْهِ عَلَى غَيْرِ هَذِهِ الْكَيْفِيَةِ وَلاَ يَجُوْزُ أَنْ يُفْعَلَ شَيْءٌ مِنْ ذَلِكَ مِنَ التِّرْكَةِ حَيْثُ كَانَ فِيْهَا مَحْجُوْرٌ عَلَيْهِ مُطْلَقًا أَوْ كَانُوْا كُلَّهُمْ رُشَدَاءَ لَكِنْ لَمْ يَرْضَ بَعْضُهُمْ.

“Imam Ibnu Hajar ditanya -semoga Allah mengembalikan barakahnya kepada kita-, bagaimanakah tentang hewan yang disembelih dan dimasak kemudian dibawa di belakang mayit menuju kuburan untuk disedekahkan ke para penggali kubur saja, dan tentang yang dilakukan pada hari ketiga kematian dalam bentuk penyediaan makanan untuk para fakir dan yang lain, dan demikian halnya yang dilakukan pada hari ketujuh, serta yang dilakukan pada genap sebulan dengan pemberian roti yang diedarkan ke rumah-rumah wanita yang menghadiri prosesi ta’ziyah jenazah. Mereka melakukan semua itu tujuannya hanya sekedar melaksanakan kebiasaan penduduk setempat sehingga bagi yang tidak mau melakukannya akan dibenci oleh mereka dan ia akan merasa diacuhkan. Kalau mereka melaksanakan adat tersebut dan bersedekah tidak bertujuan (pahala) akhirat, maka bagaimana hukumnya, boleh atau tidak? Apakah harta yang telah ditasarufkan, atas keinginan ahli waris itu masih ikut dibagi/dihitung dalam pembagian tirkah, walaupun sebagian ahli waris yang lain tidak senang pentasarufan sebagian tirkah bertujuan sebagai sedekah bagi si mayit selama satu bulan berjalan dari kematiannya. Sebab, tradisi demikian, menurut anggapan masyarakat harus dilaksanakan seperti “wajib”; bagaimana hukumnya? Beliau menjawab: semua yang dilakukan sebagaimana yang ditanyakan di atas termasuk bid’ah yang tercela tetapi tidak sampai haram (makruh); kecuali jika prosesi penghormatan pada mayit di rumah ahli warisnya itu bertujuan untuk “meratapi” atau memuji secara berlebihan (ratsa’) pada keluarga mayit. Dalam melakukan prosesi tersebut ia harus bertujuan menangkal “ocehan” orang-orang bodoh, agar mereka tidak menodai kehormatan dirinya, gara-gara ia tidak mau melakukan prosesi penghormatan di atas. Dengan sikap demikian, diharapkan ia mendapatkan pahala setara dengan realisasi perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. terhadap seseorang yang batal (karena hadats) shalatnya untuk menutup hidung dengan tangan (seakan-akan hidungnya keluar darah). Ini demi untuk menjaga kehormatan dirinya, jika ia berbuat di luar kebiasaan masyarakat. Dan tidak boleh diambil/dikurangi dari tirkah seperti kasus di atas. Sebab, tirkah yang belum dibagikan mutlak harus dijaga utuh, atau ahli warisnya sudah pandai-pandai, tetapi sebagian dari mereka tidak rela (jika tirkah itu digunakan sebelum dibagi kepada ahli waris)”.


تحفة المحتاج في شرح المنهاج ج ٣ ص ٢٠٨
(و) يسن ( لجيران أهله ) ولو كانوا بغير بلده إذ العبرة ببلدهم ولأقاربه الأباعد ولو ببلد آخر ( تهيئة طعام يشبعهم يومهم وليلتهم ) للخبر الصحيح { اصنعوا لآل جعفر طعاما فقد جاءهم ما يشغلهم } ( ويلح عليهم في الأكل ) ندبا لأنهم قد يتركونه حياء أو لفرط جزع ولا بأس بالقسم إن علم أنهم يبرونه ( ويحرم تهيئته للنائحات ) أو لنائحة واحدة وأريد بها هنا ما يشمل النادبة ونحوها ( والله أعلم ) لأنه إعانة على معصية وما اعتيد من جعل أهل الميت طعاما ليدعوا الناس عليه بدعة مكروهة كإجابتهم لذلك لما صح عن جرير كنا نعد الاجتماع إلى أهل الميت وصنعهم الطعام بعد دفنه من النياحة ووجه عده من النياحة ما فيه من شدة الاهتمام بأمر الحزن ومن ثم كره لاجتماع أهل الميت ليقصدوا بالعزاء قال الأئمة بل ينبغي أن ينصرفوا في حوائجهم فمن صادفهم عزاهم وأخذ جمع من هذا ومن بطلان الوصية بالمكروه وبطلانها بإطعام المعزين لكراهته لأنه متضمن للجلوس للتعزية وزيادة وبه صرح في الأنوار نعم إن فعل لأهل الميت مع العلم بأنهم يطعمون من حضرهم لم يكره وفيه نظر ودعوى ذلك التضمن ممنوعة ومن ثم خالف ذلك بعضهم فأفتى بصحة الوصية بإطعام المعزين وأنه ينفذ من الثلث وبالغ فنقله عن الأئمة وعليه فالتقييد باليوم والليلة في كلامهم لعله للأفضل فيسن فعله لهم أطعموا من حضرهم من المعزين أم لا أمر ما داموا مجتمعين ومشغولين لا لشدة الاهتمام بأمر الحزن ثم محل الخلاف كما هو واضح في غير ما اعتيد الآن أن أهل الميت يعمل لهم مثل ما عملوه لغيرهم فإن هذا حينئذ يجري فيه الخلاف الآتي في النقوط فمن عليه شيء لهم يفعله وجوبا أو ندبا وحينئذ لا تتأتى هنا كراهته ولا يحل فعل ما للنائحات أو المعزين على الأول من التركة إلا إذا لم يكن عليه دين وليس في الورثة محجور ولا غائب وإلا أثموا وضمنوا
قوله ( يعمل لهم مثل ما عملوه الخ ) أي يعمل غير أهل الميت لهم من الطعام مثل ما عمل أهل الميت له في مصيبته على قصد أن ذلك الغير يعمل لهم مثله في مصيبتهم فيكون كالدين عليه كردي قوله ( الخلاف الآتي ) أي في فصل الإفراض ( في النقوط ) من أنه هبة أو قرض والنقوط هو ما يجمع من المتاع وغيره في الأفراح لصاحب الفرح كردي .والله أعلم بالصواب

Dan disunnatkan bagi tetangga-tetangga ahlinya mayit, walaupun adanya bukan didaerahnya, karena ungkapan yang dimaksud bibaladihim adalah kerabat-kerabatnya mayit yang jauh walaupun didaerah yang lain,( disunnatkan membuat/menyiapkan makanan yang dapat mengenyangkan mereka pada siang hari dan malamnya.Karena adanya hadits yang shahih ;” Buatkalah makanan untuk keluaga Ja’far ,maka sungguh dia dalam keadaan susah karena kematian yang menyibukkan mereka.“ ( dan sunnah dia menganjurkan makan pada mereka) karena terkadang mereka tidak makan karena merasa malu, atau karena sangat cemas, dan tidak apa-apa dengan bersumpah jika dia mengetahui jika hal-hal itu dapat membuat mereka bahagia ( Dan haram menyediakannya bagi orang-orang yang meratapinya ) atau bagi satu orang yang neratapi. Inilah yang saya maksud apa yang termasuk ( mencakup) wanita yang sedang berduka dan sejenisnya ( Dan Allah Maha mengetahui ) karena sesungguhnya dia termasuk membantu kepada perbuatan maksiat dan termasuk apa yang menjadi kebiasaan dari keluarga ahli mayit membuat makanan untuk mengundang orang atas tujuan mayit itu adalah bid’ah yang dibenci begitu juga seperti orang yang menghadirinya untuk kepentingan tersebut, karena adanya hadits shahih dari Jabir:” Kami menganggap perkumpulan dirumah keluarga mayit membuatkan makanan ( yang dilakukan oleh keluarga mayit) setelah penguburan adalah termasuk pada kategori meratapi mayit .Alasan dihitung masuk pada kategori meratapi karena apa yang ada didalamnya adalah karena adanya rasa duka yang mendalam, dan dari itulah maka dimakruhkan perkumpulan dirumah keluarga orang yang meninggal karena maksud untuk memuliakan ( belasunggawa)

Para imam mengatakan, sepantasnya mereka pergi ( bubar ) untuk memenuhi keperluan mereka. hendaknya mereka menghibur mereka, dan beliau mengambil bentuk jamak dari hal ini, dan diantara batalnya wasiat dengan yang tidak disukai adalah memberi makan orang yang berduka, karena kemakruhannya ia termasuk duduk berbela sungkawa dan lain-lain, dan dinyatakan di dalamnya dalam Al-Anwar : Ya, jika dilakukan untuk keluarga almarhum dengan mengetahui bahwa mereka memberi makan kepada orang-orang yang ada di hadapannya, maka hal itu tidak dibenci dan patut dipertimbangkan.Adapun ajakan penyertaan itu adalah dilarang , dan dari itu sebagian ulama berbeda pandang (ada yang tidak setuju) , maka sebagian ulama mengeluarkan fatwa tentang keabsahan wasiat dengan memberi makan kepada orang yang yang melayat , dan dapat melestarikan memenuhi mulai dari ⅓. Oleh karenanya dia mengutip dari para imam , dan wajib bertaqlid pada perkataan ulama disiang hari dan malamnya karena semata mengharap hal yang lebih utama, maka disunnahkan bagi mereka memberi makan kepada orang-orang yang melayat atau tidak, itu masalah selama mereka sibuk, bukan karena kuat kepentingan terhadap perkara duka. Maka adapun yang menjadi pokok perselisihan itu, adalah sebagaimana yang telah jelas selain yang lazim sekarang ini, bahwa keluarga orang yang meninggal itu hendaknya berbuat terhadap mereka sama seperti apa yang mereka perbuat terhadap orang yang tertimpa musibah ( kematian). Dalam hal ini timbul perselisihan dalam Nuqoat, barangsiapa yang berhutang pada salah satu darinya, maka ia wajib untuk dilakukan ( mengembalikan) atau sebagai sunnah, dan disinilah hal yang tidak dimakruhkan ( dibenci) , dan tidak boleh berbuat apa-apa kepada orang orang yang meratapi dan orang yang melayat menurut pendapat yang pertama yaitu harta yang bersal dari harta tirkat, kecuali ia tidak mempunyai hutang dan tidak ada ahli waris yang terhalang atau ahli warisnya sedang tidak ada (Ghaib) maka jika simayit punya hutang dan ahli warisnya maka apa yang dilakukan oleh shohibul musibah adalah berdosa dan ia bertanggung jawab ( menggantinya.).

Maksud perkataan Mushonnif (Dia / shohibul musibah akan berbuat kepada mereka ( orang yang melayat )sama seperti apa yang telah mereka ( orang yang melayat ) perbuat, berbuat kepada shohibul musibah dsb.) maksudnya selain keluarga orang yang meninggal itu akan menafkahi mereka dengan makanan yang sama dengan apa yang keluarga orang yang meninggal itu telah berbuat kepadanya pada waktu ia mengalami musibah, dengan maksud agar hal itu orang lain akan melakukan hal yang sama kepada mereka ketika mereka mengalami musibah, maka hal itu sama seperti hutang yang harus dibayar olehnya, seperti dalam jawaban terhadap perkataannya (perselisihan sebagimana berikut), yaitu pada bab tentang berkenaan (dalam Nuqūt (artinya bahwa itu adalah hadiah atau pinjaman, dan adapun yang dimaksud ” Nuqūt ” adalah apa yang dikumpulkan dari dari harta ( barang-barang dunia )dan hal-hal lain di pesta pernikahan untuk pemilik pesta, seperti mengembalikan apa yang ia sumbangkan ).Wallahu A’lam


إعانة الطالبين ج ٣ ص ٤٨

وما جرت به العادة في زماننا من دفع النقوط في الأفراح لصاحب الفرح في يده أو يد مأذونه هل يكون هبة أو قرضا ؟ أطلق الثاني جمع وجرى على الأول بعضهم قال ولا أثر للعرف فيه لاضطرابه ما لم يقل خذه مثلا وينوي القرض ويصدق في نية ذلك هو ووارثه وعلى هذا يحمل إطلاق من قال بالثاني وجمع بعضهم بينهما بحمل الأول على ما إذا لم يعتد الرجوع ويختلف باختلاف الأشخاص والمقدار والبلاد والثاني على ما إذا اعتيد وحيث علم اختلاف تعين ما ذكر

Dan apa yang telah mentradisi di dizaman kita dengan memberikan ” NUQŪTH ” dalam acara pernikahan untuk shohibul bait ditangannya atau tangan yang diberikan idzin apakah itu merupakan hadiah ataukah pinjaman? Orang memuthlakkan Yang kedua ( Pinjaman Utang ) dengan cara menggabungkan ( antara pinjaman dan hibah), dan sebagian dari mereka berjalan pada yang pertama (yaitu hibah) sebagian mereka mengatakan, “Tidak ada pengaruh bagi adat ( kebiasaan) di dalamnya karena kebingungannya, selama dia tidak mengatakan ” ‘Ambillah” misalnya,’ dan dia bermaksud dalam hal memberikan nuquth menjadikan suatu pinjaman utang , Untuk dia ( shohibul Farhi ) dan juga ahli warisnya telah membuktikan niatannya. Berdasarkan hal tersebut, dia menganggap yang kedua (Pinjaman hutang ) dan ada pula sebagian yang menggabungkannya( keduanya) dengan menganggap yang pertama ( sebagai hibah ) selama dia tidak biasa mengkembalikannya, dan itu berbeda-beda tergantung pada perorangan, dan jumlah ukuran, dan negaranya, dan sebagian dari mereka menganggap yang kedua (sebagai pinjaman hutang) sebagai kebiasaan dan sekiranya diketahui perbedaannya, apa yang disebutkan itu ditentukan ( ditentukan dengan catatan Nama ).

عبارة الإيعاب مع العباب فرع النقوط المعتاد فيما بين الناس في الأفراح كالختان والنكاح وهو أن يجمع صاحب الفرح الناس لأكل أو نحوه ثم يقوم إنسان فيعطيه كل من الحاضرين ما يليق به فإذا استوعبهم أعطى ذلك لذي الفرح الذي حضر الناس لأجل إعطائه إما لكونه سبق له مثله وإما لقصد ابتداء معروف معه ليكافئه بمثله إذا وقع له نظيره أفتى النجم البالسي والأزرق اليمني أنه أي بأنه كالقرض الضمني وحينئذ يطلبه هو أي المعطي أو وارثه وأفتى السراج البلقيني القائل في حقه جماعة من الأئمة أنه بلغ درجة الاجتهاد بخلافه فقال لا رجوع به وهو الذي يتجه ترجيحه لعدم مسوغ للرجوع واعتياد المجازاة به وطلبه ممن لم يجاز به لا يقتضي رجوعا عند عدم الصيغة التي تصيره قرضا اهـ

Ungkapan “ie’yab” beserta “al-ibab” merupakan salah satu cabang dari kata benda yang lazim ( NUQŪTH) dikalangan orang-orang dalam acara perkawinan, misalnya khitanan dan perkawinan, yaitu ketika pesta yang dirayakannya maka shohibul bait mengumpulkan pertemuan orang-orang untuk makan atau sejenisnya, maka seseorang ( mausia ) akan tegak ( melaksanakan) dan masing-masing menghadiri memberinya apa yang cocok untuknya, dan jika dia mengakomodasi mereka, dia memberikannya kepada pihak perayaan yang kepadanya orang-orang hadir untuk memberikannya, baik karena dia sebelumnya memiliki sesuatu seperti itu atau Untuk tujuan mengawali bantuan dengannya untuk menghadiahinya dengan yang serupa, jika rekannya menimpanya ( mengadakan acara ),
An-Najmul al-Balisiy dan Al-Azraqul Yamaniy mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa itu seperti pinjaman utang yang sifatnya menabung, dan kemudian dia, yaitu. pemberi ( orang yang menyubang) atau ahli warisnya, memintanya ( menuntuknya kembali ). Al-Sarraj Al-Balqini mengatakan ; Bahwa sekelompok para imam menentangnya, yang mengatakan bahwa dia telah mencapai tingkat ijtihad, dengan berbeda pandang , maka berkata, “Tidak ada jalan untuk mengembalikan ( Wajib ) didalamnya ,” Dialah yang preferensinya diarahkan pada ketidak benaran untuk mengambalikanya kembali dan kebiasaan untuk diberi balasan dan menuntutnya kembali kepada orang yang tidak memberi balasan ( tidak mengembalikan ), Oleh karenanya tidak memerlukan pengembalian ketika tidak ada shighat/ ucapan yang menjadikan pinjaman utang.

Dari paparan diatas dapat dapat difahami bahwa
Ada dua sudut pandang Ulama‘ Fiqih terkait masalah tersebut

1.Hibah (pemberian secara cuma-cuma). Meskipun adat setempat mengembalikan apa yang telah diberikan saat walimah sama sekali tidak mempengaruhi status hibah menjadi Qardhu (hutang). Sehingga cara pandang pendapat ini setara dengan definisi hibah sendiri, yakni memberikan sesuatu secara cuma-cuma (tanpa unsur timbal balik).

2.Qardhu (hutang). Sudut pandang Ulama yang menstatuskan hadiah pernikahan seperti amplop uang, barang berharga dan semacamnya sebagai Qardhu adalah kebiasaan mengembalikan apa yang telah diberikan saat acara walimah. Sehingga pengembalian tersebut layak disebut qardhu (hutang).

kedua sudut pandang tersebut telah dijami’kan (dirumuskan detail) oleh para Ulama bahwa bisa dikatakan :

a) hibah jika tidak ada unsur pengembalian, ataupun dikembalikan dengan catatan tidak sama seperti saat dia menerima. Semisal dia dikado 20,000Ribu Rupiah  maka dia akan mengembalikan 30, 000 Ribu Rupiah.

b) Qardhu (hutang) ada adat pengembalian dan kadar pengembaliannya sama, yakni sama-sama 20, 000 Ribu Rupiah.

Namun menurut Imam Ibnu Hajar qoul awjah dalam hal ini di anggap hibbah bukan qordhu meski ada tradisi mengembalikan (ianah).

Catatan :

Status hadiah pernikahan seperti amplop uang, barang berharga dan semacamnya saat acara pernikahan lebih baik distatuskan hibah atau Qardhu tergantung masyarakat setempat adatnya seperti apa dan bagaimana cara pengembaliannya.

Lalu bagaimana jika tidak mengengbalikan? Maka jawabannya adalah berdosa, karena menurut Syeikh Ibarohim Albajuri hadiah acara pernikahan atau semacamnya wajib di kembalikan sebagaimana hutang walaupun tidak ada tradisi mengembalikan karena hal ini sangat membingungkan dan banyak orang yang memberikan hadiah dan sumbangan acara, ingin meminta kembali tapi malu untuk menuntutnya (bajuri). Berbeda dengan pandangan Imam Ibnu Hajar yang menekankan wajibnya pengembalian jika terdapat indikasi kuat atau petunjuk seperti tradisi bahwa pemberi tidak akan memberi kecuali pasti menginginkan balasan (fatawal fiqhiyyah) .
Catatan :
Pengembalian, dalam hal ini ada perbedaan pendapat antara Ulama yang akan di jelaskan berikut :
a. Mengacu pada urf atau tradisi yang berlaku, jika biasanya berlaku meminta pengembalian maka boleh menuntut pengembalian dan jika tidak ada kebiasaan yang berlaku maka tidak boleh menuntut (hasyiyah syarwani) .
b. Dalam meminta pengembalian terdapat pentafsilan yaitu:

  • Pertama ketika pemberian di terima langsung oleh pemilik acara atau panitia (orang yang mendapatkan izin) dengan memenuhi 3 syarat dalam hal ini (aljamal). Yaitu :

1). Ketika memberikan barang atau uang di sertai dengan ucapan  seperti خُذْه (ambillah).

2). Terdapat niat untuk di kembalikan.

3.) Kebiasaan di masyarakat dalam hal pengembalian harta tersebut.

  • Kedua ketika tidak di berikan secara langsung melainkan di titipkan ke tangan perias acara atau kotak uang khusus untuk menyumbang maka tidak bisa meminta pengembalian kecuali dengan 2 syarat yaitu:
  1. Niat meminta pengembalian dan
  2. Terdapat syarat pengembalian.

Referensi

ابن حجر الهيتمي ,الفتاوى الفقهية الكبرى ج ٣ ص ٣٧٣ 

(وَسُئِلَ)

نَفَعَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى بِهِ عَمَّا اُعْتِيدَ مِنْ إهْدَاءِ الطَّعَامِ وَالشَّرَابِ لِلثَّوَابِ بِأَنْ يُمْلَأَ ظَرْفَ الْهَدِيَّة وَيُرَدَّ وَإِنْ لَمْ يَفْعَلْ ذَلِكَ وَقَعَ الْعَتَبُ وَالذَّمُّ هَلْ يَحِلُّ تَنَاوُلُهُ أَوْ لَا؟
(فَأَجَابَ) بِقَوْلِهِ: مَذْهَبُنَا أَنَّ الْهِبَةَ بِقَصْدِ الثَّوَابِ يُوجِبُهُ، وَكَذَلِكَ هِبَةُ الْأَدْنَى لِلْأَعْلَى، وَإِنْ اُعْتِيدَ أَنَّهَا لَا تَكُونُ إلَّا لِطَلَبِ الْمُقَابَلَةِ وَالْهَدِيَّةِ كَالْهِبَةِ فِي ذَلِكَ، وَحِينَئِذٍ فَلَا عَمَلَ بِتِلْكَ الْعَادَةِ.
هَذَا بِالنِّسْبَةِ لِلْأَحْكَامِ الظَّاهِرَةِ، أَمَّا بِالنِّسْبَةِ لِمَنْ عَلِمَ أَوْ غَلَبَ عَلَى ظَنِّهِ مِنْ الْمُهْدِي أَوْ الْوَاهِبِ بِقَرَائِنِ أَحْوَالِهِ أَنَّهُ لَمْ يُهْدِ أَوْ يَهَبْ إلَّا لِطَلَبِ مُقَابِلٍ، فَلَا يَحِلُّ لَهُ أَكْلُ شَيْءٍ مِنْ هَدِيَّتِهِ أَوْ هِبَتِهِ، إلَّا إنْ قَابَلَهُ بِمَا يَعْلَمُ، أَوْ يَظُنُّ أَنَّهُ رَضِيَ بِهِ فِي مُقَابَلَةِ مَا أَعْطَاهُ، وَقَدْ صَرَّحَ الْأَئِمَّةُ فِي الْمُهْدِي حَيَاءً، وَلَوْلَا الْحَيَاءُ لَمَا أَهْدَى أَوْ خَوْفَ الْمَذَمَّةِ وَلَوْلَا خَوْفُهَا لَمَا أَهْدَى، بِأَنَّهُ يَحْرُمُ أَكْلُ هَدِيَّتِهِ لِأَنَّهُ لَمْ يَسْمَح بِهَا فِي الْحَقِيقَةِ، وَكُلُّ مَا قَامَتْ الْقَرِينَةُ الظَّاهِرَةُ عَلَى أَنَّ مَالِكَهُ لَا يَسْمَحُ بِهِ لَا يَحِلُّ تَنَاوُلُهُ وَقَدْ ذَكَرُوا فِي بَابِ الضِّيَافَةِ مِنْ ذَلِكَ فُرُوعًا لَا تَخْفَى

الباجوري ج ٢ ص ١٣٩


النقوط المعتاد فى الأفراح يجب رده كالدين ، ولدافعه المطالبه به ، ولا أثر للعرف إذا جرى بعدم الرد ، لأنه مضطرب فلا اعتبار به ، فكم من شخص يدفع النقوط ويريد رده إليه ويستحي به أن يطالب به 

الجمل، حاشية الجمل على شرح المنهج = فتوحات الوهاب بتوضيح شرح منهج الطلاب ج ٣ ص ٢٥٦


وَاَلَّذِي تَحَرَّرَ مِنْ هَذَا كُلِّهِ أَنَّهُ لَا رُجُوعَ فِي النُّقُوطِ الْمُعْتَادِ فِي الْأَفْرَاحِ أَيْ لَا يَرْجِعُ بِهِ مَالِكُهُ إذَا وَضَعَهُ فِي يَدِ صَاحِبِ الْفَرَحِ أَوْ فِي يَدِ مَأْذُونٍ إلَّا بِثَلَاثَةِ شُرُوطٍ أَنْ يَأْتِيَ بِلَفْظٍ كَخُذْهُ وَأَنْ يَنْوِيَ الرُّجُوعَ وَيَصْدُقَ هُوَ وَوَارِثُهُ فِيهَا وَأَنْ يُعْتَادَ الرُّجُوعُ فِيهِ وَإِذَا وَضَعَهُ فِي يَدِ الْمُزَيِّنِ وَنَحْوِهِ أَوْ فِي الطَّاسَةِ الْمَعْرُوفَةِ لَا يَرْجِعُ إلَّا بِشَرْطَيْنِ نِيَّةِ الرُّجُوعِ وَشَرْطِ الرُّجُوعِ اهـ. شَيْخُنَا ح ف (قَوْلُهُ: كَالْإِنْفَاقِ) 

إعانة الطالبين الجزء الثانى

وَ يُكْرَهُ لِأَهْلِ الْمَيِّتِ الْجُلُوْسِ لِلتَّعْزِيَةِ وَصَنْعُ طَعَامٍ يُجْمِعُوْنَ النَّاسَ عَلَيْهِ لِمَا رَوَى أَحْمَدُ عَنْ جَرِيْرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ الْبَجَلِي قاَلَ كُنَّا نَعُدُّ الْإِجْتِمَاعَ إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنْعَهُمُ الطَّعَامَ بَعْدَ دَفْنِهِ مِنَ النِّيَاحَةِ.

“Dan makruh [dibenci] hukumnya bagi keluarga mayit ikut duduk bersama orang-orang yang sengaja diundang untuk berta’ziyah dan menghidangkan makanan bagi mereka, sesuai dengan riwayat Ahmad dari Jarir bin Abdullah al-Bajali, yang mengemukakan: “Kami menganggap berkumpul di (rumah keluarga) mayit dengan menyuguhi makanan pada mereka, setelah si mayit dikubur, itu sebagai bagian ratapan (yang dilarang)”.

وفي الفتاوى الكبرى فى أوائل الجزء الثانى ما نصه (وَسُئِل) أَعَادَهُ اللهُ عَلَيْنَا مِنْ بَرَكَاتِهِ عَمَّا يُذْبَحُ مِنَ النَّعَمِ وَ يُحْمَلُ مَعَ مِلْحٍ خَلْفَ الْمَيِّتِ إِلَى الْمَقْبَرَةِ وَ يُتَصَدَّقُ بِهِ عَلَى الْحَفَّارِيْنَ فَقَطْ وَ عَمَّا يُعْمَلُ ثَالِثَ مَوْتِهِ مِنْ تَهْيِئَةِ أَكْلٍ أَوْ إِطْعَامِهِ لِلْفُقَرَاءِ وَ غَيْرِهِمْ وَ عَمَّا يُعْمَلُ يَوْمَ السَّابِعِ كَذَلِكَ وَ عَمَّا يُعْمَلُ تَمَامَ الشَّهْرِ مِنَ الْكَعْكِ وَيُدَارُ بِهِ عَلَى بُيُوْتِ النِّسَاءِ التِي حَضَرْنَ الْجَنَازَةَ وَ لَمْ يَقْصُدُوْا بِذَلِكَ إِلاَّ مُقْتَضَى عَادَةِ أَهْلِ الْبِلاَدِ حَتىَّ أَنَّ مَنْ لَمْ يَفْعَلْ ذَلِكَ صَارَ مَمْقُوْتًا عِنْدَ هُمْ حَسِيْسًا لاَ يَعْبَأُوْنَ بِهِ وَ هَلْ إِذَا قَصَدُوْا بِذَلِكَ الْعَادَةَ وَ التَّصَدَّقَ فِي غَيْرِ الْأَخِيْرَةِ أَوْ مُجَرَّدَ الْعَادَةِ مَا ذَا يَكُوْنُ الْحُكْمُ جَوَازًا أَوْ غَيْرَهُ. وَ هَلْ يُوْزَعُ مَا صُرِفَ عَلَى انْصِبَاءِ الْوَرَرَثَةِ عِنْدَ قِسْمَةِ التِّرْكَةِ وَ إِنْ لَمْ يَرْضَ بِهِ بَعْضُهُمْ وَ عَنِ الْمَيِّتِ عِنْدَ أَهْلِ المَيِّتِ إِلَى مُضِيِّ شَهْرٍ مِنْ مَوْتِهِ لِأَنَّ ذَلِكَ عِنْدَهُمْ كَالْفَرْضِ مَا حُكْمُهُ؟ (فَأَجَابَ) بِقَوْلِهِ جَمِيْعُ مَا يُفْعَلُ مِمَّا ذُكِرَ فِي السُّؤَالِ مِنَ الْبِدَعِ الْمَذْمُوْمَةِ لَكِنْ لاَ حُرْمَةَ فِيْهِ إِلاَّ إِنْ فُعِلَ شَيْءٌ مِنْهُ لِنَحْوِ نَائِحَةٍ أَوْرَثَاءٍ وَمَنْ قَصَدَ بِفِعْلِ شَيْءٍ مِنْهُ دَفَعَ أَلْسِنَةِ الْجُهَّالِ وَ حَوْضِهِمْ فِي عَرْضِهِ بِسَبَبِ التَّرْكِ. يرْجَى أَنْ يَكْتَبَ لَهُ ثَوَابُ ذَلِكَ أَخْذًا مَنْ أَمْرِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ مَنْ أَحْدَثَ فِي الصَّلاَةِ بِوَضْعِ يَدِهِ عَلَى أَنْفِهِ. وَ عَلَّلُوْا بِصَوْنِ عَرْضِهِ عَنْ حَوْضِ النَّاسِ فِيْهِ عَلَى غَيْرِ هَذِهِ الْكَيْفِيَةِ وَلاَ يَجُوْزُ أَنْ يُفْعَلَ شَيْءٌ مِنْ ذَلِكَ مِنَ التِّرْكَةِ حَيْثُ كَانَ فِيْهَا مَحْجُوْرٌ عَلَيْهِ مُطْلَقًا أَوْ كَانُوْا كُلَّهُمْ رُشَدَاءَ لَكِنْ لَمْ يَرْضَ بَعْضُهُمْ.

“Imam Ibnu Hajar ditanya -semoga Allah mengembalikan barakahnya kepada kita-, bagaimanakah tentang hewan yang disembelih dan dimasak kemudian dibawa di belakang mayit menuju kuburan untuk disedekahkan ke para penggali kubur saja, dan tentang yang dilakukan pada hari ketiga kematian dalam bentuk penyediaan makanan untuk para fakir dan yang lain, dan demikian halnya yang dilakukan pada hari ketujuh, serta yang dilakukan pada genap sebulan dengan pemberian roti yang diedarkan ke rumah-rumah wanita yang menghadiri prosesi ta’ziyah jenazah. Mereka melakukan semua itu tujuannya hanya sekedar melaksanakan kebiasaan penduduk setempat sehingga bagi yang tidak mau melakukannya akan dibenci oleh mereka dan ia akan merasa diacuhkan. Kalau mereka melaksanakan adat tersebut dan bersedekah tidak bertujuan (pahala) akhirat, maka bagaimana hukumnya, boleh atau tidak? Apakah harta yang telah ditasarufkan, atas keinginan ahli waris itu masih ikut dibagi/dihitung dalam pembagian tirkah, walaupun sebagian ahli waris yang lain tidak senang pentasarufan sebagian tirkah bertujuan sebagai sedekah bagi si mayit selama satu bulan berjalan dari kematiannya. Sebab, tradisi demikian, menurut anggapan masyarakat harus dilaksanakan seperti “wajib”; bagaimana hukumnya? Beliau menjawab: semua yang dilakukan sebagaimana yang ditanyakan di atas termasuk bid’ah yang tercela tetapi tidak sampai haram (makruh); kecuali jika prosesi penghormatan pada mayit di rumah ahli warisnya itu bertujuan untuk “meratapi” atau memuji secara berlebihan (ratsa’) pada keluarga mayit. Dalam melakukan prosesi tersebut ia harus bertujuan menangkal “ocehan” orang-orang bodoh, agar mereka tidak menodai kehormatan dirinya, gara-gara ia tidak mau melakukan prosesi penghormatan di atas. Dengan sikap demikian, diharapkan ia mendapatkan pahala setara dengan realisasi perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. terhadap seseorang yang batal (karena hadats) shalatnya untuk menutup hidung dengan tangan (seakan-akan hidungnya keluar darah). Ini demi untuk menjaga kehormatan dirinya, jika ia berbuat di luar kebiasaan masyarakat. Dan tidak boleh diambil/dikurangi dari tirkah seperti kasus di atas. Sebab, tirkah yang belum dibagikan mutlak harus dijaga utuh, atau ahli warisnya sudah pandai-pandai, tetapi sebagian dari mereka tidak rela (jika tirkah itu digunakan sebelum dibagi kepada ahli waris)”.


والله أعلم بالصواب

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *