
HUKUM SHAHIBUL MUSHIBAH MENOLAK PEMBERIAN ORANG LAIN
Assalamualaikum
Deskripsi masalah.
Dalam waqiiyah dimasyarat terkadang kita menemukan seseorang yang dalam kondisi tertimpa musibah baik itu berupa kematian baik ahlinya, orang tuanya, keluarganya saudaranya , anaknya ataupun musibah yang lainnya, dan terkadang kita juga menemukan seseorang yang dalam kondisi sedang memperoses membuat rumah bangunan dll.
Dalam kondisi sebagaimana tersebut sebagian adat dimasyarakat mereka membantu dengan pemberian berupa uang, makanan dll. Namun sebagian masyarakat menolak pemberian tersebut, baik karena merasa berkecukupan atau karena merasa zuhud atau merasa malu dll.
Terkait dengan kasus tersebut secara waqiiyah dimasyarat maka:
Bagaimana hukumnya orang yang tertimpa musibah berupa kematian yang mana shahibul musibah menolak pemberian orang lain sebagaimana deskripsi.?
Waalaikum salam.
Jawaban.
Sebelum merinci hukum menolak pemberian orang lain maka penting kita memahami sebuah hadits Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu sebagai berikut:
تهادوا تحابوا
Artinya: “Salinglah memberi hadiah, maka kalian akan saling mencintai.” (HR al-Bukhari).
Saling memberi hadiah hukumnya sunnah dan saling memberi dapat difahami dengan arti ada pihak pemberi dan ada pula penerima, memberi pada gilirannya bisa menjadi penerima dan sebaliknya. Atau pihak penerima akan memberikan hadiahnya kepada pihak lain lagi yang sebelumnya tidak memberinya hadiah, oleh karena bisa disebut pemberi jika ada penerima dari penjelasan diatas dapat dirinci hukumnya menolak pemberian orang lain sebagaimana berikut;
🅰️.Tidak boleh ( dilarang atau makruh/dibenci), menolak pemberian orang lain dan sunnah menerimanya dengan alasan menolak bisa jadi penyebab ketersinggungan orang yang memberi, karena bagaimanapun Islam menganjurkan untuk berbagi dengan memberikan sebagian dari apa yang dimiliki seseorang kepada orang lain. Bentuk pemberian bisa bermacam-macam, misalnya uang, barang , makanan dan lainnya, maka orang yang menolak pemberian karena gengsi atau ingin menunjukkan kezuhudannya hukumnya tidak boleh, bahkan bisa jadi berdosa jika sampai menimbulkan ketersinggungan dll.Oleh karenanya bagaimana sebenarnya Islam mengatur soal memberi dan menerima pemberian orang lain? Monggo simak hadits berikut:
Ketika Ja’far bin Abi Tholib meninggal dunia. Maka ada hadits dari Nabi Muhammad SAW :
اصنعوا لآل جعفر طعاما فاءنه اصابهم ما يشغلهم
Artinya:Buatkanlah makanan oleh kalian ,untuk keluarganya Ja’far bin Abi Tholib. Karena keluarganya Ja’far bin Abi Tholib itu ditimpa oleh sesuatu yang merepotkan ( menyusahkan ) terhadap keluarganya Ja’far bin Abi Tholib.
Didalam hadits ini , Rosulullah memerintahkan kepada tetangganya ahli keluarganya Ja’far bin Abi Tholib untuk membuatkan makanan (membantu) kepada keluarganya Ja’far bin Abi Tholib. Dan dianjurkan bagi keluarganya mayit(keluarganya Ja’far bin Abi Tholib) untuk menerima terhadap bantuan makanan dari tetangganya keluarganya ( shaibul musibah kematian (keluarganya Ja’far bin Abi Tholib).
Referensi:
(بلوغ الاءمنية(انارة الدجى),صحيفة ٢١٩)
(تذييل)
اعلم ان الجاويين غالبا اذا مات احدهم جاءوا الى اهله لنحو الاءرز نيءا ثم طبخوه بعد التمليك وقدموه لاءهله وللحاضرين عملا لخبر(اصنعوا لاءل جعفر طعاما)وطمعا في ثواب ما في السوءال بل ورجاء ثواب الاءطعام للميت على ان العلامة الشرقاوي قال في شرح نجريد البخاري ما نصه:والصحيح ان السوءال اي سوءال القبر مرة وقيل يفتن الموءمن سبعا والكافر اربعين صباحا،ومن ثم كانوا يستحبون ان يطعم عن الموءمن سبعة ابام من دفنه.
Sayyid Abdullah bin Alawi al-Haddad menjelaskan dalam kitabnya berjudul Risâlatul Mu‘âwanah wal Mudhâharah wal Muwâzarah (Dar al-Hawi, 1994, hal. 140) memberikan jawaban atas pertanyaan itu sebagai berikut:
(وَاِيَّاكَ)
أَنْ تُكَسِّرَ قَلْبَ مُسْلِمٍ بِرَدِّ صَنِيْعَتِهِ عَلَيْهِ، وَاَنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ الوَاصِلَ إِلَيْكَ عَلَى يَدِهِ إِنَّمَا هُوَ مِنَ اللهِ حَقِيْقَةً وَإِنَّمَا هُوَ وَاسِطَةٌ مُسَخّرٌ مَقْهُوْرٌ وَفِي اْلحَدِيْثِ: “مَنْ اَتَاهُ شَيْئٌ مِنْ غَيْرِ مَسْأَلَةٍ وَلَااسْتِشْرَافِ نَفْسٍ فَرَدَّهُ فَإِنَّمَا يَرُدُّهُ عَلىَ اللهِ.”
Artinya, “Janganlah engkau memecahkan hati orang islam (menyinggung perasaan seorang Muslim ) dengan menolak pemberian (hadiah) darinya, padahal engkau mengetahui bahwa sesuatu yang sampai ke tanganmu sejatinya berasal dari Allah subhanahu wa ta’ala, dan sesungguhnya orang yang menyampaikannnya kepadamu hanyalah perantara yang dikendalikan dan dipaksa (oleh Allah subhanahu wa ta’ala). Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: ‘Barangsiapa datang kepadanya suatu pemberian tanpa ia memintanya atau menunjukkan keinginan untuk memperolehnya, lalu ia menolaknya, sesungguhnya ia menolak pemberian Allah subhanahu wa ta’ala.’”
Dari redaksi ibarah di atas dapat difahami bahwa kita sebaiknya tidak boleh menolak pemberian orang lain, khususnya dari sesama Muslim, sebab hal ini bisa menyinggung perasaannya. Apalagi sebagai orang mukmin kita mempercayai bahwa semua rezeki berasal dari Allah subhanahu wa ta’ala dan Allahlah yang menanggung semua rizkinya makhluk, termasuk hewan melata, sebagaimana firmanya;
وَمَا مِنْ دَاۤبَّةٍ فِى الْاَرْضِ اِلَّا عَلَى اللّٰهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا ۗ كُلٌّ فِيْ كِتٰبٍ مُّبِيْنٍ
Dan tidak satupun makhluk bergerak (bernyawa) di bumi melainkan semuanya dijamin Allah rezekinya ( Allahlah yang memberinya ). Dia mengetahui tempat kediamannya dan tempat penyimpanannya. Semua (tertulis) dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).Q.S .Hud :ayat:6
Dalam ayat yang lain Allah SWT berfirman;
وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا لَا نَسْأَلُكَ رِزْقاً نَّحْنُ نَرْزُقُكَ
Dan perintahkanlah keluargamu melaksanakan salat dan sabarlah dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezeki kepadamu, Kamilah yang memberi rezeki kepadamu. (Thaahaa : 132)
Dari ayat diatas sebagai dalil bahwa orang yang datang kepada kita untuk memberikan hadiahnya sesugguhnya adalah orang yang digerakkan hatinya oleh Allah untuk menjadi perantara dalam pembagian rezeki-Nya. Artinya, pemberian dari orang lain harus dipahami sebagai pemberian dari Allah subhanahu wa ta’ala dengan catatan sebagaimana dijelaskan dalam hadits di atas bahwa kita memang tidak pernah memintanya kepada orang itu, atau setidaknya kita tidak pernah terjadi ( berharap ) atau isyarat untuk mendapatkan pemberiannya.
Menolak apa yang diberikan orang lain karena merasa malu misalnya, atau karena ingin menunjukkan kezuhudan, tidak bisa dibenarkan sebab itu justru merupakan keburukan. Hal ini sebagaimana dijelaskan lebih lanjut oleh Sayyid Abdullah al-Haddad sebagai berikut:
وَفِي الرَّدِّ آفَةٌ عَظِيْمَةٌ وَهِيَ أَنَّ العَامَّةَ مَجْبُوْلُوْنَ عَلىَ تَعْظِيْمِ مَنْ يَرُدُّ صِلَاتِهِمْ عَلَيْهِمْ، فَرُبَّمَا كَانَ الحَامِلُ لِبَعْضِ النُّسَّاكِ عَلىَ الرَّدِّ اَلتَّظَاهَرَ بِالزُّهْدِ, حِرْصًا مِنْهُ عَلىَ حُصُوْلِ المَنْزِلَةِ عِنْدَهُمْ، وَمِنْ هَهُنَا كاَنَ بَعْضُ اْلمُحَقِّقِيْنَ يَأْخُذُ مِنْ أَيْدِالنَّاسِ ظَاهِرًا ثُمَّ يَتَصَدَّقُ بِهِ سِرًّا.
Artinya, “Menolak pemberian orang (lain) mengandung kerusakan yang besar sebab banyak orang awam menjadi terkagum dengan mengagungkan orang-orang yang menolak pemberian. Padahal adakalanya yang mendorong sebagian orang dari ahli ibadah untuk menolak pemberian adalah keinginannya untuk memperlihatkan kezuhudan diri demi memperoleh kedudukan terhormat di hati orang awam itu. Atas dasar ini, sebagian kaum muhaqqiqin (orang yang menguasai ilmu dan mengamalkannya) secara terbuka mau menerima pemberian orang lain, kemudian menyedekahkannya kembali secara rahasia.”
Penjelasan itu mengandung maksud bahwa menolak pemberian orang lain untuk menunjukkan kezuhudan adalah tindakan yang buruk karena bisa membuat banyak orang terkecoh karena terkagum terhadap praktik zuhud yang tidak pada tempatnya. Menurut Sayyid Abdullah al-Haddad orang-orang zuhud tidak perlu secara terbuka menolak pemberian orang lain. Mereka lebih baik menerima pemberian itu untuk kemudian secara rahasia disedekahkan kepada yang membutukan seperti fakir-miskin, dan orang-orang lemah lainnya.
شرح مجالس السنية ص٤٥
وَيَنْبَغِي لَكَ إِذَا أُهْدِيَ إِلَيْكَ جَارُكَ أَوْ صَاحِبُكَ أَوْ قَرِيبُكَ هَدِيَّةً أَنْ تَقْبَلَهَا مِنْهُ وَلَا تَحْتَقِرَهَا، لِقَوْلِهِ: “يَا نِسَاءَ الْمُؤْمِنِينَ” وَفِي رِوَايَةٍ: “بِنِسَاءِ الْأَنْصَارِ، لَا تَحْقِرَنَّ إِحْدَاكُنَّ لِجَارَتِهَا وَلَوْ كُرَاعَ شَاةٍ”.
Dan sepatutnya bagimu, jika tetanggamu, sahabatmu, atau kerabatmu menghadiahkan sesuatu kepadamu, hendaklah engkau menerimanya dan jangan meremehkannya. Hal ini berdasarkan sabda Nabi: “Wahai wanita-wanita Mukmin!” dan dalam riwayat lain: “Wahai wanita-wanita Anshar! Janganlah salah seorang di antara kalian meremehkan hadiah yang diberikan kepada tetangganya, walaupun hanya berupa kaki kambing.”
🅱️.Wajib menolak pemberian orang lain sebagai mana Sayyid Abdullah al-Haddad menjelaskan tentang beberapa kondisi di mana kita diwajibkan menolak pemberian orang lain dengan syarat atau ketentuan-ketentuan sebagaimana ibarah berikut
وَقَدْ يَجِبُ اَلرَّدُّ فِيْ مَسَائِلَ، وَ قَدْ يُنْدَبُ: (مِنْهَا) أَنْ يَحْمِلَ إِلَيْكَ مَا تَعْلَمُ أَوْ تَظُنُّ بِعَلَامَةٍ أَنَّهُ حَرَامٌ، أَوْ تَحْمِلَ إِلَيْكَ صَدَقَةٌ وَاجِبَةٌ عَلَى ظَنِّ أَنَّكَ مِنْ أَهْلِهَا وَأَنْتَ لَسْتَ كَذَالِكَ. (وَمِنْهَا) أَنْ يَكُوْنَ المُسْدِي إِلَيْكَ ظَالِمًا مُصِرًّا عَلَى الظُّلْمِ وَتَخْشَى إِذَا قَبِلْتَ مَعْرُوْفَهُ أَنَّ قَلْبَكَ يَمِيْلُ إِلَيْهِ أَوْتُدَاهِنُهُ فِي الدِّيْنِ أَوْ يَغْلِبُ عَلىَ ظَنِّكَ أَنَّكَ مَتَى قَبِلْتَ شَيْئًا يَصِيْرُ بِحَيْثِ لاَ يَقْبَلُ مِنْكَ مَا تٌلْقِيْهِ إِلَيْهِ مِنَ اْلحَقِّ. (وَمِنْهَا) اَنْ تَعْلَمَ مِنْ حَالِ إِنْسَانٍ أَنَّهَ يَقْصِدُ بِصِلَتِهِ إِضْلَالَكَ عَنْ سَبِيْلِ اللهِ بِمُسَاعَدَتِهِ عَلىَ بَاطِلٍ أَوْتَرْكِ حَقٍّ.
Artinya, “Dalam beberapa hal, terkadang seseorang wajib menolak suatu pemberian dari seseorang dan terkadang hukumnya sunnah bila kamu mengetahui atau memperkirakan adanya tanda-tanda tertentu bahwa yang diberikan itu adalah barang haram. Atau, pemberian itu adalah zakat disebabkan orang itu mengira kamu termasuk orang yang berhak atas zakat, padahal tidak demikian halnya. Juga, bila si pemberi adalah orang zalim yang terus menerus melakukan kezalimannya sedangkan kamu khawatir bila menerima pemberiannya, hatimu mungkin akan cenderung kepadanya ataupun terpkasa bersikap lunak terhadapnya dalam perbuatannya yang menentang agama. Atau ada dugaan kuat, apabila kamu mau menerima pemberiannya itu, ada kemungkinan dia sudah tidak lagi mau mendengarkan ucapan kebenaran yang kamu tujukan padanya. Atau, bila kamu dapat mengetahui dari keadaan seseorang bahwa ia bermaksud menyesatkanmu dari jalan Allah, yakni dengan membantunya dalam mengerjakan suatu kebatilan ataupun dalam meninggalkan suatu kebenaran.” (lihat hal. 141).
Dari ibarah di atas dapat disimpulkan secara ringkas beberapa hal sebagai berikut:
Pertama, jika sebuah pemberian diketahui atau diduga kuat merupakan barang haram seperti uang hasil mencuri atau korupsi, maka wajib hukumnya menolak pemberian itu.
Kedua, jika pemberian itu adalah zakat sementara kita tidak termasuk orang yang berhak atas zakat, maka hendaknya kita menolaknya ( hukumnya wajib ).
Ketiga, jika pemberian itu berasal dari orang zalim atau jahat sedangkan kita tahu pemberian itu akan mempengaruhi kita menjadi tunduk kepadanya dan membiarkan kejahatannya, maka hendaknya kita menolaknya ( hukumnya sunnah ).
Keempat, apabila kita khawatir pemberian yang kita terima akan membuat si pemberi tidak lagi mau mendengarkan kebenaran-kebenaran yang kita sampaikan, maka hendaknya kita menolak pemberiannya (hukumnya wajib ).
Kelima, apabila kita tahu dan mengkhawatirkan sebuah pemberian dimaksudkan untuk mempengaruhi kita hingga kita terjerumus dalam kemaksiatan kepada Allah, seperti suap misalnya, maka kita harus menolaknya ( hukumya wajib ).
Berikut penjelasan secara mafhum mukholafah.
Referensi:
(فائدة)
قال فى المجمعوع : يكره الأخذ ممن بيده حلال وحرام كالسلطان الجائر .وتختلف الكراهة بقلة الشبهة وكثرتها، ولا يحرم الا إن تيقن ان هذا من الحرام . وقول الغزالى : يحرم الأخذ ممن اكثر ماله حرام وكذا معاملته : شاذ.. اعانة الطالبين المجلد الثانى ،صف
Imam Nawawi berkata dalam kitab majmu’ Syarah muhadzzab.Artinya Makruh menerima pemberian dari orang yang hartanya berada diantara halal dan haram seperti pemberian dari penguasa bermasiat,dan haram jika harta yang diberikan diyakini bahwa hartanya berasal dari harta haram, dan menurut Imam Ghazali jika hartanya bercampur antara halal dan haram dan lebih banyak harta yang haram, maka haram menerimanya.
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan secara mafhum mukholafah ( pemahaman sebaliknya/berbeda).Adalah Sunnah menolak pemberian orang lain yang hartanya bercampur antara halal dan haram. Dan wajib menolak pemberian orang lain jika diyakini harta yang diberikan betul-betul berasal dari barang haram. Begitu juga wajib ditolak pemberian orang lain jika harta yang diberikan bercampur antara halal dan haram sedangkan keramannnya lebih banyakdari kehalalannya .
Menurut kerangan dalam kitab “Bustanul Arifin “bahwa ulama’ berselisih tentang hukumnya penerimaan hadiah dari seorang sulthon, sebagian memperbolehkan selama ia tidak mengetahui bahwa barang yang diterimanya itu adalah barang haram, sedang sebagian yang lain menyatakan tidak boleh . Adapun mereka yang memperbolehkan bersandar kepada fatwa sayyina Ali bin Abu Thalib r.a yang berkata Sesungguhnya Sultan itu memperoleh barang-barang yang dan yang haram, maka apa yang diberikan kepadamu terimalah dan anggaplah memberimu dari bagian yang halal.
Disebutkan dalam kitab Dzurratunnashin sebuah hadits Diriwayatkan oleh sayyina Umar r.a . Bahwa Rasulullah Shallallaahu alaihi wasallam bersabda:
من أعطى شيئا من غير مسألة فليأخذ فإنماهو رزق رزقه الله تعالى
Barang siapa diberi sesuatu tampa meminta-minta, maka itu adalah suatu rizki yang diberikan oleh Allah yang seharusnya diterima.
Diriwayatkan bahwa Habib bin Tsabit berkata: Aku telah melihat Ibnu Umar dan Ibnu Abbas r.a. telah menerima hadiah-hadiah dari ” Al-Mukhtar” padahal ia terkenal seorang pengusaha yang dhalim.
Diriwayatkan oleh Muhammad Ibnu Hasan dari Abu Hanifah, dari Hammad bahwa Ibrahim Annakha’i dan Abu Dzar Al-Hamadzani telah pernah datang menerima hadiah-hadiah dari Abdullah Al-Azdi sewaktu ia menjadi Gubenur di Haffah bahwa tidak ada larangan selama tidak diketahui kenyataan haramnya barang yang dihadapkan. ( Mauidhoh ).
Maka pada zaman sekarang kita ini janganlah orang mengorek-orek dan terlalu meneliti tentang hal-hal yang dapat membawa kesukaran dan kebingungan, sebab pada dasarnya menurut hukum syariat segala sesuatu adalah mubah dan halal selama tiada nas atau dalil yang mengharamkan atau memakruhkan . Maka perihal barang-barang harta benda atau makanan yang harus diterima atau diberi oleh seseorang seyogianya dianggap halal dan mubah selama belum diketahui dengan nyata bahwa barang-barang harta benda atau makanan itu berasal dari rampasan, curian ataupun dari hasil riba walaupun ia mengetahui bawa ada tersedia dalam kekayaan orang yang memberi itu barang haram. ( Lihat kitab Dzurratunnashihin.juz 2: 10-11).Wallahu A’lam