
HUKUM PINJAMAN MODAL BERSYARAT
Assalamualaikum para kiyai dan ustd,
Studi kasus.
Ada seseorang katakanlah nama samarannya Muhdhor dia terkena musibah usahanya ( dagang tembakau) bangkrut dikarenakan ketika tebas tembakau terkena hujan akibatnya tembakaunya banyak yang gagal panen.maka dalam upaya menutupi uang mudal dia pinjam uang kepada seseorang namun anehnya orang yang hutang ditarik uang duluan ( dipotong duluan ) dengan di istilahkan ungkapan "Amal " oleh pemberi hutang dan ada sebagian tanpa adanya pemotongan.
Pertanyaannya.
Apakah dengan memotong uang terlebih dahulu dengan diistilahkan amal itu termasuk bunga atau kata bahasa amal itu apa termasuk hela atau emang bunga..?
Terimakasih 🙏🏻
Waalaikum salam
Jawaban.
Seorang Muhdlor yang berhutang kepada orang dengan cara dipotong duluan dengan diistilahkan penarikan kata amal . hukumnya adalah haram. Alasannya ialah karena orang tersebut menghutangi dengan bersyarat yang tujuannya adalah untuk mengambil kemanfaatan, hal ini sama dengan mensyaratkan adanya tambahan setelah pembayar.
Jadi istilah amal itu adalah potongan dari hutang yang nantinya ketika membayar lebih dari yang biasa karena sudah dipotong duluan.hal tersebut termasuk riba. Karena sebenarnya amal sedekah di anjurkan kalau yang bersangkutan punya kelebihan dan tidak punya hutang. Wallahu a’lamu bisshowab.
المهذب فى فقه الإمام الشافعي ( ج ١ ص ٣٠٤)
فإذا شرّط النقصان عماأقرضه فقد شرط ماينافي مقتضاه فلم يجز كمالوشرط الزيادة والثاني يجوز لأن القرض جعل رفقا بالمستقرض وشرط الزيادة يخرج به عن موضعه فلم يجز وشرط النقصان لايخرج به عن موضوع فجاز.
(اعانۃ الطالبين,جز ٣,صحيفۃ ٥٣)
وجاز لمقرض نفع يصل له من مقترض كرد الزائد قدرا او صفۃ والأجود للرديئ (بلا شرط) في العقد بل يسن ذلك لمقترض الی ان قال واما القرض بشرط جر نفع لمقترض ففاسد لخبر كل قرض جر منفعۃ فهو ربا (قوله ففاسد) قال ع ش : ومعلوم ان محل الفساد حيث وقع الشرط في صلب العقد, اما لو توافقا علی ذلك ولم يقع شرط في العقد فلا فساد.
Al-Muhadzdzab fi Fiqh Al-Imam Asy-Syafi’i (Jilid 1, Halaman 304):
Jika seseorang menetapkan syarat pengurangan dari apa yang ia pinjamkan, maka ia telah menetapkan sesuatu yang bertentangan dengan hakikat akad tersebut, sehingga tidak diperbolehkan. Sama halnya dengan menetapkan syarat tambahan (melebihi yang dipinjamkan). Pendapat kedua menyatakan boleh, karena pinjaman dimaksudkan untuk memberikan keringanan kepada peminjam. Adapun syarat tambahan mengubah tujuan akad tersebut sehingga tidak diperbolehkan. Namun, syarat pengurangan tidak mengubah tujuan akad, sehingga diperbolehkan.
I’anatuth Thalibin (Jilid 3, Halaman 53):
Diperbolehkan bagi pemberi pinjaman mendapatkan manfaat dari peminjam, seperti pengembalian yang lebih banyak dalam jumlah atau kualitasnya, atau penggantian barang yang buruk dengan yang lebih baik (tanpa syarat) dalam akad. Bahkan, hal itu disunnahkan bagi peminjam. Hingga disebutkan: Adapun pinjaman dengan syarat memberikan manfaat kepada pemberi pinjaman, maka akad tersebut rusak, berdasarkan hadits: “Setiap pinjaman yang memberikan manfaat (kepada pemberi pinjaman) adalah riba.”
(Pernyataan: akad tersebut rusak) Al-Bujairimi berkata: Diketahui bahwa kerusakan (akad) berlaku jika syarat tersebut dinyatakan dalam akad. Namun, jika hanya berupa kesepakatan tanpa disyaratkan dalam akad, maka akad tidak rusak. Wallahu a’lam bish-shawab