
DILEMA PERNIKAHAN OLEH ORANG TUA WALI YANG ANAKNYA TIDAK SEKUFU’ ( SEPADAN ) DENGAN PILIHANNYA
Asslmualaikum wr wb
Deskripsi masalah.
Disuatu daerah katanlah Desa Sidodadi dilangsungkan akad nikah atau perkawinan Fulan dan Fulanah sementara ketika diakad cantin perempuan tidak tahu karena ada dipondok dan cantin tidak mau dinikahkan dengan si Fulan dikarenakan tidak kufu’ atau tidak cocok atas pilihan orang tuanya, namun orang tuanya memaksa agar tetap menikah dengan si Fulan hingga akad nikah berlangsung tanpa sepengetahuan si Fulanah tersebut.
Pertanyaannya.
Bagaimana hukumnya pernikahan tanpa sepengetahuan putrinya sedangkan putrinya tidak mau terhadap pria tersebut, apakah tetap sah atau gmn?
Terima kasih
Waalikum salam.
Jawaban.
Hukum akad nikah Fulan dengan Fulanah ) tetap sah, apabila pasangan keduanya dianggap kufu’ menurut orang tuanya, walaupun tanpa sepengetahuan anaknya , karena kufu’ juga hak ortu, namun tidak sempurna dikarenakan tidak adanya kekufu’an Fulanah atas pilihan orang tuanya , selain itu karena kufu’ bukanlah syarat sahnya nikah melainkan kufu’ sebagai syarat tetapnya perkawinan, oleh karena itu jika seorang perempuan menikah dengan lelaki yang tidak sekufu’ maka akad nikahnya tetap sah, hanya saja tidak memenuhi syarat tetapnya pernikahan, maka dalam rangka untuk memenuhi tetapnya perkawinan mukaafa’ah dalam pernikahan sangat dianjurkan untuk dicari dengan demikian wali punya hak untuk memaksa menikahkan anaknya yang masih perawan walau pun tanpa seidzin dari anaknya, namun sunnah idzin terlebih dahulu kepadanya.
الفقه الإسلامي و أدلته – ٦٥٢٢/ ٧٧٢٢
المبحث الثاني ـ نوع شرط الكفاءة:
هل الكفاءة شرط صحة أو شرط لزوم؟ اتفق فقهاء المذاهب الأربعة في الراجح عند الحنابلة والمعتمد عند المالكية والأظهر عند الشافعية (١) على أن الكفاءة شرط لزوم في الزواج، وليست شرطا في صحة النكاح، فإذا تزوجت المرأة غير كفء، كان العقد صحيحا، وكان لأوليائها حق الاعتراض عليه وطلب فسخه، دفعا لضرر العار عن أنفسهم، إلا أن يسقطوا حقهم في الاعتراض فيلزم، ولو كانت الكفاءة شرط صحة لما صح، حتى ولو أسقط الأولياء حقهم في الاعتراض؛ لأن شرط الصحة لا يسقط بالإسقاط.
وأخذ القانون السوري (م ٢٦) باعتبار كون الكفاءة شرط لزوم، ونص هذه المادة: «يشترط في لزوم الزواج أن يكون الرجل كفئا للمرأة» ونصت المادة (٢٧) على أنه: «إذا زوجت الكبيرة نفسها من غير موافقة الولي، فإن كان الزوج كفئا، لزم العقد، وإلا فللولي طلب فسخ النكاح» وهذا هو المختار لدى واضعي قانون الأحوال الشخصية في مصر.
KAFAAH ISIM MASDARNYA MUKAAFAAH YANG LUMRAH DISEBUT KUFU’
Artinya ada persamaan tingkat dan derajat,walaupun tidak mutlak, namun lebih kurang ada titik persamaan.
Sebagian besar para ulama fiqih berpendapat, bahwa kufu’ itu adalah hak bagi istri dan wali.Maka wali tidak boleh mengawinkan seorang wanita dengan laki-laki yang tidak sekufu’, kecuali atas persetujuan dari semua walinya, yakni seluruh keluarganya.Karena mengawinkannya dengan yang tidak sekufu’ , berarti menimpakan malu terhadap dirinya dan seluruh keluarganya.
Dasar-dasar Kufu’ adalah hadits sebagai berikut;
الفقه الإسلامي و أدلته – ٦٥٢٩/٧٧٢٢
. أما الكفاءة في الزواج فلتحقيق مصالح الزوجين من دوام العشرة مع المودة والألفة بينهما، ولا تتحقق تلك المصالح إلا باشتراط الكفاءة. وحديث ابن عمر: «العرب بعضهم أكفاء لبعض، قبيلة بقبيلة، ورجل برجل، والموالي بعضهم أكفاء لبعض، قبيلة بقبيلة، ورجل برجل إلا حائك أو حجام» (١).وحديث عائشة وعمر: «لأمنعن تزوج ذوات الأحساب إلا من الأكفاء» (٢).وحديث أبي حاتم المزني: «إذا أتاكم من ترضون دينه وخلقه، فأنكحوه، إلا تفعلوه، تكن فتنة في الأرض وفساد كبير» (٣) وفيه دليل على اعتبار الكفاءة.وحديث بريدة المتقدم الذي جعل فيه النبي صلى الله عليه وسلم الخيار لفتاة زوجها أبوها ابن أخيه ليرفع بها خسيسته (٤).وحديث «العلماء ورثة الأنبياء» (٥) وحديث «الناس معادن كمعادن الذهب والفضة، خيارهم في الجاهلية خيارهم في الإسلام، إذا فقهوا» (٦).قال الشافعي: أصل الكفاءة في النكاح حديث بريرة، فقد خيرها النبي صلى الله عليه وسلم، لما لم يكن زوجها كفئا لها بعد أن تحررت، وكان زوجها عبدا.
وقال الكمال بن الهمام (٧): هذه الأحاديث الضعيفة من طرق عديدة يقوي
Adapun kesetaraan ( kufu’) dalam perkawinan adalah merupakan kenyataan untuk mencapai kemaslahatan pasangan suami istri melalui pergaulan yang terus-menerus dengan cinta dan kasih sayang di antara mereka, dan kenyataan tersebut tidak dapat dicapai kecuali dengan menuntut kesetaraan. Dan hadits Ibnu Umar: “Orang-orang Arab itu sederajat satu sama lain, suku dengan suku, dan seorang laki-laki dengan lelaki lain, dan para penguasa adalah setara satu sama lain, suku dengan suku, dan seorang laki-laki dengan lelaki lain, kecuali penenun atau pembuat bekam. Dan hadits Aisyah dan Umar: “Aku akan mengharamkan pernikahan wanita yang memiliki hubungan intim kecuali mereka yang sederajat” . Dan hadits Abu Hatim Al-Muzani: “Jika seseorang datang kepadamu yang agamanya dan akhlaknya kamu tidak ( puas), maka nikahilah dia, jika kamu tidak melakukan hal itu, maka akan terjadi perselisihan atau fitnah di bumi dan kerusakan yang besar( meluas)” dan itu mengandung bukti bahwa kesetaraan diperhitungkan.Dan hadits Buraydah tersebut di atas yang di dalamnya Nabi Muhammad SAW memberikan pilihan kepada anak perempuan suaminya, ayahnya adalah keponakannya, agar keburukannya dapat dihilangkan melalui dia . Dan hadits “Para ulama adalah ahli waris” para nabi” .dan hadis “
“Sesungguhnya manusia itu seperti tambang perak dan emas. Mereka yang terhormat pada masa masa jahiliah akan terhormat pula di masa lslam, jika mereka memahami (lslam).
Adapun asal muasal keseteraan dalam pernikahan itu adalah hadis Barirah, Nabi Muhammad SAW memberikan pilihan kepadanya, ketika suaminya tidak cocok untuknya setelah dia dibebaskan, dan suaminya adalah seorang budak. Al-Kamal bin Al-Hammam berkata: Hadits-hadits ini lemah namun diperkuat dengan banyak cara atau jalan .
Mukaafaah atau yang biasa disebut kufu’ dalam satu sisi ulama sepakat dan disisi yang lain ulama berbeda pandang untuk lebih jelasnya bisa dilihat dalam keterangan berikut oleh Doktor Syaikh Wahbah Azzuhailiy dalam kitabnya fiqih Syafiyah yaitu Fiqhul islami waadillatuhu berikut:
الفقه الإسلامي و أدلته – ٦٥٢٧/٧٧٢٢
المبحث الرابع: من تطلب الكفاءة في جانبه:
يرى جمهور الفقهاء أن الكفاءة تطلب للنساء لا للرجال، بمعنى أن الكفاءة تعد في جانب الرجال للنساء، فهو حق في صالح المرأة لا في صالح الرجل، فيشترط أن يكون الرجل مماثلا أو مقاربا لها في أمور الكفاءة. ولا يشترط في المرأة أن تكون مساوية للرجل أو مقاربة له، بل يصح أن تكون أقل منه في أمور الكفاءة؛ لأن الرجل لا يعير بزوجة أدنى حالا منه، أما المرأة وأقاربها فيعيرون بزوج أقل منها منزلة (١). لكن يستثنى من هذا الأصل مسألتان تشترط فيهما الكفاءة من جانب المرأة، ذكرتا سابقا وهما:
Bagian Keempat : Anjuran mencari kecocokan disisinya ( Cocok untuk dijadikan sebagai pendampingnya) : Mayoritas ulama ahli fiqh berpendapat bahwa kecocokan itu dianjurkan untuk dicarinya bagi perempuan, bukan laki-laki, dengan makna atau arti:” *__kecocokan itu dianggap berada di pihak laki-laki bagi perempuan_*_ ” . Itu adalah hak untuk kepentingan perempuan dan bukan untuk kepentingan laki-laki, sehingga disyaratkan bahwa laki-laki itu serupa atau dekat dengannya( perempuan) dalam hal kekufu’an.Dan tidaklah disyaratkan bagi seorang perempuan untuk setara atau dekat dengan laki-laki, tetapi boleh saja dia lebih rendah dari laki-laki dalam hal kekufu’an. Karena laki-laki tidak mencela istri yang kedudukannya lebih rendah darinya, tetapi perempuan dan kerabatnya tidak mencela suami yang kedudukannya lebih rendah darinya . Namun, ada dua hal yang memerlukan kecocokan perempuan, tidak termasuk dalam prinsip ini, sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya:
الأولى ـ أن يزوج غير الأب أو الجد عديم الأهلية أو ناقصها، أويزوجه الأب أو الجد الذي عرف قبل العقد بسوء الاختيار، فإنه يشترط لصحة هذا الزواج أن تكون الزوجة مكافئة له، احتياطا لمصلحة الزواج، وإلا لم يصح الزواج.
الثانية ـ أن يوكل الرجل غيره في تزويجه وكالة مطلقة، فإنه يشترط لنفاذ العقد على الموكل في رأي المالكية وأبي يوسف ومحمد أن تكون الزوجة كفئا له.
Pertama, Dia dikawinkan oleh orang lain selain ayah atau kakeknya yang tidak mempunyai keahlian( tidak lengkap cakap hukumnya,), atau yang menikahkan ayah atau kakeknya yang diketahui telah salah memilih sebelum akad mengawinkannya. Maka sesungguhnya disyaratkan dalam sahnya perkawinan ini agar isterinya sederajat ( kufu’ atau cocok ) bagi walinya , itu dikarenakan semata kehati-hatian untuk memaslahatan/ kebaikan perkawinan ( suami istri ) .
Kedua, laki-laki menunjuk orang lain sebagai wakil untuk menikahkannya dengan perwakilan kekuasaan yang mutlak.Agar akad itu dapat dilaksanakan ( diselesaikan ) orang yang menjadi wakil , menurut pendapat Maliki, Abu Yusuf, dan Muhammad, syaratnya adalah istri harus sebanding ( cocok).
المبحث الخامس ـ ما تكون فيه الكفاءة، أو أوصاف الكفاءة:
اختلف الفقهاء في خصال الكفاءة، فهي عند المالكية اثنان: وهما الدين والحال، أي السلامة من العيوب المثبتة للخيار، لا الحال بمعنى الحسب والنسب.
وعند الحنفية ستة: هي الدين والإسلام والحرية والنسب والمال والحرفة (٢).
ولا تكون الكفاءة عندهم في السلامة من العيوب التي يفسخ بها البيع كالجذام والجنون والبرص، والبخر والدفر إلا عند محمد في الثلاثة الأولى.
Pembahasan kelima: adalah harus kufu’ atau sifat-sifat kecocokan .
: Para fuqaha berbeda pendapat mengenai sifat-sifat kufu’ .
➡️Menurut Maliki ada dua:
- Kufu’ (Kesetaraan) agama
- Status, yaitu keselamatan dari cacat yg menentukan pilihan, bukan status dalam arti nasab dan silsilah keturunan.
➡️Menurut mazhab Hanafi ada enam:
1.Kufu’ ( sepadan ) agama,
2. Islam,
3. Merdeka,
4. Garis keturunan,
5. harta, dan
6.kerajinan .
Menurut mereka,( Madzhab Hanafiy ) tidak ada kekufu’an hanya terbebas dari cacat-cacat yang membatalkan jual beli, seperti kusta, kegilaan, kusta, pernafasan, dan diare, kecuali menurut Muhammad pada tiga yang pertama.
وعند الشافعية خمسة: هي الدين أو العفة، والحرية، والنسب، والسلامة من العيوب المثبتة للخيار، والحرفة.
➡️.Menurut Syafi’i, ada lima hal:
- Kufu’ ( setara/sepadan) agama atau iffah (kesucian,).
- merdeka( bukan budak),
- Garis keturunan,
- Selamat dari cacat yang menegaskan pilihan, dan –
- keahlian.
Catatan.
IFFAH: Artinya terpelihara dari segala yang haram dalam pergaulan. Maka tidak dianggap sekufu’ bagi orang yang keturunan yang baik-baik kawin dengan keturunan pezina, walaupun masih seagama.
وعند الحنابلة خمسة أيضاً: هي الدين، والحرية، والنسب، واليسار (المال)، والصناعة أي الحرفة (1).
فهم متفقون على الكفاءة في الدين، واتفق غير المالكية على الكفاءة في الحرية والنسب والحرفة، واتفق المالكية والشافعية على خصلة السلامة من العيوب المثبتة للخيار، واتفق الحنفية في ظاهر الرواية والحنابلة على خصلة المال، وانفرد الحنفية بخصلة إسلام الأصول.
➡️.Menurut Hanbali lima:
- Kufu’ ( sepadan )agama,
- Merdeka,
- Garis keturunan,
- Berharta dan
- kerajinan
Mereka ulama’ fiqih sepakat tentang kufu’/kecocokan dalam agama, selain Maliki sepakat tentang kekufu’an dalam kebebasa ( merdeka), nasab, dan kerajinan, Maliki dan Syafi’i sepakat tentang sifat keselamatan dari cacat yang membuktikan pilihan, Hanafi sepakat tentang dhahirnya makna riwayat tersebut. Dan Hanbali atas bagian harta, dan Hanafi memilih dengan secara khusus pada bagian Islam sebagai asal.
١ – الديانة، أو العفة أو التقوى: المراد بها الصلاح والاستقامة على أحكام الدين، فليس الفاجر والفاسق كفئاً لعفيفة أو صالحة بنت صالح، أو مستقيمة، لها ولأهلها تدين وخلق حميد، سواء أكان معلناً فسقه، أم غير معلن أي لا يجهر بالفسق لكن يشهد عليه أنه فعل كذا من المفسقات؛ لأن الفاسق مردود الشهادة والرواية، وهو نقص في إنسانيته، ولأن المرأة تعير بفسق الزوج أكثر ما تعير بضعة نسبه، فلا يكون كفئاً لامرأة عدل، بالاتفاق ما عدا محمد بن الحسن، لقوله تعالى: {أفمن كان مؤمناً كمن كان فاسقاً، لا يستوون} [السجدة:18/ 32]
1 – Agama, kesucian, atau ketakwaan :
Adapun yang dimaksud dengan agama adalah kesalehan dan ketaqwaan dalam menjalankan hukum -hukum agama artinya bukan orang yang pendosa dan fasik/maksiat tidaklah cocok (kufu’)dengan wanita yang suci, atau anak perempuan yang shalehah dari orang yang shaleh, atau orang yang istiqomah . Perempuan dan keluarganya beragama dan berakhlak baik, baik yang dinyatakan maksiat maupun tidak, artinya tidak terang-terangan menyatakan maksiat, tetapi bersaksi, pastilah ia melakukan perbuatan maksiat ini dan itu; Karena orang yang berbuat maksiat menolak kesaksian dan narasinya, dan itu merupakan kekurangan dalam kemanusiaannya, karena wanita lebih dikritik karena kemaksiatan suaminya daripada dikritik karena silsilah suaminya yang kecil, maka dia tidak layak mendapat wanita yang adil, Menurut kesepakatan ulama, kecuali Muhammad ibn al-Hasan, menurut firman SWT: {Apakah orang yang beriman sama dengan orang yang fasik (maksiat)? Mereka tidak setara.}
وقوله سبحانه: {الزاني لا ينكح إلا زانية} [النور:3/ 24] ونوقش الاستدلال بالآيتين، أما الأولى فهي في حق المؤمن والكافر، وأما الثانية فهي منسوخة، والأصح الاستدلال بحديث أبي حاتم المزني المتقدم: «إذا جاءكم من ترضون دينه وخلقه فأنكحوه، إلا تفعلوا تكن فتنة في الأرض وفساد عريض».
وقال محمد: إن الفسق لا يمنع الكفاءة، إلا إذا كان صاحبه متهتكاً يصفع ويسخر منه، أو يخرج إلى الأسواق سكران؛ لأن الفسق من أحكام الآخرة، فلا تبتنى عليه أحكام الدنيا.
Dan berfirman Allah SWT: {Orang yang berzina hanya akan mengawini seorang pezina} [An-Nur: 3/24] dan dibahas dengan kedua dalil ayat tersebut.
Adapun yang pertama berlaku bagi orang mukmin dan orang kafir, dan adapun yang kedua, batal, alasan yang lebih benar adalah dari hadis Abu Hatim al-Muzani yang disebutkan di atas: “Jika seseorang yang ber agama dan akhlaknya menyenangkan hatimu datang kepadamu, maka nikahilah dia.” Jika kamu tidak melakukannya, maka akan terjadi fitnah/ perselisihan di bumi dan kerusakan yang meluas.” Muhammad berkata: Sesungguhnya kebajikan tidak menghalangi kepada kekufu”aan, kecuali jika pemiliknya ceroboh, menampar dan mengejeknya( menghinanya), atau keluar pergi ke pasar dalam keadaan mabuk. Karena kefasikan merupakan salah satu hukum-hukum akhirat, maka hukum dunia tidak didasarkan pada hal tersebut.
وهل يكون الفاسق كفئاً لفاسقة بنت صالح، قال بعض الحنفية: لا يكون الفاسق كفئاً لها، وقال ابن عابدين: إن المفهوم من كلامهم اعتبار صلاح الكل أي الفتاة والأب، وإن من اقتصر على صالحة أو صلاح آبائها نظر إلى الغالب من أن صلاح الولد والوالد متلازمان، فعلى هذا لا يكون الفاسق كفئاً لصالحة بنت صالح، بل يكون كفئاً لفاسقة بنت فاسق، وكذا لفاسقة بنت صالح، لأن ما يلحقه من العار ببنته أكثر من العار بصهره. وإذا كانت صالحة بنت فاسق، فزوجت نفسها من فاسق، فليس لأبيها حق الاعتراض؛ لأنه مثله، وهي قد رضيت
Apakah orang yang maksiat itu cocok dengan wanita maksiat putri orang Shalih? Sebagian Hanafi berkata: Orang yang maksiat tidak cocok dengannya. Ibnu Abidin berkata: Yang dimaksud dari perkataan mereka adalah mempertimbangkan kesalehan setiap orang, yaitu anak perempuan dan bapaknya, dan barangsiapa yang membatasi dirinya pada Salihah atau kesalehan bapak-bapaknya, maka kemungkinan besar menganggap bahwa kesalehan anak dan bapaknya tidak dapat dipisahkan.
Berdasarkan hal tersebut maka orang yang maksiat bukanlah tandingan ( yang sekufu”) Salihah putri Shalih, melainkan ia jodohnya dengan wanita maksiat putri Fasiq, demikian pula wanita maksiat putri Shalih, karena aib yang ia timbulkan terhadap putrinya lebih besar daripada aib yang ia timbulkan kepada menantunya. Jika dia adalah anak perempuan salehah dari seorang pendosa, dan dia mengawinkan dirinya dengan seorang pendosa, maka ayahnya tidak mempunyai hak untuk menolak. Karena dia seperti dia, dan dia puas dengannya
٢ – الإسلام: شرط انفرد به الحنفية بالنسبة لغير العرب، خلافاً للجمهور، والمراد به إسلام الأصول أي الآباء، فمن له أبوان مسلمان كفء لمن كان له آباء في الإسلام، ومن له أب واحد في الإسلام لا يكون كفئاً لمن له أبوان في الإسلام؛ لأن تمام النسب بالأب والجد. وألحق أبو يوسف الواحد بالمثنى.ومن أسلم بنفسه لا يكون كفئاً لمن له أب واحد في الإسلام؛ لأن التفاخر فيما بين الموالي (غير العرب) بالإسلام.
ودليل الحنفية على هذه الخصلة: أن تعريف الشخص يكون كاملاً بالأب والجد، فإذا كان الأب والجد مسلماً، كان نسبه إلى الإسلام كاملاً.
ولا تعتبر هذه الخصلة إلا في غير العرب؛ لأنهم بعد إسلامهم صار فخرهم بالإسلام، وهو شرفهم الذي قام مقام النسب. أما العرب فلا يعتبر فيهم التكافؤ في إسلام الآباء؛ لأن العرب يتفاخرون بأنسابهم، ولا يتفاخرون بإسلام أصولهم، فالعربي المسلم الذي ليس له أب مسلم كفء للعربية المسلمة التى لها أب وأجداد مسلمون
2 – Islam : merupakan satu syarat yang sepsial atau syarat yang khas dalam mazhab Hanafi dengan dinisbatkan kepada selain orang Arab ( orang-orang non-Arab), berbeda dengan pendapat mayoritas ulama’ dan adapun yang dimaksud dengan Islam adalah islamnya asal-usul yaitu para bapak( penisepuh orang tuanya ). Barangsiapa mempunyai dua orang tua yang beragama Islam, maka ia adalah sama dengan orang yang mempunyai ayah dalam Islam, dan orang yang mempunyai satu ayah dalam Islam tidak sama dengan orang yang mempunyai dua ayah dalam Islam. Karena seluruh garis keturunannya melalui ayah dan kakek. Abu Yusuf menggabungkan yang satu dengan yang dua. Siapa pun yang masuk Islam sendirian, tidak sama dengan seseorang yang mempunyai satu ayah dalam Islam. Karena membual ( berbangga-banggaan ) di kalangan loyalis (non-Arab) dengan Islam. Dalil Hanafi mengenai ciri bagian ini adalah bahwa mengenal identitas seseorang adalah merupakan adanya kesempurnaan atau lengkap melalui ayah dan kakeknya, jika ayah dan kakeknya beragama Islam, maka garis keturunannya ke Islamannya sempurna ( lengkap) . Kualitas ini hanya dipertimbangkan di kalangan non-Arab. Karena setelah mereka masuk Islam, kebanggaan mereka menjadi Islam, yaitu kehormatan mereka yang menggantikan garis keturunan.
Adapun orang-orang Arab, mereka tidak dianggap setara dalam Islam nenek moyang mereka. Karena orang Arab bangga dengan garis keturunannya,dan mereka (orang Arab) tidak merasa bangga dengan keislaman asal usulnya ( nenek moyang mereka). Orang Arab yang islam yang tidak mempunyai ayah yang beragama Islam maka sama dengan orang Arab yang Muslim yang ayah dan kakek nenek yang beragama Islam.
-٣-الحرية: شرط في الكفاءة عند الجمهور (الحنفية والشافعية والحنابلة) فلا يكون العبد ولو مبعضاً كفئاً لحرة ولو كانت عتيقة؛ لأنه منقوص بالرق، ممنوع من التصرف في كسبه، غير مالك له، ولأن الأحرار بمصاهرة الأرقاء كما يعيرون بمصاهرة من دونهم في النسب والحسب.
واشترط الحنفية والشافعية أيضاً حرية الأصل، فمن كان أحد آبائه رقيقاً ليس كفئاً لحر الأصل، أو لمن كان أبوها رقيقاً ثم أعتق، ومن كان له أبوان في الحرية ليس كفئاً لمن كان له أب واحد في الحرية.
وأضاف الحنفية والشافعية أن العتيق ليس كفئاً لحرة أصلية؛ لأن الأحرار يعيرون بمصاهرة العتقاء، كما يعيرون بمصاهرة الأرقاء.
وقال الحنابلة: العتيق كله كفء للحرة.
وأما المالكية فلم يشترطوا الحرية في الكفاءة، وقالوا: في كفاءة العبد للحرة، وعدم كفاءته لها على الأرجح تأويلان: المذهب أنه ليس بكفء، والراجح أنه كفء، وهو الأحسن؛ لأنه قول ابن القاسم.
وقال الدسوقي: والظاهر التفصيل: فما كان من جنس الأبيض فهو كفء؛ لأن الرغبة فيه أكثر من الأحرار، وبه الشرف في عرف مصرنا، وما كان من جنس الأسود فليس بكفء؛ لأن النفوس ـ على حد تعبيره ـ تنفر منه، ويقع به الذم للزوجة. وهذا حكاية لعرف الناس في عصره، وليس أمراً مقرراً في الشرع.
لذا أرى أن هذا الرأي خاص بالدسوقي، فإن مبادئ الشريعة تناقض هذا القول إذ لا تفرقة في أحكامها بين الناس بسبب اللون، وما اعتمده من عرف مصر هو عرف فاسد، لمصادمته مبادئ الشريعة، أو أنه مجرد أهواء نفسية وميول خاصة لا يقرها الشرع؛ لأن الناس سواء في دين الله تعالى
3 – Kebebasan ( merdeka): adalah Suatu syarat didalam kekufu’an menurut mayoritas (Hanafi, Syafi’i dan Hanbali), seorang budak, meskipun ia budak muba’ad, maka tidaklah menjadi kufu ( sama/sepadan) dengan wanita yang merdeka, meskipun ia sudah tua. Karena ia diremehkan karena perbudakannya, dilarang mentashorrufkan atau membelanjakan penghasilannya, tanpa pemiliknya, dan karena orang-orang yang merdeka adalah kawin campur dengan budak sebagaimana mereka mencela melalui kawin campur kepada orang yang lebih rendah darinya dalam nasab dan keturunan. Mazhab Hanafi dan Syafi’i juga mensyaratkan kebebasan ( kemerdekaan ) asal usul ( nenek moyang), sehingga barangsiapa yang salah satu bapaknya dijadikan budak, maka ia tidak dapat ditandingkan dengan perempuan yang merdeka secara asal usul, atau dengan orang yang bapaknya adalah seorang budak kemudian dibebaskan ( dimerdekakan), dan siapa yang mempunyai dua ayah yang merdeka, tidaklah sebanding dengan seseorang yang mempunyai satu ayah yang merdeka. Hanafi dan Syafi’i menambahkan bahwa laki-laki tua tidak sama dengan perempuan merdeka yang asli; Karena orang merdeka mereka dicela karena kawin campur dengan budak yang dimerdekakan, sebagaimana mereka dicela karena kawin campur dengan budak. Kaum Hambali berkata: Budak yang dimerdekakan semuanya kufu’ bagi wanita yang merdeka.
Adapun Maliki, mereka tidak mensyaratkan merdeka masuk didalam kekufu’an , dan mereka berkata: kufu’/ kecocokan seorang budak untuk wanita yang merdeka, dan ketidakmampuannya untuk dia, kemungkinan besar ada dua penafsiran: pendapat pertama adalah bahwa dia tidak sekufu’ dan yang paling kemungkinan besar pendapat yang kedua adalah bahwa dia kufu’, dan pendapat inilah adalah yang terbaik; Karena itu adalah perkataan Ibnu al-Qasim. Al-Dasouki berkata: Detailnya jelas: apa pun yang sejenis dengan warna putih adalah kompatibel. Karena keinginannya lebih besar dari pada orang merdeka, dan itu terhormat dalam adat Mesir kita, dan kalau dari ras kulit hitam, tidak cocok. Karena, seperti yang dia katakan, jiwa-jiwa merasa jijik padanya, dan dia menyalahkan istrinya. Ini adalah cerita menurut adat istiadat masyarakat pada masanya, dan bukan sesuatu yang ditentukan oleh hukum syariah. Oleh karena itu, menurut saya pendapat ini khusus untuk Al-Dasuki, karena prinsip-prinsip syariah bertentangan dengan pernyataan ini, karena tidak ada perbedaan dalam hukumnya antara orang-orang berdasarkan warna kulit, dan apa yang dianut oleh adat Mesir adalah adat yang korup, karena bertentangan dengan prinsip syariah, atau hanya sekedar keinginan psikologis dan kecenderungan pribadi yang tidak disetujui syariah. Karena manusia adalah sama dalam agama Allah SWT.
-٤ – النسب: وسماه الحنابلة: المنصب.
المراد بالنسب: صلة الإنسان بأصوله من الآباء والأجداد. أما الحسب: فهو الصفات الحميدة التي يتصف بها الأصول أو مفاخر الآباء، كالعلم والشجاعة والجود والتقوى. ووجود النسب لا يستلزم الحسب، ولكن وجود الحسب يستلزم النسب. والمقصود من النسب أن يكون الولد معلوم الأب، لا لقيطاً أو مولى إذ لا نسب له معلوم. ولم يعتبر المالكية الكفاءة في النسب، أما الجمهور (الحنفية والشافعية والحنابلة وبعض الزيدية) فقد اعتبروا النسب في الكفاءة، لكن خصص الحنفية النسب في الزواج من العرب؛ لأنهم الذين عنوا بحفظ أنسابهم، وتفاخروا بها، وحدث التعيير بينهم فيها.
4- Nasab (Silsilah):
Kaum Hambali menyebutnya/ menamakan : kedudukan. Yang dimaksud dengan nasab: hubungan seseorang dengan asal usulnya dari ayah dan kakeknya.
Adapun nasab: sifat-sifatnya baik yang menjadi ciri asal usul atau kebanggaan para ayah, seperti ilmu, keberanian, kedermawanan, dan ketakwaan. Adanya nasab( silsilah) tidak mesti memerlukan nasab, namun adanya nasab mengharuskan nasab(silsilah) Yang dimaksud dengan nasab adalah anak itu mempunyai ayah yang diketahui, bukan anak terlantar atau budak yang merdeka, karena ia tidak diketahui garis keturunannya. Madzhab Maliki tidak menganggap kufu’ dalam soal nasab, sedangkan mayoritas (Hanafi, Syafi’i, Hanbali, dan sebagian Zaidi) menganggap bahwa nasab itu sebagai baigian dari soal kufu’, namun mazhab Hanafi menetapkan atau mengkhususkan nasab itu sebagai soal perkawinan orang Arab. Karena merekalah yang peduli terhadap kelestarian silsilah mereka, dan merasa bangga terhadap mereka, dan timbullah celaan di kalangan mereka atas ketidak pedulian atas silsilah mereka.( Tidak sepadan orang Arab dengan orang Arab ) dalam artian orang Arab dengan Non Arab.
أما العجم فلم يعنوا بأنسابهم ولم يفتخروا بها، ولذا اعتبر فيهم الحرية والإسلام. والأصح عند الحنفية أن العجمي لا يكون كفئاً للعربية ولو كان عالماً أو سلطاناً.
وبناء على هذا الرأي: لا يكون العجمي كفئاً للعربية، لقول عمر: «لأمنعن أن تزوج ذات الأحساب إلا من الأكفاء» (١)، ولأن الله اصطفى العرب على غيرهم، ولأن العرب فضلت الأمم برسول الله صلّى الله عليه وسلم.وقريش عند الحنفية وفي رواية عن أحمد بعضهم أكفاء بعض، وبقية العرب بعضهم أكفاء بعض، واستثنى بعضهم بني باهلة لخستهم. ودليلهم قول ابن عباس: قريش بعضهم أكفاء بعض.ويرى الشافعية وفي رواية أخرى عن أحمد: أن غير الهاشمي والمطلبي ليس كفئاً لباقي قريش كبني عبد شمس ونوفل، وإن كانا أخوين لهاشم، لخبر: «إن الله اصطفى من العرب كنانة، واصطفى من كنانة قريشاً، واصطفى من قريش بني هاشم، واصطفاني من بني هاشم» (١).
Adapun orang Ajami, mereka tidak peduli dengan garis keturunan mereka dan tidak bangga akan hal itu, oleh karena itu kebebasan dan Islam dianggap di antara mereka. Yang lebih benar menurut mazhab Hanafi adalah bahwa orang non-Arab tidak cakap berbahasa Arab, sekalipun ia seorang ulama atau sultan.
Berdasarkan pendapat ini: Orang non-Arab tidak dapat ditandingkan ( tidak sekufu’) dengan orang Arab, berdasarkan perkataan Umar: “Saya akan mencegah wanita non-Arab menikahi siapa pun kecuali orang yang cocok”( orang Arab), dan karena Allah memilih orang Arab daripada orang Arab. yang lain, dan karena orang-orang Arab lebih memilih bangsa-bangsa daripada Rasulullah,SAW. Menurut mazhab Hanafi dan menurut riwayat kekuasaan Ahmad, sebagian dari mereka lebih unggul dari yang lain, dan sebagian orang Arab lainnya setara dengan yang lain, dan sebagian dari mereka dikeluarkan dari Bani Bahila karena kekejaman mereka. . Dalilnya adalah sabda Ibnu Abbas: Kaum Quraisy itu setara satu sama lain. Madzhab Syafi’i dan riwayat lain dari Ahmad berpendapat bahwa tidak ada selain Al-Hashemi dan Al-Muttalabi yang termasuk kufu’/ sepadan terhadap kaum Quraisy lainnya, seperti Bani Abd Syams dan Naufal, meskipun mereka bersaudara dengan Hasyim, berdasarkan hadits : “Sesungguhnya Allah memilih Kinana dari kalangan Arab, memilih Quraisy dari Kinana, memilih Bani Hasyim dari Quraisy , dan memilihku dari Bani Hasyim” .
ويتفق الجمهور على أن قريشاً وهم أولاد النضر بن كنانة أفضل نسباً من سائر العرب، فالقرشية لا يكافئها إلا قرشي مثلها، والقرشي كفء لكل عربية. وأن المرأة العربية غير القرشية يكافئها أي عربي من أي قبيلة كانت، ولكن لا يكافئها غير العربي أي العجمي.ودليل الجمهور حديث: «العرب بعضهم أكفاء لبعض، قبيلة بقبيلة، ورجل برجل، والموالي بعضهم أكفاء لبعض، قبيلة بقبيلة، ورجل برجل، إلا حائك أو حجام» (٢).والحق أن اعتبار النسب في الكفاءة ليس صحيحاً، والصحيح قول المالكية؛لأن مزية الإسلام الجوهرية هي الدعوة إلى المساواة، ومحاربة التمييز العرقي أو العنصري، ودعوات الجاهلية القبلية والنسبية، ولأن انتشار الإسلام بين الناس غير العرب إنما كان أساساً لهذه المزية، وإعلان حجة الوداع واضح وهو أن الناس جميعاً أبناء آدم، وليس لعربي على عجمي فضل إلا بالتقوى.
أما الحديث الذي اعتمد عليه الجمهور فهو ضعيف، لذا فإن تفضيل قريش على سائر العرب، ثم تفضيل العرب على العجم، لم يدل عليه شيء من السنة، بل ورد في السنة خلافه؛ لأن النبي صلّى الله عليه وسلم زوج ابنتيه عثمان، وزوج أبا العاص بنربيع زينب، وهما من بني عبد شمس، وزوج علي عمر ابنته أم كلثوم، وزوج النبي بنت عمته زينب وهي قرشية زيد بن حارثة، وهو من الموالي، وتزوج أسامة ابن زيد فاطمة بنت قيس وهي من قريش، بعد أن طلقها زوجها: أبو عمر بن حفص بن المغيرة، فأخبرته أن معاوية وأبا جهم خطباها، فقال رسول الله صلّى الله عليه وسلم: «أما أبو جهم فلا يضع عصاه عن عاتقه، وأما معاوية فصعلوك لا مال له، انكحي أسامة بن زيد» (١).
Mayoritas ulama sepakat bahwa suku Quraisy yang merupakan anak dari al-Nadr ibn Kinana lebih baik garis keturunannya dibandingkan dengan semua orang Arab lainnya, Kaum Quraisy hanya setara dengan kaum Quraisy sejenis, dan kaum Quraisy setara dengan setiap wanita Arab. Wanita Arab non-Quraisy termasuk kufu dengan orang Arab mana pun dari suku mana pun, namun ia tidak termasuk kufu’ dengan orang non-Arab, yakni Ajami.
Dalil mayoritas ulama’ adalah hadis: “Orang-orang Arab itu sederajat satu sama lain, suku dengan suku, dan manusia dengan manusia, dan orang-orang yang beriman itu setara satu sama lain, suku dengan suku, dan manusia dengan manusia, kecuali penenun atau tukang bekam”. Sebenarnya menganggap nasab dalam kufu’ adalah tidak benar, dan pandangan yang benar adalah perkataan pendapatnya Maliki Karena keistimiwaan (keunggulan/ kelebihan) yang mendasar dalam Islam adalah seruan ( ajakan dakwah) untuk kesetaraan, perjuangan melawan diskriminasi etnis atau ras, dan seruan kesukuan dan garis keturunan pra-Islam, dan karena penyebaran Islam di antran manusia dikalangan orang-orang non-Arab adalah sebagai dasar dari keistimiwaan /keunggulan atau kelebihan ini, dan sudah jelas dalam Haji wada'( Perpisahan), yaitu seluruh umat manusia adalah anak Adam, dan seorang Arab tidak mempunyai keutamaan atas non-Arab kecuali dengan ketakwaannya. Adapun hadits yang menjadi sandaran mayoritas ulama lemah. Oleh karena itu, keutamaan orang Quraisy terhadap semua orang Arab, dan kemudian keutamaan orang Arab terhadap orang non-Arab, tidak ditunjukkan oleh apapun dari Sunnah. Bahkan kebalikannya disebutkan dalam Sunnah. Karena Nabi Muhammad SAW mengawinkan kedua putrinya, Utsman, dan menikah dengan Abu Al-Aas bin Rabi’ Zainab, dan mereka berasal dari Bani Abd Syams. Ali Omar mengawinkan putrinya Ummu Kultsum, dan Nabi mengawinkan putri bibi Zainab dari pihak ayah, yang berasal dari suku Quraisy, dengan Zaid bin Haritha, yang merupakan seorang loyalis. Osama bin Zaid menikah dengan Fatima binti Qais yang berasal dari suku Quraisy, setelah suaminya: Abu Omar bin Hafs bin Al-Mughirah, maka dia memberitahukan kepadanya bahwa Muawiyah dan Abu Jahm telah melamarnya, maka Rasulullah SAW, beliau berkata: “Adapun Abu Jahm, dia tidak boleh meletakkan tongkatnya, dan adapun Muawiyah, dia adalah seorang gelandangan yang tidak punya harta. Menikahlah dengan Osama bin Zaid” .
وتزوج عبد الله بن عمرو بن عثمان فاطمة بنت الحسين بن علي، وتزوج المصعب بن الزبير أختها سكينة، وتزوجها أيضاً عبد الله بن عثمان بن حكيم بن حزام، وتزوج المقداد بن الأسود ضباعة بنة الزبير بن عبد المطلب ابنة عم رسول الله صلّى الله عليه وسلم. وزوج أبو بكر أخته أم فروة الأشعث بن قيس، وهما كنديان (٢).ولأن العجم والموالي بعضهم لبعض أكفاء، وإن تفاضلوا، وشرف بعضهم على بعض، وكذلك العرب.
وإذا حرص العرب على أنسابهم وتفاخروا بها، فإن غير العرب قد حرصوا على أنسابهم، وتتعير المرأة منهم إذا تزوجت من لا يساويها في الحسب والنسب.
Abdullah bin Amr bin Utsman menikah dengan Fathimah binti Al-Hussein bin Ali, Al-Musab bin Al-Zubair menikah dengan adiknya Sakina, Abdullah bin Utsman bin Hakim bin Hizam juga menikahinya, dan Al-Miqdad bin Al-Aswad menikah dengan Daba’ah binti. Al-Zubair bin Abdul Muthalib, sepupu Rasulullah, Abu Bakar menikah dengan saudara perempuannya, Umm Farwa al-Ash`ath ibn Qais, dan mereka berdua orang Kanada .
Dan karena orang-orang non-Arab dan orang-orang non-Arab saling berkompeten, walaupun mereka berbeda pendapat, dan mereka saling menghormati, demikian pula orang-orang Arab. Jika orang-orang Arab tertarik pada garis keturunan mereka dan bangga akan hal itu, maka orang-orang non-Arab juga tertarik pada garis keturunan mereka, dan seorang wanita akan dipermalukan dari mereka jika dia menikah dengan seseorang yang tidak setara dengannya dalam nasab keturunan dan nasab silsilah .
Referensi:
الموسوعة الفقهية – 27130/31949
أنواع الولاية في النكاح:
80 – ذهب الفقهاء إلى أن الولاية في النكاح بحسب المولى عليه نوعان:
ولاية إجبار: وهي تنفيذ القول بالإنكاح على الغير، أي أن يباشر الولي العقد فينفذ على المولى عليه شاء أو أبى.
وولاية اختيار: أو ولاية ندب واستحباب، أو ولاية شركة، على اختلاف بين الفقهاء في تسميتها.
وليس في هذه الولاية تنفيذ القول على الغير أو إجباره، ومقتضاها أن نكاح المولى عليه يصح بعد أخذ إذنه أو اختياره (1) .
وللفقهاء في كل نوع تفصيل:
النوع الأول – ولاية الإجبار:
81 – اتفق الفقهاء على إثبات ولاية الإجبار لبعض الأولياء على بعض المولى عليهم، ولهم في ذلك تفصيل.
82 – قال الحنفية: ولاية الحتم والإيجاب والاستبداد ” الإجبار ” تكون للولي، وهو عندهم العصبة مطلقا، فله إنكاح الصغير والصغيرة، والمجنون والمجنونة لقوله صلى الله عليه وسلم:” النكاح إلى العصبات ” (1) ، والبالغات خرجن بحديث عائشة رضي الله عنها قالت: ” قلت: يا رسول الله يستأمر النساء في أبضاعهن؟ قال: نعم، قلت: فإن البكر تستأمر فتستحي فتسكت. قال: سكاتها إذنها ” (2) وبخروج البالغات بقي الصغار، ولحديث عائشة: ” أن النبي صلى الله عليه وسلم تزوجها وهي بنت ست سنين، وبنى بها وهي بنت تسع سنين ” (3) .
وشرط ثبوت هذه الولاية عندهم كون المولى عليه صغيرا أو صغيرة، أو مجنونا كبيرا أو مجنونة كبيرة، سواء كانت الصغيرة بكرا أو ثيبا، فلا تثبت هذه الولاية على البالغ العاقل ولا على البالغة العاقلة، لأن هذه الولاية تدور مع الصغر وجودا وعدما في الصغير والصغيرة، وفي الكبير والكبيرة تدور
مع الجنون وجودا وعدما، سواء كان الجنون أصليا بأن بلغ مجنونا، أو عارضا بأن طرأ بعد البلوغ، وقال زفر: إذا طرأ لم يجز للمولى التزويج، وعلى أصل الحنفية ينبني أن الأب والجد لا يملكان إنكاح البكر البالغة بغير رضاها عندهم.
وقالوا: إن إثبات ولاية الإنكاح على هؤلاء، لأن النكاح يتضمن المصالح، وذلك يكون بين المتكافئين، والكفء لا يتفق في كل وقت، فمست الحاجة إلى إثبات الولاية على الصغار تحصيلا للمصلحة، والقرابة موجبة للنظر والشفقة فينتظم الجميع، إلا أن شفقة الأب والجد أكثر.
وإن كان المزوج للصغير أو الصغيرة أبا أو جدا، وللمجنون أو المجنونة ابنهما، وللرقيق مالكه لزم النكاح، ولا خيار لواحد من هؤلاء المولى عليهم، ولو كان النكاح بغير كفء أو بغبن فاحش، لوفور شفقة الأولياء، وشدة حرصهم على نفع المولى عليهم فكأنهم باشروه بأنفسهم، ولأن النبي صلى الله عليه وسلم ما خير عائشة رضي الله تعالى عنها حين بلغت، لكنه يشترط في الأولياء عندئذ أن لا يعرف من أي منهم سوء الاختيار مجانة وفسقا وإلا فبطل النكاح.
وإن كان المزوج لواحد من هؤلاء غير من ذكر من الأولياء، فلكل واحد منهم الخيار وإن كان إنكاحه من كفء وبلا غبن – إن شاء أقام على النكاح، وإن شاء فسخ، وقال أبو يوسف: لا خيار لهم كما في إنكاح الأب والجد.
وقالوا: يملك السيد إجبار العبد والأمة والمدبر وأم الولد على النكاح صيانة لملكه وتحصينا له عن الزنا الذي هو سبب هلاكهم أو نقصانهم، وليس للمولى أن يزوج المكاتب والمكاتبة بغير رضاهما، لخروجهما عن يده، ولا يجوز نكاحهما إلا بإذن المولى للرق الثابت فيهما، ويملك المكاتب تزويج أمته لأنه من الاكتساب، ولا يملك تزويج العبد لأنه خسران لا اكتساب، ولو زوج أمته من عبده بغير مهر جاز ولا مهر، وقيل: يجب حقا للشرع ثم يسقط (1) .
83 – وقال المالكية: الولي المجبر أحد الثلاثة:
أ – الأب فله الجبر، ولو بدون صداق المثل، ولو لأقل حال منها، أو لقبيح منظر لثلاث من بناته:
الأولى: البكر ولو عانسا طالت إقامتها عند أبيها وعرفت مصالح نفسها قبل الزواج.وجبر البكر ولو عانسا هو المشهور في المذهب، خلافا لابن وهب حيث قال: للأب جبر البكر ما لم تكن عانسا، لأنها لما عنست صارت كالثيب.
ومنشأ الخلاف هل العلة في الجبر البكارة أو الجهل بمصالح النساء، فالمشهور ناظر للأول، وابن وهب ناظر للثاني.
واستثنى المالكية من جبر البكر من رشدها الأب، أي جعلها رشيدة أو أطلق الحجر عنها لما قام بها من حسن التصرف، وهذه البكر المستثناة من الجبر لا بد من إذنها في النكاح بالقول.
كما استثنوا من أقامت سنة فأكثر ببيت زوجها بعد أن دخل بها ثم تأيمت وهي بكر فلا جبر عليها تنزيلا لإقامتها ببيت الزوج سنة منزلة الثيوبة.
الثانية: الثيب التي لم تبلغ وتأيمت بعد أن أزال الزوج بكارتها، فللأب جبرها لصغرها إذ لا عبرة بثيوبتها في هذه الحالة، والثيب التي بلغت وزالت بكارتها بزنا ولو تكرر متى زال الحياء عن وجهها أو ولدت من الزنا فللأب جبرها، ولا حق لولادتها من الزنا، والثيب التي زالت بكارتها بعارض كوثبة أو ضربة أو نحو ذلك، فللأب جبرها ولو عانسا.
أما من زالت بكارتها بنكاح فاسد ولو مجمعا على فساده فليس للأب جبرها إن درئ الحد لشبهة، وإلا فله جبرها.
الثالثة: المجنونة البالغة الثيب للأب جبرها لعدم تمييزها، ولا كلام لولدها معه إن كان لها ولد رشيد، إلا من تفيق أحيانا فتنتظر إفاقتها لتستأذن ولا تجبر.
ومحل جبر الأب في الثلاث إذا لم يلزم على تزويج أي منهن ضرر عادة، كتزويجها من خصي أو ذي عاهة – كجنون ونحوه – مما يرد به الزوج شرعا، وإلا فلا جبر.
ب – وصي الأب عند عدم الأب فله الجبر فيما للأب جبر فيه، ومحله إن عين له الأب الزوج، وبذل مهر المثل، ولم يكن فاسقا، بخلاف الأب فله جبرها مطلقا ولو بدون مهر المثل، وللوصي الجبر كذلك إن أمره الأب به ولو ضمنا، أو أمره بالنكاح ولم يعين له الزوج ولا الإجبار، بأن قال له: زوجها، أو زوجها ممن أحببت أو لمن ترضاه، وهذا هو الراجح، وقالوا: الراجح الجبر إن ذكر البضع أو النكاح أو التزويج بأن قال له الأب: أنت وصيي على بضع بناتي، أو على نكاح بناتي، أو على تزويجهن، أو وصيي على بنتي تزوجها، أو تزوجها ممن أحببت، وإن لم يذكر شيء من الثلاثة فالراجح عدم الجبر، كما إذا قال: وصيي على بناتي، أو على بعض بناتي، أو على بنتي فلانة، وأما لو قال: وصيي فقط فلا جبر اتفاقا. والوصي في الثيب البالغة إذا أمره الأب بتزويجها كأب، مرتبته بعد الابن، ولا جبر، فإن زوجها مع وجود الابن جاز على الابن، وإن زوجها الأخ برضاها جاز على الوصي، لصحة عقد الأبعد مع وجود الأقرب، والجواز بمعنى المضي بعد الوقوع، وإلا فالابن مقدم على الوصي، وهذا مقدم على الأخ. هذا عن الولي المجبر للأنثى، أما الولي المجبر للذكر فقالوا: يجبر أب ووصي وحاكم لا غيرهم ذكرا مجنونا مطبقا وصغيرا لمصلحة اقتضت تزويجهما، بأن خيف الزنا أو الضرر على المجنون فتحفظه الزوجة، ومصلحة الصبي تزويجه من غنية أو شريفة أو ابنة عم أو لمن تحفظ ماله، ولا جبر للحاكم إلا عند عدم الأب والوصي، إلا إذا بلغ عاقلا أي رشد ثم جن فالكلام للحاكم.
ج – المالك لأمة أو عبد، له جبرهما على النكاح، ولو كان المالك أنثى فلها الجبر كذلك لكن توكل في العقد على الأمة بخلاف العبد فلها العقد بنفسها، ويمتنع الجبر إن كان يلحق المملوك في النكاح الذي يجبر عليه ضرر، كالتزويج لذي عاهة، فلا جبر، ويفسخ النكاح ولو طال الأمد.
وللمالك الجبر ولو كان المملوك عبدا مدبرا أو معتقا لأجل، ما لم يمرض مالك المدبر، أو يقرب أجل العتق كالثلاثة الأشهر فدون، فإن مرض أو قرب الأجل فلا جبر للمالك.
والأصح عند اللخمي وغيره عدم الجبر مطلقا للأنثى المدبرة أو المعتقة لأجل.
ولا جبر للسيد على المبعض والمكاتب، لأن المكاتب أحرز نفسه وماله، والمبعض تعلقت به الحرية.
وكره للسيد جبر أم ولده بعد أن يستبرئها على النكاح، فإن جبرها صح على الأصح، وقيل: لا جبر له عليها، فإن جبرها لم يمض.
وجبر الشركاء مملوكهم – ذكرا أو أنثى – إن اتفقوا على تزويجه، لا إن خالف بعضهم فليس للآخر جبر.
وقدم المالك على سائر الأولياء المجبرين لقوة تصرفه لأنه يزوج الأمة مع وجود أبيها وله جبر الثيب والبكر، والكبيرة والصغيرة، والذكر والأنثى، لأن الرقيق مال من أمواله، وله أن يصلح ماله بأي وجه (1) .
Syafiiyyah berkata: Bagi bapak itu mempunyai hak wilayatul ijbar,yaitu menikahkan terhadap anak laki-laki nya yang kecil , yang mempunyai akal.Walaupun bapak itu tidak minta idzin terlebih dahulu kepada anak laki-lakinya.
Dan bagi bapak itu mempunyai hak untuk menikahkan terhadap anak perempuan nya yang kecil atau yang besar , yang berakal atau yang gila.Walaupun bapak itu tidak minta idzin terlebih dahulu kepada anak perempuan nya.
Tapi disunnatkan bagi bapak untuk menawarkan kepada putrinya bahwa putrinya itu akan dinikahkan dengan seorang calon mempelai laki-laki.Dan idzinnya putrinya itu diketahui dari diamnya putrinya ketika putrinya ditawarkan bahwa putrinya itu akan dinikahkan dengan seorang calon mempelai laki-laki.
٨٤ – وقال الشافعية: للأب ولاية الإجبار وهي تزويج ابنه الصغير العاقل وابنته البكر صغيرة أو كبيرة، عاقلة أو مجنونة بغير إذنها، لخبر: ” الثيب أحق بنفسها من وليها، والبكر يستأذنها أبوها في نفسها ” (١) ، وفي رواية: ” البكر يستأمرها أبوها ” (٢) حملت على الندب، ولأنها لم تمارس الرجال بالوطء فهي شديدة الحياء.
ولتزويج الأب ابنته البكر بغير إذنها شروط:
الأول: أن لا يكون بينه وبينها عداوة ظاهرة، فإن كان فليس له تزويجها إلا بإذنها بخلاف غير الظاهرة لأن الولي يحتاط لموليته لخوف العار وغيره.
الثاني: أن يزوجها من كفء.
الثالث: أن يزوجها بمهر مثلها.
الرابع: أن يكون المهر من نقد البلد.
الخامس: أن لا يكون الزوج معسرا بالمهر.
السادس: أن لا يزوجها بمن تتضرر بمعاشرته كأعمى وشيخ هرم.
السابع: أن لا يكون قد وجب عليها الحج، فإن الزوج قد يمنعها لكون الحج على التراخي، ولها غرض في تعجيل براءة ذمتها.وهذه الشروط منها ما هو معتبر لصحة النكاح بغير الإذن، ومنها ما هو معتبر لجواز الإقدام فقط.فالمعتبر لصحة النكاح دون إذنها من هذه الشروط: أن لا يكون بينها وبين وليها عداوة ظاهرة، وأن يكون الزوج كفئا، وأن يكون موسرا بحال الصداق حتى لا يكون قد بخسها حقها، وما عدا ذلك من الشروط معتبر لجواز الإقدام على عقد النكاح دون إذنها.وقال الشافعية: ويستحب استئذان البكر إذا كانت مكلفة لحديث: ” البكر يستأمرها أبوها “. وتطييبا لخاطرها، أما غير المكلفة فلا إذن لها، ويسن استفهام المراهقة، وأن لا يزوج الصغيرة حتى تبلغ.والمستحب في الاستئذان أن يرسل إليها نسوة ثقات ينظرن ما في نفسها، والأمأولى بذلك لأنها تطلع على ما لا يطلع عليه غيرها.والجد أبو الأب وإن علا كالأب عند عدمه أو عدم أهليته فيما ذكر لأن له ولاية وعصوبة كالأب، ويزيد الجد عليه في صورة واحدة وهي تولي طرفي العقد بخلاف الأب.
ووكيل الأب والجد كالأب والجد، لكن وكيل الجد يتولى طرفي العقد.
ولا أثر لزوال البكارة بلا وطء في القبل، كسقطة، وحدة طمث وطول تعنيس – وهو الكبر – أو بأصبع ونحوه في الأصح كما في منهاج الطالبين – أو الصحيح كما في روضة الطالبين – بل حكمها حكم الأبكار لأنها لم تمارس الرجال فهي على حالها وحيائها، والثاني أنها كالثيب لزوال العذرة، ولو خلقت بلا بكارة فهي بكر.ويلزم المجبر – الأب أو الجد – تزويج مجنونة أطبق جنونها بالغة محتاجة ولو ثيبا لاكتسابها المهر والنفقة، وربما كان جنونها لشدة الشبق، فإن لم يكن للمجنونة أب أو جد لم تزوج المجنونة الصغيرة حتى تبلغ، وحينئذ يزوجها السلطان في الأصح المنصوص، بمراجعة أقاربها تطييبا لقلوبهم ولأنهم أعرف بمصلحتها، والثاني: يزوجها القريب بإذن السلطان لقيامه مقام إذنها.
وتزوج بواسطة السلطان للحاجة – إلى النكاح بظهور علامة شهوتها، أو توقع شفائها بقول عدلين من الأطباء، لأن تزوجها يقع إجبارا وغير الأب والجد لا يملك الإجبار، وإنما يصار إليه للحاجة النازلة منزلة الضرورة، ولا يزوجها لمصلحة كتوفر المؤن في الأصح، والثاني: نعم كالأب والجد، قال ابن الرفعة وهو الأصح، وإذا أفاقت المجنونة – هذه – بعد تزويجها لا خيار لها، لأن تزويجها كالحكم لها أو عليها.ويزوج الأب والجد المجنونة لأنه لا يرجى لها حالة تستأذن فيها، ولهما ولاية الإجبار، إن ظهرت مصلحة في تزويجها، ولا تشترط الحاجة قطعا، لإفادتها المهر والنفقة، بخلاف المجنون، وسواء في جواز التزويج صغيرة وكبيرة، ثيب وبكر، جنت قبل البلوغ أو بعده.ويلزم الولي المجبر – الأب أو الجد – تزويج مجنون بالغ أطبق جنونه وظهرت حاجته للنكاح بظهور رغبته فيه إما بدورانه حول النساء وتعلقه بهن، أو بتوقع شفائه بالوطء بقول عدلين من الأطباء لظهور المصلحة المترتبة على ذلك.فإن تقطع جنون الرجل والمرأة – ولو ثيبا – البالغين لم يزوجا حتى يفيقا ويأذنا، ويكون العقد حال الإفاقة (١) .والأظهر عند الشافعية أنه ليس للسيد إجبار عبده – غير المكاتب والمبعض ولو صغيرا وخالفه في الدين – على النكاح، لأنه لا يملك رفعه بالطلاق، ولأن النكاح يلزم ذمة العبد مالا فلا يجبر عليه كالكتابة.
والثاني: له إجباره كالأمة، وقيل: يجبر الصغير.وللسيد إجبار أمته غير المبعضة والمكاتبة على النكاح، لأن النكاح يرد على منافع البضع وهي مملوكة له، وبهذا فارقت العبد، فيزوجها برقيق ودنيء النسب وإن كان أبوها قرشيا لأنها لا نسب لها، ولا يزوجها بمعيب كأجذم وأبرص ومجنون بغير رضاها – وإن كان يجوز بيعها منه وإن كرهت – ولو أجبرها السيد والحالة هذه على النكاح لم يصح.وإذا طلب العبد البالغ أو الأمة من سيد كل منهما أن يزوجه لم يجبر السيد على ذلك، لأنه يشوش عليه مقاصد الملك وفوائده، ولما فيه من تنقيص القيمة وتفويت الاستمتاع بالأمة عليه، ومقابل الأظهر في العبد: يجبر السيد على إنكاح العبد أو على بيعه، لأن المنع من ذلك يوقعه في الفجور إن خشي العنت، وقيل في الأمة: إن حرمت الأمة على السيد تحريما مؤبدا بنسب أو رضاع أو مصاهرة أوكانت بالغة تائقة خائفة الزنا، لزم السيد تزويجها، إذ لا يتوقع منه قضاء شهوتها، ولا بد من إعفافها، أما إذا كان التحريم لعارض كأن ملك أختين فوطئ إحداهما ثم طلبت الأخرى تزويجها فإنه لا يلزمه إجابتها قطعا (١) . .
٨٥ – وقال الحنابلة في ولاية الإجبار: للأب خاصة تزويج بنيه الصغار، وكذا المجانين ولو بالغين دون إذنهم، لأنه لا قول لهم فكان له ولاية تزويجهم كأولاده الصغار، وحيث زوج الأب ابنه لصغره أو جنونه فإنه يزوجه بغير أمة لئلا يسترق ولده، ولا معيبة عيبا يرد به النكاح كرتقاء وجذماء لما فيه من التنفير، ويزوج الأب ابنه الصغير والمجنون بمهر المثل وغيره ولو كرها، وليس لأي منهما خيار إذا بلغ وعقل.وللأب تزويج بناته الأبكار ولو بعد البلوغ دون إذنهن لقول النبي صلى الله عليه وسلم: ” الأيم أحق بنفسها من وليها، والبكر تستأذن في نفسها وإذنها صماتها ” (١) فلما قسم النساء قسمين وأثبت الحق لأحدهما دل على نفيه عن القسم الآخر وهي البكر، فيكون وليها أحق منها بها، ودل الحديث على أن الاستئذان هنا والاستئمار في حديث آخر مستحب غير واجب.وللأب أيضا تزويج ثيب لها دون تسع سنين بغير إذنها، لأنه لا إذن لها.وليس للجد تزويج هؤلاء بدون إذنهم لعموم الأحاديث، ولأنه قاصر عن الأب فلم يملك الإجبار كالعم. ويسن استئذان بكر بالغة هي وأمها، أما هي فلما تقدم، وأما أمها فلحديث ابن عمر رضي الله عنهما مرفوعا: ” آمروا النساء في بناتهن ” (١) ، ويكون استئذان الولي لها بنفسه أو بنسوة ثقات ينظرن ما في نفسها لأنها قد تستحيي منه، وأمها بذلك أولى لأنها تطلع منها على ما تخفيه على غيرها.وحيث أجبرت البكر أخذ بتعيين بنت تسع سنين فأكثر كفئا لا بتعيين المجبر من أب أو وصيه، لأن النكاح يراد للرغبة فلا تجبر على من لا ترغب فيه.وقد صرح بعض علماء الحنابلة بأنه يشترط للإجبار شروط هي:أن يزوجها من كفء بمهر المثل، وأن لا يكون الزوج معسرا، وأن لا يكون بينها وبين الأب عداوة ظاهرة، وأن يزوجها بنقد البلد، فإن امتنع المجبر من تزويج من عينته بنت تسع سنين فأكثر، فهو عاضل سقطت ولايته، ويفسق به إن تكرر (٢) .
وقالوا: وأما المجنونة فلجميع الأولياء تزويجها إذا ظهر منها الميل للرجال، لأن لها حاجة إلى النكاح لدفع ضرر الشهوة عنها، وصيانتها عن الفجور، وتحصيل المهر والنفقة والعفاف وصيانة العرض، ولا سبيل إلى إذنها فأبيح تزويجها كالبنت مع أبيها، ويعرف ميلها إلى الرجال من كلامها وتتبعها الرجال وميلها إليهم ونحوه من قرائن الأحوال، وكذا إن قال ثقة من أهل الطب إن تعذر غيره وإلا فاثنان: إن علتها تزول بتزويجها، فلكل ولي تزويجها لأن ذلك من أعظم مصالحها كالمداواة، ولو لم يكن للمجنونة ذات الشهوة ونحوها ولي إلا الحاكم زوجها.وإن احتاج الصغير العاقل أو المجنون المطبق البالغ إلى النكاح لوطء أو خدمة أو غيرهما زوجهما الحاكم بعد الأب والوصي، أي مع عدمهما، لأنه ينظر في مصالحهما إذن، ولا يملك تزويجهما بقية الأولياء وهم من عدا الأب ووصيه والحاكم لأنه لا نظر لغير هؤلاء في مالهما ومصالحهما المتعلقة به، وإن لم يحتاجا إلى النكاح فليس للحاكم تزويجهما، لأنه إضرار بهما بلا منفعة (١) .وللسيد عند الحنابلة إجبار إمائه الأبكار والثيب على النكاح، لا فرق بين الكبيرة والصغيرة منهن، ولا بين القن والمدبرة وأم الولد، لأن منافعهن مملوكة له، والنكاح عقد على منفعتهن، ولذلك ملك الاستمتاع بها، وبهذا فارقت العبد، ولأنه ينتفع بذلك ما له من مهرها وولدها وتسقط عنه نفقتها وكسوتها، ولا فرق بين كونها مباحة أو محرمة عليه كأخته من رضاع.ولا يجبر مكاتبته ولو صغيرة لأنها بمنزلة الخارجة عن ملكه، ولذلك لا يلزمه نفقتها، ولا يملك إجارتها ولا أخذ مهرها.وللسيد إجبار عبده الصغير، وكذا المجنون ولو بالغا، لأن الإنسان إذا ملك تزويج ابنه الصغير والمجنون فعبده كذلك مع ملكه وتمام ولايته أولى.ولا يملك السيد إجبار عبده الكبير العاقل على النكاح، لأنه مكلف يملك الطلاق فلا يجبر على النكاح كالحر، والأمر بإنكاحه مختص بحالة طلبه (١) .
النوع الثاني: ولاية المشاركة أو ولاية الندب والاستحباب:
٨٦ – هذه الولاية تفيد أن نكاح المولى عليها إنما يكون بعد أخذ إذنها ندبا واستحبابا عند أبي حنيفة وأبي يوسف، أو ولاية مشتركة بين الولي والمولى عليها عند محمد من الحنفية، أي لا ينعقد نكاح الولي إلا بعد أخذ إذن المولى عليها كما نص المالكية والشافعية والحنابلة.
وللفقهاء في ذلك تفصيل:
٨٧ – فيرى أبو حنيفة وأبو يوسف في رأيه الأول أنه لا إجبار على البكر البالغة العاقلة في النكاح، وكذلك الحر البالغ العاقل والمكاتب والمكاتبة ولو صغيرين، لقول النبي صلى الله عليه وسلم: ” الثيب أحق بنفسها من وليها، والبكر تستأمر، وإذنها سكوتها ” (١) ، وقالت عائشة: ” يا رسول الله، يستأمر النساء في أبضاعهن؟ قال: نعم، قلت: فإن البكر تستأمر فتستحي فتسكت. قال: سكاتها إذنها ” (٢) .ولأن ولاية الحتم والإيجاب في حالة الصغر إنما تثبت بطريق النيابة عن الصغيرة لعجزها عن التصرف على وجه النظر والمصلحة بنفسها، وبالبلوغ والعقل زال العجز وثبتت القدرة حقيقة، ولهذا صارت من أهل الخطاب في أحكام الشرع، إلا أنها مع قدرتها حقيقة عاجزة عن مباشرة النكاح عجز ندب واستحباب، لأنها تحتاج إلى الخروج إلى محافل الرجال، والمرأة مخدرة مستورة والخروج إلى محفل الرجال من النساء عيب في العادة، فكان عجزها عجز ندب واستحباب لا حقيقة، فثبتت الولاية عليها على حسب العجز، وهي ولاية ندب واستحباب لا ولاية حتم وإيجاب إثباتا للحكم على قدر العلة.وأما طريق محمد فهو أن الثابت بعد البلوغ ولاية الشركة لا ولاية الاستبداد، فلا بد من الرضا كما في الثيب البالغة (١) .وإذا كان الرضا في نكاح البالغة العاقلة شرط الجواز فإنها إذا زوجت بغير إذنها توقف التزويج على رضاها، فإن رضيت جاز، وإن ردت بطل.وفرق الحنفية – كسائر فقهاء المذاهب – بين ما يعرف به الرضا بالنكاح من الثيب، وما يعرف به من البكر البالغة العاقلة، فقالوا: إن كانت المرأة التي يراد تزويجها ثيبا فرضاها يعرف بالقول تارة وبالفعل أخرى، أما القول فهو التنصيص على الرضا وما يجرى مجراه، والأصل فيه قوله صلى الله عليه وسلم: ” الثيب تستأمر في نفسها ” (٢) ، وقوله صلى الله عليه وسلم: ” الثيب تعرب عن نفسها ” (١) ، وأما الفعل نحو التمكين من نفسها، والمطالبة بالمهر والنفقة، ونحو ذلك، لأن هذا دليل الرضا، وهو يثبت بالنص مرة وبالدليل أخرى، والأصل فيه ما روي عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال لبريرة رضي الله تعالى عنها: ” إن وطأك فلا خيار لك ” (٢) .وإن كانت المرأة بكرا فيعرف رضاها بهذين الطريقين، وبثالث وهو السكوت، وهذا استحسان، والقياس أن لا يكون سكوتها رضا.وجه الاستحسان ما ورد عن عائشة رضي الله عنها ” أنها سألت رسول الله صلى الله عليه وسلم: يستأمر النساء في أبضاعهن؟ قال: نعم. فقالت عائشة رضي الله تعالى عنها: فإن البكر تستأمر فتستحي فتسكت، فقال صلى الله عليه وسلم: سكاتها إذنها ” وروي: ” سكوتها رضاها ” وروي: ” سكوتها إقرارها ” (٣) ، وكل ذلك نص في الباب، ولأن البكر تستحي عن النطق بالإذن في النكاح، لما فيه من إظهار رغبتها في الرجال فتنسب إلى الوقاحة، فلو لم يجعل سكوتها إذنا ورضا بالنكاح دلالة، وشرط استنطاقها وهي لا تنطق عادة، لفاتت عليها مصالح النكاح مع حاجتها إلى ذلك، وهذا لا يجوز، وترجح جانب الرضا على جانب السخط في سكوت البكر لأنها لو لم تكن راضية لردت، لأنها إن كانت تستحي عن الإذن فلا تستحي عن الرد، فلما سكتت ولم ترد دل على أنها راضية، بخلاف ما إذا زوجها أجنبي أو ولي غيره أولى منه، لأن احتمال السخط – في حالة السكوت – ازداد، فقد يكون سكوتها عن جوابه مع أنها قادرة على الرد تحقيرا له وعدم مبالاة بكلامه، فبطل رجحان دليل الرضا، ولأنها إنما تستحي من الأولياء من الأجانب، والأبعد عند قيام الأقرب وحضوره أجنبي، فكانت في حق الأجانب كالثيب، فلا بد من فعل أو قول يدل على الرضا، ولأن المزوج إذا كان أجنبيا أو كان الولي الأبعد كان النكاح من طريق الوكالة لا من طريق الولاية لانعدامها، والوكالة لا تثبت إلا بالقول، وإذا
كان وليا فالجواز بطريق الولاية فلا يفتقر إلى القول.ووجه القياس الذي لا يعتبر سكوت المرأة رضا أن السكوت يحتمل الرضا ويحتمل السخط، فلا يصلح دليل الرضا مع الشك والاحتمال، ولهذا لم يجعل دليلا إذا كان المزوج أجنبيا أو وليا غيره أولى منه.والسنة للولي أن يستأمر البكر قبل النكاح ويذكر لها الزوج، فيقول: إن فلانا يخطبك أو يذكرك، فإذا سكتت فقد رضيت، لما ورد عن عائشة وغيرها، فإذا زوجها من غير استئمار فقد أخطأ السنة، زاد في البحر عن المحيط: وتوقف على رضاها، وقد صح ” أنه صلى الله عليه وسلم لما أراد أن يزوج فاطمة من علي رضي الله تعالى عنهما دنا إلى خدرها فقال: إن عليا يذكرك فسكتت فزوجها ” (١) .ولو استأذن الولي البكر البالغة العاقلة في النكاح فضحكت غير مستهزئة، أو تبسمت، أو بكت بلا صوت فهو إذن – في المختار للفتوى – لأنه حزن على مفارقة أهلها، وإنما يكون ذلك عند الإجازة، وعن أبي يوسف في البكاء أنه رضا لأنه لشدة الحياء، وعن محمد رد لأن وضعه لإظهار الكراهة، قال ابن الهمام بعدما سبق: والمعول عليه اعتبار قرائن الأحوال في البكاء والضحك، فإن تعارضت أو أشكل احتيط.ولو استأذنها الولي فبكت بصوت لم يكن إذنا ولا ردا، حتى لو رضيت بعده انعقد كما قال الحصكفي نقلا عن المعراج وغيره.والحكم كذلك لو استأذنها الولي بواسطة وكيله أو رسوله، أو زوجها وليها وأخبرها رسوله أو فضولي عدل.ولو قال الولي للبكر: أريد أن أزوجك فلانا، فقالت: غيره أولى منه لم يكن إذنا، ولو زوجها ثم أخبرها فقالت: قد كان غيره أولى منه كان إجازة، لأن قولها في الأول إظهار عدم الرضا بالتزويج من فلان، وقولها في الثاني قبول أو سكوت عن الرد، وسكوت البكر عن الرد يكون رضا.ولو قال الولي للبكر: أريد أن أزوجك من رجل ولم يسمه فسكتت لم يكن رضا كذا روي عن محمد، لأن الرضا بالشيء بدون العلم به لا يتحقق.ولو قال: أزوجك فلانا أو فلانا حتى عد جماعة فسكتت، فمن أيهم زوجها جاز.ولو سمى لها الجماعة مجملا بأن قال: أريد أن أزوجك من جيراني أو من بني عمي فسكتت، فإن كانوا يحصون فهو رضا، وإن كانوا لا يحصون لم يكن رضا، لأنهم إذا كانوا يحصون يعلمون فيتعلق الرضا بهم، وإذا لم يحصوا لم يعلموا فلا يتصور الرضا، لأن الرضا بغير المعلوم محال.
ولو سمى الولي لها الزوج ولم يسم المهر فسكتت فسكوتها رضا على ما صححه التمرتاشي والمرغيناني وشراح كتابيهما تنوير الأبصار والهداية وجمهور المتقدمين، لأن للنكاح صحة بدون ذكر المهر، وقيل يشترط تسمية قدر الصداق مع تسمية الزوج، لاختلاف الرغبة باختلاف الصداقة قلة وكثرة، وتمام الرضا لا يثبت إلا بذكر الزوج والمهر وهو ما نقله الحصكفي عن المتأخرين، ونقله الكاساني عن الفتاوي.ولو استأذن المرأة غير الولي الأقرب، كأجنبي أو ولي بعيد، فلا عبرة لسكوتها بل لا بد من القول أو ما هو في معناه من فعل يدل على الرضا كطلب مهرها ونفقتها، وتمكينها من الوطء، ودخوله بها برضاها، وقبول التهنئة والضحك سرورا، ونحو ذلك، لأن السكوت إنما جعل رضا عند الحاجة أي عند استئمار الولي وعجزها عن المباشرة، فلا يقاس عليه عدم الحاجة وهو من لا يملك العقد ولا التفات إلى كلامه.
وقالوا: من زالت بكارتها بوثبة – أي نطة – من فوق إلى أسفل، أو طفرة وهي عكس النطة، أو درور حيض، أو حصول جراحة، أو تعنيس فهي بكر حقيقة، لأن البكر عندهم المرأة التي لم تجامع بنكاح ولا غيره، كما نقل ابن عابدين عن الظهيرية، فهي وإن زالت منها العذرة – أي الجلدة التي على المحل – فإن بكارتها لم تزل لأنها لم تجامع، فهي بكر حقيقة، وهي كذلك بكر حكما تزوج كما تزوج الأبكار، وتأخذ في الرضا وغيرها حكم الأبكار حتى تدخل – كما قال ابن مودود الموصلي – تحت الوصية لهم بالإجماع.ومن زالت عذرتها بوطء يتعلق به ثبوت النسب، وهو الوطء بعقد جائز أو فاسد أو شبهة عقد تزوج كما تزوج الثيب، ولا يكفي في رضاها السكوت.وإذا زالت عذرتها بالزنا فإنها تزوج كما تزوج الأبكار في قول أبي حنيفة، لأنه علة إقامة السكوت مقام النطق في البكر الحياء، وهو موجود في حق هذه وإن كانت ثيبا حقيقة، لأن زوال بكارتها لم يظهر للناس فيستقبحون منها الإذن بالنكاح صريحا ويعدونه من باب الوقاحة، ولا يزول ذلك ما لم يوجد النكاح أو يشتهر الزنا، ولو اشترط نطقها فإن لم تنطق تفوتها مصلحة النكاح، وإن نطقت والناس يعرفونها بكرا تتضرر باشتهار الزنا عنها، فوجب أن لا يشترط دفعا للضرر. وقال أبو يوسف ومحمد: تزوج كما تزوج الثيب لقوله صلى الله عليه وسلم: ” البكر تستأمر والثيب تشاور ” (١) وهذه ثيب حقيقة، لأن الثيب حقيقة من زالت عذرتها وهذه كذلك، فيجرى عليها أحكام الثيب، ومن أحكامها أنه لا يجوز نكاحها بغير إذنها نصا فلا يكتفى بسكوتها.ولو كانت مشتهرة بالزنا، بأن أقيم عليها الحد، أو اعتادته وتكرر منها، أو قضى عليها بالعدة، تستنطق بالإجماع لزوال الحياء وعدم التضرر بالنطق.
ولو مات زوج البكر أو طلقها قبل الدخول تزوج كالأبكار، لبقاء البكارة والحياء (2) .
88 – ويرى المالكية أن الولي غير المجبر هو من عدا الذين سبق ذكرهم في ولاية الإجبار، وهم الأب والوصي والحاكم والمالك، وعليه لا تزوج بالغ إلا بإذنها، سواء كانت بكرا أو ثيبا، والإذن من كل منهما مختلف فإذن البكر غير المجبرة صمتها، أي إذا سئلت، هل ترضين بأن نزوجك من فلان على مهر قدره كذا على أن الذي يتولى العقد فلان؟ فلا تكلف النطق، وندب إعلامها بأن سكوتها إذن ورضا، فإن لم تعلم بذلك وادعت الجهل فلا تقبل دعواها وتم النكاح عند الأكثر.ولا تزوج البكر إن منعت، بأن قالت: لا أتزوج أو لا أرضى أو ما في معناه، وكذا إن نفرت، لأن النفور دليل عدم الرضا، لا إن ضحكت أو بكت فتزوج، لأن بكاءها يحتمل أنه لفقد أبيها الذي يتولى عقدها.
والثيب – ولو سفيهة – تعرب عن الرضا أو المنع، ولا يكتفى منها بالصمت ويشارك الثيب في عدم الاكتفاء بالصمت ست أبكار:
الأولى: البكر التي رشدها أبوها بأن أطلق الحجر عنها في التصرف المالي وهي بالغ فلا بد من إذنها بالقول.
الثانية: البكر التي عضلت فرفعت أمرها إلى الحاكم فزوجها الحاكم لا بد من إذنها بالقول، فإن أمر الحاكم أباها بالعقد، فأجاب وزوجها لم يحتج لإذن، لأنه مجبر.
الثالثة: البكر المهملة التي لا أب لها ولا وصي وزوجت بعرض، وهي من قوم لا يزوجون بالعروض، أو يزوجون بعرض معلوم فزوجها وليها بغيره لا بد من نطقها بأن تقول: رضيت به، ولا تكفي الإشارة.
الرابعة: البكر ولو مجبرة التي زوجت برقيق – أي التي أراد وليها أن يزوجها لرقيق – لا بد من إذنها بالقول، لأن العبد ليس بكفء للحرة.
الخامسة: البكر التي زوجت لذي عيب – كجذام وبرص وجنون وخصاء – فلا بد من نطقها بأن تقول: رضيت به مثلا.
السادسة: غير المجبرة التي افتيت عليها، أي تعدى عليها وليها غير المجبر فعقد عليها بغير إذنها ثم أنهى إليها الخبر فرضيت، فيصح النكاح، ولا بد من رضاها بالقول.
وقال المالكية: يصح عقد المفتات عليها إذا رضيت بعقد وليها عليها افتياتا بشروط ستة:
الأول: أن يقرب رضاها، بأن يكون العقد بالسوق أو بالمسجد مثلا ويسار إليها بالخبر من وقته.
الثاني: أن يكون الرضا بالقول، فلا يكفي الصمت.
الثالث: أن لا يقع منها رد للنكاح قبل الرضا به.
الرابع: أن تكون من افتيت عليها بالبلد حال الافتيات والرضا، فإن كانت بآخر لم يصح ولو قرب البلدان وأنهى إليها الخبر من وقته. الخامس: أن لا يقر الولي بالافتيات حال العقد، بأن سكت أو ادعى أنه مأذون، فإن أقر به لم يصح.
السادس: أن لا يكون الافتيات على الزوجة والزوج معا، فإن كان عليهما معا لم يصح ولا بد من فسخه.
والافتيات على الزوج كالافتيات على الزوجة في جميع ما مر، أي فيصح العقد إن رضي به نطقا، مع الشروط السابقة (١) .
٨٩ – وقال الشافعية: ليس للولي المجبر تزويج ثيب بالغة وإن عادت بكارتها إلا بإذنها، لخبر: ” لا تنكحوا الأيامى حتى تستأمروهن ” (٢) ، ولأنها عرفت مقصود النكاح فلا تجبر بخلاف البكر، فإن كانت تلك الثيب صغيرة غير مجنونة وغير أمة لم تزوج، سواء احتملت الوطء أم لا، حتى تبلغ، لأن إذن الصغيرة ليس معتبرا فامتنع تزويجها إلى البلوغ، أما المجنونة فيزوجها الأب والجد عند عدمه قبل بلوغها للمصلحة، وأما الأمة فلسيدها أن يزوجها.وقالوا: وسواء في حصول الثيوبة واعتبار إذنها زوال البكارة بوطء في قبلها حلال كالنكاح أو حرام كالزنا أو بوطء لا يوصف بهما كشبهة، ولا فرق في ذلك بين أن يكون في نوم أو يقظة، والوطء في الدبر لا أثر له على الصحيح، لأنها لم تمارس الرجال بالوطء في محل البكارة.ولا أثر لزوال البكارة بلا وطء في القبل، كسقطة وحدة طمث وطول تعنيس – وهو الكبر – أو بأصبع ونحوه في الأصح كما في منهاج الطالبين، أو الصحيح كما في روضة الطالبين بل حكمها حكم الأبكار لأنها لم تمارس الرجال فهي على حالها وحيائها، والثاني أنها كالثيب لزوال العذرة، ولو خلقت بلا بكارة فهي بكر (١) .
٩٠ – وقال الحنابلة: لا يجوز لغير الأب من الأولياء تزويج حرة كبيرة بالغة – ثيبا كانت أو بكرا – إلا بإذنها، لحديث: ” لا تنكح الأيم حتى تستأمر، ولا تنكح البكر حتى تستأذن قالوا: يا رسول الله وكيف إذنها؟ قال: أن تسكت ” (١) إلا المجنونة فلسائر الأولياء تزويجها إذا ظهر منها الميل للرجال، لأن لها حاجة إلى النكاح لدفع ضرر الشهوة عنها، وصيانتها عن الفجور، وتحصيل المهر والنفقة العفاف وصيانة العرض، ولا سبيل إلى إذنها فأبيح تزويجها، كالبنت مع أبيها، ويعرف ميلها إلى الرجال من كلامها وتتبعها الرجال وميلها إليهم ونحوه من قرائن الأحوال، وكذا إن قال ثقة من أهل الطب إن تعذر غيره وإلا فاثنان: إن علتها تزول بتزويجها، فكل ولي تزويجها لأن ذلك من أعظم مصالحها كالمداواة، ولو لم يكن للمجنونة ذات الشهوة ونحوها ولي إلا الحاكم زوجها.وليس لمن عدا الأب ووصيه الذي نص عليه تزويج صغيرة لها دون تسع سنين بحال، ولهم تزويج بنت تسع سنين فأكثر بإذنها، ولها إذن صحيح معتبر نصا، لما روي عن عائشة رضي الله تعالى عنها أنها قالت: ” إذا بلغت الجارية تسع سنين فهي امرأة ” (٢) ، وروي مرفوعا عن ابن عمر رضي الله تعالى عنهما (١) ، ومعناه: في حكم المرأة، ولأنها تصلح بذلك للنكاح وتحتاج إليه، أشبهت البالغة.
وإذن الثيب الكلام لقوله صلى الله عليه وسلم: ” الثيب تعرب عن نفسها ” (2) ، وهي من وطئت في القبل بآلة الرجال ولو بزنا، وحيث حكمنا بالثيوبة وعادت البكارة لم يزل حكم الثيوبة، لأن الحكمة التي اقتضت التفرقة بينها وبين البكر مباضعة الرجال وهذا موجود مع عود البكارة.
وإذن البكر الصمات ولو زوجها غير الأب لما سبق، وإن ضحكت أو بكت فذلك كسكوتها، لما ورد عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ” تستأمر اليتيمة فإن سكتت فهو إذنها، وإن أبت فلا جواز عليها ” وفي رواية: ” فإن بكت أو سكتت ” (٣) ولأنها غير ناطقة بالامتناع مع سماعها للاستئذان فكان ذلك إذنا منها، ونطق البكر أبلغ من سكوتها وضحكها وبكائها لأنه الأصل في الإذن وإنما اكتفي منها بالصمات للاستحياء، فإن أذنت نطقا فقد تم الإذن، وإن لم تأذن نطقا استحب أن لا يجبرها على النطق، واكتفي بسكوتها إن لم تصرح بالمنع.وزوال البكارة بأصبع أو وثبة أو شدة حيضة ونحوه كسقوط من شاهق لا يغير صفة الإذن، فلها حكم البكر في الإذن، لأنها لم تخبر المقصود ولا وجد وطؤها في القبل فأشبهت من لم تزل عذرتها، وكذا وطء في الدبر ومباشرة دون الفرج لأنها غير موطوءة في القبل.
ويعتبر في الاستئذان تسمية الزوج على وجه تقع معرفة المرأة به، بأن يذكر لها نسبه ومنصبه ونحوه لتكون على بصيرة من إذنها في تزويجه لها، ولا يشترط في الاستئذان تسمية المهر لأنه ليس ركنا في النكاح ولا مقصودا منه، قال البهوتي: ولا يشترط أيضا اقترانه بالعقد، ولا يشترط الإشهاد على إذنها لوليها أن يزوجها ولو غير مجبرة، والاحتياط الإشهاد (١) . والله أعلم بالصواب