
BATASAN UMUR ANAK HARUS DIPISAH TEMPAT TIDURNYA DENGAN ORANG TUANYA
Deskripsi masalah
Anak merupakan anugerah dari Allah kepada manusia yang dikehendakinya, berarti tidak setiap manusia yang berkeluarga itu punya keturunan , jika Allah tidak menghendakinya. Oleh karena itu manusia hanya berusaha , sedangkan pemberi mutlak adalah Allah subhanahu wa ta’ala baik pemberian itu berupa anak perempuan ataupun anak laki-laki.
لله ملك السموات والأرض يخلق مايشاء ويهب لمن يشاء إناثا ويهب لمن يشاء الذكور
Milik Allah-lah kerajaan langit dan bumi; Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki, memberikan anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki dan memberikan anak laki-laki kepada siapa yang Dia kehendaki, (QS. Asy-Syura: 49).
Dari ayat tersebut jelas bahwa anak perempuan maupun laki itu ada anugerah Allah yang diberikan kepada orang dikehendakinya. Artinya jika seorang ingin punya anak laki dan sudah ikhtiar tapi diberi perempuan maka harus diterima begitu juga sebaliknya, dan orang tidak dikaruniai anak, haruslah menerima, dan yang dikaruniai haruslah bersyukur karena anak merupakan nikmat ( anugerah ) dari Allah, selain itu anak adalah amanah, dimana setiap orang tua punya kewajiban- kewajiban ( tanggung jawab ) yang harus dilaksanakan sehingga nantinya diharapkan anak mereka menjadi anak yang sholeh dan sholehah yang menjadi pertanyaan.
Pertanyaanya:
Apa termasuk kewajiban orang tua memisahkan anak kecil dari tempat tidurnya bersamanya ?.. lalu kapan itu harus terjadi?
Kalau bisa mohon jelaskan kewajiban- kewajiban orang tua terhadap anak..?
Waalaikum salam.
Jawaban.
Kewajiban orang tua terhadap anak adalah mendidik dengan pendidikan ilmu pendidikan agama islam seperti Akidah akhlak dan dll.
قال علي بن أبي طالب – رضي الله عنه – علموا أولادكم فإنهم مخلوقون لزمان غير زمانكم
“Didiklah anak-anakmu itu, karena sesungguhnya mereka diciptakan pada satu zaman selain masamu ( untuk mengisi masa depan bukan masamu”)
عَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : اَدِّبُوْا اَوْلَادَكُمْ عَلَى ثَلَاثِ خِصَالٍ : حُبِّ نَبِيِّكُمْ وَحُبِّ اَهْلِ بَيْتِهِ وَ قِرَأَةُ الْقُرْأَنِ فَإِنَّ حَمْلَةَ الْقُرْأَنُ فِيْ ظِلِّ اللهِ يَوْمَ لَا ظِلٌّ ظِلَّهُ مَعَ اَنْبِيَائِهِ وَاَصْفِيَائِهِ
Dari Ali R.A ia berkata : Rasulullah SAW bersabda : “Didiklah anak-anak kalian dengan tiga macam perkara yaitu mencintai Nabi kalian dan keluarganya serta membaca Al-Qur’an, karena sesungguhnya orang yang menjunjung tinggi Al-Qur’an akan berada di bawah lindungan Allah, diwaktu tidak ada lindungan selain lindungan-Nya bersama para Nabi dan kekasihnya” (H.R Ad-Dailami)
Selain itu orang tua punya kewajiban memerintah anak untuk melakukan sholat ketika berumur tujuh tahun dan wajib memukulnya ketika tidak melakukan sholat pada umur 10 tahun, dan termasuk kewajiban orang tua adalah memisah kan tempat tidurnya dengan orang tuanya, kapan itu? Yaitu ketika sudah memasuki mumayyiz dan baligh. Sebagaimana keterangan hadits berikut:
مُرُوا أَوْلَادَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ، وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا، وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرٍ وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ
“Perintahlah anak-anak kalian untuk melakukan shalat saat mereka berumur tujuh tahun, pukullah mereka (jika tidak melaksanakan shalat) saat mereka telah berumur sepuluh tahun, dan pisahlah tempat tidur di antara mereka” (HR Abu Daud).
Berdasarkan hadits ini, para ulama berpandangan bahwa tempat tidur anak harus dipisah, baik dengan orang tua ataupun saudaranya, tatkala anak sudah menginjak tamyiz dan usia sepuluh tahun. Kewajiban ini selain berlandaskan dalil hadits di atas, juga dimaksudkan agar menjauhi prasangka buruk (mawadhi’ at-tuham) serta agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, sebab usia sepuluh tahun merupakan usia-usia mulai munculnya syahwat (madzinnah as-syahwat). Kewajiban memisah ranjang ini salah satunya dijelaskan sebagaimana berikut:
موسو عة الحديث
وفي هذا الحَديثِ يَقولُ النَّبيُّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم: “إذا بلَغَ أولادُكم سبْعَ سِنينَ، ففَرِّقُوا بين فُرشِهم”، أي: إذا بَلَغوا سِنَّ السَّابعةِ يُفرَّقُ بين الأولادِ بصِفةٍ عامَّةٍ، وبين الذُّكورِ والإناثِ بصِفةٍ خاصَّةٍ في النَّومِ بجانبِ بعضِهم البعضِ، ويُفْصَلُ بينَهم؛ وهو سِنُّ مَظِنَّةِ التَّمييزِ عندَ الطِّفلِ، حتَّى إذا وصَلوا إلى سِنِّ البُلوغِ والشَّهوةِ يَكونونَ قَدِ اعْتادوا على هذا الفَصْلِ، والْمُرادُ بالفُرشِ: أماكِنُ النَّومِ، “وإذا بلَغُوا عشْرَ سِنينَ فاضْرِبُوهم على الصَّلاةِ”، أي: إذا بَلَغَ الطِّفْلُ عَشْرَ سِنينَ أُلْزِمَ بالصَّلاةِ الَّتي ظَلَّ ثلاثَ سنَواتٍ يتَدرَّبُ عليها كما في روايةِ أبي داودَ مِن حديثِ عبدِ اللهِ بنِ عمرٍو رضِيَ اللهُ عنهما: “مُرُوا أولادَكم بالصَّلاةِ وهم أبناءُ سبْعِ سِنينَ، واضْرِبوهم عليها وهم أبناءُ عشْرٍ”، فإذا قَصَّر في الصَّلاةِ بَعْدَ هذه السِّنِّ ضُرِبَ وعُوقِبَ حتَّى يعتادَ على أدائِها، فإذا ما دَخَل وقتُ التَّكليفِ يكونونَ قد اعْتادوا عليها دونَ أَدْنى تَفريطٍ مِنْهم في تِلْكَ العِبادةِ.
وفي الحديثِ: بيانُ عِظَمِ قَدْرِ الصَّلاةِ والاهتمامِ بها، ومشروعيَّةُ ضَرْبِ الأبناءِ على التَّقصيرِ في الصَّلاةِ عِنْدَ بُلوغِهم سِنَّ العاشِرةِ. وفيه: الحثُّ على تَعليمِ الأولادِ ما يَنفعُهم ويُصلِحُهم، والحثُّ على سَدِّ كلِّ ذَرائعِ الفِتنةِ بينَ الذُّكورِ والإناثِ.
kitab Kifayah al-Akhyar:
يحرم على الرجل أَن يضاجع الرجل وَكَذَا يحرم على الْمَرْأَة أَن تضاجع الْمَرْأَة فِي فرَاش وَاحِد وَإِن كَانَ كل وَاحِد مِنْهُمَا فِي جَانب الْفراش كَذَا أطلقهُ الرَّافِعِيّ وَتَبعهُ النَّوَوِيّ على ذَلِك فِي الرَّوْضَة وَقيد النَّوَوِيّ التَّحْرِيم فِي شرح مُسلم بِمَا إِذا كَانَا عاريين وَهَذَا الْقَيْد صرح بِهِ القَاضِي حُسَيْن والهروي وَغَيرهمَا وَقد ورد فِي بعض الرِّوَايَات ذَلِك وَإِذا بلغ الصَّبِي والصبية عشر سِنِين وَجب التَّفْرِيق بَينه وَبَين امهِ وَأَبِيهِ وَأُخْته وأخيه فِي المضجع للنصوص الْوَارِدَة فِي ذَلِك وَالله أعلم “
Haram bagi seorang laki-laki tidur seranjang dengan laki-laki yang lain, begitu juga bagi perempuan haram tidur satu ranjang dengan perempuan yang lain, meskipun masing-masing dari mereka berada di sisi ranjang yang lain, seperti yang dimutlakkan oleh Imam ar-Rafi’i dan diikuti oleh Imam an-Nawawi dalam kitab ar-Raudhah, sedangkan dalam kitab Syarah Muslim, Imam an-Nawawi membatasi keharaman tersebut ketika mereka dalam keadaan telanjang. Batasan demikian sama halnya yang ditegaskan oleh Qadli Husein, al-Harawi dan ulama lainnya. Pembatasan demikian juga terdapat dalam sebagian riwayat. Dan ketika anak kecil laki-laki dan perempuan telah menginjak usia sepuluh tahun, maka wajib untuk memisahkan mereka dengan ibu, bapak, saudara laki-laki, dan perempuannya dengan ranjang yang berbeda, sebab terdapat dalil nash yang menyebutkan hal ini. Wallahu a’lam” (Abu Bakar bin Muhammad al-Husaini, Kifayah al-Akhyar, hal. 354) Meski demikian, sebagian ulama berpendapat bahwa kewajiban memisahkan tempat tidur anak tidak dimulai dari usia sepuluh tahun, melainkan sejak anak menginjak usia tujuh tahun. Pendapat ini salah satunya diusung oleh Imam az-Zarkasyi dengan berpijak pada dalil hadits yang lain yang menyebutkan usia tujuh tahun sebagai pijakan utama dalam pemisahan tempat tidur anak. Berikut penjelasan mengenai hal ini:
وَمَا ذَكَرَهُ مِنْ اعْتِبَارِ الْعَشْرِ فِي التَّفْرِيقِ نَازَعَ فِيهِ الزَّرْكَشِيُّ وَغَيْرُهُ فَقَالُوا بَلْ الْمُعْتَبَرُ السَّبْعُ لِخَبَرِ «إذَا بَلَغَ أَوْلَادُكُمْ سَبْعَ سِنِينَ فَفَرِّقُوا بَيْنَ فُرُشِهِمْ» رَوَاهُ الدَّارَقُطْنِيُّ وَالْحَاكِمُ وَقَالَ إنَّهُ صَحِيحٌ عَلَى شَرْطِ مُسْلِمٍ وَهَذَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّ قَوْلَهُ فِي الْخَبَرِ الْمَشْهُورِ «وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ» رَاجِعٌ إلَى أَبْنَاءِ سَبْعٍ وَأَبْنَاءِ عَشْرٍ جَمِيعًا “
Hal yang dijelaskan berupa penetapan umur sepuluh tahun sebagai pijakan wajibnya memisah ranjang, ditentang oleh imam az-Zarkasyi dan ulama yang lain. Mereka berpendapat bahwa yang menjadi pijakan adalah umur tujuh tahun, berdasarkan hadits “jika anak kalian telah berumur tujuh tahun, maka pisahlah ranjang tidur mereka” hadits riwayat imam Daruquthni dan imam Hakim, hadits ini adalah hadits shahih berdasarkan syarat kualifikasi Imam Muslim. Hadits ini menunjukkan bahwa sabda Nabi dalam hadits yang masyhur “Pisahlah ranjang di antara mereka” berlaku bagi anak berumur tujuh sekaligus sepuluh tahun” (Syekh Zakaria al-Anshari, Asna al-Mathalib, juz 3, hal.113) Namun penetapan usia tujuh tahun dalam pemisahan tempat tidur anak, rupanya dipandang sebagai pendapat yang lemah oleh para ulama, dan hadits yang menyebut perintah memisahkan tempat tidur anak saat menginjak usia tujuh tahun diarahkan hanya bersifat anjuran (sunnah) tidak sampai mengarah pada hukum wajib. Sedangkan maksud memisahkan tempat tidur antara anak dan orang tua, dapat mengarah pada dua cara. Pertama, memisah tempat tidur dengan memiliki tempat tidur sendiri-sendiri bagi anak dan orang tua. Kedua, tempat tidur cukup satu tempat atau satu ruangan, namun masing-masing anak dan orang tua berada di tempat yang terpisah dan tidak saling berdekatan. Masing-masing dari dua cara dalam memisahkan anak dan orang tua dalam tempat tidur sama-sama dapat dijadikan pijakan dan diamalkan, meski yang paling utama adalah mengikuti cara pertama, sebab cara tersebut merupakan cara yang paling hati-hati (al-ahwath). Kedua cara ini terangkum dalam kitab Hasyiyah ar-Ramli al-Kabir berikut:
ـ (قَوْلُهُ وَيَجِبُ التَّفْرِيقُ إلَخْ) قِيلَ التَّفْرِيقُ فِي الْمَضَاجِعِ يَصْدُقُ بِطَرِيقَيْنِ أَنْ يَكُونَ لِكُلٍّ مِنْهُمَا فِرَاشٌ وَأَنْ يَكُونَا فِي فِرَاشٍ وَاحِدٍ وَلَكِنْ مُتَفَرِّقَيْنِ غَيْرَ مُتَلَاصِقَيْنِ وَيَنْبَغِي الِاكْتِفَاءُ بِالثَّانِي؛ لِأَنَّهُ لَا دَلِيلَ عَلَى حَمْلِ الْحَدِيثِ عَلَى الْأَوَّلِ وَحْدَهُ قَالَ الزَّرْكَشِيُّ حَمْلُهُ عَلَيْهِ هُوَ الظَّاهِرُ بَلْ هُوَ الصَّوَابُ لِلْحَدِيثِ السَّابِقِ فَرَّقُوا بَيْنَ فُرُشِهِمْ مَعَ تَأْيِيدِهِ بِالْمَعْنَى وَهُوَ خَوْفُ الْمَحْذُورِ “
Maksud dari memisah ranjang bias mencakup dua cara. Pertama, masing-masing dari keduanya (anak dan orang tua) memiliki tempat tidur tersendiri. Kedua, mereka berdua berada dalam satu tempat tidur, namun terpisah dan tidak saling menempel atau berdekatan. Hendaknya bentuk memisah ranjang ini dicukupkan dengan cara kedua, sebab tidak ada dalil yang mengarahkan hadits pada pemaknaan cara pertama saja. Imam az-Zarkasyi berkata: mengarahkan hadits pada cara pertama adalah makna yang dhahir bahkan merupakan makna yang benar, berdasarkan hadits ‘Pisahlah di antara ranjang mereka’ besertaan kuatnya cara pertama ini terhadap makna, yakni khawatir terjadinya hal yang ditakutkan” (Syihabuddin ar-Ramli, Hasyiyah ar-Ramli al-Kabir ‘ala Asna al-Mathalib, juz 3, hal. 113) Walhasil, memisah tempat tidur anak dengan orang tua adalah hal yang wajib saat anak sudah menginjak usia sepuluh tahun. Pendapat yang lain menyebutkan pemisahan ranjang ini dimulai saat anak berusia tujuh tahun. Dalam praktiknya, sebaiknya orang tua senantiasa bijak dan memperhatikan sarana dan prasarana yang tersedia dalam rumahnya, jika ruangan rumah hanya terbatas dan tidak memungkinkan untuk dipisah dengan kamar yang lain, maka boleh bagi orang tua untuk mengikuti cara kedua dalam memisah tempat tidur anak dengan sekiranya tidur anak dan orang tua tidak berdekatan dan menempel, meski masih dalam satu ruangan yang sama. Di samping menyiapkan suasana baru bagi anak yang beranjak kian dewasa, memisahkan tempat tidur juga bagian dari ikhtiar membentuk pribadi anak untuk lebih mandiri. Dengan tidur sendiri, apalagi bila punya kamar sendiri, anak dilatih untuk bertanggung jawab atas dirinya dan ruangannya tanpa mesti selalu bergantung pada orang tua.
Berikut keterangan lengkap dalam kitab mausu’ah al-fiqhiyah al-Quwaitiyah
الموسوعة الفقهية – 4087/31949
ثانيا: الحقوق التي تتساوى فيها مع الرجل:
تتساوى المرأة والرجل في كثير من الحقوق العامة مع التقييد في بعض الفروع بما يتلاءم مع طبيعتها.
وفيما يأتي بعض هذه الحقوق:
أ – حق التعليم:
9 – للمرأة حق التعليم مثل الرجل: فقد قال النبي صلى الله عليه وسلم: طلب العلم فريضة على كل مسلم (3) . وهو يصدق على المسلمة أيضا، فقد قال الحافظ السخاوي: قد ألحق بعض المصنفين بآخر هذا الحديث (ومسلمة) وليس لها ذكر في شيء من طرقه وإن كان معناها صحيحا. (4) وقال النبي صلى الله عليه وسلم: من كانت له بنت فأدبها فأحسن أدبها، وعلمها فأحسن تعليمها، وأسبغ عليها من نعم الله التي أسبغ عليه كانت له سترا أو حجابا من النار. (1) وقد كان النساء في زمن النبي صلى الله عليه وسلم يسعين إلى العلم. روى البخاري عن أبي سعيد الخدري قال: قالت النساء للنبي صلى الله عليه وسلم: غلبنا عليك الرجال فاجعل لنا يوما من نفسك، فواعدهن يوما لقيهن فيه فوعظهن وأمرهن (2) . وعن عائشة رضي الله تعالى عنها قالت: نعم النساء نساء الأنصار لم يمنعهن الحياء أن يتفقهن في الدين (3) .
وقال النبي صلى الله عليه وسلم: مروا أولادكم بالصلاة وهم أبناء سبع سنين، واضربوهن عليها وهم أبناء عشر، وفرقوا بينهم في المضاجع. (4)
قال النووي: والحديث يتناول بمنطوقه الصبي والصبية، وأنه لا فرق بينهما بلا خلاف، ثم قال النووي: قال الشافعي والأصحاب رحمهم الله تعالى: على الآباء والأمهات تعليم أولادهم الصغار الطهارة والصلاة والصوم ونحوها، وتعليمهم تحريم الزنى واللواط والسرقة، وشرب المسكر والكذب والغيبة وشبهها، وأنهم بالبلوغ يدخلون في التكليف، وهذا التعليم واجب على الصحيح، وأجرة التعليم تكون في مال الصبي، فإن لم يكن له مال فعلى من تلزمه نفقته، وقد جعل الشافعي والأصحاب للأم مدخلا في وجوب التعليم؛ لكونه من التربية وهي واجبة عليها كالنفقة (1) .
ومن العلوم غير الشرعية ما يعتبر ضرورة بالنسبة للأنثى كطب النساء حتى لا يطلع الرجال على عورات النساء. جاء في الفتاوى الهندية: امرأة أصابتها قرحة في موضع لا يحل للرجل أن ينظر إليه، لا يحل أن ينظر إليها، لكن يعلم امرأة تداويها، فإن لم يجدوا امرأة تداويها ولا امرأة تتعلم ذلك إذا علمت، وخيف عليها البلاء أو الوجع أو الهلاك فإنه يستر منها كل شيء إلا موضع تلك القرحة، ثم يداويها الرجل، ويغض بصره ما استطاع إلا عن ذلك الموضع. (2)
10 – وإذن، فلا خلاف في مشروعية تعليم الأنثى. لكن في الحدود التي لا مخالفة فيها للشرع وذلك من النواحي الآتية:
أ – أن تحذر الاختلاط بالشباب في قاعات الدرس، فلا تجلس المرأة بجانب الرجل، فقد جعل النبي صلى الله عليه وسلم للنساء يوما غير يوم الرجال يعظهن فيه. بل حتى في العبادة لا يخالطن الرجال، بل يكن في ناحية منهم يستمعن إلى الوعظ ويؤدين الصلاة، ولا يجب استحداث مكان خاص لصلاتهن، أو إقامة حاجز بين صفوفهن وصفوف الرجال.
ب – أن تكون محتشمة غير متبرجة بزينتها لقول الله تعالى: {ولا يبدين زينتهن إلا ما ظهر منها} (1) وفي اتباع ذلك ما يمنع من الفتنة ومن إشاعة الفساد (2) .
ب – أهليتها للتكاليف الشرعية:
11 – المرأة أهل للتكاليف الشرعية مثل الرجل، وولي أمرها مطالب بأمرها بأداء العبادات، وتعليمها لها منذ الصغر؛ لما جاء في قول النبي صلى الله عليه وسلم مروا اولاد كم بالصلاة وهم أبناء سبع سنين، واضربوهن عليها وهم أبناء عشر، وفرقوا بينهم في المضاجع (3) والحديث يتناول الأنثى بلا خلاف كما قال النووي (4) .وهي بعد البلوغ مكلفة بالعبادات من صلاة وصوم وزكاة وحج، وليس لأحد – زوج أو غيره – منعها من أداء الفرائض. فجملة العقائد والعبادات والأخلاق والأحكام التي شرعها الله للإنسان يستوي في التكليف بها والجزاء عليها الذكر والأنثى. (5)
يقول الله تعالى: {من عمل صالحا من ذكر أو أنثى وهو مؤمن فلنحيينه حياة طيبة ولنجزينهم أجرهم بأحسن ما كانوا يعملون} (1) . ويؤكد الله سبحانه وتعالى هذا المعنى في قوله: {إن المسلمين والمسلمات والمؤمنين والمؤمنات والقانتين والقانتات والصادقين والصادقات والصابرين والصابرات والخاشعين والخاشعات والمتصدقين والمتصدقات والصائمين والصائمات والحافظين فروجهم والحافظات والذاكرين الله كثيرا والذاكرات أعد الله لهم مغفرة وأجرا عظيما} (2) ويروى في سبب نزول هذه الآية أن ابن عباس رضي الله عنهما قال: قال النساء للنبي صلى الله عليه وسلم ما له يذكر المؤمنين ولا يذكر المؤمنات، فنزلت. وعن أم سلمة أنها قالت: قلت يا رسول الله: أيذكر الرجال في كل شيء ولا نذكر؟ ، فنزلت هذه الآية. (3) وفي استجابة الله تعالى لسؤال المؤمنين قال: {فاستجاب لهم ربهم أني لا أضيع عمل عامل منكم من ذكر أو أنثى بعضكم من بعض} . (4)
ولقد روي في سبب نزولها ما روي في سبب نزول الآية السابقة، ويقول ابن كثير: {بعضكم من بعض} أي جميعكم في ثوابي سواء. وبين الله سبحانه وتعالى أن الذي يؤذي المؤمنات هو في الإثم كمن يؤذي المؤمنين، يقول الله تعالى:{والذين يؤذون المؤمنين والمؤمنات بغير ما اكتسبوا فقد احتملوا بهتانا وإثما مبينا} (1) .وهي مطالبة بالأمر بالمعروف والنهي عن المنكر كالرجل، يقول الله تعالى: {والمؤمنون والمؤمنات بعضهم أولياء بعض يأمرون بالمعروف وينهون عن المنكر ويقيمون الصلاة ويؤتون الزكاة ويطيعون الله ورسوله أولئك سيرحمهم الله إن الله عزيز حكيم} . (2)والجهاد كذلك يتعين على المرأة إذا هاجم العدو البلاد. يقول الفقهاء: إذا غشي العدو محلة قوم كان الجهاد فرض عين على الجميع ذكورا وإناثا وتخرج المرأة بغير إذن الزوج؛ لأن حق الزوج لا يظهر في مقابلة فرض العين. (3)وقد خفف الله عنها في العبادات في فترات تعبها من الحيض والحمل والنفاس والرضاع. وتنظر الأحكام الخاصة بذلك في (حيض، حمل، نفاس، رضاع) .والله أعلم بالصواب