
HUKUMNYA PENCERAMAH/MUBALLIGH MENGHADIRI UNDANGAN BERSAMA TEMANNYA/KHODDAM.
Assalamualaikum.
Deskripsi Masalah.
Sudah biasa disebagian masyarakat muslim jika Fulan mengadakan acara walimah untuk anaknya dan dalam acara walimah tersebut didalamnya diisi pengajian mengundang masyarakat terlebih yang diundang adalah sebagai penceramah, dan ketika penceramah hadir ia membawa teman/atau khoddam karena menurutnya berjalan/musafir sendirian hukumnya makruh.
Pertanyaannya.
Bagaimana hukumnya orang penceramah membawa ( bersama) teman/sopir/khoddam?
Wa alaikumussalam.
Jawaban:
Ditafsil.
A- Jika muballigh yang diundang idzin terlebih dahulu atau ada sangkaan kuat ridlonya orang yang mengundang maka hukumnya boleh.
B. Tidak boleh ( harom) tanpa adanya idzin atau
ridlonya orang yang mengundang sebagaimana keterangan berikut:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَدْخُلُوْا بُيُوْتًا غَيْرَ بُيُوْتِكُمْ حَتّٰى تَسْتَأْنِسُوْا وَتُسَلِّمُوْا عَلٰٓى اَهْلِهَاۗ ذٰلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ
Wahai orang-orang yang beriman, janganlah memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Demikian itu lebih baik bagimu agar kamu mengambil pelajaran (QS. An-Nur/27).
Berdasar ayat ini para ulama menetapkan bahwa meminta izin terlebih dahulu kepada penghuni rumah, bagi orang lain yang hendak memasuki rumahnya, adalah suatu keharusan. Tujuannya agar jangan sampai orang lain memasuki suatu rumah, sedang si pemilik rumah sedang di dalam rumah dalam keadaan tidak ingin dilihat orang lain.
Imam al-Qurthubi mengungkapkan tentang latar belakang turunnya ayat di atas. Bahwa seorang perempuan dari Kaum Anshar mengadu kepada Nabi Muhammad tentang kebiasaan kaum lelaki dari keluarganya, yang tidak tinggal serumah dengannya, yang dengan seenaknya sendiri memasuki rumah perempuan tersebut. Padahal perempuan tersebut tatkala di dalam rumah sering dalam keadaan yang dia sendiri tidak suka dilihat seorang pun. Bahkan orang tua maupun anaknya. Lalu turunlah ayat di atas. (Tafsir al-Qurthubi/12/213).
Imam al-Mawardi menyatakan, sebuah rumah adalah tempat perlindungan bagi orang yang menghuninya. Entah apakah status penghuni tersebut adalah pemilik asli atau penyewa. Penghuni tersebut miliki hak melarang orang lain memasuki rumahnya atas dasar dua hal. Pertama, penghuni tersebut memiliki hak mengelola rumah tersebut; Kedua, rumah mereka adalah tempat mereka menjaga aurat dan privasi mereka dari penglihatan orang lain. Maka orang lain tidak boleh memasuki rumah mereka tanpa seizin penghuni tersebut (al-Hawi al-Kabir/13/984).
Pentingnya meminta izin penghuni rumah saat hendak memasuki rumahnya juga ditunjukkan oleh hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Abi Hurairah:
« مَنِ اطَّلَعَ فِى بَيْتِ قَوْمٍ بِغَيْرِ إِذْنِهِمْ فَقَدْ حَلَّ لَهُمْ أَنْ يَفْقَئُوا عَيْنَهُ »
Orang yang melihat ke dalam rumah suatu kaum tanpa seizin pemiliknya, maka pemiliknya boleh melempar mata orang tersebut (HR. Muslim).
Dalam hadis lain disebutkan bahwa Sahl ibn Sa’d meriwayatkan Nabi Muhammad bersabda:
إِنَّمَا جَعَلَ اللَّهُ الإِذْنَ مِنْ أَجْلِ الْبَصَرِ
Allah mensyariatkan meminta izin sebab perihal mata (HR. Muslim).
Imam al-Nawawi di dalam Syarah Sahih Muslim berkomentar, bahwa hadis ini menunjukkan bahwa meminta izin penghuni rumah saat hendak memasuki rumahnya adalah sesuatu yang disyariatkan dan diperintahkan. Tujuannya agar orang yang hendak memasuki rumah tersebut tidak melihat hal-hal yang diharamkan. Misalnya perempuan yang bukan muhrimnya yang kebetulan tidak sedang menutupi auratnya (Syarah Sahih Muslim/7/285).
Syaikh Wahbah al-Zuhaili berkomentar, Surat Alnur ayat 27 menyinggung etika pergaulan sosial yang amat penting untuk diperhatikan. Persoalan memasuki rumah tanpa seizin pemiliknya tidak hanya berdampak melihat hal-hal yang diharamkan, tapi juga mengagetkan penghuni rumah yang bisa memancing munculnya kebencian di antara mereka (Tafsir Munir/18/202).
Referensi
( قليوبي ج ٣ ص٢٩٩)
والمراد بالضيف هنا من حضر طعام غيره , بدعوته ولو عموما أو يعلم رضاه وأصل الضيف النازل بغيره لطلب الإكرام سمي باسم ملك , يأتي برزقه لأهل المنزل قبل مجيئه بأربعين يوما , وينادي فيهم هذا رزق فلان كما ورد في الخبر مأخوذ من الضيافة وهي الإكرام وضده الطفيلي , مأخوذ من التطفل وهو حضور طعام الغير بغير دعوة , وبغير علم رضاه , فهو حرام فلو دعا عالما أو صوفيا فحضر بجماعته حرم حضور من لم يعلم رضا المالك به منهم
Bahwa yang ditunjukkan oleh perkataan nya para ulama’,bahwa diperbolehkannya mengambil miliknya orang lain, dengan alasan ‘ulima ridhoohu (artinya karena sudah diketahui ridho nya orang yang memiliki barang itu),itu bisa diterapkan kepada semua benda, dan hal itu tidak cuma khusus kepada makanan yang disuguhkan kepada tamu.Dan para ulama’ menerangkan bahwa persangkaan kuat tentang ‘ulima ridhoohu itu adalah seperti ‘ulima ridhoohu. Maka jika berdasarkan dugaan kuat,diketahui bahwa pemilik barang itu ridho jika barangnya diambil oleh orang lain,maka diperbolehkan untuk mengambil barangnya pemilik barang itu.
Kemudian jika tampak kebalikan dari persangkaan orang itu ( artinya jika diketahui bahwa pemilik barang itu tidak ridho jika barangnya diambil oleh orang lain ) ,maka hendaklah orang yang mengambil barang itu mengganti kerugian dengan cara orang yang mengambil barang itu membayar barang itu kepada pemilik barang itu.
Referensi:
الفتاوى الفقهية الكبرى – (ج ٤ / ص ١١٦)
( وَسُئِلَ ) بِمَا لَفْظُهُ هَلْ جَوَازُ الْأَخْذ بِعِلْمِ الرِّضَا مِنْ كُلِّ شَيْءٍ أَمْ مَخْصُوصٌ بِطَعَامِ الضِّيَافَةِ ؟ ( فَأَجَابَ ) بِقَوْلِهِ الَّذِي دَلَّ عَلَيْهِ كَلَامُهُمْ أَنَّهُ غَيْر مَخْصُوصٍ بِذَلِكَ وَصَرَّحُوا بِأَنَّ غَلَبَةَ الظَّنِّ كَالْعِلْمِ فِي ذَلِكَ وَحِينَئِذٍ فَمَتَى غَلَبَ ظَنُّهُ أَنَّ الْمَالِكَ يَسْمَحُ لَهُ بِأَخْذِ شَيْءٍ مُعَيَّنٍ مِنْ مَالِهِ جَازَ لَهُ أَخْذُهُ ثُمَّ إنْ بَانَ خِلَافُ ظَنّه لَزِمَهُ ضَمَانُهُ وَإِلَّا فَلَا.
حاشية الباجوري – (ج ٢ / ص ١٢٨)
وعلم من ذالك أنه يجوز للإنسان أن يأخذ من مال غيره ما يظن رضاه به من دراهم وغيرها ويختلف ذالك باختلاف الناس والأموال فقد يسمح لشخص دون آخر وبمال دون آخر وينبغى له مراعاة النصفة مع الرفقة فلا يأخذ الا ما يخصه لا ما يزيد عليه من حقهم الا أن يرضوا بذالك عن طيب نفس لا عن حياء.
فتح المعين وإعانة الطالبين – (ج ٣ / ص ٣٦٨)
ويجوز للانسان أخذ من نحو طعام صديقه مع ظن رضا مالكه بذلك، ويختلف بقدر المأخوذ وجنسه وبحال المضيف ومع ذلك ينبغي له مراعاة نصفة أصحابه فلا يأخذ إلا ما يخصه أو يرضون به عن طيب نفس لا عن حياء وكذا يقال في قران نحو تمرتين أما عند الشك في الرضا فيحرم الاخذ كالتطفل ما لم يعم كأن فتح الباب ليدخل من شاء.
(قوله ويجوز للإنسان أخذ من نحو طعام صديقه) اى يجوز له أن يأخذ من طعام صديقه وشرابه ويحمله الى بيته قال فى التحفة وإذا جوزنا له الأخذ فالذى يظهر أنه إن ظن الأخذ بالبدل كان قرضا ضمينا او بلا بدل توقف الملك على ما ظنه (قوله ويختلف) اى ظن الرضا وعبارة غيره وتختلف قرائن الرضا فى ذالك باختلاف الأحوال ومقادير الأموال. والله أعلم بالصواب