
HUKUMNYA ISTRI MENGAJUKAN FASAH/CERAI KARENA SUAMINYA MENINGGALKAN SALAT
Deskripsi masalah:
Ada pasangan Suami istri anggaplah nama samarannya ( Fulanah dan Fulan ) dia telah lama menjalani hubungan berumah tangga hingga dikaruniai dua anak, namun dikemudian hari sang suaminya fulanah meninggalkan sholat , sedangkan fulanah tahu bahwa orang yang meninggalkan shalat adalah kafir, sementara Fulanah sangat mencintainya dari saking cintanya dia sering menasehatinya, akan tetapi dia sisuaminya tidak mau bahkan sering mengatakan : “suatu saat nanti saya akan mendapat hidayah ” dan amal itu kan sendiri-sendiri.
Pertanyaannya.
Bagaimana hukumnya Sifulanah menggugat cerai kepengadilan dalam pernikahannya karena sisuami meninggalkan sholat sebagaimana deskripsi?
Waalaikum salam.
Jawaban ditafsil
1️⃣Jika sisuami Fulanah meninggalkan shalat karena berkeyakinan shalat yang 5 waktu itu tidak wajib, maka ia telah murtad ( keluar dari Agama Islam) . Dalam kondisi ada sebab murtad maka hukumnya boleh meminta cerai atau menggugat kepengadilam agama. Alasannya orang yang meninggalkan sholat dan berkeyakinan bahwa sholat tidak wajib , maka hukumnya dalam agama dihukumi kafir dan murtad.
Ini adalah ijma ulama tidak ada khilafiyah di antara mereka.
Imam An Nawawi rahimahullah mengatakan:
إذا ترَك الصلاةَ جاحدًا لوجوبها، أو جَحَدَ وجوبَها ولم يتركْ فِعلَها في الصورة، فهو كافرٌ مرتدٌّ بإجماعِ المسلمين
“Jika seseorang meninggalkan shalat karena mengingkari wajibnya shalat, atau ia mengingkari wajibnya shalat walaupun tidak meninggalkan shalat, maka ia kafir murtad ( keluar dari agama Islam ) berdasarkan ijma ulama kaum Muslimin” (Al Majmu’, 3/14).
Oleh karena itu tidak boleh seseorang istri bertahan terhadap suami yang meninggalkan shalat karena dia mengetahui bahwa orang yang meninggalkan shalat adalah kafir. Maka dilarang bagi istri mempertahankan hidup bersama seorang suami yang dianggap kafir,karena pada hakikatnya nikahnya lepas/batal sebab beda agama, berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.” [Al-Mumtahanah/60 : 10]
تفسر إبن كثير: سورة الممتحنة:١٠
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا جَاءَكُمُ الْمُؤْمِنَاتُ مُهَاجِرَاتٍ فَامْتَحِنُوهُنَّ اللَّهُ أَعْلَمُ بِإِيمَانِهِنَّ فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَاتٍ فَلا تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى الْكُفَّارِ لَا هُنَّ حِلٌّ لَهُمْ وَلا هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ وَآتُوهُمْ مَا أَنْفَقُوا وَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ أَنْ تَنْكِحُوهُنَّ إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ وَلا تُمْسِكُوا بِعِصَمِ الْكَوَافِرِ وَاسْأَلُوا مَا أَنْفَقْتُمْ وَلْيَسْأَلُوا مَا أَنْفَقُوا ذَلِكُمْ حُكْمُ اللَّهِ يَحْكُمُ بَيْنَكُمْ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ (10)
Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman, maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu, dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami-suami) mereka mahar yang telah mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.
Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman Allah Swt.: Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. (Al-Mumtahanah: 10) Disebutkan bahwa ujian mereka ialah disuruh mengucapkan kalimat tasyahud, yaitu kesaksian bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah selain Allah dan Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya.
Mujahid mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. (Al-Mumtahanah: 10) Yakni tanyailah mereka tentang dorongan yang menyebabkan mereka datang ke negeri hijrah. Apabila dorongan kedatangan mereka karena benci kepada suami mereka atau marah kepada suami mereka atau alasan lainnya, sedangkan mereka tidak beriman, maka kembalikanlah mereka kepada suami-suaminya masing-masing.
Dalam Tafsir Ibnu Katsir dijelaskan:
Ikrimah mengatakan bahwa dikatakan kepada seseorang dari mereka, “Bukankah engkau datang hanyalah karena cinta kepada Allah dan Rasul-Nya. Bukankah engkau datang karena menyukai seseorang lelaki di antara kami, bukankah engkau datang karena benci terhadap suamimu?” Itulah yang di maksud oleh firman-Nya: maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. (Al-Mumtahanah: 10)
Qatadah mengatakan bahwa ujian mereka ialah disuruh bersumpah dengan nama Allah, bahwa mereka keluar bukan karena benci terhadap suami mereka, dan mereka datang tiada lain hanyalah karena cinta kepada Islam dan para pemeluknya serta menaruh perhatian yang besar kepada Islam. Apabila mereka mau mengucapkan sumpah itu, barulah mereka diterima.
Firman Allah Swt.:
{فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَاتٍ فَلا تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى الْكُفَّارِ}
maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman, maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. (Al-Mumtahanah: 10)
Dalam ayat ini terkandung dalil yang menunjukkan bahwa iman itu dapat dilihat secara keyakinan ( Yakin).
Firman Allah Swt.:
{لَا هُنَّ حِلٌّ لَهُمْ وَلا هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ}
Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu, dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. (Al-Mumtahanah: 10)
Ayat ini mengandung hukum yang mengharamkan wanita muslimah bagi lelaki musyrik, pada masa permulaan Islam masih diperbolehkan seorang lelaki musyrik kawin dengan wanita mukminah. Peristiwa ini dialami oleh Abul As ibnur Rabi’ (suami putri Nabi Saw. yang bernama Zainab r.a.). Zainab r.a. adalah wanita muslimah, sedangkan suaminya masih tetap berpegang pada agama kaumnya. Ketika Abul As menjadi tawanan Perang Badar, maka istrinya (Zainab r.a.) mengirimkan tebusan untuk suaminya berupa sebuah kalung yang dahulunya adalah milik ibunya, Siti Khadijah. Ketika Rasulullah Saw. melihat kalung itu, luluhlah hatinya dan berbalik menjadi sayang. Lalu beliau bersabda kepada kaum muslim: Jika kalian berpendapat akan melepaskan tawanannya demi dia, maka lakukanlah.
Maka mereka menerima tebusan itu, dan Rasulullah Saw. membebaskannya dengan syarat hendaknya Abul As mengirimkan putri beliau ke Madinah. Abul As memenuhi janjinya dengan tepat, untuk itu ia mengirimkan istrinya kepada Rasulullah Saw. disertai dengan Zaid ibnu Harisah r.a. Sejak Perang Badar usai, Zainab r.a. tinggal di Mekah, hal ini terjadi di tahun kedua Hijriah, hingga suaminya (yaitu Abul As) masuk Islam pada tahun delapan Hijriah. Maka Rasulullah Saw. mengembalikan putrinya kepadanya atas dasar nikah yang pertama, dan tidak meminta mahar lagi untuk pengembalian itu.
Imah Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ya’qub, telah menceritakan kepada kami Ibnu Ishaq, telah menceritakan kepada kami Daud ibnul Husain, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah Saw. mengembalikan putrinya Zainab kepada Abul As. Hijrah yang dilakukan oleh Zainab adalah sebelum suaminya masuk Islam dalam tenggang masa enam tahun, pengembalian tersebut berdasarkan nikah yang pertama dan tidak memerlukan lagi persaksian ataupun mahar.
Hadis ini telah diriwayatkan pula oleh Abu Daud, Turmuzi, dan Ibnu Majah. Di antara ulama ada yang mengatakan bahwa tenggang masa itu hanyalah dua tahun, dan inilah pendapat yang benar, karena masuk Islamnya Abul As sesudah kaum muslimat diharamkan bagi kaum musyrik, yakni dua tahun sesudahnya.
Imam Turmuzi memberikan komentarnya, bahwa sanad riwayat ini tidak mengandung kelemahan. Tetapi menurutnya, dia tidak mengenal jalur periwayatan hadis ini, barangkali bersumber dari hafalan Daud ibnul Husain.
Imam Turmuzi mengatakan bahwa ia pernah mendengar Abdu ibnu Humaid mengatakan bahwa ia pernah mendengar Yazid ibnu Harun menceritakan hadis ini dari Ishaq, dan hadis Ibnul Hajjaj (yakni Ibnu Artah), dari Amr ibnu Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa Rasulullah Saw. mengembalikan putrinya kepada Abul As ibnur Rabi’ dengan mahar yang baru dan nikah yang baru.
Yazid mengatakan bahwa hadis Ibnu Abbas lebih baik sanadnya, dan yang diberlakukan adalah hadis Amr ibnu Syu’aib. Kemudian kami memberikan komentar, bahwa telah diriwayatkan pula hadis Al-Hajjaj ibnu Artah, dari Amr ibnu Syu’aib oleh Imam Ahmad, Imam Turmuzi, dan Ibnu Majah. Imam Ahmad menilainya daif, dan imam ahli hadis lainnya turut meriwayatkannya pula; hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui.
Jumhur ulama menjawab tentang hadis Ibnu Abbas (yang menyatakan atas dasar nikah yang pertama), bahwa hal tersebut merupakan masalah yang sudah jelas dan mengandung pengertian bahwa Zainab r.a. masih belum habis idahnya dari Abul As. Mengingat pendapat yang dipegang oleh kebanyakan ulama menyebutkan bahwa manakala idahnya telah habis, sedangkan suaminya masih juga belum masuk Islam, maka otomatis nikahnya fasakh darinya. Ulama lainnya mengatakan bahwa bahkan apabila idahnya telah habis, maka si istri diperbolehkan memilih: Jika ingin tetap dengan suaminya diperbolehkan dan nikahnya tetap berlangsung (utuh); dan jika ingin pisah dengan suaminya, maka nikahnya fasakh, lalu ia boleh kawin dengan lelaki lain. Mereka menakwilkan hadis Ibnu Abbas dengan pengertian ini; hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui.
Jadi dalam ayat di atas, wanita muslimah tidak halal bagi laki-laki kafir dan begitu pula sebaliknya, dengan demikian, sebaiknya wanita tersebut segera meninggalkan suaminya karena secara hukum agama sudah terjadi talak atau rusaknya nikah dan siperempuan segera berpisah dengan cara menggugat cerai kepengadilan agama karena suami tersebut sudah tidak halal baginya. Mengenai cinta dan kemesraan hidup yang telah dijalani bersama suaminya, apabila mengetahui bahwa suami tersebut sudah tidak halal lagi dia dan sudah menjadi orang lain, maka cinta dan kemesraan itu akan hilang dengan sendirinya karena kecintaan seorang mukmin hanyalah kepada Allah, dan memerintah Allah di atas segala sesuatu. -galanya. Setelah itu laki-laki tersebut tidak berhak menjadi wali bagi anak-anaknya, karena wali bagi seorang muslim harus beragama Islam, Kecuali bersyahat kembali kepada agama Islam.
Dan kebolehan menggugat cerai ( Fasah ) tersebut diatas, jika Fulanah ( sebagai istri ) sudah sering/selalu memberi nasehat kepada suaminya agar kembali ke jalan kebenaran dan melepas baju kekafiran serta segera menunaikan shalat sebaik mungkin dengan disertai amal shalih. Apabila suami tersebut tetap hati dan bersungguh-sungguh pasti Allah akan memudahkan semuanya, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
فَأَمَّا مَنْ أَعْطَىٰ وَاتَّقَىٰ ﴿٥﴾ وَصَدَّقَ بِالْحُسْنَىٰ ﴿٦﴾ فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْيُسْرَىٰ
“Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka kami kelak akan menyiapkan semuanya jalan yang mudah” [Al-Lail/92 : 5-7]
الموسوعة الفقهية – 4002/31949
22 – وردة أحد الزوجين موجبة لانفساخ عقد النكاح عند عامة الفقهاء. بدليل قوله تعالى: {لا هن حل لهم ولا هم يحلون لهن} (2) ، وقوله سبحانه: {ولا تمسكوا بعصم الكوافر} . (3) فإذا ارتد أحدهما وكان ذلك قبل الدخول انفسخ النكاح في الحال ولم يرث أحدهما الآخر، وإن كان بعد الدخول قال الشافعية – وهو رواية عند الحنابلة – حيل بينهما إلى انقضاء العدة، فإن رجع إلى الإسلام قبل أن تنقضي العدة فالعصمة باقية، وإن لم يرجع إلى الإسلام انفسخ النكاح بلا طلاق. (4) وقال أبو حنيفة وأبو يوسف، وهو رواية عند الحنابلة: إن ارتداد أحد الزوجين فسخ عاجل بلا قضاء فلا ينقص عدد الطلاق، سواء أكان قبل الدخول أم بعده. (5) وقال المالكية، وهو قول محمد من الحنفية: إذا ارتد أحد الزوجين انفسخ النكاح بطلاق بائن. (1) أما إذا أسلم أحد الزوجين وتخلف الآخر – ما لم يكن المتخلف زوجة كتابية – حتى انقضت عدة المرأة انفسخ النكاح في قول الجمهور، سواء أكانا بدار الإسلام أم بدار الحرب.وذهب الحنفية إلى أنه إن كان المتخلف عن الإسلام بدار الحرب فالحكم كذلك، أما إن كان بدار الإسلام فلا بد من عرض الإسلام عليه، فإن أسلم وإلا فرق بينهما.وهل يعتبر هذا الانفساخ طلاقا أم لا؟ اختلفوا فيه: فعند أبي حنيفة ومحمد – وهو رواية عند المالكية – إذا امتنع الزوج عن الإسلام يعتبر هذا التفريق طلاقا ينقص العدد، بخلاف ما إذا امتنعت المرأة عن الإسلام حيث يعتبر التفريق فسخا؛ لأنها لا تملك الطلاق.
وذهب الجمهور (الشافعية والحنابلة والمالكية في المشهور وأبو يوسف من الحنفية) إلى أنه فسخ لا طلاق في كلتا الحالتين. (2)
الموسوعة الفقهية – 13542/31949
أثر الردة على الزواج:
44 – اتفق الفقهاء على أنه إذا ارتد أحد الزوجين حيل بينهما فلا يقربها بخلوة ولا جماع ولا نحوهما. ثم قال الحنفية: إذا ارتد أحد الزوجين المسلمين بانت منه امرأته مسلمة كانت أو كتابية، دخل بها أو لم يدخل؛ لأن الردة تنافي النكاح ويكون ذلك فسخا عاجلا لا طلاقا ولا يتوقف على قضاء.ثم إن كانت الردة قبل الدخول وكان المرتد هو الزوج فلها نصف المسمى أو المتعة، وإن كانت هي المرتدة فلا شيء لها.وإن كان بعد الدخول فلها المهر كله سواء كان المرتد الزوج أو الزوجة (1) .وقال المالكية في المشهور: إذا ارتد أحد الزوجين المسلمين كان ذلك طلقة بائنة، فإن رجع إلى الإسلام لم ترجع له إلا بعقد جديد، ما لم تقصد المرأة بردتها فسخ النكاح، فلا ينفسخ؛ معاملة لها بنقيض قصدها.
وقيل: إن الردة فسخ بغير طلاق (2) .
وقال الشافعية: إذا ارتد أحد الزوجين المسلمين فلا تقع الفرقة بينهما حتى تمضي عدة الزوجة قبل أن يتوب ويرجع إلى الإسلام، فإذا انقضت بانت منه، وبينونتها منه فسخ لا طلاق، وإن عاد إلى الإسلام قبل انقضائها فهي امرأته (1) .وقال الحنابلة: إذا ارتد أحد الزوجين قبل الدخول انفسخ النكاح فورا وتنصف مهرها إن كان الزوج هو المرتد، وسقط مهرها إن كانت هي المرتدة.ولو كانت الردة بعد الدخول ففي رواية تنجز الفرقة. وفي أخرى تتوقف الفرقة على انقضاء العدة
2️⃣Tidak boleh menggugat cerai ( Fasah ) karena tidak adanya sebab, akan tetapi boleh istri khulu’ ( membayar suami agar diberikan putusan kepada suami melalui hakim.
Adapun perkara yang membolehkan para istri untuk melakukan gugat cerai dengan khulu’ (membayar suami agar dicerai yaitu;
- Jika sang suami sangat nampak membenci sang istri, akan tetapi sang suami sengaja tidak ingin menceraikan sang istri agar sang istri menjadi seperti wanita yang tergantung.
- Akhlak suami yang buruk terhadap sang istri, seperti suka menghinanya atau suka memukulnya.
- Agama sang suami yang buruk, seperti sang suami yang terlalu sering melakukan dosa-dosa, seperti minum khomr, berjudi, berzina, atau sering meninggalkan sholat, suka mendengar musik, dllJika sang suami tidak menunaikan hak utama sang istri, seperti tidak memberikan nafkah kepadanya, atau tidak membelikan pakaian untuknya, dan kebutuhan-kebutuhan primer yang lainnya, padahal sang suami mampu.
- Jika sang suami ternyata tidak bisa menggauli istrinya dengan baik, misalnya jika sang suami cacat, atau tidak bisa melakukan hubungan biologis, atau tidak adil dalam mabit (jatah menginap), atau tidak mau atau jarang memenuhi kebutuhan biologisnya karena condong kepada istri yang lain.
- Jika sang wanita sama sekali tidak membenci sang suami, hanya saja sang wanita khawatir tidak bisa menjalankan kewajibannya sebagai istri sehingga tidak bisa menunaikan hak-hak suaminya dengan baik. Maka boleh baginya meminta agar suaminya meridoinya untuk khulu’, karena ia khawatir terjerumus dalam dosa karena tidak bisa menunaikan hak-hak suami.
- Jika sang istri membenci suaminya bukan karena akhlak yang buruk, dan juga bukan karena agama suami yang buruk. Akan tetapi sang istri tidak bisa mencintai sang suami karena kekurangan pada jasadnya, seperti cacat, atau buruknya suami.
Sebagaimana Imam Ibnu Qudamah menjelaskan sebagaimana ibarab berikut:
كتاب الخلع
مسألة : قال : المرأة إذا كانت مبغضة للرجال وتكره أن تمنعه تكون عاصة مسالة : قال : و المرأة إذا كانت مبغضة للرجل وتكره أن تمنعه ما تكون عاصية بمنعه فلا بأس أن تفتدي نفسها منه
وجمله الأمر أن المرأة إذا كرهت زوجها لخلقه أو خلقه أو دينه أو كبره أو ضعفه أو نحو ذلك وخشيت أن لا تؤدي حق الله في طاعته جاز لها أن تخالعه بعوض تفتدي به نفسها منه لقول الله تعالى : { فإن خفتم أن لا يقيما حدود الله فلا جناح عليهما فيما افتدت به } و [ روي أن رسول الله خرج إلى الصبح فوجد حبيبة بنت سهل عند بابه في الغلس فقال رسول صلى الله عليه و سلم : ما شانك ؟ قالت : لا أنا ولا ثابت لزوجها فلما جاء ثابت قال له رسول الله صلى الله عليه و سلم : هذه حبيبه بنت سهل قد ذكرت ما شاء الله أن تذكر وقالت حبيبه : يا رسول الله صلى الله عليه و سلم كل ما اعطاني عندي فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم كل ما أعطاني عندي فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم لثابت بن قيس : خذ منها فأخذ منها وجلست في أهلها ] وهذا حديث صحيح ثابت رواه الأئمة مالك و احمد وغيرهما وفي رواية البخاري قال : [ جاءت امرأة ثابت بن قيس إلى النبي صلى الله عليه و سلم فقالت : يا رسول الله ما انقم على ثابت في دين ولا خلق إلا أني أخاف الكفر فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم : أتردين عليه حديقته ؟ فقالت نعم فردتها عليه وأمره ففارقها ] وفي رواية فقال له : [ اقبل الحديقة وطلقها تطليقة ] وبهذا قال جمع الفقهاء بالحجاز والشام قال ابن عبد البر : ولا نعلم أحد خالفه إلا بكر ابن عبد الله المزني فإنه لم يجزه وزعم أن آية الخلع منسوخة بقوله سبحانه : { وإن أردتم استبدال زوج مكان زوج }
Kesimpulan masalah ini, bahwa seorang wanita, jika membenci suaminya karena akhlaknya atau karena fisiknya atau karena agamanya, atau karena usianya yang sudah tua, atau karena dia lemah, atau alasan yang semisalnya, sementara dia khawatir tidak bisa menunaikan hak Allah dalam mentaati sang suami, maka boleh baginya untuk meminta khulu’ (gugat cerai) kepada suaminya dengan memberikan biaya/ganti untuk melepaskan dirinya.” (al-Mughni, 7:323).
Jika istri menggugat cerai suami karena sudah tak cinta lagi baik penyebabnya karena suami melakukan poligami atau ada sebab lain, maka tindakan itu dibenarkan syariah berdasarkan hadis sahih riwayat Bukhari dari Ibnu Abbas sbb:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رضي الله عنهما أَنَّ امْرَأَةَ ثَابِتِ بْنِ قَيْسٍ أَتَتْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ : يَا رَسُولَ اللَّهِ ثَابِتُ بْنُ قَيْسٍ مَا أَعْتِبُ عَلَيْهِ فِي خُلُقٍ وَلا دِينٍ ، وَلَكِنِّي أَكْرَهُ الْكُفْرَ فِي الْإِسْلَامِ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : (أَتَرُدِّينَ عَلَيْهِ حَدِيقَتَهُ ؟ قَالَتْ : نَعَمْ . قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : اقْبَلْ الْحَدِيقَةَ وَطَلِّقْهَا تَطْلِيقَةً).
Artinya: Dari Ibnu Abbas r.a. diceritakan: Istri Tsabit bin Qais datang menemui Rasulullah dan ia berkata: “Wahai Rasulullah, aku tidak mencela suamiku Tsabit bin Qais baik dalam hal akhlak maupun agamanya. Hanya saja aku khawatir akan terjerumus ke dalam kekufuran setelah (memeluk) Islam (karena tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri)”. Rasulullah bersabda:” Apakah kamu bersedia mengembalikan kebun itu kepada suamimu? Wanita itu menjawab: “Saya bersedia”, lalu Rasulullah berkata kepada suaminya: “Ambilah kebun itu dan ceraikan istrimu”
Hukum asal bagi isteri meminta cerai (khulu’) kepada suaminya adalah haram, kecuali ada alasan atau perkara yang dibenarkan oleh hukum syara, sebagaimana diterangkan dalam hadits :
(حديث مرفوع)
حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ حَرْبٍ ، حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ ، عَنْ أَيُّوبَ ، عَنْ أَبِي قِلابَةَ ، عَنْ أَبِي أَسْمَاءَ ، عَنْ ثَوْبَانَ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ” أَيُّمَا امْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوْجَهَا الطَّلاقَ فِي غَيْرِ مَا بَأْسٍ ، فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الْجَنَّةِ ” ، حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ الْحَجَّاجِ ، حَدَّثَنَا وُهَيْبٌ ، حَدَّثَنَا أَيُّوبُ ، عَنْ أَبِي قِلابَةَ ، عَنْ أَبِي أَسْمَاءَ ، عَنْ ثَوْبَانَ ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، مِثْلَهُ .
حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ حَرْبٍ، حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ، عَنْ أَيُّوبَ، عَنْ أَبِي قِلَابَةَ، عَنْ أَبِي أَسْمَاءَ، عَنْ ثَوْبَانَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” أَيُّمَا امْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوْجَهَا الطَّلَاقَ فِي غَيْرِ مَا بَأْسٍ فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الْجَنَّةِ “
Jadi jika sisuami fulanah dalam meninggalkan sholat , bukan karena mengingkari wajibnya, namun karena malas dan meremehkan, maka boleh khulu’ karena termasuk ahli maksiat bahkan dalam statusnya diperselisihkan oleh ulama:
Madzhab Hambali berpendapat kafirnya orang yang meninggalkan shalat. Demikian juga salah satu pendapat dalam madzhab Syafi’i dan Maliki. Dan pendapat ini dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim.
Pendapat madzhab Syafi’i dan Maliki mengatakan bahwa orang yang meninggalkan shalat tidak kafir, namun mereka dihukum oleh ulil amri dengan hukuman mati.
Pendapat madzhab Hanafi mengatakan bahwa orang yang meninggalkan shalat tidak kafir, namun mereka dipenjara sampai kembali shalat.
Dalil Al Qur’an
Allah Ta’ala berfirman:
وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَلَا تَكُونُوا مِنَ الْمُشْرِكِينَ
“Dan hendaknya mereka mendirikan shalat dan janganlah menjadi orang-orang yang Musyrik” (QS. Ar Rum: 31).
Allah menyebutkan dalam ayat ini, diantara tanda orang-orang yang menjadi musyrik adalah meninggalkan shalat. Allah Ta’ala juga berfirman:
فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا
“Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan” (QS. Maryam: 59).
Pada ayat-ayat selanjutnya Allah Ta’ala menyebutkan tentang keadaan kaum Mukmin beserta nikmat-nikmat yang Allah berikan kepada mereka. Lalu di ayat ini Allah menyebutkan kaum yang lain yang bukan kaum Mukminin. Dan salah satu ciri mereka adalah menyia-nyiakan shalat.
Dalil As Sunnah
Disebutkan juga dalam hadits dari Jabir bin Abdillah radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
بَيْن الرَّجل وَبَيْن الشِّرْكِ وَالكُفر ترْكُ الصَّلاةِ
“Pembatas bagi antara seseorang dengan syirik dan kufur adalah meninggalkan shalat” (HR. Muslim no. 82).
Dari Abdullah bin Buraidah radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
إنَّ العَهدَ الذي بيننا وبينهم الصَّلاةُ، فمَن تَرَكها فقدْ كَفَرَ
“Sesungguhnya perjanjian antara kita dan mereka (kaum musyrikin) adalah shalat. Barangsiapa yang meninggalkannya maka ia telah kafir”
(HR. At Tirmidzi no. 2621, dishahihkan Al Albani dalam Shahih At Tirmidzi).
Dari Anas bin Malik radhiallahu’anhu, ia berkata:
أنَّ النبيَّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم كان إذا غزَا بِنا قومًا، لم يكُن يَغزو بنا حتى يُصبِحَ ويَنظُرَ، فإنْ سمِعَ أذانًا كفَّ عنهم، وإنْ لم يَسمعْ أذانًا أغارَ عليهم
“Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam jika beliau memimpin kami untuk memerangi suatu kaum, maka beliau tidak menyerang hingga waktu subuh. Beliau menunggu terlebih dahulu. Jika terdengar suara adzan, maka kami menahan diri (tidak menyerang). Namun jika tidak terdengar adzan maka baru kami serang” (HR. Bukhari no. 610, Muslim no. 1365).
Hadits ini menunjukkan bahwa kaum yang masih menegakkan shalat maka dihukumi sebagai kaum Muslimin dan tidak boleh diperangi. Sedangkan jika tidak menegakkan shalat maka dihukumi sebagai orang kafir dan diperangi (bersama ulil amri).
Kemudian perhatikan dua hadits berikut. Dari Auf bin Malik dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ia bersabda,
خيار أئمتكم الذين تحبونهم ويحبونكم ويصلون عليكم وتصلون عليهم وشرار أئمتكم الذين تبغضونهم ويبغضونكم وتلعنونهم ويلعنونكم قيل يا رسول الله أفلا ننابذهم بالسيف فقال لا ما الصلاة وإذا رأيتم من ولاتكم شيئا تكرهونه فاكرهوا عمله ولا تنزعوا يدا من طاعة
“Sebaik-baik pemimpin kalian adalah pemimpin yang kalian cintai, dan mereka pun mencintai kalian. Kalian mendo’akan mereka, mereka pun mendoakan kalian. Seburuk-buruk pemimpin kalian adalah yang kalian benci, mereka pun benci kepada kalian. Kalian pun melaknat mereka, mereka pun melaknat kalian”. Para sahabat bertanya, “Ya Rasulullah apakah kita perangi saja mereka dengan senjata?”. Nabi menjawab, “Jangan, selama mereka masih shalat. Bila kalian melihat sesuatu yang kalian benci dari pemimpin kalian, maka cukup bencilah perbuatannya, namun jangan kalian melepaskan tangan kalian dari ketaatan kepadanya” (HR. Muslim no. 2155).
Dari Ubadah bin Shamit radhiallahu’anhu, ia berkata:
دعانا النبيُّ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ فبايعناه، فقال فيما أخذ علينا : أن بايعنا على السمعِ والطاعةِ، في منشطِنا ومكرهِنا، وعسرِنا ويسرِنا وأثرةٍ علينا، وأن لا ننازعَ الأمرَ أهلَه، إلا أن تروا كُفرًا بَواحًا، عندكم من اللهِ فيه برهانٌ
“Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam pernah memanggil kami, kemudian membaiat kami. Ketika membaiat kami beliau mengucapkan poin-poin baiat yaitu: taat dan patuh kepada pemimpin, baik dalam perkara yang kami sukai ataupun perkara yang tidak kami sukai, baik dalam keadaan sulit maupun keadaan lapang, dan tidak melepaskan ketaatan dari orang yang berhak ditaati (pemimpin). Kecuali ketika kalian melihat kekufuran yang jelas, yang kalian punya buktinya di hadapan Allah” (HR. Bukhari no. 7056, Muslim no. 1709).
Hadits Ubadah bin Shamit menyatakan bahwa pemimpin yang melakukan kekufuran yang nyata bisa diperangi. Sedangkan dalam hadits Auf bin Malik, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam melarang memerangi pemimpin selama masih shalat. Ini menunjukkan bahwa meninggalkan shalat adalah kekufuran yang nyata.
Dalil Ijma Sahabat
Dan para sahabat Nabi ijma’ (bersepakat) bahwa orang yang meninggalkan shalat 5 waktu maka dia keluar dari Islam. Abdullah bin Syaqiq Al ‘Uqaili mengatakan:
لم يكن أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم يرون شيئا من الأعمال تركه كفر غير الصلاة
“Dahulu para sahabat Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam tidak memandang ada amalan yang bisa menyebabkan kekufuran jika meninggalkannya, kecuali shalat” (HR. At Tirmidzi no. 2622, dishahihkan Al Albani dalam Shahih At Tirmidzi).
Dari Musawwar bin Makhramah radhiallahu’anhu:
أنَّه دخَلَ مع ابنِ عبَّاس رَضِيَ اللهُ عَنْهما على عُمرَ رَضِيَ اللهُ عَنْه حين طُعِن، فقال ابنُ عبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهما: (يا أميرَ المؤمنين، الصَّلاةَ! فقال: أجَلْ! إنَّه لا حَظَّ في الإسلامِ لِمَنْ أضاعَ الصَّلاةَ)
“Ia masuk ke rumah Umar bin Khathab bersama Ibnu Abbas radhiallahu’anhuma ketika Umar (pagi harinya) ditusuk (oleh Abu Lu’luah). Maka Ibnu Abbas radhiallahu’anhuma berkata: Wahai Amirul Mukminin, ayo shalat! Umar pun menjawab: betul, tidak ada bagian dalam Islam bagi orang yang menyia-nyiakan shalat” (HR. Malik dalam Al Muwatha, 1/39, dishahihkan Al Albani dalam Irwaul Ghalil, 1/225).
Demikian juga ternukil ijma dari kalangan tabi’in. Dari Ayyub bin Abi Tamimah As Sikhtiyani, beliau mengatakan:
ترك الصلاة كفر لا نختلف فيه
“Meninggalkan shalat adalah kekufuran, kami (para tabi’in) tidak berbeda pendapat dalam masalah tersebut” (HR. Al Marwadzi dalam Ta’zhim Qadris Shalah, no. 978).
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah mengatakan:
إذا كان مُقرًّا بالفريضة، ولكن نفسه تغلبه كسلًا وتهاونًا، فإنَّ أهل العلم مختلفون في كفره، فمنهم مَن يرى أنَّ مَن ترك صلاة مفروضة، حتى يخرج وقتُها فإنه يكفُر، ومن العلماء مَن يراه لا يَكفُر إلَّا إذا تركها نهائيًّا، وهذا هو الصحيحُ؛ إذا تركها تركًا مطلقًا، بحيث أنه لا يهتمُّ بالصلاة؛ ولذا قال صلَّى اللهُ عليه وسلَّم: ((بين الرجلِ والشركِ تركُ الصَّلاةِ))، فظاهر الحديث هو الترك المطلَق، وكذلك حديثُ بُرَيدة: ((العهدُ الذي بيننا وبينهم الصلاةُ؛ فمَن ترَكَها فقدْ كفَرَ))، ولم يقُلْ: مَن ترك صلاةً، وعلى كلِّ حال؛ فالراجحُ عندي أنَّه لا يَكفُر إلَّا إذا تركها بالكليَّةِ
“Jika seseorang mengakui wajibnya shalat namun ia dikalahkan oleh rasa malas dan meremehkan shalat. Maka para ulama berbeda pendapat apakah ia kafir atau tidak. Sebagian ulama menyatakan bahwa orang yang meninggalkan satu shalat wajib saja hingga keluar waktunya maka dia kafir. Sebagian ulama berpendapat ia tidak kafir kecuali jika ia meninggalkan seluruh shalat. Inilah pendapat yang benar. Yaitu seseorang menjadi kafir jika meninggalkan shalat secara mutlak. Karena ini berarti ia tidak ada keinginan sama sekali untuk shalat. Oleh karena itulah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Pembatas bagi antara seseorang dengan syirik dan kufur adalah meninggalkan shalat”. Zhahir hadits ini menunjukkan yang dimaksud Nabi adalah jika meninggalkan shalat secara mutlak. Demikian juga hadits Buraidah: “Sesungguhnya perjanjian antara kita dan mereka (kaum musyrikin) adalah shalat. Barangsiapa yang meninggalkannya maka ia telah kafir”. Nabi tidak bersabda: “barangsiapa yang meninggalkan satu shalat…”. Namun, ‘ala kulli haal, pendapat yang rajih ia tidak kafir kecuali jika meninggalkan shalat secara keseluruhan” (Majmu Fatawa war Rasail Ibnu Utsaimin,
Dari dalil dan penjelasan diatas bahwa orang yang meninggalkan sholat dihukum tidak kafir menurut kaum rajih sehingga Fulanah tidak boleh Fasah / menggugat cerai kepengadilan karena tidak adanya sebab- sebab yang memperbolehkan fasah/cerai berikut sebab Istri yang diperbolehkan kecuali dengan cara khulu” berikut sebab-sebab yang mempengaruhi cerai /Fasah ;
الموسوعة الفقهية – 20299/31949
ما يتعلق بالفرقة من أحكام:
أولا – أسباب الفرقة:
أ – الفرقة بسبب الشقاق بين الزوجين:
5 – الشقاق هو النزاع بين الزوجين، فإذا وقع وتعذر الإصلاح بينها يبعث حكم من أهل كل واحد منهما للعمل في الإصلاح بينهما بحكمة وروية، مطابقا لقوله تعالى: {وإن خفتم شقاق بينهما فابعثوا حكما من أهله وحكما من أهلها إن يريدا إصلاحا يوفق الله بينهما} . (1)
فإن نجحا في الإصلاح، وإلا جاز لهما التفريق بين الزوجين إما بشرط التوكيل والتفويض لهما على ذلك كما ذهب إليه الحنفية والحنابلة في قول، أو دون حاجة إلى التوكيل والتفويض بل بموجب التحكيم، كما قال به المالكية والحنابلة في قول آخر، وعلى تفصيل عند الشافعية (2) .
تعالى: {وإن خفتم شقاق بينهما فابعثوا حكما من أهله وحكما من أهلها إن يريدا إصلاحا يوفق الله بينهما} . (1)
فإن نجحا في الإصلاح، وإلا جاز لهما التفريق بين الزوجين إما بشرط التوكيل والتفويض لهما على ذلك كما ذهب إليه الحنفية والحنابلة في قول، أو دون حاجة إلى التوكيل والتفويض بل بموجب التحكيم، كما قال به المالكية والحنابلة في قول آخر، وعلى تفصيل عند الشافعية (2) .والتفصيل في مصطلح: (طلاق ف 73 – 76) .
ب – الفرقة بسبب العيب:
6 – ذهب جمهور الفقهاء إلى جواز التفريق بسبب العيب في الرجل أو المرأة على سواء، وخص الحنفية جواز الفرقة بينهما بعيوب في الزوج، وهي: الجب والعنة والخصاء فقط عند أبي حنيفة وأبي يوسف، وزاد عليها محمد: الجنون (1) .
واختلف الجمهور في أنواع العيوب التي تجوز بسببها الفرقة بين الزوجين بين موسع ومضيق (2) .
والتفصيل في مصطلح: (طلاق ف 93 – 106) .
ج – الفرقة بسبب الغيبة:
7 – اختلف الفقهاء في حكم الفرقة بين الزوجين بسبب الغيبة بناء على اختلافهم في حكم استدامة الوطء، هل حق للزوجة كالزوج، أو لا؟
فذهب الحنفية والشافعية وهو قول
القاضي من الحنابلة إلى أن حق المرأة في الوطء قضاء ينتهي بالوطء مرة واحدة، فإذا غاب الزوج عنها بعد ذلك وترك لها ما تنفقه على نفسها لم يكن لها حق طلب الفرقة.
وذهب المالكية إلى أن هذا الحق ثابت للزوجة مطلقا، على ذلك فلها طلب التفريق منه بسبب الغيبة، سواء أكان سفره لعذر أم لغير عذر.
وذهب الحنابلة – فيما عدا القاضي – إلى أن استدامة الوطء حق للزوجة ما لم يكن في الزوج عذر مانع، كالمرض ونحوه، فإذا غاب الزوج عن زوجته بغير عذر كان لها طلب التفريق (1) .
والتفصيل في مصطلح (طلاق ف 87، 88، غيبة)
د – الفرقة بسبب الإعسار:
8 – الإعسار إما أن يكون بالصداق، أو يكون بالنفقة.
أما الإعسار بالصداق فاختلف الفقهاء في حكمه كالتالي:
ذهب الحنفية إلى عدم جواز الفرقة بالإعسار بالمهر أو غيره، لكنهم قالوا: للزوجة قبل الدخول منع تسليم نفسها للزوج حتى تستوفي معجل صداقها.
وأجاز المالكية الفرقة بين الزوجين بسبب إعسار الزوج عن معجل الصداق إذا ثبت عسره، ولا يرجى زواله،
أما الشافعية والحنابلة فلهم في المسألة تفصيل تختلف أحكامه حسب اختلاف الأحوال (1) .
والتفصيل في مصطلح: (إعسار ف 14، وطلاق ف 79) .
أما الإعسار بنفقة الزوجة فإذا ثبت بشروطه وطلبت الزوجة التفريق بينهما بسبب ذلك يفرق بينهما عند جمهور الفقهاء، خلافا للحنفية الذين قالوا بالاستدانة عليه، ويؤمر بالأداء من تجب عليه نفقتها لولا الزوج (2) .
وللتفصيل ينظر مصطلح: (إعسار ف 19) – وطلاق (ف 82) .
هـ – الفرقة بسبب الإيلاء:
9 – إذا حصل الإيلاء من الزوج كأن حلف بالله تعالى أن لا يقرب زوجته أربعة أشهر أو أكثر، أو علق على قربانها أمرا فيه مشقة على نفسه كأن يقول: إن قربتك فلله علي صيام شهر، أو نحو ذلك، وتحققت شروط الإيلاء، وأصر الزوج على عدم قربان زوجته، كان ذلك داعيا إلى الفرقة بينه وبين زوجته؛ لأن في هذا الامتناع إضرارا بالزوجة، فكان لها الحق في مطالبته بالعودة إلى معاشرتها، وإلا فللزوجة أن ترفع الأمر إلى القاضي فيأمر الزوج بالرجوع عن موجب يمينه، فإن أبى أمره بتطليقها، فإن لم يطلق طلقها عليه القاضي، وهذا عند الجمهور.
وقال الحنفية: إن الطلاق يقع بمجرد مضي أربعة أشهر إذا لم يقربها، ولا يتوقف على الرفع إلى القضاء (1) . والتفصيل في مصطلح (إيلاء ف 1، 17) .
و الفرقة بسبب الردة:
10 – ذهب الحنفية والمالكية إلى أن الردة سبب للفرقة بين الزوجين فورا، واختلفوا في كيفية الفرقة، فقال الحنفية: إذا ارتد أحد الزوجين المسلمين بانت منه امرأته مسلمة كانت أو كتابية، دخل بها أو لم يدخل، ويكون ذلك فسخا عاجلا لا يتوقف على قضاء.واستثنى المالكية حالة ما إذا قصدت المرأة بردتها فسخ النكاح، فلا تفسخ الردة في هذه الحالة النكاح معاملة لها بنقيض قصدها.
وعند الشافعية لا تقع الفرقة بينهما فورا حتى تمضي عدة الزوجة قبل أن يتوب ويرجع إلى الإسلام، فإذا انقضت العدة وقعت الفرقة، وإن عاد إلى الإسلام قبل انقضاء العدة فهي امرأته.
وذهب الحنابلة إلى أن الردة إن كانت قبل الدخول يفرق بين الزوجين فورا، وإن كانت بعد الدخول ففي رواية تنجز الفرقة، وفي رواية أخرى تتوقف على انقضاء العدة (1) والتفصيل في مصطلح (ردة ف 44)
ز – الفرقة بسبب اختلاف الدار:
11 – ذهب جمهور الفقهاء إلى أن مجرد اختلاف الدار لا يعتبر سببا للفرقة بين الزوجين ما لم يحصل بينهما اختلاف في الدين.
وقال الحنفية: إن اختلاف داري الزوجين حقيقة وحكما موجب للفرقة بينهما، فلو دخل حربي دار الإسلام وعقد الذمة وترك زوجته في دار الحرب انفسخ نكاحهما، وكذا الْعَكْسُ (1)
وَالتَّفْصِيل فِي مُصْطَلَحِ (اخْتِلاَفُ الدَّارَيْنِ ف 5)
ح – الْفُرْقَةُ بِسَبَبِ اللِّعَانِ:
12 – ذَهَبَ الْفُقَهَاءُ إِلَى أَنَّهُ إِذَا قَذَفَ الرَّجُل زَوْجَتَهُ قَذْفًا مُوجِبًا لِلْحَدِّ، أَوْ نَفَى حَمْلَهَا وَوَلَدَهَا مِنْهُ، فَإِنَّهُ يُلاَعَنُ بَيْنَهُمَا، لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَالَّذِينَ يَرْمُونَ أَزْوَاجَهُمْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُمْ شُهَدَاءُ إِلاَّ أَنْفُسُهُمْ فَشَهَادَةُ أَحَدِهِمْ أَرْبَعُ شَهَادَاتٍ بِاللَّهِ إِنَّهُ لَمِنَ الصَّادِقِينَ وَالْخَامِسَةُ أَنَّ لَعْنَةَ اللَّهِ عَلَيْهِ إِنْ كَانَ مِنَ الْكَاذِبِينَ وَيَدْرَأُ عَنْهَا الْعَذَابَ أَنْ تَشْهَدَ أَرْبَعَ شَهَادَاتٍ بِاللَّهِ إِنَّهُ لَمِنَ الْكَاذِبِينَ وَالْخَامِسَةَ أَنَّ غَضَبَ اللَّهِ عَلَيْهَا إِنْ كَانَ مِنَ الصَّادِقِينَ} (2)
وَإِذَا حَصَلَتِ الْمُلاَعَنَةُ بَيْنَ الزَّوْجَيْنِ يُفَرَّقُ بَيْنَهُمَا لِقَوْلِهِ: صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُتَلاَعِنَانِ إِذَا افْتَرَقَا لاَ يَجْتَمِعَانِ (3)
وَلاَ تَحْتَاجُ هَذِهِ الْفُرْقَةُ إِلَى حُكْمِ الْقَاضِي عِنْدَ الْمَالِكِيَّةِ وَهُوَ رِوَايَةٌ عِنْدَ الْحَنَابِلَةِ؛ لأَِنَّ سَبَبَ الْفُرْقَةِ قَدْ وُجِدَ فَتَقَعُ، وَذَهَبَ الْحَنَفِيَّةُ – وَهُوَ ظَاهِرُ مَذْهَبِ الْحَنَابِلَةِ – إِلَى أَنَّهُ لاَ تَتِمُّ الْفُرْقَةُ بَيْنَ الْمُتَلاَعِنَيْنِ إِلاَّ بِحُكْمِ الْقَاضِي لِمَا فِي حَدِيثِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَال: فَرَّقَ رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ الْمُتَلاَعِنَيْنِ، وَقَال: حِسَابُكُمَا عَلَى اللَّهِ (1) ، لَكِنْ يَحْرُمُ الاِسْتِمْتَاعُ بَيْنَهُمَا بَعْدَ التَّلاَعُنِ وَلَوْ قَبْل الْفُرْقَةِ.
وَقَال الشَّافِعِيَّةُ: يَتَعَلَّقُ بِلِعَانِ الزَّوْجِ فُرْقَةٌ مُؤَبَّدَةٌ، وَإِنْ لَمْ تُلاَعِنِ الزَّوْجَةُ أَوْ كَانَ كَاذِبًا (2) .
وَالتَّفْصِيل فِي مُصْطَلَحِ (لِعَان) .
ط – الْفُرْقَةُ بِسَبَبِ الظِّهَارِ:
13 – إِذَا ظَاهَرَ الرَّجُل مِنَ امْرَأَتِهِ بِأَنْ قَال لَهَا: أَنْتِ كَظَهْرِ أُمِّي: وَتَوَافَرَتْ شُرُوطُ الظِّهَارِ، تَحْرُمُ الْمُعَاشَرَةُ الزَّوْجِيَّةُ قَبْل التَّكْفِيرِ عَنِ الظِّهَارِ، وَهَذِهِ الْحُرْمَةُ تَشْمَل حُرْمَةَ الْوَطْءِ اتِّفَاقًا، وَحُرْمَةَ دَوَاعِي الْوَطْءِ عِنْدَ جُمْهُورِ الْفُقَهَاءِ.
وَذَهَبَ الشَّافِعِيَّةُ فِي الأَْظْهَرِ وَبَعْضُ الْمَالِكِيَّةِ وَأَحْمَدُ فِي رِوَايَةٍ إِلَى إِبَاحَةِ دَوَاعِي الْوَطْءِ.
فَإِنِ امْتَنَعَ الزَّوْجُ عَنِ التَّكْفِيرِ كَانَ لِلزَّوْجَةِ
Demikian penjelasan seputar personal Gugatan cerai bagi Wanita ( Fulanah ) karena Suaminya meninggalkan sholat 5 waktu. Wallahu A’lam bisshowab.
Wallahu A’lam