
PROBLEMATIKA PERBEDAAN DALAM MENENTUKAN AWAL RHOMADHAN, IDUL FITRI DAN IDUL ADHA
Assalamualaikum.
Deskripsi Masalah.
Masalah hisab dan rukyat merupakan persoalan yang sangat penting khususnya bagi ummat Islam, karena bagaimapun juga hal tersebut sangat erat korelasinya dengan penentuan hari-hari besar Islam seperti Awal bulan Ramadhan, Idul fitri dan juga Idul Adha yang edintik dengan hari Raya Qurban.
Sebagaimana kita maklumi, bahwa setiap tahunnya energi ummat Islam khususnya diindonesia tercurah untuk menentukan hari-hari besar tersebut , karena dibulan tersebut terdapat waktu dan hari yang istijabah. Maka untuk menentukan awal bulan tersebut, sebagian mereka menggunakan metode hisab dan rukyat sedangkan sebagian yang lainnya menggunakan metode rukyat saja bahkan ada sebagian hanya mencukupkan dengan metode hisab hakiki. Dan sebagian kelompok menganggap bahwa metode rukyah bersifat Qoth’i ( penentu utama ) dan hisab bersifat dhonniy saja ( pendukung ) dan sebaliknya kelompok yang lain menganggap metode hisab adalah bersifat Qoth’i sedangkan rukyah bersifat dhanniy.Dari penggunaan metode yang berbeda tersebut terkadang dapat menghasilkan keputusan yang tidak seragam ( sama ), bahkan tidak jarang berbedaan tersebut menyebabkan kerenggangan ukhuwah diantara ummat Islam. Meski demikian kedua metode tersebut sama-sama dapat digunakan oleh umat Islam. Dari deskripsi diatas saya ( AHMAD ) Timbul pertanyaan.
Pertanyaannya.
Mengapa ada perbedaan dalam menentukan awal Ramadhan, hari Idul fitri maupun Idul Adha? Berikan argumen atau penjelasan analisis korelasinya dari kajian usul fiqh ( metode istimbat/ penetapan hukumnya ).
Waalaikum salam.
Jawaban.
Jika melihat dan mencermati dari deskripsi, bahwa perbedaan pendapat dalam hal ; rukyat dan hisab adalah merupakan hal yang biasa terjadi, sehingga kita tidak perlu risau dalam menyikapinya. Karena bagaimanapun juga perbedaan itu adalah rahmat, hal ini, sesuai dengan sabda Nabi Muhammad SAW: ” إختلاف أمتى رحمة ” perbedaan ummatku itu adalah rahmat.
Jika sama kenapa harus beda, jika beda kenapa tidak saling menghargai, begitu bunyi slogan memaknai perbedaan, tahun lalu idul fitri yang berbeda dan sekarang justru Idul Adha, idul Adha identik dengan sembelihan hewan kurban, sekalipun memaklumi perbedaan tetap saja masih menyisakan problema yang menyebabkan kerenggangan ukhuwah diantara ummat Islam, padahal keduanya sama ada dasarnya Yaitu al-Qur’an dan hadits .
Hisab artinya menghitung, yakni menentukan hitungan mulai hari puasa Ramadhan, hal ini hanya dapat dilakukan oleh orang-orang tertentu yang ahli dalam bidang ilmu falak. Penetapan awal bulan Ramadhan dengan perhitungan ahli hisab ini dengan Syarat :
- Jika bulan tidak terlihat, maka bulan Syakban disempurnakan 30 hari
- Yang bisa melakukan hisab ini adalah orang yang ahli dalam bidangnya
Adapun dasar ( dalil ) yang di pakai oleh ahli hisab untuk menggunakan hisab dalam menentukan awal bulan didasarkan pada petunjuk dalam al-Qur’an surat Yasin ayat 39-40:
وَٱلۡقَمَرَ قَدَّرۡنَـٰهُ مَنَازِلَ حَتَّىٰ عَادَ كَٱلۡعُرۡجُونِ ٱلۡقَدِیمِ (39) لَا ٱلشَّمۡسُ یَنۢبَغِی لَهَاۤ أَن تُدۡرِكَ ٱلۡقَمَرَ وَلَا ٱلَّیۡلُ سَابِقُ ٱلنَّهَارِۚ وَكُلࣱّ فِی فَلَكࣲ یَسۡبَحُونَ (40)
Artinya: 39). Dan telah Kami tetapkan tempat peredaran bagi bulan, sehingga (setelah ia sampai ke tempat peredaran yang terakhir) kembalilah ia seperti bentuk tandan yang tua. 40). Tidaklah mungkin bagi matahari mengejar bulan dan malam pun tidak dapat mendahului siang. Masing-masing beredar pada garis edarnya. (QS. Yasin: 39-40)
Surat Yunus Ayat 5
هُوَ ٱلَّذِى جَعَلَ ٱلشَّمْسَ ضِيَآءً وَٱلْقَمَرَ نُورًا وَقَدَّرَهُۥ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُوا۟ عَدَدَ ٱلسِّنِينَ وَٱلْحِسَابَ ۚ مَا خَلَقَ ٱللَّهُ ذَٰلِكَ إِلَّا بِٱلْحَقِّ ۚ يُفَصِّلُ ٱلْءَايَٰتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ
Artinya: Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui.
Kriteria awal bulan menurut ahli hisab yaitu ada tiga kriteria; pertama, harus sudah ada ijtimak (konjungsi), yaitu putaran bulan sudah penuh mengitari bumi; kedua, ijtimak tersebut terjadi sebelum terbenamnya matahari; ketiga, pada saat terbenamnya matahari piringan atas bulan berada di atas ufuk. Artinya, bulan belum terbenam ketika matahari terbenam. Adapun 3 kriteria tersebut harus terpenuhi semuanya dan ini berlaku untuk semua bulan bukan hanya Ramadan.
“Kalau golongan ahli hisab tanggal 1 Ramadan itu adalah tanggal 1 yang ada di kalender. kalau rukyat bisa terjadi begini, di kalendernya tanggal 1 tapi karena tidak terlihatnya hilal, maka puasanya besoknya tanggal 2. Ini bisa terjadi, maka dikalangan ahli hisab tidak seperti itu, karena antara kalender dengan sistem peribadatan di bulan Ramadan itu sama, maka dengan melihat kalender yang terbit untuk 1 tahun sudah dapat ditentukan kapan puasa dan kapan lebaran.”
Rukyat artinya penglihatan, yakni melihat muliyanya /awal bulan Ramadhan setelah terbenamnya matahari pada tanggal dua puluh sembilan (akhir ) Syakban . Untuk melakukan rukyat inipun memerlukan persyaratan tertentu yakni harus ada fasilitas yang menunjangnya, sehingga tidak sembarang orang melakukannya.Penetapan mulai bulan Ramadhan dengan rukyat ini berdasarkan perintah Rasulullah SAW sebagaimana keterangan hadits riwayat Abu Hurairah bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته، فإن غبي عليكم فأكملوا عدة شعبان ثلاثين يوما “
Berpuasalah kamu ketika telah melihat hilal Ramadhan dan berhentilah kamu berpuasa ketika telah melihat hilal bulan Syawal. Jika hilal tertutup bagimu maka genapkanlah bulan syakban menjadi 30 hari,” (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Dalam hadits yang lain Rasulullah SAW pernah bersabda mengenai perintah berpuasa jika melihat hilal:
عن إبن عمر : عن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : إذا يْتُمُوهُ فَصُومُوا، وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ
Artinya: Dari Ibnu Umar RA.Rasulullah SAW bersabda: ” Apabila kalian melihatnya (hilal Ramadan), maka berpuasalah, dan jika kalian melihatnya (hilal bulan baru), maka berbukalah. Tetapi jika mendung (tertutup awan) maka estimasikanlah (menjadi 30 hari). (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Dalam hadits riwayat Ibnu Umar Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
لا تصوموا حتى تروا الهلال ولا تفطروا حتى تروه، فإن غم عليكم فاقدروا له “
Janganlah kamu berpuasa sehingga kamu melihat hilal ( Ramadhan ) dan janganlah kamu berhenti berpuasa sehingga kamu melihat hilal Syawal. Jika hilal tertutup bagimu maka… ” Bagi jumhur, sabda Nabi Muhammad SAW (فاقدروا له) merupakan interpretasi/penjelasan terhadap sabda Nabi pada hadits yang pertama, (فأكملواعدة) yang bermakna: sempurnakanlah bilangan menjadi 30 hari, oleh karena itu mayoritas ulama sampai saat ini berpedoman pada rukyat. Yang dimaksud adalah melihat bulan baru ( هلال ) dengan mata kepala (رؤية بصرية ), bukan penglihatan ilmiah ( رؤية علمية ) dengan menggunakan perhitungan ( حساب ). Bila penglihatan riil dengan mata kepala tidak terjadi meski karena terhalang awan, mereka mengestimasikan / menggenapkan bulan Sya’ban/Ramadhan menjadi 30 hari. Salah seorang imam besar dari kalangan ulama Syafi’iyah, Abu al-Abbas Ahmad bin Umar bin Suraij mengompromikan dua riwayat hadits di atas dengan menggunakan pendekatan yang dalam istilah sekarang disebut dengan teori multi-dimensi (نظرية تعدد الأبعاد), yaitu bahwa sabda Nabi ( فاقدرواله ) bermakna: “perkirakanlah hilal itu dengan menghitung posisi-posisi-nya.” Ini ditujukan kepada mereka yang oleh Allah subhanahu wa ta’ala dianugerahi pengetahuan tentang hisab, sedang sabda Nabi Muhammad SAW ( فاكملوا عدة) ditujukan kepada mereka yang awam di bidang ilmu itu (Fatawa al-Qardhawi).
Dengan kata lain merujuk pada hadis tersebut ada dua petunjuk untuk mengetahui kapan puasa Ramadan; dengan melihat hilal atau dengan mengestimasikan/menyempurnakan bilangan bulan menjadi 30 hari. Jikalau kita menggunakan rukyat, maka kita belum tahu kapan akan datangnya bulan Ramadan karena harus menunggu tanggal 29 Sya’ban terlebih dahulu, kemudian melakukan rukyatul hilal.
Kalimat “Faqduru lahu” memiliki beberapa pemaknaan;
- Pertama, sempurnakanlah bulan Sya’ban 30 hari;
- Kedua, jika hilal belum terlihat maka perkirakanlah bahwa hilal ada dibalik mendungnya awan;
- Ketiga dengan hisab (perhitungan)
Ada hadits lain yang menjelaskan mengapa di zaman Rasulullah menggunakan rukyat bukan hisab dalam menentukan awal bulan Ramadan:
إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ، لَا نَكْتُبُ وَلَا نَحْسُبُ. الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا ” يَعْنِي مَرَّةً تِسْعَةً وَعِشْرِينَ، وَمَرَّةً ثَلَاثِينَ.
Artinya: Sesungguhnya umatku ummiy, tidak dapat menulis dan juga berhitung. Adapun bulan ini (Sya’ban/Ramadan) seperti ini dan seperti itu, yakni terkadang 29 hari dan terkadang 30 hari. (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Menurut pendapat Imam Taqyuddin al-Subki, yang diakui memiliki kapasitas sebagai mujtahid. Pendapat beliau dalam masalah ini antara lain dikemukakan oleh Sayyid Abu Bakar Syatha di dalam Hasyiyah I’anah al-Thalibin:
( فرع)
لو شهد برؤية الهلال واحد او اثنان واقتضى الحساب عدم امكان رؤيته ، قال السبكي: لا تقبل هذه الشهادة، لان الحساب قطعي والشهادة ظنية، والظن لا يعارض القطع “
Jika satu orang atau dua orang bersaksi bahwa dia atau mereka telah melihat hilal sementara secara hisab hilal tak mungkin terlihat, maka menurut al-Subki kesaksian itu tidak diterima, karena hisab besifat pasti sedangkan rukyat bersifat dugaan, tentu yang bersifat dugaan tidak bisa mengalahkan yang pasti. Substansi ( tujuan )dari pendapat ini ialah bahwa hisab menjadi dasar dalam rangka menafikan, tidak dalam rangka menetapkan.
الحساب حجة في النفي لا في الإثبات
Sayyid Abu Bakar Syatha mengomentari pendapat Imam al-Subki dengan mengatakan:
والمعتمد قبولها، إذ لا عبرة بقول الحسٌاب “
Menurut yang muktamad, kesaksian tersebut diterima, karena pendapat ahli hisab tidak mu’tabar (tidak masuk hitungan).” Alasan Imam al-Subki :
(لان الحساب قطعي والرؤية ظنية)
Untuk menolak rukyat ketika bertentangan dengan hisab perlu digarisbawahi kemudian ditarik ke kondisi saat ini di mana ilmu astronomi modern telah begitu maju dan akurasinya benar-benar meyakinkan (قطعي). Dengan ilmu ini, para ahli astronomi bisa memprediksi terjadinya gerhana beberapa ratus tahun sebelum terjadinya dengan sangat akurat menyangkut tahun, bulan, minggu, hari dan jam, bahkan menitnya. Dengan begitu akuratnya (قطعي) ilmu astronomi saat ini maka rukyat yang semula bersifat dugaan kuat (مظنونة), ketika bertentangan dengan hisab turun menjadi sesuatu yang diragukan (مشكوك فيها), bahkan hanya bersifat asumsi saja (موهومة). Pendapat Imam al-Subki ini merupakan jalan tengah (المنهج الوسطي), sekaligus menjadi ajang perdamaian antara yang fanatik rukyat dan yang fanatik hisab. Jika pemerintah berpegang pada pendapat ini maka tidak perlu menyiapkan tenaga dan biaya yang cukup besar yang dibutuhkan untuk melakukan pemantauan hilal (الترائي)، ketika seluruh ahli hisab/astronomi sepakat mengatakan bahwa hilal tidak mungkin dirukyat.
Berdasarkan beberapa hadis tersebut, maka dapat dipahami bahwasannya fungsi dari rukyat hilal adalah untuk memastikan apakah umur 1 bulan itu 29 hari atau 30 hari. Jika hilal tidak terlihat, maka bilangan bulan tersebut digenapkan menjadi 30 hari. Maka, hadis yang menyebutkan bahwasanya umat beliau saw itu ummiy menjadi alasan mengapa saat itu tidak menggunakan hisab, karena belum adanya pengetahuan terkait dengan hisab, akan tetapi pada zaman sekarang di mana ilmu astronomi modern telah begitu maju dan akurasinya benar-benar meyakinkan (قطعي). Oleh karena itu , para ahli astronomi dengan ilmunya bisa memprediksi terjadinya gerhana beberapa ratus tahun sebelum terjadinya dengan sangat akurat ( tepat sasaran ) baik yang menyangkut tahun, bulan, minggu, hari dan jam, bahkan menitannya. Hal ini sesuai dengan kaidah
الحكم يدور مع علته وجودا و عدما
Artinya: “Hukum itu berdasarkan ada tidaknya illat dan sebabnya.”
Jika tidak bisa rukyat maka dengan hisab dan sebaliknya jika tidak bisa hisab maka dengan rukyat.
Adapun yang terpenting dari berbedaan tersebut adalah adanya kehati- hatian sebagaimana keterangan lengkap tentang bagaimana semestinya penentuan awal bulan yang boleh diikuti oleh masyarakat dan warga negara sebagaimana ibarah berikut:
Referensi:
كاشفة السجا على سفينة النجا فى باب وجوب الصيام :
واعلم أنه يثبت رمضان بشهادة العدل وإن دل الحساب القطعي على عدم إمكان رؤيته كما نقله ابن قاسم عن الرملي وهو المعتمد خلافاً لما نقله القليوبي فإنه ضعيف فليحف قال ذلك كله المدابغي
Dan ketahuilah sesungguhnya Ramadhan ditetapkan dengan kesaksian orang adil meskipun hisab qot’i (hitungan pasti) menunjukkan tidak mungkin terjadinya rukyah hilal, seperti keterangan yang dikutip oleh Ibnu Qosim dari Romli. Ini adalah pendapat yang mu’tamad yang bertolak belakang dengan keterangan yang dikutip oleh Qulyubi karena pendapatnya tersebut adalah yang dhoif, seperti yang dikatakan oleh Mudabighi
قال المرغني ودليل الاكتفاء في ثبوته بالعدل الواحد ما صح عن ابن عمر رضي اﷲعنهما أخبرت رسول اﷲ صلى اﷲ عليه وسلّم أني رأيت الهلال فصام وأمر الناس بصيامه اه قوله أخبرت رسول اﷲ صلى اﷲ عليه وسلّم أي بلفظ الشهادة ويكفي في الشهادة أشهد أني رأيت الهلال وإن لم يقل وإن غداً من رمضان
Murghini berkata, “Dalil dicukupkannya penetapan Ramadhan dengan satu orang adil adalah hadis yang shohih dari Ibnu Umar rodhiallahu ‘anhuma, “Aku memberitahu kepada Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallama bahwa aku melihat hilal (Ramadhan). Kemudian beliau berpuasa dan memerintahkan orang-orang untuk berpuasa.” Perkataan Ibnu Umar, Aku memberitahu kepada Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallama adalah dengan lafadz syahadah (kesaksian). Dalam bersyahadah atau bersaksi, cukup mengucapkan, “Aku bersaksi sesungguhnya aku telah melihat hilal,” meskipun tidak mengucapkan, “Sesungguhnya besok sudah masuk Ramadhan.
” والمعنى في ثبوته بالواحد الاحتياط للصوم ومثله سائر العبادات كالوقوف بالنسبة لهلال ذي الحِجة وهي شهادة حسبة بكسر الحاء أي لا مرجوٌ بها ثواب الدنيا فلا تحتاج إلى سبق دعوى
Dan adapun arti pokok ditetapkannya Ramadhan dengan satu orang adil adalah karena ihtiyat (berhati-hati) dalam berpuasa.Begitu juga, ibadah-ibadah lain, seperti; wukuf, dengan artian bahwa ditetapkannya Dzulhijah dengan rukyah hilal oleh satu orang adil.
Adapun yang dimaksud syahadah disini adalah syahadah hisbah (kesaksian yang mencukupi yang lainnya), maksudnya, syahadah yang tidak diharapkan adanya pahala di dunia. Oleh karena itu, syahadah tersebut tidak perlu ada dakwaan terlebih dahulu.
قال المدابغي ولو رجع عن شهادته بعد شروعهم في الصوم أو بعد حكم الحاكم ولوقبل شروعهم لزمهم الصوم ويفطرون بإتمام العدة وإن لم يروا هلال شوال
Mudabighi berkata, “Apabila orang adil itu mencabut syahadah atau kesaksiannya tentang rukyah hilal, padahal orang-orang sudah mulai berpuasa atau apabila ia mencabut syahadah-nya setelah ditetapkan dan diputuskan oleh hakim (Menteri Agama) meskipun orang-orang belum mulai berpuasa, maka wajib atas mereka berpuasa dan mereka nantinya berbuka dengan menggenapkan Ramadhan menjadi 30 hari meskipun mereka melihat hilal Syawal.”
(ورابعها بإخبار عدل رواية موثوق به) قال الزيادي ومثله موثوق بزوجته وجاريته وصديقه (سواء وقع في القلب صِدقُه أم لا) قال الشرقاوي خلافاً لما ذكره في شرح المنهج وإن تبعه بعض الحواشي (أو غير موثوق به) كفاسق (إن وقع في القلب صدقه) ولذا قال المدابغي عند قول الخطيب ويجب الصوم أيضاً على من أخبره موثوق به بالرؤية إن اعتقد صدقه وإن لم يذكره عند القاضي قوله موثوق به ليس بقيد بل المدار علىاعتقاد الصدق ولو كان المُخبِر كافرًا أوفاسقاً أو رقيقاً أو صغيرًا ثم قال السويفي عندقول الخطيب ذلك أيضاً قوله إن اعتقد صدقه ليس بقيد فالمدار على أحد أمرين كون المخبر موثوقاً به أو اعتقاد صدقه اه قال الشرقاوي ولو رآه فاسق جهل الحاكم فسقه جاز له الإقدام على الشهادة بل وجب أن توقف ثبوت الصوم عليها
Dan adapun perkara yang keempat (Yang mewajibkan puasa Ramadhan) adalah sebab adanya berita riwayat yang terpercaya dengannya. Ziyadi menambahkan tentang terpercaya adalah orang yang dipercaya oleh Istrinya ‘tetangganya dan temannya budaknya,dzon) kebenarannya atau tidak.dan Syarqowi mengatakan bahwa keterangan yang disebutkan di dalam kitab Syarah al-Minhaj adalah disyaratkannya hati menyangka kebenaran berita orang adil riwayat tersebut, meskipun pendapat ini juga tertulis dalam sebagian hasyiah. Atau orang adil riwayat tersebut tidak terpercaya, semisal; ia adalah orang fasik, maka diwajibkan puasa sebab berita darinya, dengan catatan jika memang hati menyangka kebenaran beritanya itu. Oleh karena ini, Mudabighi berkata, “Menurut pendapat Khotib, diwajibkan juga berpuasa atas orang yang diberitahu tentang rukyah hilal oleh orang lain yang terpercaya jika memang orang tersebut meyakini kebenarannya,” meskipun pernyataan ini tidak disebutkan oleh al-Qodhi. Batasan “yang terpercaya” bukanlah patokan dalam kewajiban berpuasa, melainkan patokannya adalah keyakinan hati tentang kebenaran berita yang disampaikan meskipun pemberi berita tersebut adalah orang kafir, fasik, budak, atau anak kecil. Suwaifi berkata, “Menurut pendapat Khotib, keyakinan hati tentang berita rukyah hilal bukanlah batasan, melainkan patokannya adalah salah satu dari dua hal, yakni; orang yang menyampaikan berita itu adalah orang yang terpercaya atau keyakinan hati atas beritanya.” Syarqowi berkata, “Apabila orang fasik melihat hilal, sementara itu, hakim (Menteri Agama) tidak mengetahui kefasikannya, maka boleh bagi hakim tersebut menawarkannya untuk bersyahadah, bahkan wajib menetapkan puasa berdasarkan syahadah-nya itu.”
(وخامسها بظن دخول رمضان بالاجتهاد فيمن اشتبه عليه ذلك) بان كان أسيرًا أومحبوساً أو غيرهما قاله المدابغي قال الباجوري فلو اشتبه عليه رمضان بغيره لنحو حبسا جتهد فإن ظن دخوله بالاجتهاد صام فإن وقع فأداء وإلا فإن كان بعده فقضاء وإن كان قبله وقع له نفلاً وصامه في وقته إن أدركه وإلا فقضاء اه
Dan adapun perkara yang kelima (Yang mewajibkan puasa Ramadhon) adalah sebab menyangka masuknya bulan Ramadhan dengan cara berijtihad bagi orang yang ragu tentang masuknya, misalnya; ia sedang ditawan di tempat tersembunyi, atau dipenjara, atau yang lainnya, seperti yang dikatakan oleh Mudabighi.
Bajuri berkata, “Apabila seseorang ragu tentang masuknya bulan Ramadhan sebab dipenjara, misal, maka ia berijtihad. Apabila ia menyangka masuknya Ramadhan dengan ijtihadnya tersebut maka ia berpuasa. Apabila puasanya tersebut ternyata jatuh pada tanggal 1 Ramadhan maka puasanya berstatus adak, dan apabila puasanya ternyata jatuh pada tanggal 2 Ramadhan maka puasanya berstatus qodho, dan apabila puasanya ternyata sebelum Ramadhan masuk maka puasanya tersebut berstatus sunah. Selama ia mendapat waktu Ramadhan maka ia berpuasa, jika tidak, maka mengqodho.”.
فتَلَخَّصَ أن سبب وجوب الصيام خمسة اثنان على سبيل العموم أي عموم الناس وهما استكمال شعبان ثلاثين يوماً وثبوت رؤية الهلال ليلة الثلاثين من شعبان عند حاكم وثلاثة على سبيل الخصوص أي خصوص الناس وهو الباقي من الخمسة
Maka dapat disimpulkan bahwa perkara-perkara yang mewajibkan puasa Ramadhan ada 5 (lima). 2 perkara darinya bersifat umum, artinya, kewajiban puasa dibebankan atas orang banyak. 2 perkara tersebut adalah menggenapkan bulan Syakban menjadi 30 hari dan tetapnya rukyah hilal pada malam ke-30 dari bulan Syakban oleh hakim. 3 perkara sisanya bersifat khusus, artinya, kewajiban puasa hanya dibebankan atas orang-orang tertentu.
تنبيه) لا يجب الصوم ولا يجوز بقول المنجم وهو من يعتقد أن أول الشهر طلوع النجم) الفلاني لكن يجب عليه أن يعمل بحسابه وكذلك من صدقه كالصلاة فإنه إذا اعتقد دخول وقت الصلاة فإنه يعمل بذلك ومثل المُنَجِّم الحاسب وهو من يعتمد أي يتَّكِلُ ويتمسك بمنازل القمر في تقدير سَيْرِه ولا عبرة بقول من قال أخبرني النبي صلى اﷲ عليه وسلّم في النوم بأن الليلة أول رمضان لفقد ضبط الرائي لا للشك في تحقق الرؤية إن تحقق الرؤية
[SATU PERINGATAN]:
Tidak wajib berpuasa Ramadhan, bahkan tidak boleh, jika berdasarkan informasi dari munjim (ahli perbintangan). Munjim adalah orang yang meyakini bahwa awal bulan ditandai dengan munculnya bintang Falani. Akan tetapi, wajib atas munjim sendiri mengamalkan penghisabannya, begitu juga, orang yang membenarkannya, sebagaimana dalam masalah sholat, yakni apabila seseorang meyakini masuknya waktu sholat maka ia mengamalkan apa yang diyakininya itu. Sama dengan munjim adalah hasib, yaitu orang yang berpedoman dalam menentukan awal bulan dengan stasiun-stasiun bulan berdasarkan perkiraan rotasinya. Tidak ada pengaruh (ibroh) dalam kewajiban berpuasa jika berpedoman pada perkataan seseorang, “Aku diberitahu oleh Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallama dalam mimpi bahwa malam ini sudah termasuk awal bulan Ramadhan,” karena tidak adanya sifat dhobit dari pemimpi tersebut, bukan berarti meragukan kebenaran mimpinya .
(فرع) وإذا رؤي الهلال بمحلّ لزم حكمه محلاً قريباً منه ويحصل القرب باتحاد المطلَع بأن يكون غروب الشمس والكواكب وطلوعها في البلدين في وقت واحد هذا عند علماءالفلك والذي عليه الفقهاء أن لا تكون مسافة ما بين المحلّين أربعة وعشرين فرسخاً من أي جهة كانت
[ SATU CABANG ]:Ketika hilal terlihat di satu wilayah tertentu, maka hukum terlihatnya hilal juga berlaku atas wilayah yang berdekatan dengannya. Kedekatan antara dua wilayah tersebut ditandai dengan persamaan tempat terbit dan terbenam, sekiranya terbenam dan terbitnya matahari dan bintang di dua wilayah tersebut terjadi dalam waktu yang sama. Ini adalah menurut ulama ahli Falak. Adapun menurut ulama Fiqih, kedekatan antara dua wilayah tersebut ditandai dengan sekiranya jarak antara keduanya tidak sejauh 24 farsakh16 dari berbagai arah.
واعلم أنه متى حصلت الرؤية في البلد الشرقي لزم رؤيته في البلد الغربي دون عكسه ولوسافر من صام إلى محل بعيد من محل رؤيته وافق أهله في الصوم آخرًا فلو عيد قبل سفره ثم أدركهم بعده صائمين أمسك معهم وإن تم العدد ثلاثين لأنه صار منهم أو سافر من البعيد إلى محل الرؤية عيد معهم وقضى يوماً إن صام ثمانية وعشرين وإن صام تسعةوعشرين فلا قضاء وهذا الحكم لا يختص بالصوم بل يجري في غيره أيضاً حتى لو صلى المغرب بمحل وسافر إلى بلد فوجدها لم تغرب وجبت الإعادة.
16 1 Farsakh = ± 8 Km atau 3,5 Mil. Demikian ini menurut Kamus alMunawir, hal, 1045.
Ketahuilah. Sesungguhnya ketika hilal terlihat di negara timur maka terlihat pula di negara barat, tidak sebaliknya.
Apabila seseorang telah berpuasa, kemudian ia pergi ke wilayah Makkah yang jauh dari wilayah Indonesia dimana hilal Syawal telah terlihat di wilayah ” Makkah ” , lalu ia mandapati penduduk Indonesia masih berpuasa di hari terakhir Ramadhan, maka jika penduduk wilayah Makkah telah mengadakan hari raya Idul Fitri sebelum ia pergi ke wilayah Indonesia , lalu mendapati penduduk wilayah Indomesua berpuasa, maka ia wajib berpuasa bersama mereka meskipun puasanya telah genap 30 hari karena ia menjadi bagian dari mereka. Atau apabila ia pergi dari wilayah Indonesia ke wilayah Makkah dimana hilal Syawal telah terlihat di wilayah Makkah maka ia berhari raya bersama penduduk wilayah Makkah , dan ia mengqodho 1 hari jika puasanya baru mendapat 28 hari, dan tidak perlu mengqodho jika puasanya telah mendapat 29 hari.
Hukum di atas berlaku tidak hanya dalam puasa, tetapi juga berlaku dalam ibadah selainnya, bahkan apabila seseorang telah sholat Maghrib di wilayah Indonesia , kemudian ia pergi ke wilayah Makkah dan ternyata di wilayah Makkah matahari belum terbenam, maka ia berkewajiban mengulangi sholat Maghribnya.
Demikianlah penjelasan mengenai ketentuan Awal bulan Ramadhan, Idul fitri dan Aidul Adha keabsahannya harus menunggu keputusan Mentri Agama .
Wallahu A’lam bisshowab.