STATUS AIR DAN WUDHU SESEORANG YANG AIRNYA TERKENA NAJIS DISALURAN AIR (PARALON)

STATUS AIR DAN WUDHU SESEORANG YANG AIRNYA TERKENA NAJIS ( NAJIS TERSANGKUT DALAM PERALON( SALURAN AIR)

Assalamualaikum.

Deskripsi Masalah.
Air merupakan kebutuhan pokok sehari-sehari baik air untuk diminum, dimasak , mandi, bersuci dll. Maka dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan tersebut, terkadang sebagian masyarakat menggunakan penampungan air baik itu berupa bak, jedding, tandon dengan alat bantu peralon dari sumur atau dari pusat sumber mata air. Studi Kasus ketika seseorang mengalirkan air dari pusat( sumur ) dia mengambil wudhu langsung dari paralon namun ditemukan diujung peralon terdapat Najis.

Pertanyaannya.
Bagaimanakah setatus air yang mengalir dari paralon sementara diujung paralon terdapat najis ?

Sahkah wudhu seseorang tersebut?

Jawabannya :

Status air yang mengalir dalam paralon sementara air tersebut tersetuh najis, maka dalam hal ini hukumnya tidak jauh berbeda dengan air yang diam atau menggenang. Hanya saja perlu dilihat,dan dipertimbangkan terlebih dalam adalah:
1- Najisnya turut mengalir bersama air atau tidak.

2- volume air mencapai dua kulah atau tidak.

Ukuran dua kulah di sini dapat dilihat dari posisi antara dua pinggir sungai atau benda yang mengalirkan air. Sementara panjangnya tidak diperhitungkan, walaupun ratusan hingga meter. Sebab, yang diperhitungkan pada air mengalir adalah alirannya itu sendiri, bukan keseluruhan panjang air.

Perlu diketahui pula, bahwa air yang mengalir pada dasarnya terpisah secara hukum meskipun terlihat bersampung secara zahir. Sebagaimana Syekh Nawawi menjelaskan dalam kitabnya.( Kasyifatussaja)

أن الماء الجاري كالراكد فيما مر لكن العبرة في الجاري بالجرية نفسها لا مجموع الماء فإن الجريات متفاصلة حكما وإن اتصلت  في الحس لأن كل جرية طالبة لما قبلها هاربة عما بعدها

Artinya:

“Sesungguhnya, air yang mengalir, sebagaimana keterangan sebelumnya, adalah layaknya seperti air yang menggenang (diam). Namun, yang diperhitungkan pada air mengalir adalah aliran itu sendiri, bukan keseluruhan air. Aliran air itu secara hukum terpisah meskipun secara kasat mata tampak bersambung. Sebab, setiap aliran membutuhkan air sebelumnya dan mendorong air setelahnya,” (Lihat: Syekh Nawawi al-Bantani, Kasyifatus Saja Syarh Safinatin Naja, halaman 21).

Mengenai status air mengalir yang terkena najis, sebagaimana telah disinggung di atas, maka dapat dirinci menjadi dua keadaan: apakah najisnya turut mengalir atau tidak, dan volume airnya mencapai dua kulah atau tidak.

Jika air mengalir yang volumenya kurang dari kulah terkena najis dan najisnya turut mengalir, maka status air yang ada di sekitar najis tersebut adalah najis baik berubah maupun tidak. Sedangkan air yang ada sebelum dan setelah najis tetap suci. Air sebelum najis dihukumi suci karena belum bersentuhan dengan najis, sedangkan air setelah najis dihukumi suci karena tidak bersentuhan dengan najis karena sudah lewat.

إذا كانت النجاسة تجري مع الماء بجرية لا تنفك عنه، فإن الماء الذي قبل النجاسة طاهر؛ لأنه لم يصل إلى النجاسة، والماء الذي بعد النجاسة طاهر أيضًا؛ لأن النجاسة لم تصل إليه

Artinya:

“Jika najis mengalir bersama air dengan aliran yang tidak berpisah darinya, maka air yang ada sebelum najis tersebut adalah suci karena ia belum sampai kepada najis. Demikian pula air yang ada setelah najis juga suci sebab  najis tidak sampai kepadanya,” (Lihat: Abu al-Hasan, al-Bayan, jilid I, halaman 38).

Berbeda halnya, jika aliran air di sekitar najis mencapai dua kulah, maka ia tetap suci selama kondisinya tidak berubah. Namun, ingat volume dua kulah di sini dilihat dari lebar dan dalamnya aliran, bukan dilihat dari jauhnya. Ini untuk najis yang mengalir pada air.

Berikutnya, jika najis yang ada tidak turut mengalir bersama air, sementara volumenya tidak mencapai dua kulah, maka air yang telah melewati najis tersebut seluruhnya najis hingga ia terkumpul di suatu wadah yang volumenya mencapai dua kulah. Berbeda jika volume air yang ada di sekitar najis mencapai dua kulah, maka statusnya tidak najis alias suci selama tidak ada perubahan yang disebabkan oleh najis tersebut.

فإن كانت جامدة واقفة فذلك المحل نجس وكل جرية تمر بها نجسة إلى أن تجمع قلتان منه في موضع كفسقية مثلا فحينئذ هو طهور إذا لم يتغير بها

Artinya:

“Jika kondisi najis adalah keras dan diam, maka tempat air di sekitar najis tersebut adalah najis. Dan setiap aliran yang melewati najis juga najis hingga aliran tersebut berkumpul di satu tempat semisal kran. Maka jika sudah berkumpul mencapai dua kulah, air menjadi suci selama tidak berubah,” (Lihat: Syekh Nawawi al-Bantani, Kasyifatus Saja Syarh Safinatin Naja, halaman 21).

Makanya, masyhur teka-teki di kalangan kaum santri, air apa yang volumenya mencapai 1000 kulah, kondisinya tidak berubah, namun statusnya najis?

Jawabannya adalah air yang melewati najis yang tersangkut, meskipun alirannya sangat jauh mencapai ribuan meter.

Untuk itu, masyarakat yang mengalirkan air dari tempat jauh baik dari PDAM maupun pegunungan disarankan untuk membuat penampungan kembali di rumah seperti bak, tandon, atau toren air yang menampung dua kulah atau setara dengan volume 270 liter menurut Syekh Wahbah az-Zuhaili dalam al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu.

Tujuannya, bila ada najis yang mengalir atau tersangkut di pipa, airnya tetap suci dan dapat digunakan selama ia tidak berubah aroma, rasa, dan warnanya.

Jawaban No.2

wudhu’ nya tidak sah baik najis mengikuti air yang mengalir ataupun tidak kecuali telah terpisah dari peralon berada pada tempat penampungan sementara ukuran penampungan mencapai 2 Qullah dan airnya tidak berubah. Maka wudhu’nya sah ( berwudhu dalam penampungan )

Kesimpulan
-Jika ada air melewati paralon,sedangkan paralonnya kecil,dan didalam paralon itu ada najis yang muatstsiroh(yang membekasi, seperti kotoran ayam)dan airnya kurang dari 2 kullah,maka hukumnya air yang dilewati oleh najis itu dihukumi najis.
-Jika ada air melewati paralon,sedangkan paralonnya kecil,dan didalam paralon itu ada najis yang ghoiru muatstsiroh(yang tidak membekasi, seperti bangkainya hewan yang tidak mengalir darahnya, seperti bangkainya semut )dan airnya kurang dari 2 kullah,maka hukumnya air yang dilewati oleh najis itu dihukumi suci, dan wudhu’ sah.

Referensi:

المكتبة الشاملة
كتاب روضة الطالبين وعمدة المفتين
[النووي]
الرئيسيةأقسام الكتب الفقه الشافعي

فصول الكتاب
ج:1 ص: 19
مسار الصفحة الحالية:
فهرس الكتاب باب فصل

فَصْلٌ

فِي الْمَاءِ الرَّاكِدِ

اعْلَمْ أَنَّ الرَّاكِدَ: قَلِيلٌ، وَكَثِيرٌ، فَالْكَثِيرُ: قُلَّتَانِ، وَالْقَلِيلُ: دُونَهُ. وَالْقُلَّتَانِ: خَمْسُ قِرَبٍ. وَفِي قَدْرِهَا بِالْأَرْطَالِ أَوْجُهٌ. الصَّحِيحُ الْمَنْصُوصُ: خَمْسُمِائَةِ رَطْلٍ بِالْبَغْدَادِيِّ. وَالثَّانِي: سِتُّمِائَةٍ. قَالَهُ أَبُو عَبْدِ اللَّهِ الزُّبَيْرِيُّ. وَاخْتَارَهُ الْقَفَّالُ، وَالْغَزَالِيُّ. وَالثَّالِثُ: أَلْفُ رَطْلٍ. قَالَهُ أَبُو زَيْدٍ. وَالْأَصَحُّ أَنَّ هَذَا التَّقْدِيرَ تَقْرِيبٌ، فَلَا يَضُرُّ نُقْصَانُ الْقَدْرِ الَّذِي لَا يَظْهَرُ بِنُقْصَانِهِ تَفَاوُتٌ فِي التَّغَيُّرِ بِالْقَدْرِ الْمُعَيَّنِ مِنَ الْأَشْيَاءِ الْمُغَيَّرَةِ. وَالثَّانِي: أَنَّهُ تَحْدِيدٌ: فَيَضُرُّ أَيُّ شَيْءٍ نَقَصَ.

قُلْتُ: الْأَشْهَرُ – تَفْرِيعًا عَلَى التَّقْرِيبِ – أَنَّهُ يُعْفَى عَنْ نَقْصِ رَطْلَيْنِ، وَقِيلَ: ثَلَاثَةٌ وَنَحْوُهَا، وَقِيلَ: مِائَةُ رَطْلٍ. وَإِذَا وَقَعَتْ فِي الْمَاءِ الْقَلِيلِ نَجَاسَةٌ وَشَكَّ: هَلْ هُوَ قُلَّتَانِ، أَمْ لَا؟ فَالَّذِي جَزَمَ بِهِ صَاحِبُ (الْحَاوِي) وَآخَرُونَ: أَنَّهُ نَجِسٌ، لِتَحَقُّقِ النَّجَاسَةِ. وَلِإِمَامِ الْحَرَمَيْنِ فِيهِ احْتِمَالَانِ، وَالْمُخْتَارُ، بَلِ الصَّوَابُ: الْجَزْمُ بِطَهَارَتِهِ، لِأَنَّ الْأَصْلَ طَهَارَتُهُ، وَشَكَكْنَا فِي نَجَاسَةٍ مُنَجِّسَةٍ، وَلَا يَلْزَمُ مِنَ النَّجَاسَةِ التَّنْجِيسُ. وَقَدْرُ الْقُلَّتَيْنِ بِالْمِسَاحَةِ: ذِرَاعٌ وَرُبُعٌ طُولًا وَعَرْضًا وَعُمْقًا. وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

ثُمَّ الْمَاءُ الْقَلِيلُ يَنْجُسُ بِمُلَاقَاةِ النَّجَاسَةِ الْمُؤَثِّرَةِ، تَغَيَّرَ أَمْ لَا. وَأَمَّا غَيْرُ الْمُؤَثِّرَةِ، كَالْمَيْتَةِ الَّتِي لَا نَفْسَ لَهَا سَائِلَةً، وَنَجَاسَةٍ لَا يُدْرِكُهَا طَرْفٌ، وَوُلُوغِ هِرَّةٍ تَنْجُسُ فَمُهَا ثُمَّ غَابَتْ وَاحْتُمِلَ طَهَارَتُهُ، فَلَا يَنْجُسُ عَلَى الْمَذْهَبِ، كَمَا سَبَقَ فِي الصُّورَةِ الْأُولَى، وَسَيَأْتِي الْأُخْرَيَانِ إِنْ شَاءَ اللَّهُ تَعَالَى. وَاخْتَارَ الرُّويَانِيُّ مِنْ أَصْحَابِنَا: أَنَّهُ لَا يَنْجُسُ إِلَّا بِالتَّغَيُّرِ، وَالصَّحِيحُ الْمَعْرُوفُ، الْأَوَّلُ.

وَأَمَّا الْكَثِيرُ، فَيَنْجُسُ بِالتَّغَيُّرِ بِالنَّجَاسَةِ لِلْإِجْمَاعِ، سَوَاءً قَلَّ التَّغَيُّرُ أَمْ كَثُرَ، وَسَوَاءً تَغَيَّرَ الطَّعْمُ أَوِ اللَّوْنُ أَوِ الرَّائِحَةُ، وَكُلُّ هَذَا مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ هَاهُنَا، بِخِلَافِ مَا تَقَدَّمَ فِي الطَّاهِرِ. وَسَوَاءً كَانَتِ النَّجَاسَةُ الْمُلَاقِيَةُ مُخَالِطَةً أَمْ مُجَاوِرَةً، وَفِي الْمُجَاوَرَةِ وَجْهٌ شَاذٌّ: أَنَّهَا لَا تُنَجِّسُهُ.

وَأَمَّا إِذَا تَرَوَّحَ الْمَاءُ بِجِيفَةٍ مُلْقَاةٍ عَلَى شَطِّ النَّهْرِ، فَلَا يَنْجُسُ، لِعَدَمِ الْمُلَاقَاةِ، وَإِنْ لَاقَى الْكَثِيرُ النَّجَاسَةَ وَلَمْ يَتَغَيَّرْ لِقِلَّةِ النَّجَاسَةِ وَاسْتِهْلَاكِهَا، لَمْ يَنْجُسْ، وَيُسْتَعْمَلُ جَمِيعُهُ عَلَى الصَّحِيحِ. وَعَلَى وَجْهٍ يُبَقَّى قَدْرُ النَّجَاسَةِ. وَإِنْ لَمْ يَتَغَيَّرْ لِمُوَافَقَتِهَا الْمَاءَ فِي الْأَوْصَافِ، قُدِّرَ بِمَا يُخَالِفُ، كَمَا سَبَقَ فِي (بَابِ الطَّاهِرِ) . وَأَمَّا إِذَا تَغَيَّرَ بَعْضُهُ، فَالْأَصَحُّ نَجَاسَةُ جَمِيعِ الْمَاءِ، وَهُوَ الْمَذْكُورُ فِي (الْمُهَذَّبِ) وَغَيْرِهِ. وَفِي وَجْهٍ لَا يَنْجُسُ إِلَّا الْمُتَغَيِّرُ.

قُلْتُ: الْأَصَحُّ مَا قَالَهُ الْقَفَّالُ، وَصَاحِبُ «التَّتِمَّةِ» وَآخَرُونَ: أَنَّ الْمُتَغَيِّرَ، كَنَجَاسَةٍ جَامِدَةٍ. فَإِنْ كَانَ الْبَاقِي دُونَ قُلَّتَيْنِ، فَنَجِسٌ وَإِلَّا، فَطَاهِرٌ. وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

ثُمَّ إِنْ زَالَ تَغَيُّرُ الْمُتَغَيِّرِ بِالنَّجَاسَةِ بِنَفْسِهِ، طَهُرَ عَلَى الصَّحِيحِ. وَقَالَ الْإِصْطَخْرِيُّ: لَا يَطْهُرُ. وَهُوَ شَاذٌّ. وَإِنْ لَمْ يُوجَدْ رَائِحَةُ النَّجَاسَةِ، لِطَرْحِ الْمِسْكِ

فِيهِ، أَوْ طَعْمُهَا، لِطَرْحِ الْخَلِّ، أَوْ لَوْنُهَا، لِطَرْحِ الزَّعْفَرَانِ، لَمْ يَطْهُرْ بِالِاتِّفَاقِ. وَإِنْ ذَهَبَ التَّغَيُّرُ بِطَرْحِ التُّرَابِ، فَقَوْلَانِ: أَظْهَرُهُمَا لَا يَطْهُرُ، لِلشَّكِّ فِي زَوَالِ التَّغَيُّرِ. وَإِنْ ذَهَبَ بِالْجِصِّ وَالنُّورَةِ وَغَيْرِهِمَا مِمَّا لَا يَغْلُبُ وَصْفَ التَّغَيُّرِ، فَهُوَ كَالتُّرَابِ عَلَى الصَّحِيحِ، وَقِيلَ: كَالْمِسْكِ. ثُمَّ قَالَ بَعْضُهُمْ: الْخِلَافُ فِي مَسْأَلَةِ التُّرَابِ إِذَا كَانَ التَّغَيُّرُ بِالرَّائِحَةِ. وَأَمَّا تَغَيُّرُ اللَّوْنِ، فَلَا يُؤَثِّرُ فِيهِ التُّرَابُ قَطْعًا. وَالْأُصُولُ الْمُعْتَمَدَةُ سَاكِتَةٌ عَنْ هَذَا التَّفْصِيلِ.

قُلْتُ: بَلْ قَدْ صَرَّحَ الْمَحَامِلِيُّ، وَالْفُورَانِيُّ، وَآخَرُونَ: بِجَرَيَانِ الْخِلَافِ فِي التَّغَيُّرِ بِالصِّفَاتِ الثَّلَاثِ، وَقَدْ أَوْضَحْتُ ذَلِكَ فِي (شَرْحِ الْمُهَذَّبِ) . وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

فَرْعٌ

النَّجَاسَةُ الَّتِي لَا يُدْرِكُهَا الطَّرْفُ، كَنُقْطَةِ خَمْرٍ، وَبَوْلٍ يَسِيرَةٍ، لَا تُبْصَرُ لِقِلَّتِهَا وَكَذُبَابَةٍ تَقَعُ عَلَى نَجَاسَةٍ، ثُمَّ تَطِيرُ عَنْهَا، هَلْ يُنَجِّسُ الْمَاءَ وَالثَّوْبَ كَالنَّجَاسَةِ الْمُدْرَكَةِ، أَمْ يُعْفَى عَنْهَا؟ فِيهِ سَبْعُ طُرُقٍ: أَحَدُهَا: يُعْفَى عَنْهَا فِيهِمَا. وَالثَّانِي: لَا. وَالثَّالِثُ: فِيهِمَا قَوْلَانِ. وَالرَّابِعُ: تُنَجِّسُ الْمَاءَ، وَفِي الثَّوْبِ قَوْلَانِ، وَالْخَامِسُ: يُنَجِّسُ الثَّوْبَ، وَفِي الْمَاءِ قَوْلَانِ، وَالسَّادِسُ: يُنَجِّسُ الْمَاءَ دُونَ الثَّوْبِ. وَالسَّابِعُ: عَكْسُهُ. وَاخْتَارَ الْغَزَالِيُّ الْعَفْوَ فِيهِمَا، وَظَاهِرُ الْمَذْهَبِ – عِنْدَ الْمُعْظَمِ – خِلَافُهُ.

قُلْتُ: الْمُخْتَارُ عَنْ جَمَاعَةٍ مِنَ الْمُحَقِّقِينَ مَا اخْتَارَهُ الْغَزَالِيُّ، وَهُوَ الْأَصَحُّ،

Demikian penjelasan status air dan wudhu seseorang yang airnya terkena najis, baik najisnya mengalir maupun tidak, baik volumenya mencapai dua kulah maupun tidak. Keterangan ini menurut pandangan mazhab Syafi’i.

وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *