
HUKUM MENDUKUNG DAN MEMILIH PEMIMPIN DIDALAM PEMILU BAIK PILKADA MAUPUN PILPRES SERTA KRETERIA KELAYAKAN ORANG YANG HARUS DIPILIH
NKRI Adalah singkatan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia
Bentuk dan Dasar negara Indonesia dapat ditemukan dalam konstitusi negara, yaitu UUD 1945. Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 secara jelas menyatakan bahwa “Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk Republik.”
Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia memiliki bentuk negara kesatuan, yang mengandung arti bahwa pemerintah daerah memiliki kewenangan yang terinci sesuai dengan pemberian dari pemerintah pusat yang diatur dalam undang-undang, begitu juga Bentuk Negara Indonesia dapat dilihat dalam UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 Tentang pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah, Pemerintahan daerah provinsi, dan Pemerintahan daerah kabupaten/kota. Serta Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 2005 tentang pemilihan, pengesahan pengangkatan dan pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah.
Bentuk negara dalam suatu negara mengaris bawahi secara jelas tentang tanggungjawab setiap pemerintah baik itu pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Bentuk Negara Indonesia merupakan negara kesatuan yang berbentuk Republik, atau lebih dikenal dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berarti bahwa pemerintahan pusat memiliki wewenang yang lebih tinggi daripada pemerintahan daerah. Pemerintahan daerah memiliki kewenangan yang diberikan oleh pemerintah pusat, dan pembagian wilayah administratif tidak mengubah status kesatuan Indonesia sebagai satu negara.
Republik Indonesia adalah republik yang berarti kepala negara dipilih oleh rakyat melalui proses pemilihan umum. Presiden adalah kepala negara dan pemerintahan serta bertanggung jawab kepada rakyat dalam menjalankan tugas dan fungsi negara.
Maka menjelang pemilihan umum yang akan datang ada hal yang penting untuk kami tanyakan dalam rangka untuk memenuhi tanggung jawab masyarakat Demi kemajuan bangsa Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang tercinta ini
Pertanyaan nya:
- Bagaimana hukumnya mendukung dan memilih calon pemimpin legislatif (mulai dari
tingkat daerah hingga pusat), dan calon pemimpin eksekutif (mulai dari kades, wali
kota hingga pusat (presiden)? - Seperti apakah calon yang layak memenuhi syarat harus didukung dan dipilih?
Jawaban. No.1
Negara kita Indonesia merupakan negara kesatuan Republik sebagaimana yang telah disebutkan dalam deskripsi, maka dalam rangka memajukan bangsa dan negara, masyarakat mempunyai hak kebebasan untuk memilih. Hak Memilih Sebagai Hak Asasi Manusia .Pangakuan dan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) adalah salahsatu prinsip dalam suatu negara hukum yang demokratis begitu pula dengan negara kita Indonesia , sebagai negara hukum yang demokratis maka dianggap menjadi suatu keharusan untuk memasukan pasal-pasal tentang Hak Asasi Manusia (HAM) pada konstitusi kita, sehingga pada perubahan kedua Undang-undang Dasar Nagara Republik Indonesia (UUD 1945) dimasukan pasal Pasal 28 A sampai dengan pasal 28 J UUD sebagai pengakuan dan perlindungan konstitusional terhadap Hak Asasi Manusia (HAM).
Hak memilih dalam Pemilihan Umum (PEMILU) ataupun pada pemilihan Gubernur,Bupati dan Wali Kota (Pemilihan) merupakan hak konstitusional warga negara, namun bukan hanya itu hak memilih juga merupakan Hak Asasi Manusia (HAM) ini dapat kita temukan pendasarannya pada Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menyebutkan bahwa: “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Kemudian, Pasal 28D ayat (3) menyebutkan bahwa: “setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.”.
Selanjutnya pada pasal 28 I ayat (5) disebutkan “Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan”.
Walaupun Undang-Undang Republik Indonesia nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia lebih dulu hadir dibandingkan perubahan kedua terhadap UUD 1945 namun tidak merubah kedudukan, konsistensi dan urgensi undang-undang HAM ini sebagai rujukan yang bersifat lebih operasional dalam menegakan dan melindungi Hak Asasi Manusia (HAM).Namun demikian walaupun masyarakat punya hak memilih jangan sembarangan mendukung dan memilih karena memilih ada hukumnya maka sebelum kami jelaskan tentang kelayakan orang yang harus dipilih terlebih dahulu kami jelaskan hukum mendukung dalam tanda kutip memilih / mengangkat pemimpin.
Adapun hukumnya memilih pemimpin baik ditingkat desa kabupaten atau tingkat provinsi maupun pusat adalah fardlu kifayah bukan fardu Ain.
Sebagaimana Imam Mawardi menjelaskan dalam kitab hukum-hukum pemerintahan
Referensi:
قال الماوردي في الأحكام السلطانية: الإمامة موضوعة لخلافة النبوة في حراسة الدين وسياسة الدنيا، وعقدها لمن يقوم بها في الأمة واجب بالإجماع. اهـ. وقال النووي في شرح مسلم: أجمعوا على أنه يجب على المسلمين نصب خليفة
Pemilihan Umum, merupakan “pesta demokrasi” untuk menentukan wakil rakyat yang diberi amanat, guna menjaga dan melestarikan kemaslahatan umat secara umum. Baik memilih legislatif atau memilih Presiden. Hal ini, disebut dengan intichabab alriqab wa ahli syura (memilih Pengawas Pemerintah dan Badan Musyawarah. Atau intichab raisul jumhur yang identik dengan nasbu al Imam (memilih Presiden yang identik dengan membentuk dengan atau mengangkat imam, dimana hukum wujudnya Dewan Suro dan Presiden adalah fardu kifayah. Artinya, kewajiban yang penting “hasilnya maksud”, dengan tanpa melihat pelakunya. Sebagaimana definisi fardu kifayah. Dalam Lubuul Ushul hal. 26:
فَرْضُ الْكِفَايَةِ مُهِمٌّ يُقْصَدُ جَزْمًا حُصُوْلُهُ مِنْ غَيْرِ نَظْرٍ بِالذَّاتِ لِفَاعِلِهِ
Artinya: Fardu kifayah adalah sesuatu yang terpenting adalah tujuannya hasil dengan pasti dengan tanpa melihat pelakunya.
Yakni, jika tujuannya sudah berhasil, maka kita tidak dituntut untuk melakukan. Sebaliknya, jika tujuan tersebut belum berhasil, maka kita semua yang mampu dan tahu, di tuntut untuk mengusahakan terwujudnya sesuatu .
Sesungguhnya, Pemilihan Umum dalam rangka “pesta demokrasi” seperti di Indonesia, tidak pernah ada dalam sistem pemerintahan Islam. Dan sebenarnya, sitem Pilpres langsung, Pilgub langsung, perlu ditinjau ulang melihat dampak negatifnya lebih banyak. Tapi, yang wajib adalah terbentuknya kesejahteraan masyarakat, keamanan, dan berjalannya syariat Islam dengan utuh. Karena hal itu tidak dapat terwujud tanpa adanya pemerintahan yang adil dan bijaksana, maka wujudnya pemerintahan merupakan wajib.
مَالاَيَتِمُّ اْلوَاجِبُ اِلاَ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ
“Segala sesuatu yang sudah menjadi wajib, maka hukumnya wajib sebagaimana kewajiban tersebut”.
Sebenarnya, mewujudkan pemerintahan tersebut tidak harus dengan pemilihan umum, jika dapat direalisasikan dengan selain pemilihan umum. Akan tetapi, jika hanya dengan pemilihan umum sebagaimana yang terjadi di Indonesia tercinta ini, maka pemilihan umum menjadi fardu kifayah, karena berusaha mewujdukan cita-cita tersebut. Karenanya, memilih dalam pemilihan umum hukumnya fardu kifayah pula.
Jadi kalau mengacu pada “khitob” (tuntutan) fardu kifayah, asalnya di tetapkan pada individu dan akan gugur setelah ada keyakinan atau dhan bahwa kewajiban tersebut sudah berhasil tanpa kita , maka dalam keadaan ragu masih wajib.Hal ini disebabkan kemungkinan arah khitob tersebut dengan melihat dua pandangan sebagai berikut:
Melihat jika tidak ada yang melakukan sama sekali, yang berdosa adalah semua individu. Maka, arah khitob fardu kifayah pada indifidu.Melihat jika sudah ada orang lain yang mencukupi, kita tidak mendapat dosa. Berarti, pada dasarnya kita tidak wajib.
Keterangan ini sama dengan fatwa al Syekh Zakaria al Anshari dalam kitab Ghoyatul Wusul hal 27;
وَاْلأَصَحُّ اَنَّهُ اى فَرْضُ اْلكِفَايَةِ عَلَى اْلكُلِّ لإِثْمِهِمْ بِتَرْكِهِ كَمَا فِى فَرْضِ اْلعَيْنِ وَلِقَوْلِهِ تَعَالَى قاَتِلُوا الَّذِيْنَ لاَ يُؤْمِنُوْنَ باللهِ وَهَذَا مَا عَلَيْهِ الجُمْهُوْرُ وَنَصَّ عَلَيْهِ الشَّافِعِى فِى اْلأُمِّ وَيَسْقُطُ اَلْفَرْضُ بِفِعْلِ اْلبَعْضِ لأَنَّ اْلمَقْصُوْدَ كَمَا مَرَّ حُصُوْلُ اْلفِعْلِ لاَ ابْتِلاَءُ كُلِّ مُكَلَّفٍ بِهِ – اِلىَ اَنْ قاَلَ – وَقِيْلَ فَرْضُ اْلكِفَايَةِ عَلَى اْلبَعْضِ لاَ اْلكُلِّ وَرَجَّحَهُ الأَصْلُ . وِفَاقًا بِزَعْمِ اْلإِمَام الرَّازِى للإِكْتِفَاءِ بِحُصُوْلِهِ مِنَ اْلبَعْضِ وَِلأَيَةٍ وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ اُمَّةٌ يَدْعُوْنَ اِلَى اْلخَيْرِ – اِلىَ اَنْ قَالَ – ثُمَّ مَدَارُهُ عَلَى الظَّنِّ فَعَلَى قَوْلِ اْلكُلِّ مَنْ ظَنَّ اَنَّ غَيْرَهُ فَعَلَهُ أَوْ يَفْعَلُهُ سَقَطَ عَنْهُ وَمَنْ لاَ فَلاَ. وَعَلَى اْلقَوْلِ اْلبَعْضِ مَنْ ظَنَّ اَنَّ غَيْرَهُ لَمْ يَفْعَلْهُ وَلاَ يَفْعَلُهُ وَجَبَ عَلَيْهِ وَمَنْ لاَ فَلاَ
.
Artinya: Menurut pendapat yang lebih benar bahwa “fardu kifayah”, di arahkan kepada semua individu, kerena dosanya dibebankan kepadanya jika sama-sama tidak ada yang melakukan sebagaimana fardu ain. Dengan dasar firman Allah.
وَقَاتِلُوا الَّذِيْنَ لاَ يُؤْمِنُوْنَ بِاللهِ
Ini pendapat mayoritas ulama. Dan sebagaimana nashnya imam Syafi’i dalam kitab Um hanya saja fardu akan gugur dengan sebagian yang melakukan. Karena maksudnya yang penting hasil. Bukan bebannya terhadap mukallaf. Sebagian ulama berpendapat, kewajiban tersebut diarahkan kepada sebagian, bukan setiap indifidu. Sebagaimana pendapat Imam Fatchurrozi, dikarenakan dicukupkan pada sebagian dengan berdasarkan ayat;
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ اُمَّةٌ يَدْعُوْنَ اِلَى اْلخَيْرِ
Kemudian kisaran kewajiban tersebut pada dugaan masing-masing dengan mengikat kewajiban diarahkan kepada semua individu. Maka, barang siapa menduga bahwa orang lain telah melakukan atau dia sendiri melakukan, maka kewajiban telah gugur. Barang siapa tidak menduga dan tidak melakukan, maka tidak gugur atau tetap wajib. Jika mengikuti atas kewajiban sebagian, maka barang siapa menduga tidak ada orang lain yang melakukan dan ia tidak melakukan maka dia menjadi wajib jika tidak maka tidak wajib. [Ghoyatul wushul hal 27].
Pengangkatan kepala negara melalui pemilihan umum secara langsung, dapat dibenarkan dan tergolong pemilihan melalui syaukah yang harus ditaati oleh seluruh rakyatnya selama yang terpilih bukan orang non-Muslim.
Rujukan :
بَقِيَ اَنْ نَقُوْلَ اَنَّ وُُجُوْبَ نَصْبِ الْخَلِيْفَةِ الَّذِى ذَهَبَ اِلَيْهِ جُمْهُوْرُ الْعُلَمَاءِ لَيْسَ وُجُوْبًا عَيْنِيُّا بِلْ هُوَ وُجُوْبٌ كِفَائِيٌّ شَأْنُهُ شَأْنُ سَائِرِ الْوَاجِبَاتِ اْلكِفَائِيَّةِ مِنْ جِهَادٍ وَطَلَبِ عِلْمٍ وَنَحْوِ ذَلِكَ، فَإِذَا بِهَذِهِ الْوَظِيْفَةِ مَنْ يَصْلُحُ لَهَا سَقَطَ وُجُوْبِهَا عَلَى كاَفَّةِ الْمُسْلِمِيْنَ. (مغني المحتاج إلى معرفة ألفاظ المنهاج، 5/418)
الْحُكْمُ التَّكْلِيفِيُّ: أَوَّلاً التَّوْلِيَةُ بِمَعْنَى نَصْبِ الْوُلاَةِ تَوْلِيَةُ إِمَامٍ عَامٍّ عَلَى الْمُسْلِمِينَ يَفْصِل فِي أُمُورِهِمْ وَيَسُوسُهُمْ فَرْضُ كِفَايَةٍ، مُخَاطَبٌ بِهِ أَهْل الْحَل وَالْعَقْدِ مِنَ الْعُلَمَاءِ وَوُجُوهِ النَّاسِ حَتَّى يَخْتَارُوا الإِْمَامَ –الى ان قال– وَعَلَى الإِْمَامِ أَنْ يُوَلِّيَ مَنْ تَحْتَاجُ إِلَيْهِ الدَّوْلَةُ فِي أُمُورِهَا الْعَامَّةِ وَالْخَاصَّةِ مِنْ وُزَرَاءَ وَقُضَاةٍ وَأُمَرَاءِ الْجُيُوشِ وَغَيْرِ ذَلِكَ، فَإِنَّ أَمْرَ الدَّوْلَةِ لاَ يَصْلُحُ وَلاَ يَسْتَقِيمُ إِلاَّ بِتَوْلِيَةِ هَؤُلاَءِ وَأَمْثَالِهِمْ؛ لأَِنَّ مَا وُكِّل إِلَى الإِْمَامِ مِنْ تَدْبِيرِ الأُْمَّةِ لاَ يَقْدِرُ عَلَى مُبَاشَرَةِ جَمِيعِهِ إِلاَّ بِاسْتِنَابَةٍ . (الموسوعة الفقهية الكويتية، 14/196)
مَسْئَلَةُ ك: تَنْعَقِدُ الْإِمَامَةُ إِمَّا بِبَيْعَةِ أَهْلِ الْحَلِّ وَالْعَقْدِِ مِنَ اْلعُلَمَاءِ وَالرُّؤَسَاءِ وَوُجُوْهِ النَّاسِ الَّذِيْنَ يَتَيَسَّرَ اجْتِمَاعُهُمْ اَوْ بِاسْتِخْلَافِ اِمَامٍ قَبْلَهُ أَوْ بِاسْتِيْلَاءِ ذِيْ الشَّوْكَةِ وَاِنِ اخْتَلَّتْ فِيْهِ الشُّرُوْطُ كُلُّهَا فَحِيْنَئِذٍ مَنِ اجْتَمَعَتْ فِيْهِ الشُّرُوْطُ الَّتِى ذَكَرُوْهَا فِى الْإِمَامِ الْأَعْظَمِ فَهُوَ إِمَامٌُ أَعْظَمُ, وَإِلَّا فَهُوَ مُتَوَلٍّ بِالشَّوْكًَةِ، فَلَهُ حُكْمُ الْإِمَامِ الْأَعْظَمِ فِى عَدَمِ انْعِزَالِهِ اهـ. (مَسْئَلَةُ: ي) لَا تَزُوْلَ وِلَايَةُ السُّلْطَانِ الَّذِي انْعَقَدَتْ وِلَايَتُهُ بِبَيْعَة اَوْ عَهْدٍ مُتَّصِلٍ بِمَنِ انْعَقَدَتْ وِلَايَتُهُ بِزَوَالِ شَوْكَتِهِ حَتَّى يَخْلع نَفْسَهُ بِسَبَبٍ اَوْ يَأْسُرَهُ الْكُفَّارُ وَيَيْأَسُ مِنْ خَلَاصِهِ، اَمَّا مَنْ كَانَتْ وِلَايَتُهُ بِتَغَلُّبٍ اَوْ عَهْدٍ مُتَّصِلٍ بِمُتَغَلَّبٍ كالب وُلَاةِ الزَّمَانِ فَنُفُوْذُ وِلَايَتِهِ مُدَّةُ بَقَاءِ شَوْكَتِهِ وَلَوْ ضَعِيْفَةُ لَا بَعْدَ زَوَالِهَا فَلَوْ بَقِيَتْ بِبَعْضِ الْبِلَادِ نَفَذَتْ فِيْمَا بَقِيَتْ فِيْهِ فَقَطْ، –إِلَي أَنْ قَالَ– وَمَعْنَي ذِي شَوْكَةٍ إِنْقِيَادُ النَّاسِ وَطَاعَتُهُمْ وَإِذْعَائُهُمْ لِأَمْرِهِ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ عِنْدَهُ مَا عِنْدَ السُّلْطَانِ مِنْ أَلَةِ الْحَرْبِ وَالْجُنْدِ وَنَحْوِهِمَامِمَّا تَقَعُ بِهِ الرَّهْبَةُ كَرُؤَسَاءِ اْلبَلَدِ وَرَأْسِ الْجَمَاعَةِ وَصَاحِبِ الْحُوْطَاتِ الْمَطَائِعِ عَلَى وَجْهِ الْاِعْتِقَادِ وَالْاِحْتِسَامِ. (بغية المسترشدين، 247)
وَذَكَرَ بَعْضُُ الْحَنَفِيَّةِ اشْتِرَاطَ جَمَاعَةٍ دُوْنَ عَدَدٍ مَخْصُوْصٍ ا هـ ثُمَّ قَالَ: لَوْ تَعَذَّرَ وُجُوْدُ الْعِلْمِ وَالْعَدَالَةِ فِيْمَنْ تَصَدَّى لِلْإِمَامَةِ وَكَانَ فِي صَرْفِهِ عَنْهَا إِثَارَةُ فِتْنَةٍ لَا تُطَاقُ حَكَمْنَا بِانْعِقَادِ إِمَامَتِهِ كَيْ لَا تَكُوْنَ كَمَنْ يَبْنِي قَصْرًا وَيَهْدِمُ مِصْرًا، وَإِذَا تَغَلَّبَ آَخَرُ عَلَى الْمُتَغَلِّبِ وَقَعَدَ مَكَانَهُ انْعَزَلَ الْأَوَّلُ وَصَارَ الثَّانِي إِمَامًا وَتَجِبُ طَاعَةُ الْإِمَامِ عَادِلًا كَانَ أَوْ جَائِرًا إِذَا لَمْ يُخَالِفْ الشَّرْعَ، فَقَدْ عُلِمَ أَنَّهُ يَصِيْرُ إِمَاًما بِثَلَاثَةِ أُمُوْرٍ ، لِكِنِ الثَّالِثُ فِي الْإِمَامِ الْمُتَغَلِّبِ وَإِنْ لَمْ تَكُنْ فِي شُرُوْطِ الْإِمَامَةِ، وَقَدْ يَكُوْنُ بِالتَّغَلُّبِ مَعَ الْمُبَايَعَةِ وَهُوَ الْوَاقِعُ فِي سَلَاطِيْنِ الزَّمَانِ نَصَرَهُمُ الرَّحْمَنُ. (رد المحتار، 4/263)
Jawaban No.2
Adapun yang wajib kita dukung/ pilih adalah orang yang layak dan memenuhi syarat sebagaimana keterangan berikut:
عانة الطالبين ج ٤ ص ٢١٠
واعلم أنه يشترط فى التولية أن تكون للصالح للقضاء فإن لم تكن صالحا له لم تصح توليته ويأثم المولي بكسر اللام والمولى بفتحها ولاينفذ حكمه وإن أصاب فيه إلا ضرورة بأن ولّى سلطان ذو شوكة مسلما فاسقا فينفذ قضائه للضرورة لئلا تتعطل مصالح الناس
واعلم أنه يشترط في التولية أن تكون للصالح للقضاء، فإن لم يكن صالحا له لم تصح توليته، ويأثم المولي – بكسر اللام – والمولى – بفتحها – ولا ينفذ حكمه، وإن أصاب فيه إلا للضرورة، بأن ولي سلطان ذو شوكة مسلما فاسقا، فينفذ قضاؤه للضرورة لئلا تتعطل مصالح الناس – كما سيذكره – روى البيهقي والحاكم: من استعمل عاملا على المسلمين، وهو يعلم أن غيره أفضل منه – وفي رواية رجلا على عصابة، وفي تلك العصابة من هو أرضى لله منه – فقد خان الله ورسوله والمؤمنين
Dan ketahuilah, bahwa pengangkatan itu syaratnya adalah bagi orang yang layak menjadi hakim (pemimpin/pemutus hukum), jika tidak cocok ( tidak layak ) baginya, maka pengangkatannya dianggap tidak sah,kecuali terpaksa maka jabatan dan hukumnya sah, misalkan diangkat langsung oleh kepala negara yang fasik ( orang islam yang fasik /orang yang berbuat maksiat .) Sedangkan detail persyaratannya sebagaimana keterangan berikut:
Referensi:
الصفحة الرئيسية > شجرة التصنيفات
كتاب: موسوعة الفقه الإسلامي
صفحة البدايةالفهرس<< السابق251 من 271التالى >>
.3- أحكام الخليفة:
.شروط الخليفة:
يشترط في الخليفة الذي
Yang berhak menjabat sebagai kholifah(raja, presiden)
يتولى أمور المسلمين ما يلي:
(1)Harus beragama islam.Maka tidak boleh seorang kafir itu menjadi Kholifah bagi kaum muslimin
. ١ -الإسلام، فلا تنعقد إمامة الكافر على المسلمين.
(2)Harus baligh.Maka tidak sah kepemimpinan anak kecil.
٢-البلوغ، فلا تصح إمامة الصغير.
(3)Harus mempunyai akal.Maka tidak sah kepemimpinan orang gila.
٣-لعقل، فلا تنعقد الإمامة لمجنون.
(4)Harus orang yang merdeka.Alasannya ialah karena budak itu tidak mempunyai kekuasaan bagi dirinya.Bagaimana mungkin budak itu menguasai orang lain.-
٤-لحرية؛ لأن العبد لا ولاية له على نفسه، فكيف تكون له ولاية على غيره.
(5)Harus mempunyai ilmu.Maka tidak sah kepemimpinan orang yang bodoh tentang hukum-hukum Allah.
-٥-لعلم، فلا تصح ولاية جاهل بأحكام الله
(6)Harus adil(tidak gemar berbuat dosa besar atau dosa kecil).Maka tidak sah kepemimpinan bagi orang fasik(orang yang gemar berbuat dosa besar atau dosa kecil).
-٦-لعدالة، فلا تنعقد الولاية لفاسق.
(7)Harus laki-laki.Maka tidak sah kepemimpinan wanita.Karena kelemahan wanita,dan karena kurangnya agamanya wanita(disebabkan karena haid,nifas, melahirkan),dan karena kurangnya akalnya wanita. Namun sebagian ulama’ memperbolehkan wanita menguasai pemerintahan.
-٧-الذكورية، فلا تنعقد ولاية المرأة؛ لضعفها ونقصان دينها وعقلها.
فتح البارى. ج ٨ ص ١٢٨
قال الخطابى فى الحديث أن المرأة لاحلى العمارة ولاالقضاء وفيه أنها لاتزود نفسها ولاتلى العقد على غيرها كذا قال متعقب والمنه من أن تلى الإمارة والقضاء قول الجمهور وأجازه الطبرى وهى رواية عن مالك وعن أبى حنيفة تلى الحكم فيما تجوزفيه شهادة النساء
الميزان الكبرى ج٢ص ١٨٩
من ذلك قول الأئمة الثلاثة انه لايصح تولية المرأة القضاة مع قول أبي حنيفة إنه يصح أن تكون قضية فى كل شيئ تقبل فيه شهادة النساء – إلى أن قال – ومع قول محمد ابن جرير يصح أن تكون المرأة قاضية فى كل شيئ
(8)Yang baik/yang bijaksana pendapatnya didalam menyelesaikan urusan-urusan yang bermacam-macam dari kebutuhan-kebutuhan ummat.
٨-.حصافة الرأي في القضايا المختلفة من حاجات الأمة
(9)Kuatnya sifat-sifat kepribadiannya.Seperti mempunyai sifat pemberani,adil,dan semangat untuk menjauhi perkara yang haram.Dan mempunyai kemauan yang kuat untuk melaksanakan hukum-hukum Allah.
-٩-صلابة الصفات الشخصية كالجرأة، والشجاعة، والعدل، والغيرة على المحارم، والعزيمة على تنفيذ أحكام الله
(10)Cukup sehatnya badannya.yaitu selamatnya badannya, dan selamatnya anggota tubuhnya,dan selamatnya panca indranya.Yang mana cacatnya panca indra itu mempengaruhi terhadap pendapatnya dan terhadap perbuatannya.
– ١٠-الكفاية الجسدية، وهي سلامة البدن والأعضاء والحواس التي يؤثر فقدها على الرأي والعمل.
(11)Tidak tamak kepada jabatan.Maka janganlah diangkat sebagai pemimpin,yaitu orang yang meminta jabatan dan yang tamak kepada jabatan.
-١١-عدم الحرص على الولاية، فلا يولَّى من سألها وحرص عليها.
(12)Pemimpin itu harus keturunan quraisy.Tapi dengan syarat keturunan quraisy yang melaksanakan peraturan agama Islam.Alasannya ialah karena kaum qurais adalah paling utamanya kabilah(kelompok)arab.
-٢١-القرشية، فقريش أفضل قبائل العرب، والإمامة فيهم ما أقاموا الدين، ويُلحق بها مَنْ كلمته نافذة، ومتبوع من الكثرة الغالبة، ليكون مطاعاً مرضياً عنه، وتحصل به الوِحدة، وتزول الفرقة.
فإن تولى الإمامة أحد بطريق الغلبة، وخُشيت الفتنة، فتجب طاعته في غير معصية الله.
.حكم تولية المرأة الحكم:
كل أمر انعقد سببه في عهد النبي صلى الله عليه وسلم وأصحابه ولم يفعلوه، مع إمكانية فعله، فهو بدعة لا يجوز فعله، ولا إقراره، ولا العمل به.
فمن رخَّص للمرأة أن تكون ملكة أو رئيسة أو أميرة على الرجال، أو وزيرة أو قاضية أو عضواً في مجلس الشورى، أو غيرها من الولايات العامة التي هي من خصائص الرجال، وتضطر فيها للاختلاط بالرجال، فقد خالف شرع الله، وأحدث في الدين ما ليس منه، وشرع ما لم يأذن به الله.
وقد كان في عصر النبي? وأصحابه مجلس شورى، ولم يكن من بينهم امرأة واحدة، مع رجحان عقول كثير منهن، خاصة أمهات المؤمنين.
1- قال الله تعالى: {الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ} [النساء: 34].
2- وَعَنْ أبِي بَكْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: لَقَدْ نَفَعَنِي اللهُ بِكَلِمَةٍ أيَّامَ الجَمَلِ، لَمَّا بَلَغَ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم أنَّ فَارِسًا مَلَّكُوا ابْنَةَ كِسْرَى قَالَ: «لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أمْرَهُمُ امْرَأةً». أخرجه البخاري.
.حكم طلب الإمارة:
1- لا يجوز لأحد أن يسأل الإمارة، أو يحرص عليها، ومن سألها فإنه لا يُعطاها.
1- عَنْ عَبدِالرَّحمنِ بنِ سَمرةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ ِلي رسولُ الله؟: «يَا عبدَالرّحمنِ ابنَ سَمرةَ، لا تسْأل الإِمارةَ، فإنْ أُعطيتَها عَن مسْألةٍ وُكلتَ إليهَا، وإنْ أُعطيتَها عَنْ غيِر مسْألةٍ أُعنتَ علَيها». متفق عليه.
2- وَعَنْ أبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: «إِنَّكُمْ سَتَحْرِصُونَ عَلَى الإِمَارَةِ، وَسَتَكُونُ نَدَامَةً يَوْمَ القِيَامَةِ، فَنِعْمَ المُرْضِعَةُ وَبِئْسَتِ الفَاطِمَةُ». أخرجه البخاري.
3- وَعَنْ أبِي مُوسَى رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: دَخَلتُ عَلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم أنَا وَرَجُلانِ مِنْ قَوْمِي، فَقَالَ أحَدُ الرَّجُلَيْنِ: أمِّرْنَا يَا رَسُولَ الله، وَقَالَ الآخَرُ مِثْلَهُ، فَقَالَ: «إِنَّا لا نُوَلِّي هَذَا مَنْ سَألَهُ، وَلا مَنْ حَرَصَ عَلَيْهِ». متفق عليه.
2- يجوز للقادر الأمين طلب الإمارة إذا لم يعرف أفضل منه، كما طلبها يوسف؟ من ملك مصر.
قال الله تعالى: {وَقَالَ الْمَلِكُ ائْتُونِي بِهِ أَسْتَخْلِصْهُ لِنَفْسِي فَلَمَّا كَلَّمَهُ قَالَ إِنَّكَ الْيَوْمَ لَدَيْنَا مَكِينٌ أَمِينٌ [54] قَالَ اجْعَلْنِي عَلَى خَزَائِنِ الْأَرْضِ إِنِّي حَفِيظٌ عَلِيمٌ [55]} [يوسف: 54- 55].
اجتناب الضعفاء الولايات:
الولاية أمانة، والضعيف لن يقوم بحقها، فالأولى له اجتنابها؛ ليسلم من حسابها.
عَنْ أَبِي ذَرٍّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قُلتُ: يَا رَسُولَ الله أَلاَ تَسْتَعْمِلُنِي؟ قَالَ: فَضَرَبَ بِيَدِهِ عَلَى مَنْكِبِي، ثُمّ قَالَ: «يَا أَبَا ذَر إنّكَ ضَعِيفٌ، وَإنّهَا أَمَانَةٌ، وَإنّهَا يَوْمَ القِيَامَةِ خِزْيٌ وَنَدَامَةٌ، إلاّ مَنْ أَخَذَهَا بِحَقِّهَا وَأَدّى الّذِي عَلَيْهِ فِيهَا». أخرجه مسلم.
Wallahu A’lam bisshowab