DEWAN PIMPINAN PUSAT
IKATAN ALUMNI BATA-BATA

DPP IKABA

DEWAN PIMPINAN PUSAT IKATAN ALUMNI BATA-BATA

Kategori
Bahtsul Masail Shalat Uncategorized

HUKUM MENGQODHO’ (MENGGANTI) SHOLATNYA ORANG YANG MENINGGAL DUNIA

HUKUM MENGQODHO'(MENGGANTI) SHOLATNYA ORANG YANG MENINGGAL DUNIA

Assalamualaikum 

Deskripsi Masalah

Shalat lima waktu adalah kewajiban utama bagi setiap Muslim yang mukallaf. Namun, dalam praktiknya, tidak sedikit orang yang, karena kesibukan duniawi, usia lanjut, atau kondisi kesehatan, lalai atau lupa melaksanakan shalat. Ketika mereka meninggal dunia, tanggungan shalat yang belum ditunaikan ini menjadi persoalan bagi ahli warisnya, khususnya anak-anak yang ingin berbakti kepada orang tua.

Anak-anak sering bertanya apakah mereka dapat menggantikan kewajiban shalat orang tua yang telah meninggal. Beberapa ulama memberikan pandangan bahwa qadha shalat dapat dilakukan berdasarkan analogi dengan qadha puasa yang dibolehkan oleh syariat. Sementara itu, sebagian ulama lainnya menyatakan bahwa shalat tidak bisa diqadha oleh orang lain karena merupakan ibadah badaniyah murni. Sebagai alternatif, mereka menganjurkan pembayaran fidyah atau amal ibadah lain untuk mempersembahkan pahala kepada orang tua.

Persoalan ini menimbulkan kebingungan di kalangan masyarakat, terutama dalam memahami pandangan ulama yang berbeda. Selain itu, perbedaan ini juga memengaruhi bagaimana anak-anak menjalankan niat mereka untuk berbakti kepada orang tua sesuai dengan tuntunan agama.

Pertanyaan

1. Bagaimana hukum menqadha shalat orang yang meninggal dunia /orang tua ? Jika tidak dapat diqadha, apa bentuk pengganti yang dianjurkan oleh syariat?

2. Bagaimana pandangan ulama dari mazhab  fiqih utamanya madzhab Syafi’i mengenai permasalahan ini?

3. Apakah pembayaran fidyah atau amal kebaikan lain dapat menjadi solusi untuk menyelesaikan tanggungan ibadah shalat orang yang meninggal  atau orang tua?

Waalaikum salam 

Jawaban kami satukan sebagai berikut:

Ulama Syafi’iyah berbeda pendapat tentang shalat yang ditinggalkan oleh seseorang di masa hidup,  apakah dapat diqadha’i(di ganti)oleh orang lain atau digantikan fidyah ;

  • Pendapat pertama menyatakan bahwa ibadah shalat mayit (orang yang sudah wafat) tidak dapat  diqadha’i oleh siapa pun, serta tidak dapat digantikan dengan pembayaran fidyah berupa menyedekahkan makanan pokok
  • Pendapat kedua menyatakan bahwa shalat yang ditinggalkan oleh mayit semasa hidup dapat diqadha’i(di ganti). Sebagaimana uraian dalam qaul qadim Imam As-Syafi’i yakni bahwa jika mayit meninggalkan harta warisan (tirkah) maka wajib bagi wali mayit (anak, saudara, dll) untuk mengqadha’i(mengganti )shalatnya
  1. pendapat terakhir yang banyak diikuti oleh ulama mazhab Syafi’I menyebutkan bahwa setiap shalat yang ditinggalkan oleh mayit digantikan dengan pembayaran fidyah (pemberian makanan pokok) kepada fakir miskin sebesar satu mud (6,75 gram/dibulatkan 7 ons )

NB:                   
1 Mud : 1⅓ Ritl Baghdad, 1 Kg Mesir : ½ Cangkir dari makanan pokok Daerahnya dan selaras dengan 675 gram

إعانة الطالبين على حل ألفاظ فتح المعين ١/‏٣٣ — البكري الدمياطي (ت ١٣١٠) باب الصلاة
ونص عبارته هناك: (فائدة) من مات وعليه صلاة فلا قضاء ولا فدية.
وفي قول – كجمع مجتهدين – أنها تقضى عنه لخبر البخاري وغيره، ومن ثم اختاره جمع من أئمتنا، وفعل به السبكي عن بعض أقاربه.
ونقل ابن برهان عن القديم أنه يلزم الولي إن خلف تركة أن يصلى عنه، كالصوم.
وفي وجه – عليه كثيرون من أصحابنا – أنه يطعم عن كل صلاة مدا.
وقال المحب الطبري: يصل للميت كل عبادة تفعل، واجبة أو مندوبة.

حاشية البجيرمي على الخطيب = تحفة الحبيب على شرح الخطيب ٢/‏٤٠١ — البجيرمي (ت ١٢٢١)
(والكَفّارَةُ) أنْ تُخْرِجَ (عَنْ كُلِّ يَوْمٍ مُدًّا وهُوَ) كَما سَبَقَ رَطْلٌ وثُلُثٌ بِالعِراقِيِّ أيْ البَغْدادِيِّ وبِالكَيْلِ نِصْفُ قَدَحٍ بِالمِصْرِيِّ، ومَصْرِفُ الفِدْيَةِ الفُقَراءُ والمَساكِينُ فَقَطْ دُونَ بَقِيَّةِ الأصْنافِ الثَّمانِيَةِ المارَّةِ فِي قِسْمِ الصَّدَقاتِ لِقَوْلِهِ تَعالى ﴿وعَلى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعامُ مِسْكِينٍ﴾ [البقرة ١٨٤] والفَقِيرُ أسْوَأُ حالًا مِنهُ، فَإذا جازَ صَرْفُها إلى المِسْكِينِ فالفَقِيرُ أوْلى، ولا يَجِبُ الجَمْعُ بَيْنَهُما

المجموع شرح المهذب ٦/‏٣٦٤ — النووي (ت ٦٧٦)
ولو اخَّرَ القَضاءَ مَعَ الإمْكانِ حَتّى ماتَ بَعْدَ دُخُولِ رَمَضانَ قَبْلَ أنْ يَقْضِيَ وقُلْنا المَيِّتُ يُطْعَمُ عَنْهُ فَوَجْهانِ مَشْهُورانِ حَكاهُما المُصَنِّفُ فِي الفَصْلِ الَّذِي بَعْدَ هَذا (أصَحُّهُما) عِنْدَ الأصْحابِ يَجِبُ لِكُلِّ يَوْمٍ مُدّانِ مِن تَرِكَتِهِ مُدٌّ عَنْ الصَّوْمِ ومُدٌّ عَنْ التَّأْخِيرِ قالَ الماوَرْدِيُّ وهَذا مَذْهَبُ الشّافِعِيِّ وسائِرِ أصْحابِنا سِوى ابْنِ سُرَيْجٍ
(والثّانِي)
يَجِبُ مُدٌّ واحِدٌ لِأنَّ الفَواتَ يُضْمَنُ بِمُدٍّ واحِدٍ كالشَّيْخِ الهَرِمِ قالَ الماوَرْدِيُّ هَذا غَلَطٌ

الفقه الإسلامي وأدلته للزحيلي ٣/‏١٧٣٧ — وهبة الزحيلي (معاصر)
المد: رطل وثلث بالرطل البغدادي، وبالكيل المصري: نصف قدح من غالب قوت بلده ويساوي ٦٧٥ غم

1. I’anatuth Thalibin ‘ala Halli Alfadzi Fathil Mu’in (1/33) — Al-Bakri Ad-Dimyathi (w. 1310 H), Bab Shalat

Teks di dalamnya berbunyi:
(Faedah):
Barang siapa yang meninggal dunia dan meninggalkan kewajiban shalat, maka tidak ada qadha dan tidak ada fidyah atasnya.
Namun, dalam pendapat lain—sebagaimana pendapat banyak mujtahid—shalat tersebut dapat diqadha berdasarkan hadis Bukhari dan lainnya. Oleh karena itu, sejumlah ulama dari kalangan kami memilih pendapat ini, dan Imam As-Subki melakukannya terhadap sebagian kerabatnya.
Ibnu Burhan meriwayatkan dari pendapat lama (Imam Syafi’i) bahwa wali (ahli waris) wajib mengqadha shalat tersebut jika mayit meninggalkan harta, sebagaimana kewajiban qadha puasa.
Ada pendapat lain yang dianut oleh banyak ulama dari kalangan kami, yaitu wajib memberi makan satu mud untuk setiap shalat yang ditinggalkan.
Imam Al-Muhib Ath-Thabari mengatakan:
“Setiap bentuk ibadah, baik wajib maupun sunnah, dapat sampai pahalanya kepada mayit.”

2. Hasyiyatul Bajirmi ‘ala Syarhil Khatib (2/401) — Al-Bajirmi (w. 1221 H)

(Kaffarah):
Dikeluarkan untuk setiap hari (puasa yang ditinggalkan) satu mud, yaitu, sebagaimana dijelaskan sebelumnya, satu rathl (satuan berat) dan sepertiga dengan timbangan Irak (Baghdad), atau setara setengah qadaḥ dengan ukuran Mesir.
Adapun penerima fidyah adalah fakir dan miskin saja, tidak termasuk golongan delapan lainnya yang berhak menerima zakat, berdasarkan firman Allah Ta’ala:
“Dan atas orang-orang yang tidak mampu (berpuasa), maka wajib memberi fidyah dengan memberi makan seorang miskin.” (QS. Al-Baqarah: 184).
Adapun fakir keadaannya lebih buruk daripada miskin. Maka jika diperbolehkan memberikannya kepada miskin, terlebih lagi fakir lebih utama. Tidak wajib membagi fidyah secara merata di antara keduanya.

3. Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab (6/364) — An-Nawawi (w. 676 H)

Jika seseorang menunda qadha puasa dengan alasan mampu melakukannya, kemudian ia meninggal dunia setelah masuk Ramadan berikutnya sebelum mengqadha puasanya, maka ada dua pendapat masyhur yang disebutkan oleh penulis kitab ini:

1. Pendapat yang paling sahih menurut para ulama mazhab adalah wajib membayar dua mud dari harta warisannya, satu mud sebagai pengganti puasa yang ditinggalkan dan satu mud lagi sebagai pengganti keterlambatan qadha. Pendapat ini dinyatakan oleh Al-Mawardi dan menjadi mazhab Imam Syafi’i dan mayoritas ulama pengikutnya, kecuali Ibnu Suraiyij.

2. Pendapat kedua mengatakan cukup membayar satu mud saja karena kerugian (kegagalan) cukup dijamin dengan satu mud, sebagaimana pada kasus orang tua renta. Namun, Al-Mawardi menganggap pendapat ini keliru.

4. Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu (3/1737) — Wahbah Az-Zuhaili (kontemporer)

Mud:
Beratnya adalah satu rathl dan sepertiga menurut ukuran Baghdad, atau setara setengah qadaḥ dengan takaran Mesir. Jika diukur dalam berat modern, satu mud setara dengan 675 gram dari makanan pokok yang lazim di daerah tersebut.

WallahuA’lambisshowab.

Satu tanggapan untuk “HUKUM MENGQODHO’ (MENGGANTI) SHOLATNYA ORANG YANG MENINGGAL DUNIA”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *