DEWAN PIMPINAN PUSAT
IKATAN ALUMNI BATA-BATA

HUKUM MENIKAHI MANTAN ISTRI IPAR ATAU MANTAN ISTRI PAMAN

HUKUM MENIKAHI MANTAN ISTRI IPAR ATAU MANTAN ISRI PAMAN

Pertanyaan :
Assalamualaikum Pak Ustadz,
Saya ingin bertanya dan berharap dapat segera dijawab oleh pak ustadz.atau para kiyai
Saya seorang pria katakan Nama saya IMAIL sudah berumah tangga ( dengan seorang wanita bernama Sairoh dan Sairoh punya saudara laki-laki bernama Zainal dan Zainal menikah dengan Wanita bernama Zainab.Tidak lama kemudian Zainal meninggal dunia.

Pertanyaannya
Bolehkah Imail menikah dengan Zainab ( mantan istri Zainal ( ipar. Imail )?

Waalaikum salam.

Selama bukan mahram maka boleh mantan istri ipar dinikahi.Untuk lebih jelasnya maka penting kita mengetahui siapa saja sebenarnya yang menjadi mahrom sehingga haram dinikahi. Mari kita ikuti penjelasan berikut karena diantara kita terkadang belum memahami siapa saja diantara saudara atau saudari kita yang menjadi mahram kita. Karena hal ini merupakan suatu yang penting untuk diketahui dan dipahami, bahkan diharapkan kita mampu mengaplikasikan dalam kehidupan Aamien.

Sebelumnya kami jelaskan tentang muhrim. Kata “muhrim” dalam bahasa Arab berarti “orang yang sedang berihram”, sedangkan yang dimaksud oleh sebagian masyarakat dalam bahasa Arab disebut “mahram”adalah keluarga dekat dari kalangan pria yang tidak halal baginya menikahi si wanita, seperti anak laki-laki (wanita tersebut), ayahnya, saudara laki-lakinya, pamannya, dan orang yang semisal mereka. (An-Nihayah fi Gharibil Hadits wal Atsar, 1/373)
* Ibnu Hajar Al-’Asqalani rahimahullah membawakan definisi mahram menurut para ulama, yakni laki-laki yang diharamkan menikahi si wanita selama-lamanya dengan sebab yang mubah karena hubungan mahram. (Fathul Bari, 4/94)
Dengan definisi Ibnu Hajar Al-’Asqalani rahimahullah, seorang suami bukanlah mahram bagi saudara perempuan istrinya (ipar), walaupun suami tersebut haram menikahi iparnya selama ia belum bercerai dengan istrinya.

Adapun yang diharamkan selama-lamanya dalam syariat hanyalah mengumpulkan dua wanita yang bersaudara dalam pernikahan. Sedangkan keharaman menikahi ipar tidaklah berlaku selama-lamanya. Bila si suami telah berpisah dengan istrinya (cerai atau ditinggal mati) dibolehkan baginya untuk menikahi iparnya tersebut.
Disebutkan dalam definisi di atas bahwa mahram itu terjalin dengan sebab yang mubah yaitu dengan pernikahan ataupun penyusuan. Dikecualikan dari definisi di atas, bekas istri yang pernah dituduh berzina oleh suaminya tanpa bukti/ saksi hingga keduanya harus mendatangkan sumpah dan mendoakan laknat untuk diri masing-masing. Bekas istri tersebut haram untuk dinikahinya selama-lamanya namun bukan karena hubungan mahram, tapi sebagai hukuman bagi keduanya. (Kitab Al-Fatawa, Al-Imam Nawawi, masalah 223)

Dari definisi di atas, dapat diketahui bahwa hubungan mahram dapat terjadi karena tiga sebab, yaitu:

  1. Mahram sebab Keturunan.Orang-orang yang termasuk mahram sebab keturunan ada tujuh, sebagaimana firman Allah:

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالَاتُكُمْ وَبَنَاتُ الْأَخِ وَبَنَاتُ الْأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللَّاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلَائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلَابِكُمْ وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الْأُخْتَيْنِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا [النساء: 23]

Artinya: “Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan; saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu istrimu (mertua); anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istri kamu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [QS. an-Nisa (4): 23]
Berdasarkan ayat di atas, dapat diketahui bahwa orang-orang yang termasuk mahram, yaitu yang tidak boleh dinikahi dengan sebab keturunan ada tujuh golongan, yaitu: ibu-ibumu;

  • anak-anakmu yang perempuan;
  • saudara-saudaramu yang perempuan;
  • saudara-saudara ayahmu yang perempuan;
  • saudara-saudara ibumu yang perempuan;
  • anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki;
  • anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan.
  • Anak akibat dari perzinahan termasuk mahram, dengan berdalil pada keumuman firman Allâh: “… anak-anakmu yang perempuan …” [QS. An-Nisa (4): 23]
  1. Mahram sebab Susuan.Mahram sebab susuan ada tujuh golongan, sama seperti mahram sebab keturunan, tanpa pengecualian. Inilah pendapat yang dipilih setelah ditahqiq (ditelliti) oleh al-Hafizh ‘Imaduddin Isma’il bin Katsir [Tafsirul Qur’anil ‘Azhim, 1/511].

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ :قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي بِنْتِ حَمْزَةَ لَا تَحِلُّ لِي يَحْرُمُ مِنْ الرَّضَاعِ مَا يَحْرُمُ مِنْ النَّسَبِ هِيَ بِنْتُ أَخِي مِنْ الرَّضَاعَة  [رواه البخاري]

Artinya: Diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, dia berkata bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang putri Hamzah: “Dia tidak halal bagiku, darah susuan mengharamkan seperti apa yang diharamkan oleh darah keturunan, dan dia adalah putri saudara sepersusuanku (Hamzah).” [HR. al-Bukhâri]

Al-Quran menyebutkan secara khusus dua bagian mahram sebab susuan, yaitu yang terdapat pada QS. an-Nisa (4): 23:

… وَأُمَّهَاتُكُمُ اللَّاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ…  [النساء: 23]

(1) dan ibu-ibumu yang menyusui kamu
(2) dan saudara-saudara perempuan sepersusuan

  1. Mahram sebab Perkawinan
    Mahram sebab perkawinan ada enam golongan, yaitu:

a. “Dan ibu-ibu istrimu (mertua)” [QS. an-Nisa (4): 23]
b. “Dan istri-istri anak kandungmu (menantu)” [QS. an-Nisa (4): 23]
c. “Dan anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri” [QS. an-Nisa (4): 23]
Menurut jumhur ulama, termasuk juga anak tiri yang tidak dalam pemeliharaan seseorang mempunyai hubungan mahram dengannya. Anak tiri menjadi mahram jika ibunya telah dicampuri, tetapi jika belum dicampuri maka dibolehkan untuk menikahi anaknya setelah bercerai dengan ibunya. Sedangkan ibu dari seorang perempuan yang dinikahi menjadi mahram hanya sebab akad nikah, walaupun si putri belum dicampuri, kalau sudah akad nikah maka si ibu haram dinikahi oleh yang menikahi putrinya.
d. “Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu (ibu tiri)” [QS. an-Nisa (4): 22]

وَلَا تَنْكِحُوا مَا نَكَحَ آَبَاؤُكُمْ مِنَ النِّسَاءِ … [النساء: 22]

Wanita yang dinikahi oleh ayah menjadi mahram bagi anak ayah dengan hanya akad nikah, walaupun belum dicampuri oleh ayah, maka anak ayah tak boleh menikahinya.

e. “Dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara” [QS. an-Nisa (4): 23]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang menghimpunkan dalam perkawinan antara perempuan dengan bibinya dari pihak ibu, dan menghimpunkan antara perempuan dengan bibinya dari pihak ayah. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يُجْمَعُ بَيْنَ الْمَرْأَةِ وَعَمَّتِهَا وَلَا بَيْنَ الْمَرْأَةِ وَخَالَتِهَا [رواه مسلم]

Artinya: Diriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Tidak boleh perempuan dihimpun dalam perkawinan antara saudara perempuan dari ayah atau ibunya.” [HR. Muslim]

f. “Dan diharamkan juga kamu mengawini wanita yang bersuami” [QS. an-Nisa (4): 24]

وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَاء … [النساء: 24]

Mahram disebabkan keturunan dan susuan bersifat abadi, begitu pula mahram disebabkan pernikahan. Kecuali menghimpun dua perempuan bersaudara, menghimpun perempuan dengan bibinya, yaitu saudara perempuan dari pihak ayah atau ibu, bila yang satu meninggal dunia maka boleh menikah dengan yang lain, karena bukan menghimpun dalam keadaan sama-sama masih hidup. Usman bin Affan menikahi Ummu Kulsum setelah Ruqayyah wafat, kedua-duanya adalah anak Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Demikianlah perempuan-perempuan yang termasuk mahram yang tidak boleh dinikahi oleh seorang laki-laki. Adapun perempuan-perempuan yang selain di atas adalah bukan mahram, sehingga halal dinikahi.

… وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَلِكُمْ أَنْ تَبْتَغُوا بِأَمْوَالِكُمْ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِين … [النساء: 24]

Artinya: “… Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari istri-istri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina …” [QS. an-Nisa (4): 24]

المجموع شرح المهذب – 7825/9792

قال المصنف رحمه الله:
(فصل)
ومن حرم عليه نكاح امرأة بالنسب له أو بالمصاهرة أو بالجمع حرم عليه وطؤها بملك اليمين لانه إذا حرم النكاح فلان يحرم الوطئ وهو المقصود أولى وان ملك أختين فوطئ إحداهما حرمت عليه الاخرى حتى تحرم الموطوءة ببيع أو عتق أو كتابة أو نكاح.
فان خالف ووطئها لم يعد إلى وطئها حتى تحرم الاولى، والمستحب أن لا يطأ الاولى حتى يستبرئ الثانية حتى لا يكون جامعا للماء في رحم أختين، وإن تزوج إمرأة ثم ملك أختها لم تحل له المملوكة، لان أختها على فراشه، وإن وطئ مملوكة ثم تزوج أختها حرمت المملوكة وحلت المنكوحة، لان فراش المنكوحة أقوى، لان يملك به حقوق لا تملك بفراش المملوكة من الطلاق والظهار والايلاء واللعان.
فثبت الاقوى وسقط الاضعف كملك اليمين لما ملك به ما لا يملك بالنكاح من الرقبة والمنفعة إذا طرأ على النكاح ثبت وسقط النكاح.

(فصل)
وما حرم النكاح والوطئ بالقرابه حرم بالرضاع، لقوله تعالى (وأمهاتكم اللاتى أرضعنكم وأخواتكم من الرضاعه) فنص على الام والاخت وقسنا عليهما من سواهما، وروت عائشة رضي الله عنها أن النبي صلى الله عليه وسلم قال (يحرم من الرضاع ما يحرم من الولادة) .

(فصل)
ومن حرم عليه نكاح امرأة على التأبيد برضاع أو نكاح أو وطئ مباح صار لها محرما في جواز النظر والخلوة، لانها محرمه عليه على التأبيد بسبب
غير محرم فصار محرما لها كالام والبنت، ومن حرمت عليه بوطئ شبهة لم يصر محرما لها لانها حرمت عليه بسبب غير مباح، ولم تلحق بذوات المحارم والانساب (الشرح) حديث عائشة رضى الله عنها مضى تخريجه.
اما الاحكام: فان الشرع ساوى بين الامة والحرة في تحريم الجمع بين الاختين كما لا يحل له نكاحها بنسب أو رضاع أو مصاهرة، لم يحل له وطؤها واسم النكاح يقع على الوطئ، ولان المقصود بعقد النكاح هو الوطئ، فإذا حرم عقد النكاح
فلان يحرم الوطئ أولى، ويسرى على الاماء تحريم الجمع بين المرأة وعمتها والمرأة وخالتها في الوطئ، وإن كان يحل في الملك، لان الاستمتاع ليس غاية للملك، وإنما المقصود بالملك المنفعة وما ذكره المصنف فعلى وجهه.
(مسألة) إذا حرم عليه نكاح المرأة على التأبيد بنكاح أو رضاع أو وطئ مباح صار محرما لها في جواز النظر والخلوة، لانها محرمة عليه على التأبيد بسبب غير محرم فصار محرما لها كالام والابنة، وان حرم عليه نكاحها بوطئ شبهة فهل تصير محرما له؟ فيه قولان حكاهما الصيمري، المشهور أنها لا تصير محرما له لانها حرمت عليه بسبب غير مباح فلم يلحق بذوات الانساب.
والثانى: أنها تصير محرما له لانها لما ساوت من وطئت وطئا مباحا في تحريم النكاح ولحوق النسب من هذا الوطئ ساوتها في الخلوة والنظر.
(مسألة) إذا وطئ الرجل إمرأة بملك صحيح أو بشبه ملك أو بشبهة عقد نكاح أو وطئها زوجة أو أمة حرمت عليه أمهاتها وبناتها على التأبيد لانه وطئ يتعلق به لحوق النسب فتعلق به تحريم المصاهرة كالوطئ في النكاح، ولانه معنى تصير به المرأة فراشا فتعلق به تحريم المصاهرة كعقد النكاح، وهذا هو المشهور من المذهب.
وحكى المسعودي قولا آخر أنه لا يتعلق به تحريم المصاهرة بوطئ شبهة، وليس بشئ عن أصحابنا منهم صاحب البيان وغيره.
وإن باشر امرأة دون الفرج بشهوة في ملك أو شبهة بأن قبلها أو لمس شيئا من بدنها فهل يتعلق بذلك تحريم المصاهرة وتحرم عليه الربيبة على التأبيد؟ فيه قولان
(أحدهما)
يتعلق به التحريم، وبه قال ابو حنيفة ومالك.
وقالا: انه روى عن عمر بن الخطاب رضي الله عنه وليس له مخالف في الصحابة، ولانه تلذذ بمباشرة فتلعق به تحريم المصاهرة والربيبة كالوطئ فقولنا: تلذذ احتراز من المباشرة بغير شهوة، وقولنا: بمباشرة احتراز من النظر.

(والثانى)
لا يتعلق به تحريم المصاهرة ولا الربيبة، وبه قال احمد بن حنبل لقوله تعالى (وربائبكم اللاتى في حجوركم من نسائكم اللاتى دخلتم بهن) وهذا
ليس بدخول، ولانه لمس لا يوجب الغسل فلم يتعلق بن تحريم كالمباشرة بغير شهوة وإن نظر إلى فرجها بشهوة لم يتعلق به تحريم المصاهرة ولا تحريم الربيبة.
وقال الثوري وأبو حنيفة: يتعلق بها التحريم، وحكاه المسعودي قولا آخر للشافعي وليس بمشهور.
دليلنا أنه نظر إلى بعض بدنها فلم يتعلق به التحريم كما لو نظر إلى وجهها.

KESIMPULAN

Dari semua dalil diatas menunjukkan bahwa mantan istri ipar atau mantan istri paman baik paman dari ayah atau dari ibu bukanlah mahrom.
Dengan demikian boleh jika ada minat atau keinginan untuk menikahinya. Alasannya karena seorang wanita tidak menjadi mahram bagi kita hanya sekedar dinikahi oleh paman (baik dari ayah atau ibu), karena yang demikian tidak ada dalilnya. Adapun saudara perempuan ayah atau ibu maka termasuk mahram sebagaimana disebutkan di dalam surat An-Nisa: 23.tersebut diatas.

Berkata Al-Lajnah Ad-Daimah:

زوجة العم وزوجة الخال ليستا محارم لابن الأخ والأخت

“Istri paman dari ayah dan paman dari ibu keduanya bukan termasuk mahram bagi anak laki dari saudara laki-laki maupun saudara wanita”
(Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah 17/433)

Wallahu A’lam bisshowab

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

#TERKINI

#WARTA

#HUKUM