PETUNJUK TATA CARA SHALAT SAFAR DAN PULANG DARI SAFAR

Asslamualaikum.

Deskripsi masalah

Ketika jama’ah Haji atau umroh menjelang pemberangkatan mereka semuanya dibimbing cara- cara melakukan ibadah haji dan umroh mulai dari syarat- syarat sampai melaksanakan rukun-rukun haji/umroh bahkan tidak cuma itu, melainkan ketika akan berangkat dari rumahnya mulai dari sholat sunnah safar dan juga do’a keluar rumah maupun do’a safarnya ada didalam panduan do’a-do’a haji/ umroh. Akan tetapi ada seseorang yang pernah haji/ umroh tidak ada dalam buku panduan bimbingan jamaah haji sholat setelah pulang dari perjalanan.

Pertanyaannya

Apakah ada anjuran shalat sunnah safar dan bagaimana tatacaranya melaksanakannya.Lalu bagaimana dengan orang yang pulang haji adakah juga anjuran melakukan sholat kalau ada bagaimana caranya karena didalam panduan buku haji tidak ditemukan ? Mohon penjelasannya.

Waalaikum salam

Jawaban .

Dalam Islam sebenarnya tidak hanya sholat safar yang dianjurkan melaikan ada juga anjuran sholat sunnah setelah pulang dari safar, oleh karena itu bagi seseorang yang ingin bepergian jauh baik untuk tuor ziarah ataupun safar untuk ibadah haji dan umroh disunnatkan melakukan sholat safar dan salat sunnah pulang dari safar/ dari perjalanan hal itu dilaksanakan ketika berada dirumah atau sampai dirumahnya . Kesunnahan Sholat sunnah safar ini disebabkan kebiasaan Rasulullah yang tidak pernah meninggalkan sebuah tempat kecuali ia melakukan shalat sunnah sebelum pergi, yaitu shalat sunnah safar.

Dalam sebuah hadits, Rasulullah ﷺ bersabda:

مَا خَلَّفَ أَحَدٌ عَلَى أَهْلِهِ أَفْضَلُ مِنْ رَكْعَتَيْنِ يَرْكَعُهُمَا عِنْدَهُمْ حِينَ يُرِيدُ السَّفَرَ

Artinya, “Tidak ada sesuatu yang lebih utama untuk ditinggalkan seorang hamba bagi keluarganya, daripada dua rakaat yang dia kerjakan di tengah (tempat) mereka ketika hendak melakukan perjalanan.” (HR ath-Thabrani). 

Dalam hadits yang lain juga disebutkan, Rasulullah bersabda:

إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ يَنْزِلُ مَنْزِلاً إِلاَّ وَدَّعَهُ بِرَكْعَتَيْنِ

Artinya, “Sungguh, Nabi Muhammad ﷺ tidak tinggal di suatu tempat kecuali meninggalkan tempat tersebut dengan shalat dua rakaat” (HR Anas bin Malik).

Waktu dan Tata Cara Shalat Safar
Imam Nawawi dalam kitab Majmu’ Syarhil Muhadzdzab menjelaskan beberapa aturan (baca: etika) bagi orang-orang yang hendak melakukan perjalanan. Aturan itu menjadi bagian yang sangat penting untuk dilakukan sebelum pergi meninggalkan keluarga dan tempat tinggalnya. Sebab, selain mempunyai keutamaan tersendiri, shalat sunnah safar merupakan shalat sunnah yang tidak pernah Rasulullah tinggalkan ketika hendak meninggalkan sebuah tempat.

Menurut Imam Nawawi, shalat safar hanya disunnahkan bagi orang-orang yang hendak bepergian, dan boleh dilakukan di waktu apa pun. Artinya, ia boleh melakukan di malam hari maupun siang hari. Shalat yang satu ini dilakukan sebagai wujud permohonan seorang hamba kepada Tuhan-Nya agar diberikan hidayah, pertolongan, dan keselamatan selama perjalanan.

Tata cara shalat safar sebenarnya tidak jauh berbeda dengan shalat sunnah lainnya. Ketentuannya sama dengan ketentuan shalat sunnah pada umumnya. Shalat safar juga mempunyai syarat dan rukun yang harus dipenuhi, seperti harus mempunyai wudhu’, menutup aurat, dimulai dengan takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam, membaca al-Fatihah, ruku’, i’tidal, sujud, dan lainnya. Sedangkan lafal niatnya adalah sebagai berikut:

أُصَلِّي سُنَّةَ السَّفَرِ رَكْعَتَيْنِ لِلّٰهِ تَعَالَى

Ushalliî sunnatas safari rak’ataini lillâhi ta’âla

Artinya, “Saya niat shalat sunnah perjalanan dua rakaat karena Allah ta’âla.”

Menurut Imam Nawawi dalam kitab Majmu’ Syarhil Muhadzdzab, praktik yang dianjurkan pada rakaat pertama membaca surat Al-Kafirun setelah membaca surat Al-Fatihah, dan untuk rakaat kedua membaca surat Al-Ikhlas setelah membaca Al-Fatihah.

Setelah shalat dua rakaat itu selesai, dianjurkan membaca ayat Kursi, yaitu:

اَللّٰهُ لَآ اِلٰهَ اِلَّا هُوَۚ اَلْحَيُّ الْقَيُّوْمُ ەۚ لَا تَأْخُذُهٗ سِنَةٌ وَّلَا نَوْمٌۗ لَهٗ مَا فِى السَّمٰوٰتِ وَمَا فِى الْاَرْضِۗ مَنْ ذَا الَّذِيْ يَشْفَعُ عِنْدَهٗٓ اِلَّا بِاِذْنِهٖۗ يَعْلَمُ مَا بَيْنَ اَيْدِيْهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْۚ وَلَا يُحِيْطُوْنَ بِشَيْءٍ مِّنْ عِلْمِهٖٓ اِلَّا بِمَا شَاۤءَۚ وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَۚ وَلَا يَـُٔوْدُهٗ حِفْظُهُمَاۚ وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيْمُ

Artinya, “Allah, tidak ada tuhan selain Dia, Yang Mahahidup lagi terus-menerus mengurus (makhluk-Nya). Dia tidak dilanda oleh kantuk dan tidak (pula) oleh tidur. Milik-Nyalah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Tidak ada yang dapat memberi syafaat di sisi-Nya tanpa izin-Nya. Dia mengetahui apa yang ada di hadapan mereka dan apa yang ada di belakang mereka. Mereka tidak mengetahui sesuatu apa pun dari ilmu-Nya, kecuali apa yang Dia kehendaki. Kursi-Nya (ilmu dan kekuasaan-Nya) meliputi langit dan bumi. Dia tidak merasa berat memelihara keduanya. Dialah yang Mahatinggi lagi Mahaagung” (QS al-Baqarah: 255).

Keuntungan membaca ayat Kursi di atas, sebagaimana dijelaskan Imam Nawawi dalam kitab Al-Adzkar lin Nawawi, adalah keselamatan selama perjalanan dan tidak akan tertimpa sesuatu yang tidak diinginkan sampai ia selesai dari perjalanannya (Imam Nawawi, al-Adzkar lin Nawawi, [Bairut: Darul Minhaj, 2010], h. 216).

Selanjutnya membaca surat Quraisy, yaitu:

لِاِيْلٰفِ قُرَيْشٍۙ اٖلٰفِهِمْ رِحْلَةَ الشِّتَاۤءِ وَالصَّيْفِۚ فَلْيَعْبُدُوْا رَبَّ هٰذَا الْبَيْتِۙ الَّذِيْٓ اَطْعَمَهُمْ مِّنْ جُوْعٍ ەۙ وَّاٰمَنَهُمْ مِّنْ خَوْفٍ

Artinya, “Disebabkan oleh kebiasaan orang-orang Quraisy, (yaitu) kebiasaan mereka bepergian pada musim dingin dan musim panas (sehingga mendapatkan banyak keuntungan), maka hendaklah mereka menyembah Tuhan (pemilik) rumah ini (Ka‘bah), yang telah memberi mereka makanan untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari rasa takut” (QS Quraisy: 1-4).

Mengenai kelebihan surat yang satu ini, Imam Nawawi menceritakan sebuah kisah, bahwa suatu saat Syekh Abu Thahir hendak melakukan perjalanan, hanya saja ia takut. Kemudian ia pergi menemui Imam Qazwaini untuk memohon doa kepadanya. Imam Qazwaini berkata, “Siapa hendak bepergian, namun takut dengan musuh, atau gangguan-gangguan lainnya, maka bacalah surat Quraisy, karena sesungguhnya ia merupakan pengaman dari segala marabahaya dan kejelekan.” Setelah mendengar penjelasan itu, Syekh Abu Thahir melakukannya, dan tidak ada kejadian apa pun yang mengenainya selama perjalanan sampai ia pulang” (Imam Nawawi, Al-Adzkar lin Nawawi, 2010, h. 217).

Menurut Imam Nawawi, dua bacaan di atas menjadi sangat penting untuk dibaca setelah melakukan shalat sunnah safar, keduanya mempunyai keberkahan yang sangat besar dalam hal apa pun, keberkahan itu tidak terbatas oleh waktu dan keadaan. Oleh karenanya, sangat dianjurkan untuk membaca dua bacaan di atas ketika hendak berangkat bepergian (Imam Nawawi, Majmu’ Syarhil Muhadzdzab, [Bairut: Darul Fikr, 1999], juz IV, h. 387).

Doa Shalat Safar
Setelah bacaan-bacaan di atas selesai, dianjurkan untuk berdoa kepada Allah ﷻ dengan khusyuk dan penuh pengharapan disertai dengan keikhlasan. Secara umum, tidak ada doa secara tertulis yang harus dijadikan pedoman ketika hendak bepergian. Artinya, orang yang hendak melakukan perjalanan boleh berdoa sesuai dengan keinginannya masing-masing. Ia boleh berdoa tentang hal-hal yang berkaitan dengan akhirat, juga boleh berdoa tentang hal-hal duniawi, atau boleh juga menggabung keduanya, sebagaimana penjelasan Imam Nawawi dalam kitab Majmu’ Syarhil Muhadzdzab. Hanya saja, yang terpenting dalam doa ini adalah memohon pertolongan, taufiq, hidayah, keselamatan, dan kesehatan selama bepergian.

Meski dalam kitab Majmu’ Imam Nawawi tidak memberikan doa secara khusus yang harus dibaca ketika hendak beergian, namun, dalam kitabnya yang lain, yaitu Al-Adzkar lin Nawawi menganjurkan membaca doa berikut:

اَللهم بِكَ أَسْتَعِيْنُ، وَعَلَيْكَ أَتَوَكَّلُ ، اَللهم ذَلِّلْ لِي صُعُوْبَةَ أَمْرِيْ ، وَسَهِّلْ عَلَيَّ مَشَقَّةَ سَفَرِيْ، وَارْزُقْنِيْ مِنَ الْخَيْرِ أَكْثَرَ مِمَّا أَطْلُبُ، وَاصْرِفْ عَنِّي كُلَّ شَرٍّ، رَبِّ اشْرَحْ لِيْ صَدْرِيْ، وَيَسِّرْ لِيْ أَمْرِيْ، اللهم إِنِّي أَسْتَحْفِظُكَ وَأَسْتَوْدِعُكَ نَفْسِيْ وَدِيْنِيْ وَأَهْلِي وَأَقَارِبِي وَكُلَّ مَا أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَيْهِمْ بِهِ مِنْ آَخِرَةٍ وَدُنْيًا، فَاحْفَظْنَا أَجْمَعِيْنَ مِنْ كُلِّ سُوْءٍ يَا كَرِيْمُ

Artinya, “Ya Allah, hanya kepada-Mu aku meminta tolong, hanya kepada-Mu aku berpasrah. Tuhanku, tundukkanlah bagiku segala kesulitan urusanku, mudahkan untukku hambatan perjalananku, anugerahkanlah aku sebagian dari dari kebaikan melebihi apa yang kuminta, palingkan diriku dari segala kejahatan. Tuhanku, lapangkanlah dadaku, dan mudahkan urusanku. Ya Allah, aku meminta penjagaan dan menitipkan diriku, agamaku, keluargaku, kerabatku, dan semua yang telah Kauberikan kepadaku, baik kebaikan ukhrawi maupun duniawi. Lindungilah kami dari segala kejahatan, wahai Dzat Yang Mahapemurah.”

Pada bacaan doa di atas, ia dianjurkan untuk memulai dan mengakhirinya dengan bacaan tahmid (alhamdulillah) disertai dengan bacaan shalawat kepada Rasulullah ﷺ. Setelah doa tersebut selesai, dan hendak pergi, ia dianjurkan membaca doa yang biasa Rasulullah baca sebelum berangkat bepergian, yaitu:

اَللهم إِلَيْكَ تَوَجَّهْتُ، وَبِكَ أَعْتَصَمْتُ، اَللهم اكْفِنِيْ مَا هَمَّنِي وَمَا لَا أَهْتَمُّ لَهُ، اَللهم زَوِّدْنِي التَّقْوَى، وَاغْفِرْ لِيْ ذَنْبِيْ، وَوَجِّهْنِيْ لِلْخَيْرِ أَيْنَمَا تَوَجَّهْتُ

Artinya, “Ya Allah, hanya kepada-Mu aku menghadap dan hanya kepada-Mu aku berlindung. Tuhanku, cukupilah aku dari segala yang membuatku bimbang dan segala yang tidak kubimbangkan. Tuhanku, bekalilah diriku dengan takwa, ampunilah dosaku, dan hadapkan diriku pada kebaikan di mana saja aku menghadap.” (Imam Nawawi, al-Adzkar lin Nawawi, 2010, halaman 217).

Keutamaan Shalat Safar
Imam As-Suyuthi dalam kitab Jam’ul Jawami’ menuliskan hadits Rasulullah tentang shalat safar, Rasulullah ﷺ bersabda:

إِذَا خَرَجْتَ مِنْ مَنْزِلِكَ فَصَلِّ رَكْعَتَيْنِ تَمْنَعَانِك مَخْرَجَ السُّوءِ وإذَا دَخَلتَ إِلَى مَنْزِلِكَ فَصَلِّ رَكْعَتَيْنِ تَمْنَعَانِك مَدْخَلَ السُّوءِ.

Artinya, “Jika engkau keluar dari rumahmu maka lakukanlah shalat dua rakaat, yang dengan ini akan menghalangimu dari kejelekan yang berada di luar rumah. Dan jika engkau memasuki rumahmu, maka lakukanlah shalat dua rakaat yang akan menghalangimu dari kejelekan yang masuk ke dalam rumah” (HR al-Baihaqi).

Dari hadits di atas bisa dipahami bahwa shalat sunnah safar tidak hanya berfungsi sebagai ajang peningkatan spiritualitas kepada Allah ﷻ dengan memperbanyak ibadah, juga tidak hanya sebatas manifestasi penghambaan kepada-Nya. Lebih dari itu, dengan melaksanakan shalat safar, akan diselamatkan oleh Allah dari segala bahaya yang akan menimpanya selama dalam perjalanan. Tentunya, jika keselamatan juga didapatkan oleh setiap orang yang bepergian, ia masih bisa melanjutkan ibadah-ibadah yang lain setelah perjalanannya selesai.

Begitu juga halnya pulang dari perjalanan dianjurkan untuk melakukan sholat sunnah yaitu disebut dengan sholat sunnah karena pulang ( datang ) dari perjalanan kembali kenegerinya, apalagi ditambah dengan sujud syukur karena Allah memberikan keselamatan mulai berangkat hingga pulang ketanah airnya.

Dalil sholat sunnah datang dari perjalanan Hadits Rasulullah yang diriwayatkan dari Ka’ ab ra :


عَنْ كَعْبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا قَدِمَ مِنْ سَفَرٍ ضُحًى دَخَلَ الْمَسْجِدَ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يَجْلِسَ. (رواه البخاري)

Dari Ka’ab radliallahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallahu ’alaihiwasallam apabila tiba kembali dari bepergian di waktu dluha, Beliau memasuki masjid lalu shalat dua Raka’at sebelum duduk”. (HR.Al-Bukhari (no.2858) , Muslim (no.2769), dan Ahmad (no.15345)).

Penjelasan:

Perkataan Ka’ab : bahwa Nabi Shallallahu’ alaihiwasallam, apabila tiba kembali dari bepergian di waktu dluha. Menyiratkan bahwa seorang musafir yang datang pada waktu terlarang tidak disyari’atkan mengerjakan shalat dua raka’at. Akan tetapi perkara ini tidak difahami demikian.
Ibnu Hajar mengatakan : Imam an-Nawawi berkata : Shalat tersebut adalah shalat yang dikerjakan (diniatkan) setibanya dari suatu perjalanan dengan meniatkan shalat qudum (shalat setibanya dari perjalanan), bukan shalat Tahiyyatul Masjid yang diperintahkan bagi seseorang yang baru masuk ke dalam masjid sebelum duduk. Akan tetapi shalat  qudum ini telah mencakup shalat Tahiyyatul Masjid. Dan sebagian ulama menolak pembolehan shalat pada waktu-waktu yang terlarang, walaupun dengan alasan tertentu, berdasarkan ucapan Ka’ab : Waktu Dhuha, akan tetapi ucapan Ka’ab ini tidak bisa dijadikan hujjah, karena shalat ini terkait dengan kejadian tertentu (waqi’ah ‘ain (kejadian yang berlaku khusus)). (Fat-hul Bari (I/640))

أصلى سنة القدوم من السفر ركعتين لله تعالى

Saya niat shalat sunnah datang dari perjalanan dua rakaat karena Allah ta’ala.

شرح مسلم – النووي – ج ٥ – الصفحة ٢٢٧ /٢٢٨

باب استحباب ركعتين في المسجد لمن قدم من سفر أول قدومه فيه حديث جابر قال اشترى مني رسول الله صلى الله عليه وسلم بعيرا فلما قدم المدينة أمرني أن آتي المسجد  فأصلي ركعتين وفي الرواية الأخرى قال جابر قدم رسول الله صلى الله عليه وسلم قبلي وقدمت فوجدته على باب المسجد قال الآن جئت قلت نعم قال فدع جملك ثم ادخل فصل ركعتين فدخلت فصليت ثم رجعت وفيه حديث كعب بن مالك  أن رسول الله صلى الله عليه وسلم  كان لا يقدم من سفر إلا نهارا في الضحى فإذا قدم بالمسجد فصلى  فيه ركعتين ثم جلس فيه في هذه الأحاديث استحباب ركعتين للقادم من سفره في المسجد أول قدومه وهذه الصلاة مقصودة للقدوم من السفر لا أنها تحية المسجد  والأحاديث المذكورة صريحة فيما ذكرته وفيه استحباب القدوم أوائل النهار وفيه أنه يستحب للرجل الكبير في المرتبة ومن يقصده الناس إذا قدم من سفر للسلام عليه أن يقعد أول قدومه قريبا من داره في موضع بارز سهل على زائريه اما المسجد وإما غيره قوله حدثنا أحمد ابن جواس هو بجيم مفتوحة وواو مشددة مهملة وسين قوله محارب بن دثار بكسر الدال وبالثاء المثلثة قوله كان لي على رسول الله صلى الله عليه وسلم دين فقضاني وزادني فيه استحباب أداء الدين زائدا والله أعلم باب استحباب صلاة الضحى وأن أقلها ركعتان وأكملها ثمان ركعات  وأوسطها أربع ركعات أو ست والحث على المحافظة عليها

Referensi:


فقه الإسلامى وأدلته ص.٥٧


وأماالنوافل فهى قسمين
١- مالاسبب له : وهي التطوع فى الأوقات الجائزة غير الخمسة المكروهة المذكورة سابقا.
٢- وماله سبب: وهي عشرة الصلاة عند الخروج إلى السفر وعند الرجوع منه وعند دخول إلى المنزل وعندالخروج منه وصلاة الاستخارة ركعتان …الخ

الموسوعة الفقهية – 2950/31949


ب – النفل المطلق:
9 – يتفق الفقهاء على أن الإطلاق يكفي في نية صلاة النفل المطلق، وألحق بعض الشافعية بالنفل المطلق (3) تحية المسجد، وركعتي الوضوء، وركعتي الإحرام، وركعتي الطواف، وصلاة الحاجة، وصلاة الغفلة بين المغرب والعشاء،والصلاة في بيته إذا أراد الخروج للسفر، والمسافر إذا نزل منزلا وأراد مفارقته. (1

الموسوعة الفقهية – 14912/31949

سجود الشكر
. التعريف:
1 – السجود تقدم بيانه، والشكر لغة: هو الاعتراف بالمعروف المسدى إليك، ونشره، والثناء على فاعله، وضده الكفران، قال تعالى: {ومن يشكر فإنما يشكر لنفسه ومن كفر فإن الله غني حميد} (1) وحقيقة الشكر: ظهور أثر النعمة على اللسان والقلب والجوارح، بأن يكون اللسان مقرا بالمعروف مثنيا به، ويكون القلب معترفا بالنعمة، وتكون الجوارح مستعملة فيما يرضاه المشكور. (2)
والشكر لله في الاصطلاح: صرف العبد النعم التي أنعم الله بها عليه في طاعته. (3)
وسجود الشكر شرعا: هو سجدة يفعلها الإنسان عند هجوم نعمة، أو اندفاع نقمة (1) .

مشروعية سجود الشكر:
2 – اختلف الفقهاء في مشروعية السجود للشكر، فذهب الشافعي وأحمد وإسحاق وأبو ثور وابن المنذر وأبو يوسف ومحمد وعليه الفتوى، وهو قول ابن حبيب من المالكية وعزاه ابن القصار إلى مالك وصححه البناني إلى أنه مشروع. لما ورد من حديث أبي بكرة رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم كان إذا أتاه أمر سرور – أو: بشر به – خر ساجدا شاكرا لله. (2) وسجد أبو بكر الصديق رضي الله عنه حين فتح اليمامة حين جاءه خبر قتل مسيلمة الكذاب.
وسجد علي رضي الله عنه حين وجد ذا الثدية بين قتلى الخوارج، وروي السجود للشكر عن جماعة من الصحابة.
وروى أحمد في مسنده من حديث عبد الرحمن بن عوف رضي الله عنه أن جبريل قال للنبي صلى الله عليه وسلم: يقول الله تعالى: من صلى عليك صليت عليه، ومن سلم عليك سلمت عليه فسجد النبي صلى الله عليه وسلم شكرا لله. (1) وذكر الحاكم أنه صلى الله عليه وسلم سجد لرؤية زمن، وأخرى لرؤية قرد، وأخرى لرؤية نغاشي. (2) قال الحجاوي: النغاشي قيل: هو ناقص الخلقة، وقيل: هو المبتلى، وقيل: مختلط العقل. واستدلوا أيضا بحديث ابن عباس رضي الله عنهما قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم في سجدة (ص) : سجدها داود توبة، وأسجدها شكرا، (3) وبحديث كعب بن مالك رضي الله عنه عند
البخاري أنه ” لما بشر بتوبة الله عليه خر ساجدا (1) .
وذهب أبو حنيفة ومالك على المشهور عنه، والنخعي على ما حكاه عنه ابن المنذر إلى أن السجود للشكر غير مشروع.
قال البناني: وجه المشهور عن مالك عمل أهل المدينة، وذلك لما في العتبية أنه قيل لمالك: إن أبا بكر الصديق سجد في فتح اليمامة شكرا، قال: ما سمعت ذلك، وأرى أنهم كذبوا على أبي بكر، وقد فتح الله على رسوله صلى الله عليه وسلم وعلى المسلمين فما سمعت أن أحدا منهم سجد. (2)
واحتج ابن المنذر لأصحاب هذا القول بأن النبي صلى الله عليه وسلم شكا إليه رجل القحط وهو يخطب، فرفع يديه ودعا، فسقوا في الحال ودام المطر إلى الجمعة الأخرى، فقال رجل: يا رسول الله، تهدمت البيوت وتقطعت السبل فادع الله يرفعه عنا، فدعا فرفعه في الحال (3) قال: فلم يسجد النبي صلى الله عليه وسلم لتجدد نعمة المطر أولا، ولا لرفع نقمته آخرا.
واحتج أيضا بأن الإنسان لا يخلو من نعمة، فإن كلفه لزم الحرج. (1)

الحكم التكليفي:
3 – مذهب الشافعية والحنابلة في حكم سجود الشكر عند وجود سببه أنه سنة، لما ورد من الأحاديث الدالة على أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يفعله.
وقد أفاد الزرقاني – على القول بمشروعيته عند المالكية – أنه على هذا القول غير مطلوب، أي ليس مستحبا، ولكنه جائز فقط.
ومشهور مذهب المالكية أن سجود الشكر مكروه، وهو نص مالك، والظاهر أنها عنده كراهة تحريم.
ومذهب أبي حنيفة الكراهة، إلا أنهم صرحوا بما يدل على أنها كراهة تنزيه، فعبارة الفتاوى الهندية: سجدة الشكر لا عبرة بها، وهي مكروهة عند أبي حنيفة لا يثاب عليها، وتركها أولى. (2) .

أسباب سجود الشكر:
4 – يشرع سجود الشكر عند من قال به لطروء نعمة ظاهرة، كأن رزقه الله ولدا بعد اليأس، أو لاندفاع نقمة كأن شفي له مريض، أو وجد ضالة، أو نجا هو أو ماله من غرق أو حريق. أو لرؤية مبتلى أو عاص أي شكرا لله تعالى على سلامته هو من مثل ذلك البلاء وتلك المعصية.
وصرح الشافعية والحنابلة بأنه يسن السجود سواء كانت النعمة الحاصلة أو النقمة المندفعة خاصة به أو بنحو ولده، أو عامة للمسلمين، كالنصر على الأعداء، أو زوال طاعون ونحوه.
وفي قول عند الحنابلة: يسجد لنعمة عامة ولا يسجد لنعمة خاصة، قدمه ابن حمدان في الرعاية الكبرى. (1)
ثم إنه عند الشافعية والحنابلة: لا يشرع السجود لاستمرار النعم لأنها لا تنقطع. (2) ولأن العقلاء يهنئون بالسلامة من الأمر العارض ولا يفعلونه كل ساعة. (3)
قال الرملي: وتفوت سجدة الشكر بطول الفصل بينها وبين سببها (4) .
شروط سجود الشكر:
5 – صرح الشافعية والحنابلة بأن سجود الشكر يشترط له ما يشترط للصلاة، أي من الطهارة، واستقبال القبلة، وستر العورة، واجتناب النجاسة.
وعلى هذا فمن كان فاقد الطهورين ليس له أن يسجد للشكر كما صرح به الشرقاوي.
وعلى القول بجواز سجود الشكر عند المالكية فالمشهور أنه يفتقر إلى طهارة على ظاهر المذهب، واختار بعض المالكية عدم افتقاره إلى ذلك، قال الحطاب: لأن سر المعنى الذي يؤتى بالسجود لأجله يزول لو تراخى حتى يتطهر. واختار ابن تيمية أنه لا يشترط الطهارة لسجود الشكر. (1)

Wallahu A’lam bisshowab

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Slot demo https://mooc.unesa.ac.id/usutoto-4d/ slot online slot online akurat77 Demo Slot Pg Toto 4D https://wiki.clovia.com/ Slot Gacor Gampang Maxwin Slot77 Daun77 Daun77 slot thailand Daun77 slot77 4d Usutoto situs slot gacor Usutoto Usutoto slot toto slot Daun77 Daun77 Daun77 Akurat77 Akurat77 Akurat77 Akurat77 MBAK4D MBAK4D DWV99 DWV138 DWVGAMING METTA4D MBAK4D MBAK4D MBAK4D METTA4D DWV99 DWV99 MBAK4D MBAK4D MBAK4D SLOT RAFFI AHMAD METTA4D https://aekbilah.tapselkab.go.id/toto4d/ https://aekbilah.tapselkab.go.id/spaceman/ METTA4D METTA4D METTA4D demo slot MBAK4D METTA4D MINI1221 https://www.concept2.cz/ https://berlindonerkebab.ca/ togel malaysia sabung ayam online tototogel slot88 MBAK4D MBAK4D DWV138 METTA4D