
Assalamualaikum ust/kyai didalam Islam jelas orang poligami dianjurkan bagi laki²yang mampu segalanya tapi poligami itu sangat menyakitkan ke kaum hawa malah banyak kaum hawa itu yang nyuruh suaminya dari pada poligami mendingan pacaran/zina saking sakitnya hati kaum hawa.
Pertanyaannya kyai/ust
Apakah pahala poligami bisa mengcover terhadap sakitnya hati kaum hawa tersebut ust mohon penjelasan dan referensinya ust
Waalikum salam.
Jawaban
Menikah dengan lebih dari seorang istri.
Islam adalah agama yang sejalan dengan fitrah manusia dan realistis. Ia menghadapi realita kehidupan ini dengan kearifan yang mendidik, menjauhkannya dari sifat melampaui batas sekaligus sikap ceroboh. Hal ini dapat kita saksikan secara jelas dalam memandang masalah poligami. Dengan didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan manusiawi yang sangat penting baik secara individu maupun sosial – ia memperbolehkan muslim menikah lebih dari satu perempuan. Bangsa-bangsa dan agama-agama sebelum Islam memperbolehkan kawin dengan perempuan dengan jumlah yang sangat banyak, puluhan hingga ratusan, tanpa syarat dan atau batasan tertentu. Setelah kedatangan Islam, ditentukanlah batas dan syarat-syarat berpoligami itu. Adapun batasannya, Islam mengizinkan batas maksimal empat istri. Ghailan Ats-Tsaqafi ketika masuk Islam ia beristri sepuluh orang. Nabi pun berkata kepadanya.
إختر منهن أربعا وفارق سائرهن
Pilihlah empat diantaranya dan tinggalkan sisanya . ( HR Ahmad, Turmudzi,Ibnu Majah).
Demikian pula orang yang masuk Islam dengan membawa istri delapan atau lima orang Rasulullah melarang mempertahankan kecuali empat diantaranya. Sedangkan perkawinan Rasulullah dengan sembilan orang istri, ini adalah perkecualian yang Allah berikan kepada beliau untuk kebutuhan dakwah dimasa hidupnya.Selain itu, juga kebutuhan ummat kepada mereka setelah beliau meninggal . Maka terkait dengan persoalan sebagaimana deskripsi diatas.
Andaikan istri merasa sakit karena dimadu maka untuk mencover atau menutupi rasa sakitnya itu bergantung pada keadilan sang suami dalam berpoligami dan kesabaran istri, karena jika suami yang berpoligami sudah sesuai dengan aturan syariat ( Adil ) tidaklah mungkin antara yang satu dengan yang lainnya merasa tersakiti. Kalau memang masih ada yang tersakiti padahal suami sudah adil, maka hal tersebut bukanlah dosa seorang suami melainkan dosa yang ditanggung pribadi seorang istri.
Allah SWT berfiman :
لِيَتَّخِذْ أَحَدُكُمْ قَلْبًا شَاكِرًا وَلِسَاناً ذَاكِرًا وَزَوْجَةً مُؤْمِنَةً تُعِيْنُ أَحَدَكُمْ عَلَى أَمْرِ الْآخِرَةِ
Hendaklah salah seorang dari kalian memiliki hati yang bersyukur, lisan yang senantiasa berzikir dan istri mukminah yang akan menolongmu dalam perkara akhirat.” (HR. Ibnu Majah no. 1856, dinyatakan shahih oleh asy-Syaikh Albani rahimahullah dalam Shahih Ibnu Majah no. 1505).
Di antara contoh istri yang sabar adalah seperti pahala Siti Asiyah istri Fir’aun yang dzalim. Begitu hebat Siti Asiyah menghadapi siksaan dan kedzaliman suaminya yang mengaku dirinya sebagai Tuhan. Siti Asiyah menghadapi siksaan ini dengan penuh kesabaran disertai senyuman dalam setiap rasa sakit yang ia terima sampai maut menjemputnya, sehingga namanya tercatat sebagai wanita mulia yang dijamin masuk surga atas kesabarannya menghadapi akhlak buruk suaminya. Rasulullah SAW bersabda :
مَن صَبَرَت عَلى سوءِ خُلُقِ زَوجِها؛ أعطاها مِثلَ ثَوابِ آسِيَةَ بِنتِ مُزاحِمٍ
Jika seorang istri sabar menghadapi keburukan akhlak suaminya, maka Allah akan memberikan pahala seperti yang diberikan kepada Asiyyah istri Fir’aun. “(H.R Muslim).
Islam menuntut dari seorang muslim yang akan melakukan poligami adalah keyakinan dirinya bahwa ia bisa berlaku adil diantara dua istri atau istri- istrinya baik dalam hal makanan, minuman, tempat tinggal, pakaian, dan nafkah. Barang siapa kurang yakin akan kemampuannya memenuhi hak-hak tersebut dengan seadil-adilnya, haramlah baginya menikah dengan lebih dari satu perempuan .Allah berfirman.
وإن خفتم أن لاتعدلوا فواحدة
Lalu jika kalian hawatir tidak bisa berlaku adil cukuplah satu saja.( Annisa’ ;3).
Rasulullah Juga bersabda :
من كان له إمرأتان يميل لإحداهما على الأخرى جاء يوم القيامة يجر أحد شقيه مائل (رواه الحاكم )
Barangsiapa mempunyai duan istri kemudian dia condong kepada salah satu dari keduanya, maka pada hari kiamat nanti akan datang dengan menyeret salah satu belahan tubuhnya yang terjatuh atau miring ( HR.Ahlussunan Ibnu Majah dan Alhakim). Miring yang diperingatkan dalam hadits ini adalah ketidak adilan dalam hak-haknya bukan hanya sekedar dalam kecenderungan hati, karena yang disebut terakhir ini termasuk hal yang susah dipenuhi bahkan dimaklumi dan dimaafkan Allah .Allah SWT.berfirman .
ولن تستطيعوا ان تعدلوا بين النساء ولو حرصتم فلا تميلوا كل الميل
Dan kalian tidak mungkin bisa berbuat Adil diantara istri-istrimu meskipun kalian berusaha dengan sungguh-sungguh karena itu janganlah kalian condong dengan berlebihan ( An-Nisa: 129)
Oleh karena itu Rasulullah Shollallahu alaihi wasallam dulu membagi-bagi secara adil dan berkata;
اللهم هذا قسمي فيما أملك فلا تلمني فيما تملك ولاعمرك
Ya Allah inilah pembagian sebatas apa yang aku miliki karena itu, janganlah kau siksa aku dalam hal yang engkau miliki dan tidak aku miliki. Maksudnya jangan disiksa karena hal yang tidak dimiliki, menyangkut masalah hati dan kecenderungan perasaan secara husus kepada salah satu diantara mereka.Jika hendak bebergian beliau mengundi mereka .Barang siapa diantara nama mereka muncul dialah yang berhak bersamanya .Beliau lakukan itu semata untuk menghindari penyesalan dan kelanggengan hati semua pihak .
Referensi; Halal dan haram. Syaikh Dr. Yusuf Al-Qardhawi.
:الزواج بأكثر من واحدة ، الإسلام دين يلائم الفطرة ، ويعالج الواقع ، بما يهذبه ، ويبعد به عن الإفراط والتفريط
. زوجات وهذا ما نشاهده جليًّا في موقفه من تعدد الزوجات
فإنه العتبارات إنسانية هامة ، فردية واجتماعية ، أباح للمسلم أن يتزوج
. بأكثر من واحدة
كان كثير من الأمم والملل قبل الإسلام ، يبيحون التزوج بالجم وقد الغفير من النساء ، قد يبلغ العشرات ، وقد يصل إلى المائة والمئات ، دون اشتراط لشرط،ولاتقيد بقيد ، فلما جاء الإسلام وضع لاعدد الزوجات قيدا وشرطا .فأماالقيد فجعل الحد الأقصى للزوجات أربعا . وقد أسلم غيلان الثقفي وتحته عشر نسوة فقال له النبي إختر منهن أربعا وفارق سائرهن . وكذلك من أسلم عن ثمانية نهاه رسول الله أن يمسك منهن إلا أربعا. أما زواج الرسول بتسع نسوة فكان هذا شيأ خصه الله به لحاجة الدعوة فى حياته وحياة الأمة إليهن بعد وفاته.
العدل شرط فى إباحة التعدد.
أما الشرط الذي إشترطه الإسلام للتعدد الزوجات فهو ثقة المسلم
أن يعدل بين زوجتيه او زوجاته فى المأكل والمشرب والملبس والمسكن والمبيت والنفقة ومن لم يثق فى نفسه والقدر ة على آداء هذه الحقوق بالعدل والسوية ، حرم عليه أن يتزوج بأكثر من واحدة .قال تعالى فإن خفتم أن لاتعدلوا فواحدة . ( النساء.٣).وقال النبي صلى الله عليه وسلم من كانت له إمرأتان يميل لإحداهما على الأخرى جاء يوم القيامة يجر أحد شقيه مائل رواه أحمد فى مسنده والميل الذي حذر من هذا الحديث هو الجور على حقوقها لا مجر الميل القلبي ، فإن هذا داخل فى العدل لايستطاع ، والذي عفى الله عنه وسامح فى شأنه قال سبحانه وتعالى ولن تستطيعوا ان تعدلوا بين النساء ولو حرصتم فلا تميلوا كل الميل (النساء .١٢٩) ولهذا كان رسول الله يقسم ويعدل ويقول ؛ اللهم هذا قسمي فيما أملك فلا تلمني فيما تملك ولاعمرك. يعني بما لايملكه أمر القلب والميل العطافي إلى إحداهن خاصة
وكان إذا أراد سفر حكم بينهن القرعة فأيتهن خرج سهما سفربها ، وإنما فعل ذلك دفعات لوخر الصدور وترضية للجمع
Referensi :
الفقه الإسلامي وأدلته، 9/160) فَلَا تَعْنِي أَنَّ كُلَّ مُسْلِمٍ يَتَزَوَّجُ أَكْثَرَ مِنْ وَاحِدَةٍ، بَلْ أَصْبَحَ مَبْدَأَ وَحْدَةِ الزَّوْجَةِ هُوَ الْغَالِبُ الْأَعْظَمُ. قُيُوْدُ إِبَاحَةِ التَّعَدُّدِ : اشْتَرَطَتِ الشَّرِيْعَةُ لِإِبَاحَةِ التَّعَدُّدِ شَرْطَيْنِ جَوْهَرِيَيْنِ هُمَا: 1) تَوْفِيْرُ الْعَدْلِ بَيْنَ الزَّوْجَاتِ: أَيْ العَدْلُ الَّذِيْ يَسْتَطِيْعُهُ اْلِإنْسَانُ، وَيَقْدِرُ عَلَيْهِ، وَهُوَ التَّسْوِيَّةُ بَيْنَ الزَّوْجَاتِ فِي النَّوَاحِي الْمَادِيَّةِ مِنْ نَفَقَةٍ وَحُسْنِ مُعَاشَرَةٍ وَمَبِيْتٍ. ;إِلَى أَنْ قَالَ) القُدْرَةُ عَلَى الْإِنْفَاقِ: لَا يَحِلُّ شَرْعاً الِإقْدَامُ عَلَى الزَّوَاجِ، سَوَاءٌ مِنْ وَاحِدَةٍ أَوْ مِنْ أَكْثَرَ إِلَّا بِتَوَافُرِ القُدْرَةِ عَلَى مُؤَنِ الزَّوَاجِ وَتَكَالِيْفِهِ، وَالْاِسْتِمْرَارُ فِي أَدَاءِ النَّفَقَةِ الْوَاجِبَةِ لِلزَّوْجَةِ عَلَى الزَّوْجِ، لِقَوْلِهِ : يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ، مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ البَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ… وَالْبَاءَةُ: مُؤْنَةُ النِّكَاحِ. ( (فَإِنْ اشْتَدَّ الشِّقَاقُ) أَيْ الْخِلَافُ بَيْنَهُمَا بِأَنْ دَامَا عَلَى التَّسَابِّ وَالتَّضَارُبِ (بَعَثَ) الْقَاضِي (حَكَمًا مِنْ أَهْلِهِ وَحَكَمًا مِنْ أَهْلِهَا) لِيَنْظُرَا فِي أَمْرِهِمَا بَعْدَ اخْتِلَاءِ حَكَمِهِ بِهِ، وَحَكَمِهَا بِهَا وَمَعْرِفَةِ مَا عِنْدَهُمَا فِي ذَلِكَ، وَيُصْلِحَا بَيْنَهُمَا أَوْ يُفَرِّقَا إنْ عَسُرَ الْإِصْلَاحُ عَلَى مَا سَيَأْتِي قَالَ تَعَالَى: وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُوا حَكَمًا إلخ وَهَلْ بَعْثُهُ وَاجِبٌ، أَوْ مُسْتَحَبٌّ وَجْهَانِ صَحَّحَ فِي الرَّوْضَةِ، وُجُوبَهُ لِظَاهِرِ الْأَمْرِ فِي الْآيَةِ (وَهُمَا وَكِيلَانِ لَهُمَا وَفِي قَوْلٍ) حَاكِمَانِ (مُوَلَّيَانِ مِنْ الْحَاكِمِ) لِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى سَمَّاهُمَا حَكَمَيْنِ، وَالْوَكِيلُ مَأْذُونٌ لَيْسَ بِحَكَمٍ، وَوَجْهُ الْأَوَّلِ أَنَّ الْحَالَ قَدْ يُؤَدِّي إلَى الْفِرَاقِ وَالْبُضْعُ حَقُّ الزَّوْجِ، وَالْمَالُ حَقُّ الزَّوْجَةِ وَهُمَا رَشِيدَانِ، فَلَا يُوَلَّى عَلَيْهِمَا فِي حَقِّهِمَا (فَعَلَى الْأَوَّلِ يُشْتَرَطُ رِضَاهُمَا) بِبَعْثِ الْحَكَمَيْنِ (فَيُوَكِّلُ) هُوَ (حَكَمَهُ بِطَلَاقٍ وَقَبُولِ عِوَضِ خُلْعٍ وَتُوكِلُ) هِيَ (حَكَمَهَا بِبَذْلِ عِوَضٍ وَقَبُولِ طَلَاقٍ بِهِ)، وَيُفَرِّقُ الْحَكَمَانِ بَيْنَهُمَا إنْ رَأَيَاهُ صَوَابًا وَعَلَى الثَّانِي لَا يُشْتَرَطُ رِضَاهُمَا بِبَعْثِ الْحَكَمَيْنِ، وَإِذَا رَأَى حَكَمُ الزَّوْجِ الطَّلَاقَ اسْتَقَلَّ بِهِ وَلَا يَزِيدُ عَلَى طَلْقَةٍ وَإِنْ رَأَى الْخُلْعَ، وَوَافَقَهُ حَكَمُهَا تَخَالَعَا وَإِنْ لَمْ يَرْضَ الزَّوْجَانِ ثُمَّ الْحَكَمَانِ يُشْتَرَطُ فِيهِمَا عَلَى الْقَوْلَيْنِ مَعًا الْحُرِّيَّةُ وَالْعَدَالَةُ وَالِاهْتِدَاءُ إلَى مَا هُوَ الْمَقْصُودُ مِنْ بَعْثِهِمَا دُونَ الِاجْتِهَادِ، وَتُشْتَرَطُ الذُّكُورَةُ عَلَى الثَّانِي وَكَوْنُهُمَا مِنْ أَهْلِ الزَّوْجَيْنِ أَوْلَى لَا وَاجِبٌ. (حاشيتا قليوبي وعميرة، 12/227) (أَيُّمَ
ا امْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوْجَهَا الطَّلَاقَ) فِي رِوَايَةٍ طَلاَقَهَا (مِنْ غَيْرِ مَا بَأْسٌ) بِزِيَادَةِ مَا للِتَّأْكِيْدِ وَالْبَأْسُ الشِّدَّةُ أَيْ فِي غَيْرِ حَالَةِ شِدَّةٍ تَدْعُوْهَا وَتُلْجِئُهَا إِلَى الْمُفَارَقَةِ كَأَنْ تَخَافَ أَنْ لَا تُقِيْمَ حُدَوْدَ اللهِ فِيْمَا يَجِبُ عَلَيْهَا مِنْ حُسْنِ الصُّحْبَةِ وَجَمِيْلُ الْعُشْرَةِ لِكَرَاهَتِهَا لَهُ أَوْ بَأَنْ يُضَارَّهَا لِتَنْخَلَعَ مِنْهُ (فَحَرَامٌ عَلَيْهَا) أَيْ مَمْنُوْعٌ عَنْهَا (رَائِحَةُ الْجَنَّةِ) وَأَوَّلُ مَا يَجِدُ رِيْحَهَا الْمُحْسِنُوْنَ الْمُتَّقُوْنَ لَا أَنَّهَا لَا تَجِدُ رِيْحَهَا أَصْلًا فَهُوَ لِمَزِيْدِ الْمُبَالَغَةِ فِي التَّهْدِيْدِ وَكَمْ لَهُ مِنْ نَظِيْرٍ. قَالَ اْبنُ الْعَرَبِيِّ: هَذَا وَعِيْدٌ عَظِيْمٌ لَا يُقَابِلُ طَلَبُ الْمَرْأَةِ الْخُرُوجَ مِنَ النِّكَاحِ لَوْ صَحَّ. وَقَالَ ابْنُ حَجَرٍ: الأَخْبَارُ الْوَارِدَةُ فِي تَرْغِيْبِ الْمَرْأَةِ مِنْ طَلَبِ طَلَاقِ زَوْجِهَا مَحْمُولَةٌ عَلَى مَا إِذَا لَمْ يَكُنْ سَبَبٌ يَقْتَضِي ذَلِكَ. (فيض القدير، 3/178) الْمَسْأَلَةُ الْخَامِسَةُ: إِذَا وَقَعَ الشِّقَاقُ بَيْنَهُمَا، فَذَاكَ الشِّقَاقُ إِمَّا أَنْ يَكُوْنَ مِنْهُمَا أَوْ مِنْهُ أَوْ مِنْهَا، أَوْ يُشْكَلُ، فَاِنْ كَانَ مِنْهَا فَهُوَ النُّشُوْزُ وَقَدْ ذَكَرْنَا حُكْمَهُ، وَاِنْ كَانَ مِنْهُ، فَاِنْ كَانَ قَدْ فَعَلَ فِعْلًا حَلَالَا: مِثْلَ التَّزَوُّجِ بِامْرَأَةٍ أُخْرَى، أَوْ تَسَرِّي بِجَارِيَةٍ، عَرَفَتِ الْمَرْأَةُ أَنَّ ذَلِكَ مُبَاحٌ وَنُهِيَتْ عَنِ الشِّقَاقِ، فَاِنْ قَبِلَتْ وَإِلَّا كَانَ نُشُوْزَا، وَإِنْ كَانَ بِظُلْمٍ مِنْ جِهَتِهِ أَمَرَهُ الْحَاكِمُ بِالْوَاجِبِ، وَإِنْ كَانَ مِنْهُمَا أَوْ كَانَ الْأَمْرُ مُتَشَابِهًا، فَالْقَوْلُ أَيْضاً مَا قُلْنَاهُ. (تفسير الفخر الرازى، 1/1444) (وَيَسْتَحِقُّ الْقَسْمَ مَرِيضَةٌ) وَقَرْنَاءُ (وَرَتْقَاءُ وَحَائِضٌ وَنُفَسَاءُ) وَمَنْ آلَى مِنْهَا أَوْ ظَاهَرَ وَمُحْرِمَةٌ وَمَجْنُونَةٌ لَا يَخَافُ مِنْهَا. قَالَ الْغَزَالِيُّ: وَكَذَا كُلُّ مَنْ بِهَا عُذْرٌ شَرْعِيٌّ أَوْ طَبِيعِيٌّ؛ لِأَنَّ الْمَقْصُودَ مِنْهُ الْأُنْسُ لَا الِاسْتِمْتَاعُ. أَمَّا الْمَجْنُونَةُ الَّتِي يَخَافُ مِنْهَا وَلَمْ يَظْهَرْ مِنْهَا نُشُوزٌ وَهِيَ مُسَلِّمَةٌ لَهُ فَلَا يَجِبُ لَهَا قَسْمٌ كَمَا بَحَثَهُ الزَّرْكَشِيُّ وَإِنْ اسْتَحَقَّتْ النَّفَقَةَ، فَهِيَ مُسْتَثْنَاةٌ مِنْ قَوْلِنَا: وَضَابِطُ مَنْ يَسْتَحِقُّ الْقَسْمَ كُلُّ مَنْ وَجَبَتْ نَفَقَتُهَا وَلَمْ تَكُنْ مُطَلَّقَةً لِتَخْرُجَ الرَّجْعِيَّةُ. وَيُسْتَثْنَى مِنْ اسْتِحْقَاقِ الْمَرِيضَةِ الْقَسْمَ مَا لَوْ سَافَرَ بِنِسَائِهِ فَتَخَلَّفَتْ وَاحِدَةٌ لِمَرَضٍ فَلَا قَسْمَ لَهَا وَإِنْ كَانَتْ تَسْتَحِقُّ النَّفَقَةَ كَمَا نَقَلَهُ الْبُلْقِينِيُّ عَنْ تَصْرِيحِ الْمَاوَرْدِيُّ وَأَقَرَّهُ. وَضَابِطُ مَنْ لَا يَسْتَحِقُّهُ كُلُّ امْرَأَةٍ لَا نَفَقَةَ لَهَا فَلَا تَسْتَحِقُّهُ أَمَةٌ لَمْ تُسَلِّمْ لِلزَّوْجِ لَيْلًا وَنَهَارًا، وَلَا الصَّغِيرَةُ الَّتِي لَا تُطِيقُ الْوَطْءَ، وَلَا الْمَحْبُوسَةُ، وَلَا الْمَغْصُوبَةُ، وَ (لَا نَاشِزَةٌ) بِخُرُوجِهَا عَنْ طَاعَةِ زَوْجِهَا كَأَنْ خَرَجَتْ مِنْ مَسْكَنِهِ بِغَيْرِ إذْنِهِ، أَوْ لَمْ تَفْتَحْ لَهُ الْبَابَ لِيَدْخُلَ، أَوْ لَمْ تُمَكِّنْهُ مِنْ نَفْسِهَا بِلَا عُذْرٍ لَهَا كَمَرَضٍ وَإِلَّا فَهِيَ عَلَى حَقِّهَا كَمَا قَالَهُ الْمَاوَرْدِيُّ، أَوْ دَعَاهَا فَاشْتَغَلَتْ بِحَاجَتِهَا، أَوْ ادَّعَتْ الطَّلَاقَ، وَفِي مَعْنَى النَّاشِزِ الْمُعْتَدَّةُ عَنْ شُبْهَةٍ لِتَحْرِيمِ الْخَلْوَةِ بِهَا، وَنُشُوزُ الْمَجْنُونَةِ كَالْعَاقِلَةِ لَكِنَّهَا لَا تَأْثَمُ. (مغني المحتاج إلى معرفة ألفاظ المنهاج، 13/124)
والله أعلم بالصواب