
JUAL BELI TEBASAN.
Deskripsi masalah.
Pertanian merupakan salah satu sektor utama yang menjadi sumber penghidupan bagi sebagian besar masyarakat, terutama di pedesaan. Dalam menjalankan usaha tani, para petani sering kali menghadapi berbagai tantangan, seperti fluktuasi harga pasar, keterbatasan tenaga kerja, serta kebutuhan akan proses yang cepat dan efisien, terutama ketika hasil panen melimpah.
Salah satu solusi yang umum diterapkan oleh petani adalah sistem jual beli tebas, yaitu penjualan hasil panen secara menyeluruh kepada pemborong sebelum panen dilakukan. Sistem ini dinilai praktis karena petani tidak perlu melakukan proses pemanenan sendiri, sehingga menghemat waktu dan tenaga. Di sisi lain, pemborong mengambil alih tanggung jawab pemanenan, pengangkutan, dan distribusi hasil panen ke pasar.
Namun, dalam praktiknya, penerapan sistem tebas juga berdampak pada perhitungan zakat pertanian. Sesuai dengan syariat Islam, hasil panen yang mencapai nisab wajib dikeluarkan zakatnya dengan kadar 10% untuk pengairan alami atau 5% jika menggunakan pengairan buatan. Oleh karena itu, penting untuk memastikan perhitungan zakat dilakukan dengan benar berdasarkan nilai jual hasil panen yang diperoleh melalui sistem tebas, agar hak-hak agama dan sosial terpenuhi secara optimal.
Pertanyaan:
Bagaimana fikih menyikapi hal diatas( menjual hasil panennya secara keseluruhan /secara tebas kepada pemborong)?
Jawaban:
Jual beli dengan sistem tebas hukumnya sah, bila mengikuti pendapat yang memperbolehkan Bai’ al-Ghaib. Sedangkan menjual harta
yang wajib dizakati hukumnya sah berpijak pada pendapat yang mengatakan bahwa ta’alluq zakat biddzimmah. Namun, zakat yang harus dibayar adalah 10%/5% dari hasil panen, bukan dari hasil penjualan.
Referensi:
(شرح الوجيز الجزء الناسع ص: ۸۳ طبعة الشاملة الإصدار الثاني)
(وَمَا لَا يُرَى حَبَّاتُهُ فِي السُّنْبُلَةِ كَالْحِنْطَةِ وَالْعَدَسِ وَالسّمْسِمِ لَا يَجُوزُ بَيْعُهُ فِي السُّنْبُلَةِ دُونَ السُّنْبُلَةِ وَمَعَهَا قوْلَانِ وَالْقَدِيمُ) الْجَوَازُ لِمَا رُوِيَ أَنَّ النَّبِيَ الله نَهَى عَنْ بَيْعِ الحَبَ حَتَّى يَشْتَدَّ) وَقَدِ اشْتَدَّ (الجَدِيدُ) الْمَنْعُ لِتَسَترُّ الْمَقْصُوْدِ بِمَا لَا يَتَعَلَّقُ بِهِ الصَّلاحُ كَبَيْعِ تُرَابِ الصَّاغَةِ وَالْكَدَسِ بَعْدَ الديَاسَةِ وَقَبْلَ التَّنْقِيَّةِ وَالْأَءرزِ كَالشَّعِيْرِ يُبَاعُ فِي السَّنَابِلِ لِأَءنَّهُ يُدخر فِي قَشْرِهِ وَبِهَذَا قَالَ ابْنُ الْقَاصِ وَأَبُو عَلِي الطَّبَرِي وَمِنْهُمْ مَنْ قَالَ هُوَ كَالْحِنْطَةِ وَلَا يَجُوزُ بَيْعُ الجَزرِ وَالثوْمِ وَالْبَصَلِ اهـ
…………..
(المجموع شرح المهذب الجزء التاسع ص: ۳۸۰ طبعة المنيرية)
(فَرْعُ)
لَوْ كَانَتِ الصُّبْرَةُ عَلَى مَوْضِع مِنَ الْأَءرْضِ فِيهِ ارْتِفَاعُ وَانخِفَاضُ فَبَاعَهَا وَهِيَ كَذَلِكَ أَوْ بَاعَ السَّمْنَ أَوْ نَحْوَهُ فِي ظَرفٍ مُخْتَلِفِ الْأَءجْزَاءِ رِقَةً وَغِلَظا فَفِيهِ ثَلاثَةُ ظُرُقٍ (أَصَحُهَا) أَنَّ فِي صِحَّةِ الْبَيْعِ قَوْلَيَّ بَيْعِ الْغَائِبِ لِأَءنَّهُ لَمْ يَحْصُلْ رُؤْيَةٌ تُفِيدُ الْمَعْرِفَةَ ( وَالثَّانِي) الْقَطْعُ بِالصَّحَّةِ ( وَالثَّالِثُ) الْقَطْعُ بِالْبُطْلَانِ وَهَذَا ضَعِيفٌ قَالَ الرَّافِعِيُّ وَهُوَ ضَعِيفٌ وَإِنْ كَانَ مَنْسُوبًا إِلَى الْمُحَقِّقِينَ (فَإِنْ قُلْنَا) بِالصَّحَّةِ فَوَقْتُ الْخِيَارِ هُنَا مَعْرِفَهُ مِقْدَارٍ الصُّبْرَةِ أَوِ التَّسَكُنِ مِنْ تَحْمِينِهِ بِرُؤْيَةِ مَا تَحْتَهَا (وَإِنْ قُلْنَا) بِالْبُطْلَانِ فَلَوْ بَاعَ الصُّبْرَةَ وَالْمُشْتَرِي يَظُنُّهَا عَلَى أَرْضِ مُسْتَوِيَةٍ فَبَانَ تَحْتَهَا دُكَةٌ فَهَلْ يَتَبَيَّنُ يُطْلَانُ الْبَيْعِ فِيهِ وَجْهَانِ (أَصَحُهُمَا ) لَا بَلْ هُوَ صَحِيحٌ وَلِلْمُشْتَرِي الخيَارُ كَالْعَيْبِ وَالتَّدْلِيسِ وَبِهَذَا قَطَعَ صَاحِبُ الشَّامِلِ وَغَيْرِهِ (وَالثَّانِي) يَبْطلُ وَهُوَ اخْتِيَارُ الشَّيْخِ أَبِي مُحَمَّدٍ لِأَءنَّ مَعْرِفَةَ الْمِقْدَارِ تَحْمِينًا أَوْ تَحْقِيقًا شَرْطُ وَقَدْ تَبَيَّنَّا فَوَاتَهَا اهـ
……………
درر الحكام شرح غرر الأحكام – (٦ / ٢٠٦)
( تَنْبِيهٌ ) : إذَا كَانَ الْمَبِيعُ مَغِيبًا تَحْتَ الْأَرْضِ كَالْجَزَرِ وَالسَّلْجَمِ وَالْبَصَلِ وَالثُّومِ وَالْفُجْلِ بَعْدَ النَّبَاتِ إنْ عُلِمَ وُجُودُهُ تَحْتَ الْأَرْضِ جَازَ وَإِلَّا فَلَا.
(بدائع الصانع الجزء الثاني ص: ٥١٦ طبعة دار الكتب العلمية )
( فَصلُ)
وَأَمَّا صِفَةُ الْوَاجِبِ فَالْوَاجِبُ جُزْءً مِنَ الْخَارِج لأَءنَّهُ عُشْرُ الخَارِجَ أَوْ نِصْفُ عُشْرِهِ وَذَلِكَ جُزْؤُهُ إِلَّا أَنَّهُ وَاجِبٌ مِنْ حَيْثُ إِنَّهُ مَالٌ لَا مِنْ حَيْثُ إِنَّهُ جُزْءً عِنْدَنَا حَتَّى يَجُوزُ أَدَاءُ قِيمَتِهِ عِنْدَنَا وَعِنْدَ الشَّافِعِيَ الْوَاجِبُ عَيْنُ الْجُزْءِ وَلَا يَجُوزُ غَيْرُهُ وَهِيَ مَسْأَلَة دَفْعِ الْقِيَمِ وَقَدْ مَرَّتْ فِيمَا تَقَدَّمَ
……………..
(التهذيب الجزء الثالث ص: ٦٩ )
أَمَّا إِذَا بَاعَ الْمَالَ الزَّكَوِيَّ بَعْدَ الْحَوْلِ وَوُجُوبِ الزَّكَاةِ فِيهِ وَقَبْلَ أَدَائِهَا هَلْ يَصِحُ أَمْ لَا إِنْ تَعَلَّقَ الزَّكَاةَ بِالدِّمَةِ يَصِحُ الْبَيْعُ وَالْمُشْتَرِي بِالْخِيَارِ بَينَ فَسْخِ الْبَيْعِ وَإِجَازَتِهِ لأَءنَّ السَّاعِيَ أَخَذَ الزَّكَاةَ مِنْ عَيْنِهِ فَإِنْ أَدى الْبَائِعُ الزَّكَاةَ مِنْ مَوْضِعِ آخَرَ سَقَطَ خِيَار الْمُشْتَرِي وَإِنِ أَخَذَ الزَّكَاةَ مِنْ عَيْنِهِ بَطَلَ الْعَقْدُ فِيمَا أَخَذَهُ السَّاعِي وَفِي الْبَاقِي قَوْلَانِ فَإِنْ قُلْنَا لَا تَبْظُلُ فَلَهُ الْخِيَارُ إِنْ كَانَ جَاهِلًا بِالْحَالِ فَإِنْ أَجَازَ لَا يَجِبُ إِلَّا بِحِصةِ مَا بَقِيَ مِنَ الثَّمَنِ وَإِنْ تَعَلَّقَ الزَّكَاةُ بِالْعَيْنِ فَالْبَيْعُ بَاطِلُ فِي قَدْرِ الزَّكَاةِ وَفِي الباقي قَوْلَانِ بِنَاءً عَلَى قَوْلِ تَفْرِيقِ الصفْقَةِ
………….
1. Syarah Al-Wajiz (Jilid 9, Halaman 83, Cetakan Syamilah Edisi Kedua)
“Dan hasil tanaman yang bijinya tidak terlihat pada tangkainya, seperti gandum, kacang adas, dan wijen, tidak boleh dijual jika hanya tangkainya saja tanpa bijinya. Jika dijual bersama tangkainya, terdapat dua pendapat:
Pendapat pertama (pendapat lama): Diperbolehkan, berdasarkan riwayat bahwa Nabi SAW melarang penjualan biji hingga mengeras. Maka, jika sudah mengeras, diperbolehkan.
Pendapat kedua (pendapat baru): Tidak diperbolehkan, karena benda yang menjadi tujuan utama (biji) masih tertutup dengan sesuatu yang tidak mengandung maslahat, seperti penjualan tanah tempat pengrajin emas, atau jerami yang telah diratakan tetapi belum dibersihkan.
Adapun padi, hukumnya seperti jelai. Ia boleh dijual dalam tangkainya karena tangkainya menjadi tempat penyimpanan. Hal ini juga dinyatakan oleh Ibnul Qash dan Abu Ali At-Thabari. Namun, sebagian ulama berpendapat bahwa hukumnya seperti gandum, yaitu tidak boleh dijual.
Selain itu, tidak diperbolehkan menjual wortel, bawang putih, dan bawang merah.”
2. Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab (Jilid 9, Halaman 380, Cetakan Al-Maniriyah)
“Cabang masalah: Jika suatu tumpukan berada di atas tanah yang bergelombang (tidak rata, ada bagian yang tinggi dan rendah), lalu dijual dalam keadaan seperti itu, atau jika seseorang menjual minyak samin atau semisalnya yang berada di dalam wadah yang tidak merata (ada bagian tipis dan tebal), maka terdapat tiga pendapat:
Pendapat pertama (yang paling shahih): Terdapat dua pendapat tentang sah atau tidaknya jual beli barang yang tidak terlihat seluruhnya. Ini karena tidak terjadi penglihatan yang sempurna sehingga tidak diketahui secara pasti.
Pendapat kedua: Dinyatakan sah secara mutlak.
Pendapat ketiga: Dinyatakan batal secara mutlak. Pendapat ini lemah. Imam Ar-Rafi’i juga menegaskan bahwa ini pendapat yang lemah, meskipun disandarkan kepada para ahli tahqiq.
Jika kita menyatakan sah, maka waktu pilihan (khiyar) adalah saat pembeli mengetahui jumlah atau memastikan isinya dengan melihat bagian yang tidak terlihat. Jika kita menyatakan batal, maka jika pembeli menyangka tumpukan berada di tanah yang rata, tetapi ternyata ada gundukan di bawahnya, apakah itu membuat jual beli menjadi batal? Dalam hal ini ada dua pendapat:
Pendapat yang paling shahih: Tidak batal. Akan tetapi, pembeli memiliki hak khiyar sebagaimana dalam kasus cacat atau penipuan. Ini juga ditegaskan oleh penulis kitab Asy-Syamil dan lainnya.
Pendapat kedua: Batal. Pendapat ini dipilih oleh Syaikh Abu Muhammad, karena mengetahui jumlah barang secara pasti atau perkiraan adalah syarat yang harus terpenuhi, dan dalam kasus ini, syarat tersebut tidak terpenuhi.
3.(Peringatan): Apabila barang yang dijual tersembunyi di dalam tanah, seperti wortel, lobak, bawang merah, bawang putih, atau lobak setelah tumbuh, maka jika keberadaannya di bawah tanah telah diketahui, jual belinya diperbolehkan. Namun, jika tidak diketahui keberadaannya, maka tidak diperbolehkan.
4. Bada’i Ash-Shana’i (Jilid 2, Halaman 516, Cetakan Darul Kutub Al-‘Ilmiyyah)
“Bab tentang sifat kewajiban zakat:
Yang wajib adalah sebagian dari hasil panen itu sendiri, karena zakatnya adalah sepersepuluh dari hasil panen tersebut, atau setengah sepersepuluhnya. Ini adalah bagian dari hasil panen itu. Namun, kewajibannya berasal dari status hasil panen tersebut sebagai harta, bukan sebagai bagian dari hasil panen itu sendiri.
Menurut kami (mazhab Hanafi), diperbolehkan membayar zakat dengan nilai (harga)nya. Tetapi menurut mazhab Syafi’i, yang wajib adalah bagian dari hasil panen itu sendiri, sehingga tidak boleh digantikan dengan yang lain. Masalah ini telah dibahas sebelumnya dalam persoalan pembayaran zakat dengan nilai (harga).”
5. At-Tahdzib (Jilid 3, Halaman 69)
“Jika seseorang menjual harta yang terkena kewajiban zakat setelah haul (waktu wajib zakat) tetapi sebelum membayar zakatnya, apakah jual belinya sah atau tidak?
Jika zakatnya bersifat tanggungan (dalam catatan kewajiban), maka jual beli sah. Namun, pembeli diberi pilihan antara membatalkan atau melanjutkan jual beli, karena petugas zakat mengambil zakat dari barang yang dijual tersebut. Jika penjual membayar zakat dari sumber lain, hak khiyar pembeli gugur. Tetapi jika zakat diambil dari barang itu sendiri, maka akad batal pada bagian yang diambil untuk zakat. Adapun untuk sisanya, terdapat dua pendapat:
1. Tidak batal, dan pembeli memiliki hak khiyar jika ia tidak mengetahui sebelumnya. Jika ia menyetujuinya, maka ia hanya diwajibkan membayar sesuai bagian harga yang tersisa.
2. Batal, jika zakatnya bersifat melekat pada barang itu sendiri, maka jual beli batal untuk bagian zakatnya. Adapun sisanya, ada dua pendapat berdasarkan hukum pemisahan akad.”
Wallohu A’lam bisshowab