HADIAH DARI TAMU KEPADA SHOHIBUL HAJAH PADA ACARA RESEPSI PERNIKAHAN.

HADIAH DARI TAMU KEPADA SHOHIBUL HAJAT PADA ACARA PERNIKAHAN

Rumusan masalah :
Saat menghadiri acara walimatul urs hampir bisa dipastikan tamu yang diundang membawa sesuatu untuk diserahkan kepada Shohibul hajat(orang yang mengadakan walimatul arus/selamatan kemanten), baik itu berupa barang atau uang. Yang mana jika suatu saat dia memiliki acara yang serupa, Shohibul hajat yang pertama akan mengembalikannya dengan jumlah dan takaran yang sama. Jika tidak mengembalikan akan ada sanksi sosial baik berupa gunjingan (dirasani) atau bahkan diingatkan secara langsung.

Pertanyaan.
A. Masuk akad apakah penyerahan uang atau barang seperti deskripsi diatas ?


Jawaban

Ada dua sudut pandang Ulama‘ Fiqih terkait masalah tersebut

  1. Hibah (pemberian secara cuma-cuma). Meskipun adat setempat mengembalikan apa yang telah diberikan saat walimah sama sekali tidak mempengaruhi status hibah menjadi Qardhu (hutang). Sehingga cara pandang pendapat ini setara dengan definisi hibah sendiri, yakni memberikan sesuatu secara cuma-cuma (tanpa unsur timbal balik).
  1. Qardhu (hutang). Sudut pandang Ulama yang menstatuskan hadiah pernikahan seperti amplop uang, barang berharga dan semacamnya sebagai Qardhu adalah kebiasaan mengembalikan apa yang telah diberikan saat acara walimah. Sehingga pengembalian tersebut layak disebut qardhu (hutang).

kedua sudut pandang tersebut telah dijami’kan (dirumuskan detail) oleh para Ulama bahwa bisa dikatakan :

  1. hibah jika tidak ada unsur pengembalian, ataupun dikembalikan dengan catatan tidak sama seperti saat dia menerima. Semisal dia dikado 100 Ribu Rupiah  maka dia akan mengembalikan 200 Ribu Rupiah.
  2. Qardhu (hutang) ada adat pengembalian dan kadar pengembaliannya sama, yakni sama-sama 100 Ribu Rupiah.
  3. Namun menurut Imam Ibnu Hajar qoul awjah dalam hal ini di anggap hibbah bukan qordhu meski ada tradisi mengembalikan (ianah).

Catatan :

  1. Status hadiah pernikahan seperti amplop uang, barang berharga dan semacamnya saat acara pernikahan lebih baik distatuskan hibah atau Qardhu tergantung masyarakat setempat adatnya seperti apa dan cara pengembaliannya bagaiamana.

Referensi:

البكري الدمياطي ,إعانة الطالبين على حل ألفاظ فتح المعين  ج ٣ ص ٥٨
قال شيخنا والأوجه فى النقوط المعتاد فى الأفراح أنه هبة لا قرض وإن اعتيد رد مثله .
(قوله : تمليك شيء على أن يرد مثله) وَمَا جَرَتْ بِهِ الْعَادَةُ فِي زَمَانِنَا مِنْ دَفْعِ النُّقُوطِ فِي الْأَفْرَاحِ لِصَاحِبِ الْفَرَحِ فِي يَدِهِ أَوْ يَدِ مَأْذُونِهِ هَلْ يَكُونُ هِبَةً أَوْ قَرْضًا أَطْلَقَ الثَّانِيَ جَمْعٌ وَجَرَى عَلَى الْأَوَّلِ بَعْضُهُمْ قَالَ وَلَا أَثَرَ لِلْعُرْفِ فِيهِ لِاضْطِرَابِهِ مَا لَمْ يَقُلْ خُذْهُ مَثَلًا وَيَنْوِي الْقَرْضَ وَيُصَدَّقُ فِي نِيَّةِ ذَلِكَ هُوَ وَوَارِثُهُ وَعَلَى هَذَا يُحْمَلُ إطْلَاقُ مَنْ قَالَ بِالثَّانِي وَجَمَعَ بَعْضُهُمْ بَيْنَهُمَا بِحَمْلِ الْأَوَّلِ عَلَى مَا إذَا لَمْ يُعْتَدْ الرُّجُوعُ وَيَخْتَلِفُ بِاخْتِلَافِ الْأَشْخَاصِ وَالْمِقْدَارِ وَالْبِلَادِ وَالثَّانِي عَلَى مَا إذَا اُعْتِيدَ وَحَيْثُ عُلِمَ اخْتِلَافٌ تَعَيَّنَ مَاذُكِرَ شَرْحُ م ر بِحُرُوفِهِ

B. Apa hukum tidak mengembalikan seserahan menurut pandangan fiqih ?

Jawaban.
Berdosa jika tidak mengembalikan karena menurut Syeikh Ibarohim Albajuri hadiah acara pernikahan atau semacamnya wajib di kembalikan sebagaimana hutang walaupun tidak ada tradisi mengembalikan karena hal ini sangat membingungkan dan banyak orang yang memberikan hadiah dan sumbangan acara, ingin meminta kembali tapi malu untuk menuntutnya (bajuri). Berbeda dengan pandangan Imam Ibnu Hajar yang menekankan wajibnya pengembalian jika terdapat indikasi kuat atau petunjuk seperti tradisi bahwa pemberi tidak akan memberi kecuali pasti menginginkan balasan (fatawal fiqhiyyah) .

Catatan :
A. Pengembalian, dalam hal ini ada perbedaan pendapat antara Ulama yang akan di jelaskan berikut :
a. Mengacu pada urf atau tradisi yang berlaku, jika biasanya berlaku meminta pengembalian maka boleh menuntut pengembalian dan jika tidak ada kebiasaan yang berlaku maka tidak boleh menuntut (hasyiyah syarwani) .
b. Dalam meminta pengembalian terdapat pentafsilan yaitu
–  Pertama ketika pemberian di terima langsung oleh pemilik acara atau panitia (orang yang mendapatkan izin) dengan memenuhi 3 syarat dalam hal ini (aljamal). Yaitu :

  1. Ketika memberikan barang atau uang di sertai dengan ucapan  seperti خُذْه (ambillah).
  2. Terdapat niat untuk di kembalikan.
  3. Kebiasaan di masyarakat dalam hal pengembalian harta tersebut.
  • Kedua ketika tidak di berikan secara langsung melainkan di titipkan ke tangan perias acara atau kotak uang khusus untuk menyumbang maka tidak bisa meminta pengembalian kecuali dengan 2 syarat yaitu niat meminta pengembalian dan terdapat syarat pengembalian.

Referensi


ابن حجر الهيتمي ,الفتاوى الفقهية الكبرى ج ٣ ص ٣٧٣ 
(وَسُئِلَ) نَفَعَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى بِهِ عَمَّا اُعْتِيدَ مِنْ إهْدَاءِ الطَّعَامِ وَالشَّرَابِ لِلثَّوَابِ بِأَنْ يُمْلَأَ ظَرْفَ الْهَدِيَّة وَيُرَدَّ وَإِنْ لَمْ يَفْعَلْ ذَلِكَ وَقَعَ الْعَتَبُ وَالذَّمُّ هَلْ يَحِلُّ تَنَاوُلُهُ أَوْ لَا؟
(فَأَجَابَ) بِقَوْلِهِ: مَذْهَبُنَا أَنَّ الْهِبَةَ بِقَصْدِ الثَّوَابِ يُوجِبُهُ، وَكَذَلِكَ هِبَةُ الْأَدْنَى لِلْأَعْلَى، وَإِنْ اُعْتِيدَ أَنَّهَا لَا تَكُونُ إلَّا لِطَلَبِ الْمُقَابَلَةِ وَالْهَدِيَّةِ كَالْهِبَةِ فِي ذَلِكَ، وَحِينَئِذٍ فَلَا عَمَلَ بِتِلْكَ الْعَادَةِ.
هَذَا بِالنِّسْبَةِ لِلْأَحْكَامِ الظَّاهِرَةِ، أَمَّا بِالنِّسْبَةِ لِمَنْ عَلِمَ أَوْ غَلَبَ عَلَى ظَنِّهِ مِنْ الْمُهْدِي أَوْ الْوَاهِبِ بِقَرَائِنِ أَحْوَالِهِ أَنَّهُ لَمْ يُهْدِ أَوْ يَهَبْ إلَّا لِطَلَبِ مُقَابِلٍ، فَلَا يَحِلُّ لَهُ أَكْلُ شَيْءٍ مِنْ هَدِيَّتِهِ أَوْ هِبَتِهِ، إلَّا إنْ قَابَلَهُ بِمَا يَعْلَمُ، أَوْ يَظُنُّ أَنَّهُ رَضِيَ بِهِ فِي مُقَابَلَةِ مَا أَعْطَاهُ، وَقَدْ صَرَّحَ الْأَئِمَّةُ فِي الْمُهْدِي حَيَاءً، وَلَوْلَا الْحَيَاءُ لَمَا أَهْدَى أَوْ خَوْفَ الْمَذَمَّةِ وَلَوْلَا خَوْفُهَا لَمَا أَهْدَى، بِأَنَّهُ يَحْرُمُ أَكْلُ هَدِيَّتِهِ لِأَنَّهُ لَمْ يَسْمَح بِهَا فِي الْحَقِيقَةِ، وَكُلُّ مَا قَامَتْ الْقَرِينَةُ الظَّاهِرَةُ عَلَى أَنَّ مَالِكَهُ لَا يَسْمَحُ بِهِ لَا يَحِلُّ تَنَاوُلُهُ وَقَدْ ذَكَرُوا فِي بَابِ الضِّيَافَةِ مِنْ ذَلِكَ فُرُوعًا لَا تَخْفَى

الباجوري ج ٢ ص ١٣٩
النقوط المعتاد فى الأفراح يجب رده كالدين ، ولدافعه المطالبه به ، ولا أثر للعرف إذا جرى بعدم الرد ، لأنه مضطرب فلا اعتبار به ، فكم من شخص يدفع النقوط ويريد رده إليه ويستحي به أن يطالب به 

Hasyiyah al-Bajuri ‘ala Syarh al-Allamah Ibn Qasim al-Ghazi ‘ala Matn Abi Syuja’, Jilid 2, halaman 139:

> “Nuqud (sumbangan) yang biasa diberikan dalam pesta pernikahan harus dikembalikan seperti utang. Pemberi berhak untuk menuntut pengembaliannya, dan adat yang berlaku mengenai tidak mengembalikan sumbangan tersebut tidak dianggap karena adat tersebut bersifat tidak konsisten dan tidak dapat dijadikan acuan. Sering kali orang yang memberikan nuqud sebenarnya mengharapkan agar dikembalikan kepadanya, tetapi merasa malu untuk memintanya kembali.”

 

Inti dari teks ini adalah bahwa dalam pandangan al-Bajuri, nuqud dalam konteks pernikahan memiliki status seperti utang yang harus dikembalikan, dengan hak bagi pemberi untuk menuntutnya, meskipun dalam praktik adat mungkin tidak selalu mengharuskan pengembalian tersebut.

 

الجمل، حاشية الجمل على شرح المنهج = فتوحات الوهاب بتوضيح شرح منهج الطلاب ج ٣ ص ٢٥٦
وَاَلَّذِي تَحَرَّرَ مِنْ هَذَا كُلِّهِ أَنَّهُ لَا رُجُوعَ فِي النُّقُوطِ الْمُعْتَادِ فِي الْأَفْرَاحِ أَيْ لَا يَرْجِعُ بِهِ مَالِكُهُ إذَا وَضَعَهُ فِي يَدِ صَاحِبِ الْفَرَحِ أَوْ فِي يَدِ مَأْذُونٍ إلَّا بِثَلَاثَةِ شُرُوطٍ أَنْ يَأْتِيَ بِلَفْظٍ كَخُذْهُ وَأَنْ يَنْوِيَ الرُّجُوعَ وَيَصْدُقَ هُوَ وَوَارِثُهُ فِيهَا وَأَنْ يُعْتَادَ الرُّجُوعُ فِيهِ وَإِذَا وَضَعَهُ فِي يَدِ الْمُزَيِّنِ وَنَحْوِهِ أَوْ فِي الطَّاسَةِ الْمَعْرُوفَةِ لَا يَرْجِعُ إلَّا بِشَرْطَيْنِ نِيَّةِ الرُّجُوعِ وَشَرْطِ الرُّجُوعِ اهـ. شَيْخُنَا ح ف
(قَوْلُهُ: كَالْإِنْفَاقِ) عَلَى اللَّقِيطِ وَانْظُرْ هَلْ الْوَاجِبُ
والله أعلم بالصواب

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *