WAKIL WALI NIKAH TIDAK MENYEBUTKAN IDENTITAS CANTIN WANITA KETIKA AKAD

Assalamualaikum.

Deskripsi Masalah:
Indonesia adalah negara yang kaya dengan keberagaman suku dan budaya. Setiap suku dan daerah memiliki adat istiadat yang berbeda, termasuk dalam cara berkomunikasi dan kebiasaan lainnya. Salah satu fenomena yang terjadi di masyarakat adalah perubahan identitas, khususnya dalam akad nikah, di mana nama calon pengantin dan nama orang tuanya diubah karena dianggap memiliki makna kurang baik menurut keyakinan tertentu setelah dilakukan perhitungan tertentu (dirubu’).

Studi Kasus:
Seorang perempuan bernama Lilik Surya Ningsih mengalami perubahan identitas saat akad nikah, baik nama dirinya maupun nama orang tuanya. Dalam proses akad, wali nikah tidak menyebutkan nama yang telah diubah, melainkan hanya memberikan isyarah saat akad dengan ungkapan, “Saya nikahkan kamu dengan perempuan ini.”

Pertanyaan:
Apakah akad nikah tersebut sah mengingat identitas calon pengantin perempuan telah diubah, namun wali nikah hanya memberikan isyarah tanpa menyebutkan nama yang telah diubah dalam akad?

Jawaban:

Wa’alaikumussalaam Warahmatullah Wabarakaatuh.

Hukumnya sah, mengubah nama sewaktu menikah, walau nama yang dirubah tidak disebutkan oleh wali , sedangkan wali menentukan/ isyaroh atau diniati bahwa kamu saya nikahkan dengan wanita ini.

بغية المسترشدين  ص  ٢٠٠
(مسألة: ش): غيرت اسمها ونسبها عند استئذانها في النكاح فزوّجها القاضي بذلك الاسم، ثم ظهر أن اسمها ونسبها غير ما ذكرته، فإن أشار إليها حال العقد بأن قال: زوّجتك هذه أو نوياها به صح النكاح سواء كان تغيير الاسم عمداً أو سهواً منه أو منها، إذ المدار على قصد الولي ولو قاضياً والزوج كما لو قال: زوّجتك هنداً ونويا دعداً عملا بنيتهما

Masalah :Ada seorang wanita dirubah namanya dan nasabnya dengan seizin wanita tersebut ketika menikah, lalu qodhi(hakim) menikahkan dia dengan nama itu, kemudian ketahuan bahwa nama dan nasabnya lain.
Jawab : Jika qodhi(hakim)memberi isyarah (dengan menunjuk, dsb) ketika aqad nikah, seperti : “Aku nikahkan kamu dengan wanita ini” , atau jika calon suami dan qodhi (hakim)melaksanakan akad nikah dengan diniati kepada wanita tersebut maka sah nikahnya, baik itu dengan sengaja ataupun tidak dalam merubah nama. Karena yang dihitung mempengaruhi sah ataupun tidaknya nikah adalah maksud dari zauj(calon mempelai laki-laki) dan wali (walaupun itu qodhi/hakim), seperti halnya seorang wali / qodhi(hakim) berkata : “Aku nikahkan kamu dengan Hindun” namun wali berniat Da’dun maka yang sah adalah pernikahannya dengan Da’dun karena sesuai dengan niatnya wali dan zauj. [Bughyatul Mustarsyidin halaman 200]. Wallaahu A’lam.

اعانة الطالبين ج ٣ ص ٢٨٠ – ٢٨١
قوله: وتعيين) بالرفع عطف على خلو، أي وشرط تعيين للزوجة بما يذكره حاصل من وليها (قوله: فزوجتك إحدى بناتي باطل) أي ما لم ينويا معينة، وإلا فلا يبطل، لما تقدم أن الكناية في المعقود عليه تصح (قوله: ولو مع الاشارة) أي للبنات اللاتي المزوجة إحداهن، بأن قال زوجتك إحدى بناتي هؤلاء أو إحدى هؤلاء البنات فإنه باطل للجهل يعين المزوجة، لا للمزوجة التي هي إحدى البنات، وإلا لنافى قوله بعد ويكفي التعيين بوصف أو إشارة. تأمل (قوله: ويكفي التعيين بوصف) ليس المراد به الوصف الاصطلاحي، وهو ما دل على معنى وذات: كقائم وضارب، بل المراد به المعنى القائم بغيره، سواء دل على ذات قائم بها ذلك المعنى أم لا، فهو أعم من الاصطلاحي (قوله: كزوجتك بنتي) تمثيل للتعيين بالوصف، ومثله الذي بعده (قوله: وليس له غيرها) قيد لا بد منه، فلو كان له بنت غيرها لا يكون قوله بنتي تعيينا فيكون باطلا (قوله: أو التي في الدار) أي أو قال زوجتك التي في الدار. وقوله وليس فيه، أي في الدار غيرها أي غير بنته، وهو قيد أيضا. فلو كان في الدار بنت أخرى غير بنته وقال زوجتك التي في الدار لا يكون تعيينا فيكون باطلا للابهام (قوله: أو هذه) أي أو قال زوجتك هذه وهي حاضرة (قوله: وإن سماها) أي المعينة بما ذكر، وهو غاية للاكتفاء بالتعيين بما ذكر: أي يكفي التعيين بما ذكر وإن سماها بغير اسمها، كأن قال زوجتك بنتي مريم والحال أن اسمها خديجة، أو قال زوجتك عائشة التي في الدار والحال أن اسمها فاطمة، أو قال زوجتك فاطمة هذه والحال أن اسمها زينب مثلا.

وإنما اكتفى بالتعيين بما ذكر مع تغيير الاسم لان كلا من البنتية والكينونة في الدار في المثالين الاولين وصف مميز، فاعتبر ولغا الاسم، ولان العبرة بالاشارة في الثالث، لا بالاسم، فكان كالعدم (قوله: بخلاف زوجتك فاطمة) أي بخلاف التعيين بالاسم فقط: كزوجتك فاطمة من غير أن تقول بنتي، فلا يكفي لكثرة الفواطم، وإن كان هذا الاسم هو اسمها في الواقع. وقوله إلا إن نوياها، أي نوى العاقدان بفاطمة بنته فيكفي عملا بما نوياه.

I‘ânatuth Thâlibîn jilid 3, halaman 280-281:

(Kata beliau: “dan harus ada penentuan”)Kata ini dalam bentuk rafa‘ (diangkat) sebagai ‘athaf (penghubung) dari kata khuluw (tidak ada sesuatu), yaitu bahwa di antara syarat sahnya akad nikah adalah adanya penentuan istri yang dilakukan oleh wali dengan sesuatu yang disebutkan.(Kata beliau: “Maka jika seseorang berkata, ‘Aku menikahkanmu dengan salah satu dari anak perempuanku’, maka hukumnya batal”)Maksudnya, jika ia tidak menentukan anak perempuan yang dimaksud, maka akadnya batal. Namun, jika keduanya (wali dan suami) telah meniatkan perempuan tertentu, maka tidak batal. Sebab, telah dijelaskan sebelumnya bahwa kiasan dalam objek akad itu sah.(Kata beliau: “Meskipun disertai dengan isyarat”)Yakni terhadap anak-anak perempuan yang salah satunya dinikahkan, misalnya ia berkata, “Aku menikahkanmu dengan salah satu dari anak-anak perempuanku ini” atau “salah satu dari anak-anak perempuan ini”. Maka akadnya tetap batal karena tidak ada penentuan siapa yang dinikahkan. Namun, bukan batal karena objek akadnya adalah “salah satu dari anak-anak perempuan”, sebab hal itu akan bertentangan dengan pernyataan beliau setelahnya: “Cukup dengan penentuan melalui sifat atau isyarat.” Pahami ini dengan baik.(Kata beliau: “Dan cukup dengan penentuan melalui sifat”)Yang dimaksud dengan “sifat” di sini bukanlah sifat dalam istilah ushul fiqh, yaitu sesuatu yang menunjukkan makna sekaligus zat, seperti kata “berdiri” atau “memukul”. Akan tetapi, yang dimaksud di sini adalah makna yang melekat pada sesuatu yang lain, baik menunjukkan zat yang memiliki makna tersebut atau tidak. Jadi, sifat di sini lebih umum dari definisi sifat dalam ilmu ushul fiqh.(Kata beliau: “Seperti perkataan ‘Aku menikahkanmu dengan anak perempuanku'”)Ini adalah contoh dari penentuan melalui sifat. Contoh lainnya adalah yang disebutkan setelahnya.(Kata beliau: “Dan ia tidak memiliki anak perempuan selainnya”)Ini adalah syarat yang harus ada. Jika ia memiliki anak perempuan lain, maka perkataan “anakku” tidak bisa menjadi bentuk penentuan, sehingga akad menjadi batal.(Kata beliau: “Atau yang berada di rumah”)Maksudnya, jika ia berkata, “Aku menikahkanmu dengan yang berada di rumah.”(Kata beliau: “Dan tidak ada selainnya di dalamnya”)Maksudnya, tidak ada perempuan lain di rumah selain anak perempuannya. Ini juga merupakan syarat. Jika di dalam rumah terdapat anak perempuan lain selain anaknya, lalu ia berkata, “Aku menikahkanmu dengan yang berada di rumah,” maka itu tidak bisa menjadi penentuan dan akadnya batal karena tidak jelasnya siapa yang dimaksud.(Kata beliau: “Atau ‘yang ini'”)Yakni jika ia berkata, “Aku menikahkanmu dengan yang ini,” sementara ia hadir di hadapannya.(Kata beliau: “Meskipun ia menyebutkan namanya”)Yakni meskipun ia menyebutkan nama yang berbeda dari nama sebenarnya. Ini menunjukkan bahwa penentuan dengan cara-cara di atas tetap sah meskipun nama yang disebutkan berbeda dari nama aslinya. Misalnya, jika ia berkata, “Aku menikahkanmu dengan anak perempuanku Maryam,” padahal namanya Khadijah. Atau ia berkata, “Aku menikahkanmu dengan Aisyah yang berada di rumah,” padahal namanya Fatimah. Atau ia berkata, “Aku menikahkanmu dengan Fatimah ini,” padahal namanya Zainab, misalnya.(Kata beliau: “Dan tetap sah meskipun terjadi perubahan nama”)Sebab, dalam dua contoh pertama, baik status sebagai “anak perempuan” maupun “keberadaannya di rumah” adalah sifat yang membedakan, sehingga nama dianggap tidak berpengaruh. Sedangkan dalam contoh ketiga, yang menjadi acuan adalah isyarat (menunjuk langsung), bukan nama, sehingga kesalahan penyebutan nama tidak berpengaruh.(Kata beliau: “Berbeda halnya dengan perkataan ‘Aku menikahkanmu dengan Fatimah'”)Yakni berbeda dengan penentuan yang hanya berdasarkan nama saja, seperti jika ia berkata, “Aku menikahkanmu dengan Fatimah,” tanpa menyebut “anakku”. Ini tidak cukup karena banyaknya orang bernama Fatimah, meskipun perempuan yang dimaksud memang bernama Fatimah dalam kenyataannya.(Kata beliau: “Kecuali jika keduanya meniatkannya”)Yakni jika kedua pihak (wali dan suami) meniatkan bahwa yang dimaksud dengan “Fatimah” adalah anak perempuannya, maka itu cukup. Dalam hal ini, niat keduanya menjadi acuan.

Berikut terjemahan teks dari I‘ânatuth Thâlibîn jilid 3, halaman 280-281:

(Kata beliau: “dan harus ada penentuan”)
Kata ini dalam bentuk rafa‘ (diangkat) sebagai ‘athaf (penghubung) dari kata khuluw (tidak ada sesuatu), yaitu bahwa di antara syarat sahnya akad nikah adalah adanya penentuan istri yang dilakukan oleh wali dengan sesuatu yang disebutkan.

(Kata beliau: “Maka jika seseorang berkata, ‘Aku menikahkanmu dengan salah satu dari anak perempuanku’, maka hukumnya batal”)
Maksudnya, jika ia tidak menentukan anak perempuan yang dimaksud, maka akadnya batal. Namun, jika keduanya (wali dan suami) telah meniatkan perempuan tertentu, maka tidak batal. Sebab, telah dijelaskan sebelumnya bahwa kiasan dalam objek akad itu sah.

(Kata beliau: “Meskipun disertai dengan isyarat”)
Yakni terhadap anak-anak perempuan yang salah satunya dinikahkan, misalnya ia berkata, “Aku menikahkanmu dengan salah satu dari anak-anak perempuanku ini” atau “salah satu dari anak-anak perempuan ini”. Maka akadnya tetap batal karena tidak ada penentuan siapa yang dinikahkan. Namun, bukan batal karena objek akadnya adalah “salah satu dari anak-anak perempuan”, sebab hal itu akan bertentangan dengan pernyataan beliau setelahnya: “Cukup dengan penentuan melalui sifat atau isyarat.” Pahami ini dengan baik.

(Kata beliau: “Dan cukup dengan penentuan melalui sifat”)
Yang dimaksud dengan “sifat” di sini bukanlah sifat dalam istilah ushul fiqh, yaitu sesuatu yang menunjukkan makna sekaligus zat, seperti kata “berdiri” atau “memukul”. Akan tetapi, yang dimaksud di sini adalah makna yang melekat pada sesuatu yang lain, baik menunjukkan zat yang memiliki makna tersebut atau tidak. Jadi, sifat di sini lebih umum dari definisi sifat dalam ilmu ushul fiqh.

(Kata beliau: “Seperti perkataan ‘Aku menikahkanmu dengan anak perempuanku'”)
Ini adalah contoh dari penentuan melalui sifat. Contoh lainnya adalah yang disebutkan setelahnya.

(Kata beliau: “Dan ia tidak memiliki anak perempuan selainnya”)
Ini adalah syarat yang harus ada. Jika ia memiliki anak perempuan lain, maka perkataan “anakku” tidak bisa menjadi bentuk penentuan, sehingga akad menjadi batal.

(Kata beliau: “Atau yang berada di rumah”)
Maksudnya, jika ia berkata, “Aku menikahkanmu dengan yang berada di rumah.”

(Kata beliau: “Dan tidak ada selainnya di dalamnya”)
Maksudnya, tidak ada perempuan lain di rumah selain anak perempuannya. Ini juga merupakan syarat. Jika di dalam rumah terdapat anak perempuan lain selain anaknya, lalu ia berkata, “Aku menikahkanmu dengan yang berada di rumah,” maka itu tidak bisa menjadi penentuan dan akadnya batal karena tidak jelasnya siapa yang dimaksud.

(Kata beliau: “Atau ‘yang ini'”)
Yakni jika ia berkata, “Aku menikahkanmu dengan yang ini,” sementara ia hadir di hadapannya.

(Kata beliau: “Meskipun ia menyebutkan namanya”)
Yakni meskipun ia menyebutkan nama yang berbeda dari nama sebenarnya. Ini menunjukkan bahwa penentuan dengan cara-cara di atas tetap sah meskipun nama yang disebutkan berbeda dari nama aslinya. Misalnya, jika ia berkata, “Aku menikahkanmu dengan anak perempuanku Maryam,” padahal namanya Khadijah. Atau ia berkata, “Aku menikahkanmu dengan Aisyah yang berada di rumah,” padahal namanya Fatimah. Atau ia berkata, “Aku menikahkanmu dengan Fatimah ini,” padahal namanya Zainab, misalnya.

(Kata beliau: “Dan tetap sah meskipun terjadi perubahan nama”)
Sebab, dalam dua contoh pertama, baik status sebagai “anak perempuan” maupun “keberadaannya di rumah” adalah sifat yang membedakan, sehingga nama dianggap tidak berpengaruh. Sedangkan dalam contoh ketiga, yang menjadi acuan adalah isyarat (menunjuk langsung), bukan nama, sehingga kesalahan penyebutan nama tidak berpengaruh.

(Kata beliau: “Berbeda halnya dengan perkataan ‘Aku menikahkanmu dengan Fatimah'”)
Yakni berbeda dengan penentuan yang hanya berdasarkan nama saja, seperti jika ia berkata, “Aku menikahkanmu dengan Fatimah,” tanpa menyebut “anakku”. Ini tidak cukup karena banyaknya orang bernama Fatimah, meskipun perempuan yang dimaksud memang bernama Fatimah dalam kenyataannya.

(Kata beliau: “Kecuali jika keduanya meniatkannya”)
Yakni jika kedua pihak (wali dan suami) meniatkan bahwa yang dimaksud dengan “Fatimah” adalah anak perempuannya, maka itu cukup. Dalam hal ini, niat keduanya menjadi acuan.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Slot demo https://mooc.unesa.ac.id/usutoto-4d/ slot online slot online akurat77 Demo Slot Pg Toto 4D https://wiki.clovia.com/ Slot Gacor Gampang Maxwin Slot77 Daun77 Daun77 slot thailand Daun77 slot77 4d Usutoto situs slot gacor Usutoto Usutoto slot toto slot Daun77 Daun77 Daun77 Akurat77 Akurat77 Akurat77 Akurat77 MBAK4D MBAK4D DWV99 DWV138 DWVGAMING METTA4D MBAK4D MBAK4D MBAK4D METTA4D DWV99 DWV99 MBAK4D MBAK4D MBAK4D SLOT RAFFI AHMAD METTA4D https://aekbilah.tapselkab.go.id/toto4d/ https://aekbilah.tapselkab.go.id/spaceman/ METTA4D METTA4D METTA4D demo slot MBAK4D METTA4D MINI1221 https://www.concept2.cz/ https://berlindonerkebab.ca/ togel malaysia sabung ayam online tototogel slot88 MBAK4D MBAK4D DWV138 METTA4D