DEWAN PIMPINAN PUSAT
IKATAN ALUMNI BATA-BATA

HUKUM MINTA SUMBANGAN AMAL PEMBANGUNAN MASJID/MADRASAH DIJALAN

Assalamualakum

Deskripsi Masalah:

Dalam beberapa tahun terakhir, pembangunan masjid semakin meningkat, sehingga panitia sering menggalang dana dengan berbagai cara agar pembangunan dapat segera terealisasi. Salah satu metode yang umum digunakan adalah meminta sumbangan di jalan raya atau tempat umum. Namun, dalam praktiknya, terdapat beberapa fenomena yang menimbulkan pertanyaan hukum, seperti:

  1. Sebagian petugas penggalang dana mengambil persentase dari hasil sumbangan sebagai upah. Misalnya, dalam satu hari mereka mengumpulkan Rp1.000.000, lalu 10% dari jumlah tersebut mereka ambil untuk diri sendiri.
  2. Seseorang meminta-minta di jalanan, padahal secara finansial ia termasuk orang yang mampu. Fenomena ini sering ditemui dalam kehidupan sehari-hari, di mana seseorang yang sebenarnya memiliki kecukupan harta tetap meminta sumbangan dengan alasan tertentu.

Pertanyaan:

a. Bagaimana hukum meminta sumbangan di jalan raya atau tempat umum, baik untuk kepentingan pembangunan masjid maupun kepentingan pribadi?

b. Bagaimana status hukum uang “persenan” yang diambil oleh petugas penggalang dana dari hasil sumbangan, baik untuk pembangunan masjid maupun madrasah?

Jawaban :

a. Boleh dengan syarat :

  1. Tidak ada Dloror(bahaya).
  2. Tidak Idza’ (menyakiti orang yang lewat baik fisik atau perasaan).
  3. Tidak ada fitnah (seperti memandang perempuan yang bukan mahrom-nya)
  4. Tidak ada تضييق (mempersempit jalan).

Referensi :

  1. Dalilul Falihin Juz I Hal . 375 – 376.
  2. Hawasyi Syarwani Juz VI Hal.216
  3. Nihayah Juz IV Hal 392.

السابع عن ابي سعيد الخدري رضي الله عنه عن النبي قال اياكم والجلوس فى الطرقات فقالوا : يا رسول الله ما لنا من مجالسنا نتحدث فيها ، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم فإذا أبيتم الا المجلس فاعطوا الطريق حقه . قالوا : وما حق الطريق يا رسول الله ؟ قال : غض البصر، وكف الأذى ، ورد السلام والأمر بالمعروف ، والنهي عن المنكر متفق عليه .(قال : غض البصر) أي كفه عن النطر ، (وكف الأذى) أي الإمتناع عن أذى المارة . وقال الحافظ فى فتح الباري أشار بالأول الى السلامة من التعرض للفتنة لمن يمر عليه من امرأة ونحوها .وبالثاني الى السلامة من الإحتقار والغيبة وبقوله (ورد السلام) الى اكرام المار (والأمر بالمعروف والنهي عن المنكر) الى الإستعمال جميع ما يشرع (متفق عليه ) اهـ (دليل الفالحين الجزء ١ ٣٧٥ – ٣٧٦ )

ويجوز الجلوس والوقوف به ولو لذمي لاستراحة ومعاملة ونحوهما كانتظار اذا لم يضيق على المارة لخبر لاضرر ولاضرار فى الإسلام وصح النهي عن الجلوس فيه لنحو حديث الا أن يعطيه حقه من غض بصر ومن أذى وأمر بالمعروف .اهـ (حواشي الشرواني الجزء ٦ ص ٣٢٦)

( منفعة الشارع ) الأصلية ( مرور ) فيه ( وكذا جلوس ) ووقوف ولو بغير إذن الإمام ( لنحو حرفة ) كاستراحة وانتظار رفيق ( إن لم يضيق ) على المارة فيه عملا بما عليه الناس بلا إنكار إهـ . (بجيرمي على المنهج الجزء ٣ ص ١٩٥ )

Hadis Ketujuh:
Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi ﷺ, beliau bersabda:

“Berhati-hatilah kalian dari duduk di jalan-jalan!”

Mereka (para sahabat) berkata, “Wahai Rasulullah, kami tidak bisa meninggalkan tempat duduk kami di mana kami biasa berbincang-bincang di dalamnya.”

Maka Rasulullah ﷺ bersabda, “Jika kalian tetap ingin duduk, maka berikanlah hak jalan.”

Mereka bertanya, “Apa hak jalan itu, wahai Rasulullah?”

Beliau menjawab, “Menahan pandangan, tidak mengganggu orang lain, menjawab salam, memerintahkan kebaikan, dan mencegah kemungkaran.” (Muttafaqun ‘alaih).

Penjelasan:
Sabda beliau (Menahan pandangan) maksudnya adalah menahan diri dari melihat sesuatu yang haram.

(Tidak mengganggu orang lain) maksudnya adalah tidak menyakiti para pejalan kaki.

Al-Hafizh dalam Fathul Bari menjelaskan bahwa pada perintah pertama (menahan pandangan), Rasulullah ﷺ memberi isyarat untuk menghindari fitnah akibat melihat wanita atau hal lain yang dapat menimbulkan godaan.

Pada perintah kedua (tidak mengganggu orang lain), beliau menunjukkan pentingnya menghindari penghinaan dan ghibah.

Dengan sabda beliau (Menjawab salam), beliau menekankan penghormatan kepada para pejalan kaki.

Dengan sabda beliau (Memerintahkan kebaikan dan mencegah kemungkaran), beliau menegaskan kewajiban menerapkan semua ajaran yang disyariatkan.

(Muttafaqun ‘alaih).

(Diriwayatkan dalam Dalilul Falihin, Juz 1, hlm. 375–376).

Diperbolehkan duduk dan berdiri di jalan, bahkan bagi non-Muslim dzimmi, untuk beristirahat, berdagang, atau keperluan lain seperti menunggu seseorang, selama tidak menghalangi pejalan kaki. Hal ini berdasarkan hadis “Tidak boleh ada mudarat dan tidak boleh menimbulkan mudarat dalam Islam.”

Hadis yang sahih melarang duduk di jalan kecuali jika memberikan haknya, seperti menahan pandangan, tidak mengganggu orang lain, serta memerintahkan kebaikan. (Hasyiyah Asy-Syarwani, Juz 6, hlm. 216).

(Manfaat Jalan Raya)
Pada dasarnya, manfaat utama jalan raya adalah sebagai tempat lalu lintas pejalan kaki. Namun, duduk dan berdiri di jalan juga diperbolehkan, bahkan tanpa izin dari pemerintah, untuk keperluan seperti berdagang, beristirahat, atau menunggu teman, selama tidak menghalangi pejalan kaki. Hal ini didasarkan pada kebiasaan masyarakat yang telah berlangsung tanpa ada penolakan. (Bujairimi ‘ala al-Minhaj, Juz 3, hlm. 195).

(الطريق النافذ لا يتصرف فيه بما يضر المارة ) ( قوله المارة ) أي جنسهم وسيعلم ما هنا وفي الجنايات ان الضرر المنفي مالا يصبر عليه مما لا يعتاد لا مطلقا إهـ حج وكتب عليه سم : يفهم منه انه لا إعتبار بما لا يصبر عليه مما إعتيد فليراجع إهـ. أقول والظاهر أنه غير مراد فيضر لأن عدم الصبر عليه عادة يدل على ان المشقة فيه قوية .( منهاج الطالبين مع حاشية الشبر مليسي على النهاية الجزء ٤ ٤٩٢ )

“(Jalan umum yang tembus tidak boleh digunakan dengan cara yang membahayakan para pejalan kaki.)”

(Sabda beliau “para pejalan kaki”) maksudnya adalah semua golongan mereka. Akan dijelaskan dalam pembahasan jinayah bahwa mudarat yang dilarang adalah sesuatu yang tidak dapat ditoleransi dan bukan hal yang sudah menjadi kebiasaan.

Al-Haj (pengarang) berkata, dan atasnya As-Sam menulis: “Dapat dipahami dari pernyataan ini bahwa sesuatu yang dapat ditoleransi karena sudah menjadi kebiasaan tidak dianggap sebagai mudarat. Maka hendaknya ditinjau kembali.”

Saya (penulis) mengatakan: Yang tampak adalah hal ini bukanlah maksud sebenarnya, karena sesuatu yang biasanya tidak dapat ditoleransi menunjukkan bahwa kesulitannya sangat berat.

(Minhaj At-Thalibin dengan Hasyiyah Asy-Syabramallisi ‘ala An-Nihayah, Juz 4, hlm. 392).

Namun jika meminta-minta untuk kepentingan  pribadi  bukan untuk kepentingan ( Masjid /mushollah dan madrasah) maka dalam hal ini diperinci

a) Haram jika kondisinya secara finansial termasuk orang yang mampu

b).Boleh  dengan catatan tidak ada dhoror  sebagaimana  keterangan diatas, Nabi ﷺ bersabda:

لَا تَحِلُّ الصَّدَقَةُ لِغَنِيٍّ وَلَا لِذِي مِرَّةٍ سَوِيٍّ

“Sedekah itu tidak halal bagi orang kaya dan orang yang masih kuat bekerja.” (HR. Abu Dawud, No. 1634; An-Nasa’i, No. 2598)

Juga dalam hadis lain:

مَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَسْأَلُ النَّاسَ حَتَّى يَأْتِيَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلَيْسَ فِي وَجْهِهِ مُزْعَةُ لَحْمٍ

“Seseorang yang terus meminta-minta kepada manusia, kelak pada hari kiamat dia akan datang dalam keadaan tidak ada sekerat daging pun di wajahnya.” (HR. Bukhari No. 1405 dan Muslim No. 1040)

Imam An-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim menjelaskan bahwa hadis ini menunjukkan larangan keras bagi orang yang meminta-minta tanpa alasan yang sah.

Bolehnya Mengemis dalam Keadaan Darurat 

Dalam Islam, keadaan darurat dapat mengubah hukum asal suatu perkara. Jika seseorang benar-benar dalam keadaan miskin dan tidak memiliki cara lain untuk bertahan hidup, maka meminta-minta diperbolehkan dengan syarat tidak berlebihan dan hanya sekadar memenuhi kebutuhan dasar. Rasulullah ﷺ bersabda:

إِنَّ الْمَسْأَلَةَ لَا تَحِلُّ إِلَّا لِأَحَدِ ثَلَاثَةٍ: لِرَجُلٍ تَحَمَّلَ حَمَالَةً، فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيبَهَا، ثُمَّ يُمْسِكُ، وَرَجُلٍ أَصَابَتْهُ جَائِحَةٌ اجْتَاحَتْ مَالَهُ، فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيبَ قِوَامًا مِنْ عَيْشٍ، وَرَجُلٍ أَصَابَتْهُ فَاقَةٌ حَتَّى يَقُومَ ثَلَاثَةٌ مِنْ ذَوِي الْحِجَا مِنْ قَوْمِهِ: لَقَدْ أَصَابَتْ فُلَانًا فَاقَةٌ، فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيبَ قِوَامًا مِنْ عَيْشٍ، فَمَا سِوَاهُنَّ مِنَ الْمَسْأَلَةِ يَا قَبِيصَةُ سُحْتٌ يَأْكُلُهَا صَاحِبُهَا سُحْتًا

“Meminta-minta itu tidak halal kecuali bagi tiga orang:

Seseorang yang menanggung hutang besar, maka ia boleh meminta hingga ia bisa melunasinya. Seseorang yang tertimpa musibah yang menghabiskan hartanya, maka ia boleh meminta sampai ia mendapatkan penghidupan yang layak. Seseorang yang tertimpa kemiskinan hingga tiga orang yang berakal dari kaumnya bersaksi bahwa dia memang miskin, maka ia boleh meminta sampai ia mendapatkan penghidupan yang layak.

Selain dari tiga hal itu, meminta-minta adalah haram, dan orang yang melakukannya berarti memakan harta haram.” (HR. Muslim No. 1044)

Jawaban : sub.b

Statusnya ongkosnya orang yang meminta amal untuk masjid:

Statusnya ujroh(upah)nya itu termasuk upah amal dari akad yang fasid (rusak). Alasannya ialah : sebab ongkosnya tidak di ketahui. Dengan akibat,bahwa upah tersebut harus disesuaikan dengan ujroh mitsil (ongkos sepadan), bila ongkosnya kurang maka harus ditambahi dan bila ongkosnya lebih maka dikembalikan pada fihak masjid.

Referensi :

Bughyatul Mustarsyidin Hal 168. Syarqowy Juz II Hal. 85 


انكسر مركب فى البحر فامر صاحبه ان كل من أخرج من المتاع شيئا فله ربعه مثلا فان كان المجعول عليه معلوما عند الجعيل بان شاهده قبل الغرق او وصفه له صح العقد واستحق المسمى والا فسد واستحق اجرة المثل ( بغية ص . ١٦٨ )

(والأجرة) أي وعلمهما بالأجرة فلا تصح الإجارة مع الجهل بها وتجب أجرة المثل بنحو أرضيك او ما ترى الا ما يسرك اولا تخشى من شيء ( الشرقاوي الجزء ٢/ ٨٥ ).


Sebuah kapal pecah di laut, lalu pemiliknya memerintahkan bahwa setiap orang yang berhasil menyelamatkan barang dari kapal akan mendapatkan seperempatnya, misalnya.

Jika barang yang dijanjikan tersebut sudah diketahui oleh pemberi janji—baik karena ia melihatnya sebelum tenggelam atau karena barang itu telah dideskripsikan kepadanya—maka akad tersebut sah, dan orang yang menyelamatkan barang berhak atas bagian yang telah ditentukan.

Namun, jika barang yang dijanjikan itu tidak diketahui oleh pemberi janji, maka akad menjadi tidak sah, dan orang yang menyelamatkannya hanya berhak atas upah sepadan (ujrah al-mitsl).

(Bughyah, hlm. 168).

“(Dan upah)” maksudnya adalah bahwa upah harus diketahui dengan jelas. Maka, akad ijarah (sewa-menyewa) tidak sah jika terdapat ketidakjelasan dalam besaran upah. Dalam kasus seperti ini, yang berlaku adalah pembayaran upah sepadan (ujrah al-mitsl), seperti dalam pernyataan: “Aku menyewakan kepadamu tanah ini dengan apa yang engkau anggap pantas,” atau “Aku menyewakan kepadamu tanpa ada kekhawatiran apa pun.”

(Syarh Asy-Syarqawi, Juz 2, hlm. 85).

KESIMPULAN

Adapun kesimpulan sebagaimana mujawwib telah jelaskan, bahwa hukum meminta sumbangan amal pembangunan masjid atau madrasah dijalan selama menuhi syarat-syarat tersebut, maka boleh tetapi sebaliknya jika tidak memenuhi persyaratan tersebut diatas maka tidak boleh, misalkan membahayakan pada pengendara sepeda atau mobil dan orang lain, menimbulkan fitnah dan menyakiti orang yang lewat baik fisik atau perasaan serta menyempitkan jalan ). Wallahu A’lam bisshowab.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *