
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
بسم الله الرحمن الرحيم
KAJIAN KITAB IBANAH AL-AHKAM KARYA ASSAYYID ALAWI BIN ABBAS AL-MALIKI
《JILID II (DUA)》
BAB ZAKAT FITRAH
HADITS KE 168
وَعَنْ أَبِي سَعِيدٍ اَلْخُدْرِيِّ رضي الله عنه قَالَ: ( كُنَّا نُعْطِيهَا فِي زَمَانِ اَلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم صَاعًا مِنْ طَعَامٍ, أَوْ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ, أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ, أَوْ صَاعًا مِنْ زَبِيبٍ. ) مُتَّفَقٌ عَلَيْه ِوَفِي رِوَايَةٍ: ( أَوْ صَاعًا مِنْ أَقِطٍ ) قَالَ أَبُو سَعِيدٍ: أَمَّا أَنَا فَلَا أَزَالُ أُخْرِجُهُ كَمَا كُنْتُ أُخْرِجُهُ فِي زَمَنِ رَسُولِ اَللَّهِ وَلِأَبِي دَاوُدَ: ( لَا أُخْرِجُ أَبَدًا إِلَّا صَاعًا )
Abu Said Al-Khudry Radliyallaahu ‘anhu berkata: Pada zaman Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam kami selalu mengeluarkan zakat fitrah satu sho’ makanan, atau satu sho’ kurma, atau satu sho’ sya’ir, atau satu sho’ anggur kering. Muttafaq Alaihi. Dalam suatu riwayat lain: Atau satu sho’ susu kering. Abu Said berkata: Adapun saya masih mengeluarkan zakat fitrah seperti yang aku keluarkan pada zaman Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam Dalam riwayat Abu Dawud: Aku selamanya tidak mengeluarkan kecuali satu sho’.
MAKNA HADIST
Kifarat, nisab dan kadar zakat merupakan perkara yang bersifat ta’abbudi, tidak ada ruang bagi akal untuk berperanan dalam masalah ini. Jika syariat telah menentukan suatu kadar tertentu, maka tidak boleh dikurangi, karena pengurangan itu bererti tidak mematuhi apa yang telah ditetapkan oleh syariat Islam sebagaimana Tidak boleh pula menambahkannya karena itu berarti membangkang terhadap hukum syariat. Oleh itu, Abu Sa’id (r.a) memprotes pendapat Mu’awiyah yang mengeluarkan zakat fitrah hanya setengah sha’ samara’ sebagai pengganti kepada satu sha’ jenis yang lainnya, karena perbuatan tersebut bertentangan dengan kebiasaan yang pernah berlaku pada zaman Nabi (s.a.w)
FIQH HADIST
- Disyariatkan mengeluarkan zakat fitrah sebanyak satu sha’ dari jenis-jenis
yang telah disebutkan di dalam hadis tersebut karena nashnya sudah jelas. - Zakat fitrah itu berupa makanan pokok kebanyakan penduduk negeri
setempat. Pada zaman Nabi (s.a.w) makanan pokok kebanyakan adalah buah kurma, gandum, keju, anggur kering, dan oat. Seandainya pada suatu negeri tidak terdapat jenis-jenis makanan pokok tersebut, maka itu boleh diganti dengan makanan pokok lain yang biasa dijadikan sebagai makanan
Pokok di negeri setempat, misalnya beras, jagung atau roti. - Keteguhan Abu Sa’id dalam mengikuti jejak Nabi (s.a.w).
- Boleh berijtihad karena ia merupakan aktivitas yang terpuji. Tetapi apabila
ada nash, maka ijtihad tidak dapat dijadikan sebagai pegangan.
Wallahu a'lam bisshowab..
Demikian Kajian Hadits untuk hari ini.
Semoga bermanfaat. Aamiin..