السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
بسم الله الرحمن الرحيم
KAJIAN KITAB IBANAH AL-AHKAM KARYA ASSAYYID ALAWI BIN ABBAS AL-MALIKI
《JILID II (DUA)》
KITAB JANAZAH
HADITS KE 108 :
عن أبي هريرة رضي الله عنه في قصة المرأة التي كانت تقم المسجد، قال فسأل عنها النبي صلى الله عليه وسلم فقالوا : ماتت فقال أفلا كنتم أذنتموني؟ فكأنهم صغروا أمرها، فقال دلوني على قبرها، فدلوا فصلى عليها. متفق عليه. وزاد مسلم ثم قال : أن هذه القبور مملوءة ظلمة على أهلها، وإن الله ينورها لهم بصلاتي عليهم
Dari Abu Hurairah (r.a) menceritakan seorang wanita yang bertugas membersihkan masjid, lalu Nabi (s.a.w) menanyakan dirinya (karena sudah lama tidak melihatnya: Mereka (para sahabat) menjawab: “Dia telah meninggal dunia.” Mendengar itu, Nabi (s.a.w) bersabda: “Mengapa kamu tidak memberitahunya kepadaku?” Mereka selama ini seakan-akan tidak menganggap penting wanita yang bertugas menyapu masjid itu, lalu Nabi (s.a.w) bersabda: “Tunjukkan kuburannya kepadaku di mana kuburnya.” Kemudian mereka menunjukkan kuburannya kepada Nabi (s.a.w) lalu baginda menyembahyangkannya di atas kuburannya itu.” (Muttafaq ‘alaih).
Muslim menambahkan bahwa setelah itu Nabi (s.a.w) bersabda:
“Sesungguhnya kegelapan menyelimuti penghuni kuburan ini dan sesungguhnya Allah memberikan cahaya kepada penghuni kuburan ini berkat sholatku ke atas mereka.”
MAKNA HADITS :
Inilah sikap rendah hati yang amat terpuji dan etika mulia yang diajarkan oleh Rasulullah (s.a.w) kepada para sahabatnya ketika baginda bertanya tentang pembantu wanita masjid. Baginda merasa sudah lama tidak melihat wanita itu meskipun dia tidak menjadi pembantu Nabi (s.a.w) secara peribadi, melainkan bertugas menjaga kebersihan masjid. Adakalanya rekan-rekan yang sebaya dengannya menganggap tugasnya sebagai sesuatu yang remih dan tidak berharga, namun menurut Nabi (s.a.w), tugasan itu mempunyai kedudukan yang mulia.
Sungguh suatu pelajaran besar yang diajarkan oleh Rasulullah (s.a.w) kepada para sahabatnya ketika baginda mengetahui bahwa mereka mengkebumikannya tanpa memberitahu terlebih dahulu kematiannya kepada baginda, sekalipun mereka pada hakikatnya tidak ingin menyibukkan Nabi (s.a.w) hanya kareqna seorang tukang sapu masjid meninggal dunia. Rasulullah (s.a.w) menegur mereka melalui sabdanya: “Tidak baik sikap seperti itu dilakukan oleh kamu. Jangan sekali-kali kamu mengulangi perbuatan yang sama. Mulai sekarang aku harus mengetahui setiap orang yang meninggal dunia diantara kamu tanpa melihat siapa itu orangnya selagi aku masih hidup1 di tengah-tengah kamu.”
Betapa kasih sayangnya engkau kepada umatmu, wahai Rasulullah. Betapa indahnya sopan santunmu kepada mereka. Perasaan sayangmu kepada kaum fakir miskin demikian kuat, semoga Allah membalasmu dengan imbalan yang setimpal.
Dari kisah ini nampak jelas satu fenomena yang menunjukkan betapa kasih sayang Nabi (s.a.w), karena baginda sudi melakukan sholat jenazah di atas kubur tukang sapu tersebut sesudah disholatkan oleh orang lain. Dengan demikian, ini merupakan cahaya di atas cahaya. Sholat untuk mayat merupakan syafaat dan do’a baginya, dan do’a Nabi (s.a.w) tidak ditolak. Wanita hitam ini ternyata beruntung memperoleh derajat yang paling tinggi sebagai satu kemuliaan baginya berkat amal kebaikan yang selama dia lakukan ketika berkhidmat menjadi tukang sapu masjid.
FIQH HADITS :
1. Rasulullah (s.a.w) adalah seorang yang bersifat rendah hati.
2. Rasulullah (s.a.w) senantiasa ingin menaikkan derajat umatnya, mencari
tau keadaan mereka, menunaikan hak-hak mereka dan mengutamakan
kemaslahatan mereka.
3. Membalas dengan do’a dan kasih sayang terhadap orang yang pernah
mengabdikan dirinya untuk kepentingan dan kemaslahatan kaum
muslimin.
4. Mengurus masjid dan membersihkannya.
5. Disyariatkan memberitahu kematian kepada orang banyak.
6. Galakkan menyaksikan jenazah orang sholeh.
7. Allah menyinari kuburan karena sholat Nabi (s.a.w) bagi para penghuninya, namun tidak bermaksud meniadakan syariat mengerjakan sholat jenazah di atas kuburan bagi orang selain baginda. Ulama berselisih pendapat syariat sholat jenazah di atas kuburan bagi orang yang belum menyembahyangkan jenazah sebelumnya. Imam al-Syafi’i dan Imam Ahmad mengakui bahwa disyariatkan sholat jenazah di atas kuburan bagi orang yang belum menyembahyangkan jenazah sebelumnya. Namun kedua ulama berselisih pendapat mengenai batasan waktu yang dibolehkan menyembahyangkannya di atas kuburan. Imam al-Syafi’i berkata: “Batasan maksimum adalah hingga satu bulan, karena Nabi (s.a.w) menyembahyangkan Ummu Sa’ad ibn Ubadah sesudah satu bulan dikebumikan. Imam Ahmad berkata: Batas maksimum ialah selagi tubuh
mayat masih belum hancur. Apabila tubuhnya telah hancur, maka tidak
boleh lagi mengerjakan sholat di atas kuburnya.” Tetapi Imam Ahmad
mempunyai pendapat yang lain yang mengatakan tidak ada batasan waktu
tertentu untuk mengerjakan sholat jenazah, karena tujuan sholat jenazah ialah mendo’akan mayat dan ini boleh dilakukan pada waktu-waktu tertentu. Mazhab Hanafi mengatakan bahwa mengkebumikan mayat yang dilakukan tanpa sholat jenazah hendaklah disembahyangkan selagi diyakini jenazahnya masih belum hancur, namun jika jenazahnya telah hancur, maka tidak perlu lagi disembahyangkan. Mazhab Maliki mengatakan bahwa barang siapa
yang dikebumikan tanpa disholatkan terlebih dahulu, maka jenazahnya
dikeluarkan semula, lalu disholatkan jika tidak dikawatirkan telah berubah.
Tapi jika diyakini telah berubah, maka disholatkan di atas kuburnya. Hal ini wajib selagi diyakini bahwa jenazahnya belum lagi hancur. Bagi mayat yang telah disholatkan, makruh melakukan sholat jenazah di atas kuburnya.
Mereka memberikan jawapan mengenai hadis ini bahwa masalah ini bersifat pesan tertentu dan tidak boleh diperlakukan secara umum. Dengan kata lain, menyembahyangkan jenazah wanita di atas kubur sebagaimana yang telah dilakukan oleh Rasulullah (s.a.w) merupakan satu keistimewaan tersendiri baginya.
Wallahu a’lam bisshowab..
Demikian Kajian Hadits untuk hari ini.
Semoga bermanfaat. Aamiin..