J039. HUKUM MENULIS NAMA DAN NASAB DI BATU NISAN

Masyarakat Indonesia terbiasa menulis nama, nasab jenazah, hari-tanggal lahir lengkap, dan hari-tanggal wafat lengkap berikut tahunnya pada patok kuburan atau nisan. Mereka biasanya menulis nama “fulan bin fulan” atau “fulanah binti fulan”.

Mereka awalnya menuliskan nama dan nasab jenazah pada nisan kayu. Ahli waris di kemudian hari bisanya mengabadikan tulisan nama dan nasab jenazah itu pada nisan yang terbuat dari batu.

Lalu bagaimana perihal penulisan nama dan nasab jenazah di atas kubur?

Ulama Mazhab Syafi’I menyatakan bahwa penulisan nama dan nasab jenazah pada patok kuburan atau papan nisan adalah tindakan makruh sebagaimana keterangan Syekh As-Syarbini dalam Al-Iqna’ berikut ini.

وَتُكْرَهُ الْكِتَابَةُ عَلَيْهِ) أَيْ عَلَى الْقَبْرِ وَلَوْ لِقُرْآنٍ بِخِلَافِ كِتَابَةِ الْقُرْآنِ عَلَى الْكَفَنِ فَحَرَامٌ؛ لِأَنَّهُ يُعَرِّضُهُ لِلصَّدِيدِ

Artinya, “(Makruh menulis sesuatu di atasnya), yaitu di atas kuburan sekali pun berisi ayat Al-Qur’an. Tetapi menulis ayat Al-Qur’an pada kain kafan adalah haram karena pontensi terkena dengan cairan proses penguraian ‘jenazah’,” (Lihat Al-Bujairimi, Tuhfatul Habib alal Khatib, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyyah: 1996 M/1417 H], cetakan pertama, juz II, halaman 567).

Menangapi keterangan As-Syarbini, Al-Bujairimi mngatakan bahwa penulisan di atas makam terbilang tindakan makruh dengan alas an ketiadaan hajat. Ketika penulisan di atas makam itu memiliki tujuan tertentu, Mazhab Syafi’i tidak memakruhkannya sejauh tindakan ini dilakukan sesuai kebutuhan.

وَمَحلُّ كَرَاهَةِ الْكِتَابَةِ عَلَى الْقَبْرِ مَا لَمْ يُحْتَجْ إلَيْهَا، وَإِلَّا بِأَنْ اُحْتِيجَ إلَى كِتَابَةِ اسْمِهِ وَنَسَبِهِ لِيُعْرَفَ فَيُزَارَ فَلَا يُكْرَهُ بِشَرْطِ الِاقْتِصَارِ عَلَى قَدْرِ الْحَاجَةِ

Artinya, “Letak kemakruhan membuat tulisan di atas kubur adalah karena ketiadaan hajat. Tetapi kalau misalnya ada hajat tertentu untuk menuliskan nama jenazah berikut nasabnya agar dapat dikenali lalu diziarahi suatu hari kelak, maka tidak makruh dengan syarat sebatas hajat tersebut,” (Lihat Al-Bujairimi, Tuhfatul Habib alal Khatib, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyyah: 1996 M/1417 H], cetakan pertama, juz II, halaman 567).

Ulama Mazhab Syafi’i bahkan menganjurkan penulisan nama para wali, ulama, dan orang saleh di atas makam mereka dengan maksud mudah diidentifikasi oleh masyarakat. Dengan demikian, dalam jangka waktu panjang ke depan masyarakat tidak kehilangan tanda untuk menziarahi makam-makam orang yang dianjurkan oleh agama untuk diziarahi.

لَا سِيَّمَا قُبُورُ الْأَوْلِيَاءِ وَالْعُلَمَاءِ وَالصَّالِحِينَ فَإِنَّهَا لَا تُعْرَفُ إلَّا بِذَلِكَ عِنْدَ تَطَاوُلِ السِّنِينَ. ا هـ

Artinya, “Terlebih lagi makam para wali, ulama, dan orang-orang saleh karena makam mereka takkan dapat diidentifikasi tanpa penanda melalui tulisan nama mereka dalam jangka waktu panjang tahunan,” (Lihat Al-Bujairimi, Tuhfatul Habib alal Khatib, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyyah: 1996 M/1417 H], cetakan pertama, juz II, halaman 567).

Dari pelbagai keterangan dapat disimpulkan bahwa penulisan nama dan nasab jenazah di atas makam boleh dilakukan agar makam tersebut mudah diziarahi di kemudian hari, terlebih lagi makam kedua orang tua, para wali, ulama, dan orang saleh.

Wallahu a‘lamu bisshowab..

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *