السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
بسم الله الرحمن الرحيم
KAJIAN KITAB IBANAH AL-AHKAM KARYA ASSAYYID ALAWI BIN ABBAS AL-MALIKI
《JILID KE II (DUA)》
BAB SHALAT JUM’AT
HADITS KE 19 :
وَعَنْ جَابِرِ بْنِ سَمُرَةَ رَضِيَ الله عَنْهُمَا, ( أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم كَانَ يَخْطُبُ قَائِمًا, ثُمَّ يَجْلِسُ, ثُمَّ يَقُومُ فَيَخْطُبُ قَائِمًا, فَمَنْ أَنْبَأَك َ أَنَّهُ كَانَ يَخْطُبُ جَالِسًا, فَقَدْ كَذَبَ ) أَخْرَجَهُ مُسْلِم ٌ
Dari Jabir Ibnu Samurah Radliyallaahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam berkhutbah dengan berdiri, lalu duduk, kemudian bangun dan berkhotbah dengan berdiri lagi. Maka barangsiapa memberi tahu engkau bahwa beliau berkhutbah dengan duduk, maka ia telah bohong. Dikeluarkan oleh Muslim.
MAKNA HADITS :
Khatib menyampaikan dua khutbah dalam keadaan berdiri dan duduk di antaranya merupakan perbuatan yang disyariatkan. Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa berdiri ketika menyampaikan dua khutbah hukumnya sunat. Sedangkan jumhur ulama mengatakan, wajib berdiri semasa menyampaikan kedua khutbah itu. Mereka mengatakan demikian karena berdalilkan dengan kebiasaan yang dilakukan oleh Nabi (s.a.w). Setiap perkara yang telah dijadikan sebagai kebiasaan
oleh Nabi (s.a.w) pada umumnya bermaksud hukum wajib. Sebaliknya setiap perkara yang tidak dibiasakan oleh baginda atau baginda malah meninggalkannya dalam keadaan atau waktu-waktu tertentu maka itu menunjukkan hukum tidak wajib. Rasulullah (s.a.w) bersabda:
صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي
“Solatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku mengerjakan sholat.”
Manakala hadis yang menyebutkan bahwa Nabi (s.a.w) pernah melakukannya dalam keadaan duduk, maka itu bukan ketika menyampaikan khutbah Jum’at.
Sedangkan hadis yang dinukil dari Mu’awiyah (r.a) yang menyatakan bahwa beliau pernah berkhutbah dalam keadaan duduk, maka itu karena beliau ketika itu mengalami udzur dimana tubuhnya sudah gemuk.
FIQH HADITS :
1. Menjelaskan bahwa sholat Jum’at terdiri dari dua khutbah, meskipun ulama berbeda pendapat mengenai hukumnya. Jumhur ulama mengatakan bahwa dua khutbah merupakan syarat sah bagi sholat Jum’at. Mereka mengatakan demikian karena berdalil dengan keterangan yang datang dari Nabi (s.a.w) dalam hadis sahih bahwa baginda senantiasa menyampaikan
khutbah setiap kali hendak mengerjakan sholat Jum’at. Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa khutbah sudah mencukupi hanya sekali, sedangkan khutbah yang kedua hukumnya sunat.
Ulama fiqih menyebutkan syarat dan rukun kedua khutbah meskipun sebagian darinya masih diperselisihkan. Mazhab Hanafi mengatakan bahwa rukun khutbah adalah kadar yang mencukupi untuk dikatakan sebagai khutbah; batasan minimumnya ialah tasbih, tahlil, atau tahmid, dan niat berkhutbah. Sedangkan syaratnya juga adalah hendaklah khutbah dilakukan pada waktunya yaitu sebelum mengerjakan sholat Jum’at dan dihadiri oleh sejumlah lelaki yang diperbolehkan mendirikan sholat Jum’at (yaitu tiga orang selain imam), antara khutbah dengan sholat Jum’at tidak dipisahkan oleh apapun.
Mazhab Maliki mengatakan bahwa rukun khutbah itu ada delapan
sebagai berikut:
a. Mengandung peringatan dan berita gembira;
b. dilakukan dengan menggunakan bahasa Arab;
c. diucapkan dengan suara kuat;
d. dilakukan sebelum mengerjakan sholat Jum’at;
e. dilakukan setelah tergelincir
matahari;
f. isi dan tajuk khutbah mestinya saling berkaitan antara satu sama
lain;
g. tidak ada pemisah antara khutbah dengan sholat Jum’at; dilakukan dengan dihadiri oleh jemaah yang dapat dijadikan syarat sahnya sholat Jum’at, yaitu dua belas orang lelaki selain imam;
h. dilakukan di dalam masjid.
Tetapi sebagian mazhab Maliki menyebut kesemua itu sebagai syarat.
Mazhab al-Syafi’i mengatakan bahwa rukun khutbah itu ada lima, yaitu:
a. dimulai dengan pujian kepada Allah (s.w.t)
b. membaca sholawat dan
salam ke atas Rasulullah (s.a.w) dan kerabatnya dengan lafaz yang telah ditentukan bukan sekadar makna;
c. berwasiat supaya bertakwa kepada Allah (s.w.t) dimana ketiga rukun ini harus ada pada kedua khutbah;
c. membaca ayat pada salah satu dari kedua khutbah itu;
d. berdo’a untuk kaum mukminin.
Sedangkan syarat khutbah menurut mazhab al-Syafi’i adalah sebagai berikut:
a. khutbah dilakukan dengan menggunakan bahasa Arab
b. dilakukan pada waktunya
c. kesemua rukun khutbah harus dikerjakan beriringan tanpa ada pemisah dan begitu juga diantara
kedua khutbah dengan sholat Jum’at
d. khatib hendaklah suci dari
hadas dan najis
e. khatib harus menutup aurat
f. khatib harus berdiri apabila mampu berbuat demikian
g. duduk diantara dua khutbah dengan thuma’ninah
h. khutbah diperdengarkan kepada empat puluh orang lelaki yang menjadi syarat sahnya sholat Jum’at.
Mazhab Hanbali mengemukakan seperti apa yang dikatakan oleh
mazhab al-Syafi’i, namun mereka menyebutnya sebagai syarat. Mereka menambahkan bahwa waktu khutbah boleh dimulai sejak waktu mengerjakan sholat hari raya dan khatib mestilah layak menjadi imam sholat Jum’at.
2. Disyariatkan berdiri ketika menyampaikan khutbah, meskipun ulama masih memperselisihi hukumnya. Menurut jumhur ulama, hukum berdiri ketika menyampaikan khutbah adalah wajib karena mereka melandasi pendapatnya dengan berdalilkan kepada hadis ini. Imam Abu Hanifah dan murid-muridnya serta satu riwayat dari Imam Ahmad mengatakan bahwa hukum berdiri ketika menyampaikan khutbah adalah sunat, karena berdalil dengan perbuatan Rasulullah (s.a.w) dan para khalifah sesudahnya, disamping semata perbuatan belum mencukupi untuk menunjukkan bahwa berdiri ketika menyampaikan khutbah adalah diwajibkan.
3. Disyariatkan duduk diantara dua khutbah. Menurut jumhur ulama, itu sunat, sedangkan menurut Imam al-Syafi’i, itu wajib. Imam al-Syafi’i menganggap sunat bahwa kadar duduk itu lebih kurang sama dengan membaca Surah al-Ikhlas, karena mengikut amalan dan tradisi ulama salaf dan ulama khalaf. Imam al-Syaf’ii berkata: “Hendaklah ketika khatib
sedang duduk diantara dua khutbah membaca ayat-ayat al-Qur’an karena mengikuti amalan yang pernah diamalkan oleh Nabi (s.a.w) sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh Ibn Hibban.”
Wallahu a’lam bisshowab..
Demikian Kajian Hadits untuk hari ini.
Semoga bermanfaat. Aamiin..