PERTANYAAN :
Assalamualaikum Ustadz..
Deskripsi masalah:
Di kampung kami terdapat seseorang pengusaha namun pada suatu saat usahanya bangkrut maka dalam upaya menggembangkan usahanya seperti semula maka ia menggadaikan sawahnya dengan tempo 2 Tahun, sementara lahan sawah yang digadaikan diambil manfaatnya oleh si pegambil gadai dengan ditanami padi atau yang lainnya.
Pertanyaannya:
Bagaimana hukumnya Si penerima gadai mengambil manfaat dari barang gadai? sementara pada awal taransaksi tidak ber syarat. (tidak ada ungkapan dimanfaatkan).
JAWABAN :
Waalaikumussalam warohmatullahi wabarokatuh..
Pada dasarnya hukum memanfaatkan barang gadaian tidak diperbolehkan. Akan tetapi jika syarat pemanfaatan tidak disebutkan dalam transaksi atau akad maka terjadi khilaf:
Dalam permasalahan semacam ini terdapat tiga pendapat dari para ulama Fiqh :
1. Haram : sebab termasuk hutang yang dipungut manfaatnya.
2. Halal : Bila tidak terdapat syarat pada waktu akad sebab menurut pendapat ulama fiqh yang masyhur adat yang berlaku di masyarakat tidak termasuk syarat.
3. Syubhat : (Tidak jelas halal haramnya) karena terjadi perselisihan pendapat dalam permasalahan ini.
Referensi :
الاشباه والنظائر ج ١ ص ١٩٢
و منها : لو عم في الناس اعتياد إباحة منافع الرهن للمرتهن فهل ينزل منزلة شرطه حتى يفسد الرهن قال الجمهور : لا و قال القفال : نعم
Jika sudah umum dikalangan masyarakat kebiasaan kebolehan memanfaatkan barang gadaian oleh pemilik gadai apakah kebiasaan tersebut sama dengan pemberlakuan syarat (kebolehan pemanfaatan) sampai barang yang digadaikan tersebut rusak ? Mayoritas Ulama menyatakan tidak sama sedang Imam ql-Qaffal menyatakan sama. [ Asybah wa an-Nazhooir I/192 ].
( و ) جاز لمقرض ( نفع ) يصل له من مقترض كرد الزائد قدرا أو صفة والأجود في الرديء ( بلا شرط ) في العقد بل يسن ذلك لمقترض…. وأما القرض بشرط جر نفع لمقرض ففاسد لخبر كل قرض جر منفعة فهو ربا
( قوله ففاسد ) قال ع ش ومعلوم أن محل الفساد حيث وقع الشرط في صلب العقد أما لو توافقا على ذلك ولم يقع شرط في العقد فلا فساد
Diperbolehkan bagi sipemberi pinjaman untuk memanfaatkan (sesuatu kelebihan) yang diperoleh dari si peminjam seperti pengembalian yang lebih baik ukuran ataupun sifat dan lebih baik pada pinjaman yang jelek asalkan tidak tersebutkan pada waktu akad sebagai persyaratan bahkan hal yang demikian bagi peminjam disunahkan (mengembalikan yang lebih baik dibandingkan barang yang dipinjamnya)
Adapun peminjaman dengan syarat boleh mengambil manfaat oleh peminjam maka hukumnya rusak/haram sesuai dengan hadits “semua peminjaman yang menarik sesuatu (terhadap yang dipinjamkanny maka termasuk riba”
حاشية إعانة الطالبين – (ج 3 / ص 65)
وأما القرض بشرط جر نفع لمقرض ففاسد لخبر كل قرض جر منفعة فهو ربا وجبر ضعفه مجيء معناه عن جمع من الصحابة ومنه القرض لمن يستأجر ملكه أي مثلا بأكثر من قيمته لأجل القرض إن وقع ذلك شرطا إذ هو حينئذ حرام إجماعا وإلا كره عندنا وحرام عند كثير من العلماء قاله السبكي (قوله: ففاسد) قال ع ش: ومعلوم أن محل الفساد حيث وقع الشرط في صلب العقد.أما لو توافقا على ذلك ولم يقع شرط في العقد، فلا فساد.اه.والحكمة في الفساد أن موضوع القرض: الارفاق، فإذا شرط فيه لنفسه حقا: خرج عن موضوعه فمنع صحته.(قوله: جر منفعة) أي شرط فيه جر منفعة. (قوله: فهو ربا) أي ربا القرض، وهو حرام (قوله: وجبر ضعفه) أي أن هذا الخبر ضعيف، ولكن جبر ضعفه.- أي قوى ضعفه – مجئ معناه – أي الخبر – وهو أن شرط جر النفع للمقرض مفسد للقرض.وعبارة النهاية: وروي – أي هذا الخبر – مرفوعا بسند ضعيف، لكن صحح الامام والغزالي رفعه، وروي البيهقي معناه عن جمع من الصحابة.اه.(قوله: ومنه القرض إلخ)أي ومن ربا القرض: القرض لمن يستأجر ملكه. (وقوله: أي مثلا) راجع للاستئجار – يعني أن الاستئجار ليس قيدا، بل مثالا.ومثله القرض، لمن يشتري ملكه بأكثر من قيمته.(وقوله: لاجل القرض) علة للاستئجار بأكثر من قيمته.
بغية المسترشدين – ( ص 221)
القرض الفاسد المحرم هو القرض المشروط فيه النفع للمقرض ، هذا إن وقع في صلب العقد ، فإت تواطآ عليه قبله ولم يذكر في صلبه أو لم يكن عقد جاز مع الكراهة كسائر حيل الربا الواقعة لغير غرض شرعي.
Perlu diketahui bahwa akad rahn (gadai), awal mulanya disyariatkan adalah untuk maksud menjaga kepercayaan dari orang yang memberi utang orang lain, bahwa utang tersebut akan dilunasinya tepat waktu.
لأن الرهن إيفاء الدين والإرتهان استيفاؤه
Artinya: “Karena sesungguhnya gadai berhubungan dengan pemenuhan utang, sementara menerima gadai berhubungan dengan cara meminta dipenuhinya utang.” (al-Kasâny, Badâi’ u al-Shanâi’ fi Tartîb al-Syarâi’, Beirut: Dâr al-Ma’rifah, tt., 6/135)
Berhubung utang tersebut nilainya besar sehingga sulit untuk melepaskannya/memberikannya kepada pihak pengutang bila tanpa disertai adanya jaminan, maka disyariatkanlah sistem gadai tersebut dengan ciri utama adanya barang gadai (marhûn) sebagai jaminan kepercayaan (li al-tautsiq). Berangkat dari sini, maka lalu muncul dua kondisi:
1. Bilamana utang dengan jaminan tersebut bisa ditunaikan/dilunasi tepat waktu
2. Bilamana utang dengan jaminan tersebut tidak bisa dilunasi dengan tepat waktu (molor)
Berangkat dari dua kondisi ini, lalu muncul tradisi yang berlaku (adat mutharid) akan boleh tidaknya pemanfaatan barang gadai.
Pertama, menurut ulama yang membolehkan dan alasan dasarnya (illat)
Ulama yang membolehkan pemanfaatan barang gadai ini juga dibagi dua, yaitu:
1. Boleh melalui jalan jual beli dengan janji bahwa barang akan dibeli kembali oleh orang yang menjual (pihak pengutang). Akad ini dinamakan akad sende. Para fuqaha’ menamainya dengan istilah bai’u-l ‘uhdah (transaksi jual beli dengan tempo) .
وَصُوْرَتُهُ اَنْ يَتَّفَقَ الْمُتَبَايِعَانِ عَلَى اَنَّ اْلبَائِعَ مَتَى اَرَادَ رُجُوْعَ الْمَبِيْعَ اِلَيْهِ اَتَى بِمِثْلِ الثَّمَنِ الْمَعْقُوْدِ عَلَيْهِ وَلَهُ اَنْ يُقَيَّدَ الرُّجُوْعَ بِمُدَّةٍ فَلَيْسَ لَهُ اْلفَكُّ اِلاَّبَعْدَ مُضِيِّهَا ثُمَّ بَعْدَ الْمُوَاطَأَةِ يُعْقِدَانِ عَقْدًا صَحِيْحًا بَلاَشَرْطٍ
Artinya: “Gambaran dari [akad bai’ul ‘uhdah] ini adalah kedua pihak penjual dan pembeli telah bersepakat apabila penjual sewaktu-waktu ingin menarik kembali barang yang telah dijual maka ia harus menyerahkan harga umumnya (tsaman mitsil-nya) ia boleh membatasi untuk penarikan kembali barang yang sudah dijual itu dengan suatu masa tertentu sehingga ia tidak boleh lepas kecuali telah melewati masa itu, kemudian setelah terjadi serah terima kedua penjual dan pembeli itu melakukan transaksi dengan transaksi yang sah tanpa ada satu syarat.” (Abdullah Ba’alawy, Bughyatu al-Mustarsyidin, Surabaya: Al-Hidayah, tt., 133).
2. Boleh dengan syarat adanya izin atau diduga pasti diizinkan oleh pihak yang menggadaikan (râhin). Untuk pendapat yang kedua ini berlaku syarat bahwa kebolehan pemanfaatan tersebut tidak disyaratkan sebelumnya oleh penerima gadai (al-murtahin) saat terjadinya akad (fi shulbi al-‘aqdi). Apabila berlaku pemanfaatan tersebut disyaratkan saat aqad ditetapkan, maka tidak syak lagi bahwa pemanfaatan tersebut adalah masuk unsur riba. Namun, bila tidak disyaratkan saat berlangsungnya akad, maka hal tersebut tidak disebut sebagai riba. (Al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islâmy wa Adillatuh, Kairo: Dâr al-Fikr, tt., Juz 5: 258)
بغية المسترشدين – ( ص 221)
القرض الفاسد المحرم هو القرض المشروط فيه النفع للمقرض ، هذا إن وقع في صلب العقد ، فإت تواطآ عليه قبله ولم يذكر في صلبه أو لم يكن عقد جاز مع الكراهة كسائر حيل الربا الواقعة لغير غرض شرعي.
Kedua, menurut ulama yang tidak membolehkan
Ulama yang tidak membolehkan pemanfaatan barang yang digadaikan ini pada dasarnya beralasan bahwa mengambil manfaat terhadap barang jaminan, adalah sama dengan mengambil manfaat terhadap utang. Dan ini masuk lingkup bahasan yang kedua sebagaimana di atas. Jadi, letak illatnya adalah pada keberadaan syarat pemanfaatan. Jika disyaratkan saat akad, maka hukumnya tidak boleh, dan bila tidak ada syarat sebelumnya serta diduga ada izin sebelumnya dari pihak penggadai, maka hukumnya menjadi boleh. (Al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islâmy wa Adillatuh, Kairo: Dâr al-Fikr, tt., Juz 5: 258)
Inti utama kewajiban dari pemberi utang/penerima gadai adalah menjaga agar barang yang dijadikan jaminan untuk gadai tidak mengalami rusak akibat disia-siakan. Misalnya, yang digadaikan adalah berupa hewan ternak perah. Bila tidak diperah susu hewan tersebut, justru akan berakibat pada kesehatan hewan. Maka dalam hal ini, memerah susu hewan gadai hukumnya menjadi wajib bagi murtahin (penerima gadai) karena apabila dibiarkan justru bisa berakibat pada itlâf (kerusakan) serta tadlyî’u al-amwâl (menyia-nyiakan harta).
Sama posisinya dalam hal ini adalah tanah. Bilamana tanah itu adalah berupa tanah persawahan atau tanah ladang, membiarkannya tidak dikelola, justru dapat berakibat pada rusaknya struktur tanah dan bahkan bisa berubah fungsi. Yang asalnya merupakan tanah ladang, karena tidak dikelola dapat berubah menjadi tanah liar dipenuhi semak belukar.
Kondisi perubahan fungsi ini bisa dipahami sebagai itlâf atau tadlyi’u al-amwal. Hukumnya justru haram membiarkannya bahkan wajib mengelolanya sehingga tetap terjaga fungsinya. Sekali lagi kunci utamanya adalah pemanfaatan tersebut tidak disyaratkan di awal dan ada izin atau diduga pasti diizinkan oleh orang yang menggadaikan.
Bilamana tidak ada izin atau tidak ada tanda-tanda diizinkan oleh penggadai, maka tugas murtahin adalah menjaga tetapnya fungsi dan sekaligus kondisi barangnya. Di saat pihak penerima gadai melakukan perawatan atau penjagaan fungsi dari barang yang digadaikan, maka ia berhak menerima upah (ujrah) perawatan. Hal ini sama dengan bilamana barang yang digadaikan adalah berupa hewan. Merawat dan mencarikan rumput bagi hewan tersebut merupakan illat bisanya murtahin menerima upah atau keuntungan.
Apa yang barusan kita jelaskan di muka, ketentuannya juga bisa berlaku pada kendaraan. Namun, ada dua hal yang penting dan harus diperhatikan adalah bahwa:
1. Bilamana terjadi kerusakan pada barang yang digadaikan akibat dibiarkan itlaf (rusak) sebab tidak dirawat maka pihak murtahin harus memberikan ganti rugi (dlamman).
2. Demikian pula rusaknya barang gadai yang disebabkan karena pemanfaatan di luar ketentuan menjaga fungsinya agar tetap normal, maka pihak murtahin juga harus memberikan ganti rugi.
Kerusakan pada barang gadai – di luar dua ketentuan ini – sepenuhnya adalah tanggung jawab râhin (pihak penggadai). (Al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islâmy wa Adillatuh, Kairo: Dâr al-Fikr, tt., Juz 5: 259)
Menyewakan Sawah yang Digadaikan
Setiap barang adalah sah disewakan manakala barang tersebut sah untuk dijual. Semua barang yang sah dijual adalah harus berupa barang ‘milik’ atau ‘mendapatkan amanah’ untuk menjualkan dari pemilik asli barang. Sementara itu, dalam gadai, barang yang digadaikan (al-marhun) adalah masih tetap milik penggadai (râhin). Jadi, dalam hal ini tidak ada perpindahan status kepemilikan dari râhin kepada murtahin. Walhasil, barang yang digadaikan tidak sah disewakan, apalagi dijual dan ini adalah hukum asalnya.
Masalahnya kemudian adalah bahwa penerima gadai (murtahin) ‘wajib’ menjaga fungsi dari barang yang digadaikan. Dan ini kita sepakati.
Lantas, bagaimana bila murtahin tidak bisa sendiri dalam menjaga fungsi barang tersebut. Bolehkah ia menyuruh orang yang diupah? Sudah pasti dalam hal ini adalah boleh dengan besar ongkos pertanggungan upahnya (ujrah) adalah dibebankan kepada râhin (Al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islâmy wa Adillatuh, Kairo: Dâr al-Fikr, tt., Juz 5: 259).
ج: ٦ ص: ٤٢٨٧
أولاً ـ انتفاع الراهن بالرهن: هناك في انتفاع الراهن بالرهن
رأيان: رأي الجمهور غير الشافعية بعدم جواز الانتفاع. ورأي الشافعية بجوازه ما لم يضر بالمرتهن (1).وتفصيل الأقوال فيما يأتي:
1 – قال الحنفية (2): ليس للراهن أن ينتفع بالمرهون استخداماً أو ركوباً أو لبساً أو سكنى وغيرها، إلا بإذن المرتهن، كما أنه ليس للمرتهن الانتفاع بالرهن إلا بإذن الراهن، ودليلهم على الحالة الأولى: أن حق الحبس ثابت للمرتهن على سبيل الدوام، وهذا يمنع الاسترداد. فإن انتفع الراهن من غير إذن المرتهن، فشرب لبن البقرة المرهونة، أو أكل ثمر الشجر المرهون، ونحوهما، ضمن قيمة ما انتفع به؛ لأنه تعدى بفعله على حق المرتهن، وتدخل القيمة التي هي بدل الاستهلاك في حبس المرتهن للرهن، ويتعلق بها الدين.
وإذا استعاد الراهن الرهن لاستعماله بدون إذن المرتهن، فركب الدابة المرهونة، أو لبس الثوب المرهون، أو سكن الدار المرهونة أو زرع الأرض، ارتفع ضمان المرتهن للرهن، وكان غاصباً للرهن، فيرد إلى المرتهن جبراً عنه. وإذا هلك في يده هلك عليه. فإن لم يترتب على انتفاع الراهن بالرهن رفع يد المرتهن، فله الانتفاع به، كإيجار آلة يشغلها المرتهن، مثل آلة طحن ونحوه، فأجر ما تطحنه حينئذ للراهن؛ لأن نماء الرهن وزوائده للراهن (3)، وإذا أخذه المرتهن احتسب من دينه. وهذا المذهب مبني على أن الرهن يلحق الزيادة المتولدة من الرهن متصلة أو منفصلة عنه.
(1) الإفصاح: 238/ 1.
(2) البدائع: 146/ 6، الدر المختار: 342/ 5 ومابعدها.
(3) الدر المختار: 370/ 5.
Sampai di sini, bilamana perawatan fungsi sawah tersebut harus menyuruh orang lain yang diupah, dan sebagai wasilah perawatannya adalah tanah tersebut harus ditanami, maka milik siapakah hasil tanaman tersebut? Dalam hal ini, kita mengambil qiyas dengan hasil perahan susu hewan yang digadaikan. Bilamana susu tersebut dijual, maka hasil susu tersebut milik siapa? Karena hewan yang diperah adalah milik penggadai (râhin), maka susu hasil perahan tersebut adalah milik râhin, dan bisa digunakan untuk menggaji orang yang memerah dan sekaligus membayar biaya perawatan, yang pengelolaannya diserahkan kalkulasinya kepada murtahin.
Kondisi yang sama bisa berlaku pada sawah. Bilamana penjagaan fungsi sawah harus dengan jalan menanami, maka hasil tanaman sawah hakikatnya adalah milik râhin dan bisa diambil oleh murtahin untuk menggaji orang yang merawat fungsinya melalui mekanisme pemberian ujrah. Dan bila yang merawat adalah murtahin sendiri, maka murtahin bisa memungut tagihan ke rahin atau mengambil upah dari hasil perawatan dengan seizin râhin.
Wah, jika demikian berlakunya, bukankah itu sama saja dengan boleh disewakan? Sekali lagi, tugas murtahin adalah menjaga fungsi barang yang digadaikan agar tidak rusak. Meskipun, dalam menjaga fungsi tersebut memang ada mekanisme yang hampir sama dengan sewa menyewa.
Yang jelas, boleh bagi murtahin untuk mengongkosi orang guna menjaga fungsinya. Hasil perawatan adalah milik penggadai (râhin), dikelola oleh penerima gadai (murtahin). Perawatnya berhak menerima akumulasi upah (ujrah). Syarat ujrah itu harus maklum dan tidak boleh memakai taksiran berupa hasil tanaman menjadi milikmu semua. Seperti ini adalah tidak boleh.
Wallahu a’lamu bisshowab..