DEWAN PIMPINAN PUSAT
IKATAN ALUMNI BATA-BATA

M017. HUKUM KERJASAMA PENGEMBANGAN HEWAN TERNAK (Madura: Maghadhu/Maparon)

Pertanyaan :
Assalamu’alaikum Ustadz.
Bagaimana hukumnya maparon/maghadu sapi atau kambing, dan termasuk akad apakah itu?

Jawaban :
KEPUTUSAN PENGURUS BESAR MUKTAMAR NASIONAL (Pada tanggal 21-25 Syawal 1379 H. /18-22 April M. di Jakarta) menyatakan bahwa hukum akad tersebut TIDAK SAH sebab anak dan tambahan itu bukan dari pekerjaan pemeliharaan tersebut.

تتمة لو أعطى شخص آخر دابة ليعمل عليها أو يتعهدها وفوائدها بينهما لم يصح العقد لأنه في الأولى يمكنه إيجار الدابة فلا حاجة إلى إيراد عقد عليها فيه غرر وفي الثانية الفوائد لا تحصل بعمله ولو أعطاها له ليعلفها من عنده بنصف درها ففعل ضمن له المالك العلف وضمن الآخر للمالك نصف الدر وهو القدر المشروط له لحصوله بحكم بيع فاسد ولا يضمن الدابة لأنها غير مقابلة بعوض وإن قال لتعلفها بنصفها ففعل فالنصف المشروط مضمون على العالف لحصوله بحكم الشراء الفاسد دون النصف الآخر

Pungkasan
Jika ada orang lain memberikan seekor ternak untuk dipekerjakan atau di pelihara dan keuntungannya untuk mereka berdua (si pemilik ternak dan pengembala) maka akadnya TIDAK SAH, Karena pada contoh yang pertama menyewakan hewan, maka tidak ada hajat (tidak perlu) mendatangkan aqad lagi atas hewannya yang dapat mengandung ghoror/penipuan. Sedang pada contoh yang kedua keuntungan-keuntungan tersebut tidak bisa diperoleh hanya dengan mengerjakannya. Seandainya seseorang memberikan hewan piaraannya kepada orang lain untuk dipekerjakan dengan memperoleh separoh separo susunya dan orang tersebut kemudian mengerjakannya, maka si pemilik harus menjamin pakannya sedangkan pihak pekerjanya mengambil separoh dari susu tersebut.  Itulah ukuran yang disyaratkan, karena si pekerja mendapatkan keuntungan berdasarkan transaksi yang rusak, Ia juga tidak dibebani untuk menanggung hewan ternak tersebut karena hewan tidak bisa di nilai imbalannya. Jika pemilik berkata “Agar anda memberi pakan dengan imbalan, anda mendapatkan separoh dari hasilnya” kemudian si pengembala melaksanakan, separoh dari yang disyaratkan itu menjadi tanggungan pemberi pakan sebagai konsekuensi yang rusak untuk memberikan separoh hasilnya pada pemilik ternak.
[ Iqna Li as-Syarbiiny II/356 ].

Aqad gaduh sapi bagaimana caranya agar boleh secara fiqh ? Akad gaduh yang berlaku di masyarakat, misal A titip sapi pada B, kelak jika sapi dijual dan ada keuntungan dibagi dua, jika tidak ada keuntungan maka B tidak dapat bagian apapun.

Apabila yang dijanjikan itu adalah membagi keuntungan dari hasil penjualan (ribhi), maka hal itu termasuk qirod fasid, menurut ulama Tsalasah. Apabila yang dimaksud menyewa orang, dengan ongkos membagi hasil, maka dinamakan ijaroh fasidah, yang mempunyai sapi wajib memberi ongkos misil (umum) kepada orang tersebut (amil).

Dasar Pengambilan :

– Al-Muhadzab juz I, Hlm. 392 :

فَصْلٌ: وَلاَ يَصِحُ (القِراَضُ) إِلاَّ عَلَى اْلأَثْماَنِ وَهِيَ الدَّراَهِمُ وَالدَّناَنِيْرُ فَأَماَّ ماَ سِواَهُماَ مِنَ الْعُرُوْضِ وَالْعَقاَرِ وَالسَّباَئِكَ وَالْفُلُوْسِ فَلاَ يَصِحُ القِراَضُ عَلَيْهاَ.

(Fasal): Tidak sah Qirodl (bagi hasil) kecuali atas atsman (yang bernilai) yaitu, Dirham dan Dinar, adapun selain keduanya, seperti benda, tanah, barang produksi, fulus (uang logam) maka tidak sah Qirodl (bagi hasil) atasnya.

– Al-Mizan, Juz II, Hlm. 88 :

قَالَ وَأَمَّا مَا اخْتَلَفُوْا فِيْهِ (القِرَاضِ) فَمِنْ ذَلِكَ قَوْلُ مَالِكَ وَالشَّافِعِىِّ وَأَحْمَدَ: إِنَّهُ لَوْأَعْطَاهُ سِلْعَةً وَقَالَ لَهُ بِعْهَا وَاجْعَلْ ثَمَنَهَا قِرَاضاً فَهُوَ قِراَضٌ فاَسِدٌ مَعَ قَوْلٍ أَبِى حَنيِفَةَ إِنَّهُ قِراَضٌ صَحِيْحٌ، فاَلأَوَّلُ مُشَدَّدٌ وَالثَّانِ مُخَلَّفٌ…الخ

Adapun permasalahan yang dipertentangkan (Qirodl / bagi hasil) diantaranya pendapat imam Malik, imam Syafi’i dan imam Ahmad: Sesungguhnya apabila seseorang memberikan harta benda dan berkata kepada penerimanya “Juallah ini dan hasilnya kau jadikan Qirodl”, maka itu dinamakan Qirodl fasid (bagi hasil yang rusak). Pendapat yang pertama adalah pendapat yang berat sedangkan yang kedua, adalah pendapat yang ringan.

Aqad tersebut tidak sah, sebab anak sapi itu bukan dari pekerjaan pemelihara tersebut.

Tuhfatu al-Habib ‘Ala Syarhi al-Iqna al-Bujairimi, Juz III, Hlm. 179 :

وَلَوْ قَالَ شَخْصٌ لآخَرَ سَمِّنْ هَذِهِ الشَّاةَ وَلَكَ نِصْفُهاَ أَوْ هاَتَيْنِ عَلىَ أَنَّ لَكَ إِحْداَهُماَ لَمْ يَصِحَّ ذَلِكَ وَاسْتَحَقَّ أُجْرَةَ المِثْلِ لِلنَّصْفِ الذِّى سَمَنَّهُ لِلْماَلِكِ.

Apabila ada orang berkata kepada orang lain: gemukkan kambing ini! Kamu saya beri komisi separo dari laba penjualan, atau berkata: gemukkan dua kambing ini! Kamu saya beri yang satu, maka tidak sah. Dan ia mendapat ongkos misil (umum), sedang hasilnya semua dimiliki yang punya kambing.

Sistem menggaduhkan hewan hukumnya tidak sah kecuali dgn cara nadzar, hibah dan hadiah, ato taqlid pada pendapat yang memperbolehkan dari sebagian madzhab Hanbaliy. [ syarah al kabir ala matni al miqna’ 6/19 – 20 ].

Solusinya dinadzarkan ato hibah dan ato taqlid pada sebagian pendapat dari kalangan madzhab Hanbaliy.

Sistem menggaduhkan hewan hukumnya tidak sah, karena tidak jelasnya besaran ujroh bagi pemeliharanya. Solusinya dinadzarkan atau hibah dan atau taqlid pada sebagian pendapat dari kalangan madzhab Hanbaliy, sebagaimana ta’bir yang disampaikan gus Hasyim Thoha dan Imam Ghozaliy.

Apabila yang dijanjikan itu adalah membagi keuntungan dari hasil penjualan (ribhi), maka hal itu termasuk qirod fasid, menurut ulama Tsalasah. Apabila yang dimaksud menyewa orang, dengan ongkos membagi hasil, maka dinamakan ijaroh fasidah, yang mempunyai sapi wajib memberi ongkos misil (umum) kepada orang tersebut (amil).

Dasar Pengambilan :

Al-Muhadzab juz I, Hlm. 392 :

فَصْلٌ: وَلاَ يَصِحُ (القِراَضُ) إِلاَّ عَلَى اْلأَثْماَنِ وَهِيَ الدَّراَهِمُ وَالدَّناَنِيْرُ فَأَماَّ ماَ سِواَهُماَ مِنَ الْعُرُوْضِ وَالْعَقاَرِ وَالسَّباَئِكَ وَالْفُلُوْسِ فَلاَ يَصِحُ القِراَضُ عَلَيْهاَ.

(Fasal): Tidak sah Qirodl (bagi hasil) kecuali atas atsman (yang bernilai) yaitu, Dirham dan Dinar, adapun selain keduanya, seperti benda, tanah, barang produksi, fulus (uang logam) maka tidak sah Qirodl (bagi hasil) atasnya.

Al-Mizan, Juz II, Hlm. 88 :

قَالَ وَأَمَّا مَا اخْتَلَفُوْا فِيْهِ (القِرَاضِ) فَمِنْ ذَلِكَ قَوْلُ مَالِكَ وَالشَّافِعِىِّ وَأَحْمَدَ: إِنَّهُ لَوْأَعْطَاهُ سِلْعَةً وَقَالَ لَهُ بِعْهَا وَاجْعَلْ ثَمَنَهَا قِرَاضاً فَهُوَ قِراَضٌ فاَسِدٌ مَعَ قَوْلٍ أَبِى حَنيِفَةَ إِنَّهُ قِراَضٌ صَحِيْحٌ، فاَلأَوَّلُ مُشَدَّدٌ وَالثَّانِ مُخَلَّفٌ…الخ

Adapun permasalahan yang dipertentangkan (Qirodl/bagi hasil) diantaranya pendapat imam Malik, imam Syafi’i dan imam Ahmad: Sesungguhnya apabila seseorang memberikan harta benda dan berkata kepada penerimanya “Juallah ini dan hasilnya kau jadikan Qirodl”, maka itu dinamakan Qirodl fasid (bagi hasil yang rusak). Pendapat yang pertama adalah pendapat yang berat sedangkan yang kedua, adalah pendapat yang ringan.

Aqad tersebut tidak sah, sebab anak sapi itu bukan dari pekerjaan pemeliharatersebut.

Dasar Pengambilan :

Al-Bujairimi ala al-Iqna’, Juz III, Hlm. 115

تَتِمَّةٌ: لَوْ أَعْطَى شَخْصٌ آخَرَ دَابَّةً لِيَعْمَلَ عَلَيْهَا، أَوْ يَتَعَهَّدَهَا وَفَوَائِدُهَا بَيْنَهُمَا لَمْ يَصِحَّ الْعَقْدُ؛ ِلأَنَّهُ فِي اْلأُولَى يُمْكِنُهُ إيجَارُ الدَّابَّةِ فَلاَ حَاجَةَ إلَى إيرَادِ عَقْدٍ عَلَيْهَا فِيهِ غَرَرٌ، وَفِي الثَّانِيَةِ الْفَوَائِدُ لاَ تَحْصُلُ بِعَمَلِهِ . وَلَوْ أَعْطَاهَا لَهُ لِيَعْلِفَهَا مِنْ عِنْدِهِ بِنِصْفِ دَرِّهَا فَفَعَلَ ضَمِنَ لَهُ الْمَالِكُ الْعَلَفَ، وَضَمِنَ اْلآخَرُ لِلْمَالِكِ نِصْفَ الدَّرِّ وَهُوَ الْقَدْرُ الْمَشْرُوطُ لَهُ لِحُصُولِهِ بِحُكْمِ بَيْعٍ فَاسِدٍ، وَلاَ يَضْمَنُ الدَّابَّةَ؛ ِلأَنَّهَا غَيْرُ مُقَابَلَةٍ بَعُوضٍ .وَإِنْ قَالَ: لِتَعْلِفْهَا بِنِصْفِهَا فَفَعَلَ فَالنِّصْفُ الْمَشْرُوطُ مَضْمُونٌ عَلَى الْعَالِفِ لِحُصُولِهِ بِحُكْمِ الشِّرَاءِ الْفَاسِدِ دُونَ النِّصْفِ اْلآخَرِ .

(Peringatan) jika seseorang memberikan hewan piaraannya kepada orang lain agar dipekerjakan, atau untuk dipelihara, dan hasilnya dibagi antara keduannya, maka aqad tersebut tidak sah. Karena pada contoh yang pertama menyewakan hewan, maka tidak ada hajat (tidak perlu) mendatangkan aqad lagi atas hewannya yang dapat mengandung ghoror/penipuan. Yang kedua, hasil dari hewan piaraan, itu bukan pekerjaan.

Seandainya seseorang memberikan hewan piaraannya kepada orang lain untuk dipekerjakan untuk dirinya dengan upah ½ dari hasil susu hasil perahnya, kemudian dipekerjakan oleh orang lain tersebut, maka pemilik hewan harus mengganti biaya pemeliharaan (memberi makan hewan) dan pekerja harus mengganti kepada pemilik atas ½ dari hasil susu perahnya. Pengganti itu karena sudah hasil ukuran yang dijanjikan, dan telah terjadi dengan hukum jual beli yang rusak. dan tidak perlu mengganti rugi hewan piaraan, karena itu tidak ada kesesuaian ganti rugi.

Jika pemilik dalam menyerahkan hewan mengatakan untuk diramut (diberi makan) dengan ongkos separo hasilnya, kemudian dilaksanakan oleh penerima (pemelihara), maka separo yang dijanjikan menjadi tanggungan pemelihara, karena dianggap terjadi hukum pembeliaan yang fasid (rusak) bukan separo yang lain.

* Tuhfatu al-Habib ‘Ala Syarhi al-Iqna al-Bujairimi, Juz III, Hlm. 179

وَلَوْ قَالَ شَخْصٌ لآخَرَ سَمِّنْ هَذِهِ الشَّاةَ وَلَكَ نِصْفُهاَ أَوْ هاَتَيْنِ عَلىَ أَنَّ لَكَ إِحْداَهُماَ لَمْ يَصِحَّ ذَلِكَ وَاسْتَحَقَّ أُجْرَةَ المِثْلِ لِلنَّصْفِ الذِّى سَمَنَّهُ لِلْماَلِكِ.

Apabila ada orang berkata kepada orang lain: gemukkan kambing ini! Kamu saya beri komisi separo dari laba penjualan, atau berkata: gemukkan dua kambing ini! Kamu saya beri yang satu, maka tidak sah. Dan ia mendapat ongkos misil (umum), sedang hasilnya semua dimiliki yang punya kambing. Wallahu a’lam bis shawab

Kesimpulan :
Sistem menggaduhkan hewan hukumnya tidak sah kecuali dgn cara nadzar, hibah dan hadiah, ato taqlid pada pendapat yang memperbolehkan dari sebagian madzhab Hanbaliy. [ syarah al kabir ala matni al miqna’ 6/19 – 20 ].

Solusinya dinadzarkan atau hibah dan atau taqlid pada sebagian pendapat dari kalangan madzhab Hanbaliy.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

#TERKINI

#WARTA

#HUKUM