DEWAN PIMPINAN PUSAT
IKATAN ALUMNI BATA-BATA

J006. CARA MERAWAT SEORANG IBU DAN ANAKNYA SAMA-SAMA MENINGGAL DUNIA NAMUN SI BAYI BELUM KELUAR SEUTUHNYA

PERTANYAAN :

Assalamualaikum ustadz..

Diskripsi masalah :
Ada seorang perempuan katakanlah (Zulaihah) hamil ketika hendak melairkan janin ternyata anaknya keluar separuh dan anak itu laki-laki namun sizulaihah tidak mampu untuk melahirkan anak secara tuntas akhirnya sizulaihah meninggal dan anakpun ikut meninggal dan tetap masih ada difarji’nya sang ibu (masih bersambung jasatnya).

Pertanyaannya :

1-Bagaimana niat dan cara memandikannya ?

2-Bagaimana cara mensolatinya dan cara mendo’akannya

3-Bagaimana cara menguburkannya (untuk menghadapkan sikepalanya) karen itu terdapat dua kepala (kepala ibu & anak)

JAWABAN :

Waalaikumussalam warohmatullahi wabarokatuh..

Didalam kitab Attajriid Linaf’il ‘Abiid/ Hasyiyah Al Bujairimi, Jilid 1, halaman 298.

وكما لو دفنت امراۃ حامل بجننين ترجی حياته باءن يكون له ستۃ اشهر فاءكثر فيشق جوفها ويخرج اذ شقه لازم قبل دفنها ايضا.فاءن لم ترج حياتٌه فلا,لكن يترك دفنها الی موته ثم تدفن.م ر.وقوله لكن يترك دفنها الی موته اي ولو تغيرت مثلا ولا يدفن الحمل حيا.عش.

Demikianlah halnya kalau wanita hamil dikubur bersama janinnya yang masih diharapkan hidup, misalnya sudah mencapai enam bulan atau lebih, maka perut wanita tersebut harus dibelah dan janinnya dikeluarkan, sebab membelah perutnya itu wajib pula sebelum dikuburkan. Bila sudah tidak diharapkan hidupnya bayi itu maka bayi itu tidak perlu dibedah, namun pemakaman mayat wanita itu ditunda sampai si janin mati, lalu dimakamkan. Demikian pendapat Ar Ramli. Ungkapan beliau : “namun pemakaman mayat si wanita itu ditunda sampai si janin mati”, maksudnya meskipun janin itu telah berubah(membusuk)umpamanya, dan si janin tidak boleh dikubur hidup hidup”. Demikian pernyataan Ali Syibromallisi.

Jawaban :

(1). Niat dan cara memandikan wanita dan bayi itu, didalam kitab Bujairimi Alal Khotiib,juz 1,halaman 516 :

ولا تجب نيۃ الغاسل لاءن القصد بغسل الميت النظافۃ وهي لا تتوقف علی نيۃ فيكفي غسل كافر

Dan juga didalam kitab Kasyifatussajaa, halaman 101 disebutkan :

ولا يجب نيۃ الغسل لاءن القصد به النظافۃ وهي لا تتوقف علی نيۃ لكن تسن خروجا من الخلاف فيقول الغاسل نويت الغسل اداء عن هذا الميت اواستباحۃ الصلاۃ عليه

Niat memandian wanita dan bayi itu tidak wajib. karena yang dituju dari memandikan adalah kebersihan. Sedangkan kebersihan itu tidak tergantung kepada niat. tapi disunnatkan berniat, hal itu karena keluar dari perbedaan pendapat ulama. Maka orang yang memandikan itu berniat “saya niat memandikan mayit wanita dan bayinya ini, a daa-an(karena memandikan pada waktunya)
Cara memandikannya adalah sama dengan cara memandikan mayit biasa. Alasannya ialah karena didalam kitab Bujairimi diatas tidak disebutkan cara memandikan mayit wanita yang didalam perutnya ada bayi yang mati

(2). Cara mensholatkannya adalah disholatkan dalam keadaan wanita dan bayi itu tetap bersatu. Karena didalam kitab Bujairimi diatas tidak disebutkan cara mensholatkan yang lain dari cara mensholatkan mayit yang biasa.
Cara mendoakannya ialah di kitab Kaasyifatudsajaa, halaman 104 :
jika baligh maka doanya adalah :

اللهم الطف بها الی اخره.

ditambah dengan do’a yang ada di kitab Kaasyifatussajaa halaman 104 :

اما الصغير فيقول فيه مع الدعاء الاءول

Adapun jika mayitnya itu anak kecil maka orang yang sholat jenazah itu berdo’a seperti do’a yang awwal lalu ditambah dengan :

اللهم اجعله فرطا لاءبوبه وسلفا وذخرا وعظۃ واعتبارا وشفيعا, وثقل به موازيننا, وافرغ الصبر علی فلوبهما ولا تفتنهما بعده ولا تحرمنا اجره.

(3). Cara menguburkannya adalah sebagaimana keterangan dari kitab Bujairimi diatas, yaitu wanita dan bayi yang melekat pada ibunya itu dikuburkan bersama, dalam posisi kepala ibunya anak itu diwajibkan dihadapkan ke kiblat, dan disunnatkan pipi kanan ibunya itu dirapatkan ke tanah (setelah membuka kain kafan dari ibu itu), atau disunnatkan pipi kanan ibu itu dirapatkan ke batu bata, Karena sesungguhnya merapatkan pipi yang kanan ke tanah itu lebih sangat didalam menunjukkan kehinaan. Sedangkan kepala bayi itu dibiarkan menghadap kemana saja.

Sedangkan menurut mazhab Syâf’î, maka perut wanita tersebut harus dibedah jika besar kemungkinan bahwa janin yang ada dalam perut masih dalam keadaan hidup. Sebab hal tersebut termasuk merusak sebagian dari anggota tubuh wanita yang telah meninggal untuk menyelamatkan orang yang masih hidup. Maka –berdasarkan alasan ini- dibolehkan membedah perut ibunya. Hal ini sama hukumnya, jika sebagian tubuh bayi tersebut telah keluar, namun tidak mungkin mengeluarkannya secara utuh kecuali dengan melakukan pembedahan. Disamping itu apabila perut orang yang telah meninggal dunia boleh dibedah untuk mengeluarkan harta –misalnya uang atau mutiara- yang ia telan, maka apalagi membedahnya disebabkan untuk mengeluarkan manusia yang masih hidup.

Alasan yang mendasari pendapat kami adalah: pada kebiasaannya anak yang terdapat dalam perut wanita yang telah meninggal dunia, ikut meninggal dunia bersama ibunya. Lagi pula tidak dapat diyakinkan bahwa anak tersebut masih dalam keadaan hidup. Oleh sebab itu tidak dibolehkan menginjak kehormatan yang pasti hanya demi sesuatu yang masih diragukan. Dan sesungguhnya Rasulullah s.a.w bersabda: “mematahkan tulang orang mati, sama hukumnya dengan mematahkan tulang orang yang masih hidup” (H.R. Abu Daud).

Disamping itu pembedahan tersebut mengandung makna mencincang orang yang telah mati dan hal ini dilarang oleh Rasulullah s.a.w. Ini berbeda dengan masalah yang telah dijadikan sebagai sumber qiyas (maksudnya adalah perkataan: Hal ini sama hukumnya, jika sebagian tubuh bayi tersebut telah keluar, namun tidak mungkin mengeluarkannya secara utuh kecuali dengan melakukan pembedahan). Sebab pada masalah ini kematian bayi tersebut lebih besar kemungkinannya daripada hidupnya.

Dengan demikian, apabila sebagian tubuh bayi telah keluar, namun kelahiran tersebut tidak dapat dilaksanakan secara utuh kecuali dengan melakukan pembedahan, maka dibolehkan membedah vagina dan mengeluarkan bayi tersangkut. Hal ini berdasarkan alasan yang telah kami sebutkan diatas.

Kemudian apabila bayi tersebut meninggal dalam kondisi seperti itu (sebagian tubuhnya telah berada diluar) dan memungkinkan untuk mengeluarkannya, maka bayi tersebut harus dikeluarkan secara utuh lalu dimandikan secara tersendiri. Adapun apabila bayi yang tersangkut tersebut tidak mungkin dikeluarkan secara utuh, maka ia tetap dibiarkan sebagaimana adanya, lalu ibunya beserta bagian tubuh bayi yang keluar dimandikan. Sedangkan sisa tubuhnya yang masih berada didalam rahim ibunya, dianggap termasuk anggota dalam tubuh yang tidak perlu ditayammumi lagi. Sebab semuanya telah dianggap anggota tubuh bagian dalam. Adapun selebihnya maka hukumnya seperti biasa (semula).

Pendapat ini telah disebutkan oleh Ibnu ‘Aqîl r.a, dan beliau berkata: masalah ini bermula dari peristiwa yang terjadi dan aku ditanyakan orang tentang hukumnya, maka akupun berfatwa sebagaimana yang disebutkan diatas.

فعن أم المؤمنين عائشة رضي الله عنها أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: (كَسْرُ عَظْمِ المَيِّتِ كَكَسْرِهِ حَيًّا) رواه أحمد وأبو داود وابن ماجه، وقال ابن دقيق العيد: إسناده على شرط مسلم.

معنى الحديث :

هذا الحديث العظيم يدل على حرمة التعدي على الميت كما يحرم التعدي على الحي، يقول الحافظ ابن حجر في شرحه لهذا الحديث: “يستفاد منه أن حرمة المؤمن بعد موته باقية كما كانت في حياته”، ويقول الإمام الطيبي: “إشارة إلى أنه لا يهان ميتا، كما لا يهان حيّا”، ويقول الإمام الباجي: “يريد أن له من الحرمة في حال موته مثل ما له منها حال حياته، وأن كسر عظامه في حال موته يحرم كما يحرم كسرها حال حياته”.

مسائل وأحكام

يمكن الاستدلال بهذا الحديث على جملة من المسائل والأحكام، نذكر منها:

– حرمة بيع أعضاء الميت: إذ أن حرمة جسد المسلم تمتد إلى ما بعد وفاته كما يدل على ذلك الحديث؛ ولذا لا يجوز الاعتداء عليه بأي نوع من أنواع الأذى، سواء كان ذلك ببيع أعضائه أو التصرف فيها، لأن الواجب في جسد المسلم بعد موته تغسيله وتكفينه والصلاة عليه ثم دفنه، وفي حال بيع أعضائه أو التصرف فيها إسقاط لهذه الواجبات.

– حرمة تشريح الجثة: يحرم تشريح جثة الميت المسلم وجعلها محلاً للتدريب والتعليم، فإن هذا مناف لتكريم الله له، وأما وجود الحاجة لتشريح الجثث للبحث العلمي، فهذه الحاجة يمكن أن تتحقق بجثث غير المعصومين كالكافر الحربي والمرتد عن الإسلام.

– كسر عظم الميت عن غير عمد ليس فيه قصاص أو دية: إذا انكسر عظم الميت أثناء دفنه أو عند دفن شخص آخر في نفس القبر بعد أن تبلى عظامه فليس في ذلك قصاص ولا أرش، قال الإمام ابن قدامة رحمه الله مؤيدا لذلك: “المراد بالحديث التشبيه في أصل الحرمة، لا في مقدارها، بدليل اختلافهما في الضمان والقصاص ووجوب صيانة الحي بما لا يجب به صيانة الميت”، والله أعلم.

Mungkin jawabannya sementara begini ustad hal ini di kiaskan pada sembelihan kandungan yang ikut pada ibunya berdasar pada koidah fikih, ini kan gini wanita yang melahirkn namun sebaagian saja maka hukumx ikut pada ibunya karena kelahiran tsb tidak sempurna dan hal ini sama halx dihukumi tidak lahir.

وقوله بعد خروجه من بطن امه اي تمام خروجه فلو اخرج رأسه وفيه حياة مستقرة ثم ذبحت امه فمات قبل تمام خروجه حل لان خروج بعضه كعدم خروجه في الغرة ونحوها فلا يجب ذبحه وان صار بخروج رأسه مقدورا عليه ( البجور ي ج ٢ ص ٢٩٠)

رابعها التابع لشيء تا بع له في حكمه ( الاشباه والنظائر ص ١٧٨)

Ibarot tambahan :

1661 ) مسألة ; قال : ( والمرأة إذا ماتت ، وفي بطنها ولد يتحرك ، فلا يشق بطنها ، ويسطو عليه القوابل ، فيخرجنه ) معنى ” يسطو القوابل ” أن يدخلن أيديهن في فرجها ، فيخرجن الولد من مخرجه . والمذهب أنه لا يشق بطن الميتة لإخراج ولدها ، مسلمة كانت أو ذمية ، وتخرجه القوابل إن علمت حياته بحركة . وإن لم يوجد نساء لم يسط الرجال عليه ، وتترك أمه حتى يتيقن موته ، ثم تدفن .

ومذهب مالك ، وإسحاق قريب من هذا . ويحتمل أن يشق بطن الأم ، إن غلب على الظن أن الجنين يحيا ، وهو مذهبالشافعي ; لأنه إتلاف جزء من الميت [ ص: 216 ] لإبقاء حي ، فجاز ، كما لو خرج بعضه حيا ، ولم يمكن خروج بقيته إلا بشق ، ولأنه يشق لإخراج المال منه ، فلإبقاء الحي أولى . ولنا ، أن هذا الولد لا يعيش عادة ، ولا يتحقق أنه يحيا ، فلا يجوز هتك حرمة متيقنة لأمر موهوم ، وقد قال عليه السلام : { تخريج الحديث كسر عظم الميت ككسر عظم الحي } . رواه أبو داود ،

وفيه مثلة ، وقد { ‘تخريج الحديث نهى النبي صلى الله عليه وسلم عن المثلة } . وفارق الأصل ; فإن حياته متيقنة ، وبقاءه مظنون ، فعلى هذا إن خرج بعض الولد حيا ، ولم يمكن إخراجه إلا بشق ، شق المحل ، وأخرج ; لما ذكرنا . وإن مات على تلك الحال ، فأمكن إخراجه ، أخرج وغسل .

وإن تعذر غسله ترك ، وغسلت الأم ، وما ظهر من الولد ، وما بقي ففي حكم الباطن لا يحتاج إلى التيمم من أجله ; لأن الجميع كان في حكم الباطن ، فظهر البعض ، فتعلق به الحكم ، وما بقي فهو على ما كان عليه . ذكر هذا ابن عقيل . وقال : هي حادثة سئلت عنها ، فأفتيت فيها

الفقه المقارن المغني موفق الدين عبد الله بن أحمد بن قدامةدار إحيار التراث العربي

سنة النشر: 1405هـ / 1985م
رقم الطبعة: الأولى
عدد الأجزاء: عشرة أجزاء

•••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••

قال المصنف رحمه الله :
{وإن مَاتَتْ امْرَأَةٌ وَفِي جَوْفِهَا جَنِينٌ حَيٌّ شُقَّ جوفها لانه استبقاء حي باتلاف جزء من الميت فأشبه إذا اضطر الي أكل جزء من الميت}
* {الشَّرْحُ} هَذِهِ الْمَسْأَلَةُ مَشْهُورَةٌ فِي كُتُبِ الْأَصْحَابِ، وَذَكَرَ صَاحِبُ الْحَاوِي أَنَّهُ لَيْسَ لِلشَّافِعِيِّ فِيهَا نَصٌّ. قَالَ الشَّيْخُ أَبُو حَامِدٍ وَالْقَاضِي أَبُو الطَّيِّبِ وَالْمَاوَرْدِيُّ وَالْمَحَامِلِيُّ وَابْنُ الصَّبَّاغِ وَخَلَائِقُ مِنْ الْأَصْحَابِ قَالَ ابْنُ سُرَيْجٍ إذَا مَاتَتْ امْرَأَةٌ وَفِي جَوْفِهَا جَنِينٌ حَيٌّ شُقَّ جَوْفُهَا وَأُخْرِجَ، فَأَطْلَقَ ابْنُ سُرَيْجٍ الْمَسْأَلَةَ. قَالَ أَبُو حَامِدٍ وَالْمَاوَرْدِيُّ وَالْمَحَامِلِيُّ وَابْنُ الصَّبَّاغِ وَقَالَ بَعْضُ أَصْحَابِنَا لَيْسَ هُوَ كَمَا أَطْلَقَهَا ابْنُ سُرَيْجٍ بَلْ يعرض علي القوابل، فان قلنا هَذَا الْوَلَدُ إذَا أُخْرِجَ يُرْجَى حَيَاتُهُ وَهُوَ ان يكون له ستة اشهر فصاعدا شق جوفها واخرج. وإن قلنا لَا يُرْجَى بِأَنْ يَكُونَ لَهُ دُونَ سِتَّةِ أَشْهُرٍ لَمْ يُشَقَّ لِأَنَّهُ لَا مَعْنَى لِانْتِهَاكِ حُرْمَتِهَا فِيمَا لَا فَائِدَةَ فِيهِ. قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَقَوْلُ ابْنِ سُرَيْجٍ هُوَ قَوْلُ أَبِي حَنِيفَةَ وَأَكْثَرِ الْفُقَهَاءِ (قُلْت) وَقَطَعَ بِهِ الْقَاضِي أَبُو الطَّيِّبِ فِي تَعْلِيقِهِ والعبدري فِي الْكِفَايَةِ، وَذَكَرَ الْقَاضِي حُسَيْنٌ وَالْفُورَانِيُّ وَالْمُتَوَلِّي والبغوى وغيرهم في الذى لا يرجى حياته وجهين (احداهما) يُشَقُّ.
(وَالثَّانِي) لَا يُشَقُّ. قَالَ الْبَغَوِيّ وَهُوَ الْأَصَحُّ قَالَ جُمْهُورُ الْأَصْحَابِ فَإِذَا قُلْنَا لَا تشقّ لَمْ تُدْفَنْ حَتَّى تَسْكُنَ حَرَكَةُ الْجَنِينِ وَيُعْلَمَ أَنَّهُ قَدْ مَاتَ، هَكَذَا صَرَّحَ بِهِ الْأَصْحَابُ فِي جَمِيعِ الطُّرُقِ. وَنَقَلَ اتِّفَاقَ الْأَصْحَابِ عَلَيْهِ الْقَاضِي حُسَيْنٌ وَآخَرُونَ وَهُوَ مَوْجُودٌ كَذَلِكَ فِي كُتُبِهِمْ إلَّا مَا انْفَرَدَ بِهِ الْمَحَامِلِيُّ فِي الْمُقْنِعِ وَالْقَاضِي حُسَيْنٌ فِي مَوْضِعٍ آخَرَ مِنْ تَعْلِيقِهِ قَبْلَ بَابِ الشَّهِيدِ بِنَحْوِ وَرَقَتَيْنِ وَالْمُصَنِّفُ في التنبيه فقالوا ترك عليه شئ ثَقِيلٌ حَتَّى يَمُوتَ ثُمَّ تُدْفَنُ الْمَرْأَةُ وَهَذَا غَلَطٌ فَاحِشٌ، وَقَدْ أَنْكَرَهُ الْأَصْحَابُ أَشَدَّ إنْكَارٍ. وَكَيْفَ يُؤْمَرُ بِقَتْلِ حَيٍّ مَعْصُومٍ وَإِنْ كَانَ ميؤوسا مِنْ حَيَاتِهِ بِغَيْرِ سَبَبٍ مِنْهُ يَقْتَضِي الْقَتْلَ.
ومختصر المسألة ان رجي حياة الجنين وجب شق جوفها واخراجه، والافثلاثة أَوْجُهٍ (أَصَحُّهَا) لَا تُشَقُّ وَلَا تُدْفَنُ حَتَّى يَمُوتَ (وَالثَّانِي) تُشَقُّ وَيُخْرَجُ (وَالثَّالِثُ) يُثْقَلُ بَطْنُهَا بشئ لِيَمُوتَ وَهُوَ غَلَطٌ. وَإِذَا قُلْنَا يُشَقُّ جَوْفُهَا شُقَّ فِي الْوَقْتِ الَّذِي يُقَالُ إنَّهُ أَمْكَنُ لَهُ، هَكَذَا قَالَهُ الشَّيْخُ أَبُو حَامِدٍ. وَقَالَ الْبَنْدَنِيجِيُّ يَنْبَغِي أَنْ تُشَقَّ فِي الْقَبْرِ فَإِنَّهُ أَسْتَرُ لَهَا.

المجموع شرح المهذب.

Wallahu a’lamu bisshowab..

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

#TERKINI

#WARTA

#HUKUM