DEWAN PIMPINAN PUSAT
IKATAN ALUMNI BATA-BATA

M006 Hukum Inseminasi Buatan (Bayi Tabung)

Pertanyaan :
Assalamu’alaikum.
Bagaimana hukumnya menanam benih melalui program bayi tabung?

Jawaban :
Hukumnya adalah di-tafsil sebagai berikut:

  1. Apabila sperma yang ditabung dan yang dimasukkan ke dalam rahim wanita tersebut ternyata bukan sperma suami-istri, maka hukumnya haram.
  2. Apabila sperma/mani yang ditabung tersebut adalah sperma suami-istri, tetapi cara mengeluarkannya tidak muhtaram, maka hukumnya juga haram.
  3. Apabila sperma yang ditabung itu sperma/mani suami-istri dan cara mengeluarkannya muhtaram, serta dimasukkan ke dalam rahim istri sendiri maka hukumnya boleh.

Keterangan: Mani muhtaram adalah mani yang keluar atau dikeluarkan dengan cara yang diperbolehkan oleh syara’. Misalnya, seandainya seorang lelaki berusaha mengeluarkan spermanya (dengan beronani) menggunakan tangan istrinya, maka hal tersebut diperbolehkan, karena istri memang tempat atau wahana yang diperbolehkan untuk bersenang-senang [ Kifayatul Akhyar II/113 ].

Terkait anak yang dihasilkan dari program tersebut (bayi tabung), apakah dapat ilhaq (terhubung secara nasab) atau tidak kepada pemilik mani? Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat antara Imam Ibnu Hajar dan Imam Romli.

Menurut Imam Ibnu Hajar tidak bisa ilhaq kepada pemilik mani secara mutlak (baik muhtaram atau tidak). Sedangkan menurut Imam Romli anak tersebut dapat ilhaq kepada pemilik mani dengan syarat keluarnya mani tersebut harus muhtaram.

Dasar Pengambilan Dalil :
Al-jami’ul Shoghir hadits no. 8030

مامن ذنب بعد الشرك أعظم عند الله من نطفة وضعها رجل فى رحم لايحل له. رواه ابن الدنا عن الهشيم بن مالك الطائ الجامع الصغير

Tidak ada dosa yang lebih besar setelah syirik (menyekutukan Allah ) di sisi Allah dari pada maninya seorang laki-laki yang ditaruh pada rahim wanita yang tidak halal baginya. (HR. Ibnu Abid-dunya dari Hasyim bin Malik al-thoi)

Hikmatut Tasyri’ wal Safatuhu, II: 48

من كان يؤمن بالله واليوم الأخر فلا يسقين ماءه زرع أخيه

Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka jangan sekali-kali menyiram air (maninya) pada lahan tanaman (rahim) orang lain.

Al-Qolyubi, IV: 32

ولو أتت بولد عُلِمِ أنه ليس منه مع إمْكَانِه مِنْهُ ( لَزِمَهُ نَفْيُهُ ) لِأَنَّ تَرْكَ النَّفْيِ يَتَضَمَّنُ اسْتِلْحَاقَ مَنْ لَيْسَ مِنْهُ حَرَامٌ

Apabila seorang perempuan datang dengan membawa anak, dan diketahui bahwa anak tersebut bukan dari suaminya, dan dapat mungkin dari suaminya (namun secara yakin tidak dari suaminya). Maka wajib meniadakan (menolak mengakui), karena bila tidak dilaksanakan penolakan, dapat dimasukkan nasab dari orang yang tidak haram (suaminya).

Bujairimi Iqna’ IV: 36

الحاصل) المراد بالمنى المحترام حال خروجه فقط على ما اعتمده مر وان كان غير محترم حال الدخول، كما اذا احتلم الزوج وأخذت الزوجة منيه فى فرجها ظانة أنه من منىّ اجنبى فإن هذا محترم حال الخروج وغير محترم حال الدخول وتجب العدة به إذا طلقت الزوجة قبل الوطء على المعتمد خلافا لإبن حجر لأنه يعتبر أن يكون محترما فى الحالين كماقرره شيخنا.

(Kesimpulan) yang dimaksud mani muhtaram (mulia) adalah pada waktu keluarnya saja, meskipun tidak muhtaram pada waktu masuknya. Hal ini telah dikemukakan oleh Imam Romli.
Contoh: Suami bermimpi keluar mani (ihtilam), kemudian istrinya mengambil air mani tersebut lalu dimasukkan ke dalam farjinya dengan sangkaan bahwa air mani tersebut milik laki-laki lain (bukan milik suaminya). Maka hal ini dinamakan mani muhtaram keluarnya, tapi tidak muhtaram waktu masuknya ke dalam farji. Dan dia (si istri) wajib ‘iddah (masa penantian) jika suaminya menceraikan sebelum disetubuhi menurut qaul yang mu’tamad. Berbeda halnya dengan pendapat Imam Ibnu Hajar yang mengatakan bahwa kriterianya harus muhtaram keduanya (waktu keluar dan masuk) sebagaimana ketetapan dari Syaikhuna (Rofi’i Nawawi).

Kifayatu Al-akhyar, II: 113

لو إستمنى الرجل منية بيد امرأته او امته جاز لأنها محل استمتاعها

Jika seorang suami sengaja mengeluarkan air maninya dengan perantara tangan istrinya, atau tangan amat-nya (budak perempuan), maka boleh. Karena perempuan tersebut adalah tempat istimta’ (senang-senang) bagi seorang suami.

Tuhfa, VI: 431

Al-bajuri, II: 172

Al-bughya: 238

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

#TERKINI

#WARTA

#HUKUM