Pengirim : Ust. M. Ainur Rofik

Pada kesempatan kali ini kami mengajak para pembaca khususnya alumni MUBA menyimak taushiyah yang disampaikan oleh syaikhuna RKH. M. Thohir Zain. dalam pertemuan IKABA Kec. Kota (Pamekasan), pada hari Jum’at (malam sabtu) tanggal 01 Januari 2016 yang bertempat di kediaman Ustadz Zaini, Dsn. Pangaporan Kel. Kowel Kec. Kota (Pamekasan). Marilah kita langsung menyimak uraian taushiyah beliau.
(Klik disini untuk mengunduh audio tausiyah ini)
Setelah melakukan muqaddimah dan menyampaikan rasa syukurnya, RKH. M. Thohir Zain mengatakan bahwa setidaknya ada tiga unsur yang ada pada pertemuan kali ini, yang pertama adalah pertemuan IKABA yang merupakan ajang silaturrahim antar alumni Pondok Pesantren Mambaul Ulum Bata-Bata, yang kedua acara Maulid Nabi Muhammad SAW., dan yang ketiga adalah silaturrahim antar sesama.
Di awal taushiyahnya, RKH. M. Thohir Zain mengajak segenap hadirin dan simpatisan untuk sedikit melakukan flashback atau mengingat kembali sejarah. Menurut beliau, Bahwasannya segala hal yang terjadi akhir-akhir ini (hidup yang kita alami di masa sekarang) tidak lebih merupakan refleksi dari apa yang terjadi di masa lampau, apa yang terjadi saat ini sudah pernah terjadi di masa para sahabat maupun tabi’in. Seperti halnya pertengkaran/permusuhan, pembunuhan, praktek korupsi, dan perbuatan maksiat lainnya. Tinggal bagaimana cara kita sebagai muslim yang bijak untuk mengambil ‘ibrah sehingga tidak salah dalam merefleksikan kesemuanya dalam kehidupan sekarang.
Beliau juga menyampaikan bahwa pada periode tertentu yaitu pada masa kekhalifahan yang dipimpin oleh Khalifah Harun Ar-Rasyid, Islam mengalami suatu periode di mana periode tersebut merupakan puncak dari kejayaan Islam di muka bumi. Pada periode ini juga hidup seorang ulama besar yaitu Malik bin Anas yang merupakan salah satu imam madzhab sekaligus guru daripada Imam As-syafi’i. Sehingga periode ini oleh kaum orientalis sering disebut sebagai golden age of Islam (masa keemasan Islam). Ada hal yang menarik untuk dijadikan uswah atau suri tauladan pada masa tersebut. yaitu tatkala Khalifah Harun Ar-Rasyid bermaksud meminta seorang ulama besar pada masa itu yang tak lain adalah Imam Malik bin Anas untuk datang ke istana dan sudi mengajarkan putranya. Namun, menanggapi permintaan Khalifah tersebut Imam Malik bin Anas berkata “العلم يؤتى ولا يأتي” (ilmu itu didatangi bukan justru ilmu yang mendatangi). Dari perkataan Imam Malik bin Anas tersebut dapat dipahami bahwa jika seseorang ingin menuntut ilmu, maka ia harus rela mendatangi dan belajar ke tempat di mana ilmu berada, yang dalam konteks kehidupan sekarang bisa dianalogikan seperti sekolah, pondok pesantren, atau pun majelis-majelis ilmu lainnya. Mendengar perkataan Imam Malik bin Anas, di sinilah kerendahan hati seorang Khalifah Harun Ar-Rasyid yang notabenenya merupakan seorang raja yang menguasai dunia terlihat. Alih-alih marah atas penolakan Imam Malik bin Anas, Khalifah Harun Ar-Rasyid justru bersedia mengirimkan anaknya untuk dipondokkan ke kediaman Imam Malik bin Anas. Bahkan, pada suatu hari ketika Khalifah Harun Ar-Rasyid bermaksud mengirim atau menjenguk putranya yang kebetulan sedang menyiramkan air untuk keperluan wudlu’ Imam Malik bin Anas, beliau langsung marah. Bukan karena Imam Malik bin Anas yang memperlakukan putranya sebagai pembantu, tetapi Khalifah Harun Ar-Rasyid marah kepada putranya karena putranya tersebut hanya menyiramkan air dan tidak lantas membasuhkannya pada Imam Malik bin Anas.
Setelah sedikit mengingat kembali sejarah sebagaimana dijelaskan di atas, barulah RKH. M. Thohir Zain menjelaskan tentang betapa luasnya berkah yang bisa dirasakan di bulan Maulid Nabi Muhammad SAW. ini. Sebagai salah satu indikasinya yaitu meningkatnya hasil penjualan para pedagang yang berkaitan dengan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. seperti penjual buah-buahan, pedagang beras, dan sebagainya. Bahkan ada di antara mereka yang mencapai omset sekitar 25 juta dalam sehari. Tentu ini adalah berkah luar biasa yang mungkin tidak akan atau pun sulit terjadi di luar bulan Maulid.
Adapun sejarah yang melatarbelakangi pelaksanaan Maulid Nabi Muhammad SAW. adalah peristiwa pembantaian kaum salibis terhadap kaum muslimin (penduduk palestina) yang kemudian dikenal sebagai perang salib, di mana pada peristiwa ini sebanyak 70.000 umat Islam berguguran. Hal ini membuat Salahuddin Al-Ayubi sebagai panglima Islam tertinggi saat itu bersedih. Maka dicarilah penyebab atau pun alasan kenapa umat Islam pada saat itu mengalami kekalahan yang begitu parah. Setelah diteliti ternyata penyebab utamanya adalah hilangnya ruhul jihad pada diri muslim sebagai akibat dari terlalu mencintai dunia dan takut akan kematian. Menyikapi hal tersebut timbulah pertanyaan, bagaimana cara mengembalikan semangat ruhul jihad pada diri muslim itu sendiri? Maka tidak ada jalan lain yaitu dengan kembali mengingat tokoh jihad utama orang Islam, yaitu Nabi Muhammad SAW. yang merupakan panutan dan juga motivasi mereka dalam berjihad. Maka untuk pertama kalinya digelarlah acara Maulid Nabi secara besar-besaran. Pada kesempatan ini juga diselenggarakan lomba syi’ir shalawat yang kemudian dimenangkan oleh Syaikh Ja`far bin Husain bin Abdul Karim bin Muhammad Al-Barzanji yang hasil karyanya bisa kita jumpai sampai sekarang berupa kitab Al-Barzanji. Kitab Al-Barzanji merupakan khulasah (ringkasan) Sirah Nabawiyah yang meliputi kisah kelahiran Nabi Muhammad SAW., pengutusannya menjadi Rasul, hijrah, akhlaq, peperangan hingga wafatnya beliau. Penggunaan bahasa-bahasa puitik dalam pengisahan sejarah Nabi menciptakan suasana mistis dan membangkitkan semangat spiritual pembacanya. Kenyataannya, pembacaan kitab Al-Barzanji dalam peringatan-peringatan Maulid Nabi yang digalakkan oleh Sultan Salahuddin Al-Ayubi berhasil membangkitkan kesadaran umat Islam melawan tentara Crusader. Sultan Salahuddin Al-Ayubi berhasil menghimpun kembali kekuatan umat Islam. Simboliknya, Yerusalem berhasil direbut kembali dari kekuasaan Crusades, Masjidil Aqsa dikembalikan lagi fungsinya sebagai masjid yang kesemuanya itu terjadi setelah delapan tahun dari pertama kali Maulid Nabi Muhammad SAW. diselenggarakan.
Pada kesempatan ini pula, ada beberapa hal yang disingggung oleh RKH. M. Thohir Zain, utamanya beliau menghimbau agar kita lebih memahami apa itu Hubbur Rasul (mencintai Rasul) yang sebenarnya. Beliau berkata “semua boleh mengklaim cinta Nabi, semua juga boleh mengaku cinta Rasul, tapi apakah cara kita mencintai beliau itu sudah benar? Atau jangan-jangan Rasulnya tidak cinta pada kita?”. Dari apa yang disampaikan beliau tersebut, sudah selayaknya kita harus berupaya untuk lebih memahami apa itu Hubbur Rasul sehingga dengan begitu kita tidak lagi hanya berfokus pada upaya-upaya untuk menunjukkan kecintaan kita lewat kegiatan Maulidur Rasul semata. Misalnya dengan membaca Barzanji dan semacamnya. Memang tidak ada masalah dalam pelaksanaan tersebut, kesemuanya ada landasan hukumnya. Namun, yang menjadi masalah ketika esensi ataupun substansi daripada acara-acara tersebut justru hilang karena kita salah dalam memahaminya. Tidak sedikit orang yang berlomba-lomba mengadakan peringatan Maulidur Rasul secara besar-besaran, bahkan ada di antara mereka yang rela berhutang demi perayaan ini. Mereka semua mengaku cinta Rasul tetapi mereka sendiri kurang paham apa sebenarnya tujuan atau pun esensi daripada diadakannya perayaaan-perayaan semacam itu. Maka dari itu perlulah kiranya kita memahami bahwa sebenarnya perayaan-perayaan ini tidak lain dimaksudkan agar masyarakat lebih mencintai Rasul, lebih mengagumi Rasul. Nah, lantas bagaimana cara kita mengetahui bahwa kita benar-benar telah mencintai Rasul? Yaitu dengan mengikuti semua perintah atau pun ajaran beliau serta menjauhi hal-hal yang dilarang oleh beliau, inilah cinta yang sebenar-benarnya cinta. Jadi tidak hanya fokus pada perkataan ataupun ritualisasi perayaan layaknya Maulidur Rasul, tetapi lebih penting dari itu bagaimana cara kita mengimplementasikan rasa cinta tersebut dalam wujud perbuatan kita. Mengerjakan segala perintah dan menjauhi segala perbuatan yang dilarang oleh Nabi Muhammad SAW.
Selain masalah Maulid, beliau juga menyinggung tentang masalah keikhlasan dan taqwa, yang mana hal tersebut merupakan ruh dari setiap peribadatan yang dilakukan oleh seorang muslim. Dalam hal ini, beliau mencontohkan seseorang yang beribadah haji, bukan dalam masalah sah atau tidaknya yang beliau khawatirkan, melainkan hilangnya pahala dari ibadah haji yang telah dilakukan karena merasa sudah lebih baik dari orang lain. Termasuk sombong ketika seseorang merasa dirinya lebih baik dari orang lain, “Alhamdulillah mare haji, wak tatangghe ghitak”, perkataan semacam itu sudah masuk pada kriteria sombong. tutur beliau.
Beliau melanjutkan, ketika seseorang melakukan amal kebaikan dan merasa dirinya sudah baik karena hal yang dilakukannya, maka jelas amal tersebut tidak diterima (Al-Hikam). Bahkan disebutkan bahwasannya amal baik seseorang terkadang tidak diterima dan tidak lebih baik dari amal buruknya seorang bajingan (Al-Hikam). kenapa bisa demikian? Karena meskipun sudah melakukan amal baik sebanyak apa pun akan menjadi amal yang sia-sia (tidak diterima) ketika merasa dirinya sudah baik karena hal tersebut, serta merasa sudah menabung pahala karena amal-amalnya. Sedangkan yang dimaksud tidak lebih baik dari amal buruknya seorang bajingan di atas adalah mereka (bajingan) yang menyadari kesalahannya ketika berbuat maksiat. Seperti halnya perkataan si bajingan “duh mon deyye abe’ dhusa rajeh, de’remma se ngadheppe ka Allah ghu’lagghu’ “
Di penghujung taushiyahnya, RKH. M. Thohir Zain kembali mengingatkan kepada para hadirin dan simpatisan mengenai Maulid Nabi. Beliau benar-benar berharap ketika memperingati Maulid Nabi tidak hanya sekedar ritualitas semata. Seperti membaca shalawat dan sebagainya, tetapi perlu direnungkan juga siapa sosok yang kita shalawati. Sehingga kita benar-benar bisa memahami esensi dari Maulid nabi itu sendiri. Dan terakhir yang terpenting adalah cara kita mencitai Nabi itu sudah benar atau tidak? Hal ini tentu akan menjadi renungan bagi diri kita masing-masing untuk mengupayakan yang lebih baik lagi di masa-masa mendatang.